[BTSFF 1st Event] A Paradox

A Paradox

Title        :    A Paradox

Author        :    IC

Genre        :    Family, Life, Hurt, Tragedy

Length        :    Oneshoot (<3000)

Rating        :    T, PG-13

Main Cast    :    Kim Namjoon, Kim Taehyung

Disclaimer    :    Semua tokoh yang ada milik Tuhan dan FF ini murni hasil tangan author sendiri. So, no plagiat ^-^

[poster credit by mclnexx@artfantasy]

Annyeong, chingudeul! Pertama, author mau mengucapkan selamat untuk 1st Anniversary BTS Fanfiction Indonesia ^-^

Semoga semakin sukses dan dapat terus menyajikan fanfiction-fanfiction yang luar biasa dari seluruh ARMY di Indonesia 6(^-^6) /aamiin

Terimakasih juga buat para readers yang sudah mau baca FF author ini, tanpa kalian author hanyalah angka nol yang tidak berarti :3 Ohiya, FF ini 95% berasal dari real life, sedangkan 5% sisanya adalah imajinasi author, hehe 😀

Oke, soo, happy reading, no bash, no plagiat. Kritik dan saran kalian sangat berarti 🙂

Check it out~~

~.-‘-.~

[Summary]

Aku tak pernah merasa sekebas ini sebelumnya. Memikirkan bahwa aku adalah nol.

Aku mencari-cari makna kebebasan. Lalu aku menemukannya. Memulainya.

~.-‘-.~

Keluargaku begitu sempurna. Appa seorang kontraktor sukses, eomma punya pangkat tinggi di sebuah perusahaan, dan mereka dikaruniai dua anak dengan kemampuan di bidang akademis dan non-akademis yang mumpuni. Keluargaku begitu sempurna. Saking sempurnanya, kadang kami lupa, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Dan kami hanyalah makhluk-Nya yang penuh cela. Maka tak salah, jika kesempurnaan ini hanya sebuah sandiwara. Yang terlalu apik pembawaannya, di atas sebuah panggung yang disebut dunia.

~.-‘-.~

    “Kenapa?” Kris seonsaengnim mengacungkan kapur di tangannya, lalu beralih ke papan yang telah berisi soal aturan pencacahan yang ditulisnya. “Karena nol di depan rangkaian angka tidak ada artinya.”

Aku mengangkat sebelah alisku, lalu membalikkan halaman novelku. Pelajaran matematika yang diterangkan Kris seonsaengnim sama sekali tidak kuperhatikan. Bahkan aku tidak membawa buku tulisku hari ini. Aku hanya berharap bel pulang segera berdering dan aku bisa pergi ke tempat lesku dan belajar di sana dengan tenang.

    “Namjoon-ah,” seorang tentor kimiaku memergokiku tengah melamun. “kamu nggak fokus, ya, hari ini.” Tepat sasaran. Aku hanya tertawa hambar. “Kalau kamu nggak fokus terus, waktumu banyak terbuang, lho.” Lagi-lagi aku hanya tersenyum samar. “Pelajaran yang masuk lima puluh persen, sisanya sudah habis buat kamu melamun.”

    Aku hanya diam mendengar teguran-teguran itu. Menghela napas pelan sesekali. Ada apa memangnya? Apa salah jika aku melamun? Sejak kapan orang lain peduli tentang waktu yang kupunya? Ah, aku jadi sensitif kalau suasana hatiku sedang buruk.

    “Sekian pelajaran kimia hari ini.” Hara noona mengakhiri sesi les malam ini dengan sebuah senyum simpul. Saat yang lain sudah berhambur keluar, Hara noona berjalan mendekatiku. “Namjoon, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, lho.” Sama seperti sebelumnya, aku hanya tersenyum samar.

    “Kalau ada masalah harusnya kamu cerita.” Lanjut Hara noona. Aku hanya diam.

“Kamu nggak mau cerita apa-apa, nih?”

    “Nggak.” Jawabku singkat, tidak tertarik.

    “Hm, kamu nggak harus cerita ke aku. Tapi ceritakan ke seseorang yang kamu percaya. Ke sahabatmu, mungkin?” ucapnya.

    “Nggak. Aku nggak percaya sama siapa pun.” Tolakku tegas, mulai jengah dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hara noona. Aku buru-buru membereskan bukuku sebelum Hara noona mengatakan hal lain yang membuat emosiku semakin memuncak.

    “Kenapa kamu nggak percaya sama siapa pun?” tanya Hara noona lagi. Banyak tanya! Memangnya mau apa dengan orang-orang kepercayaanku? Ada hubungannya denganmu? Dan… sejak kapan orang ini peduli tentangku dan mengurus urusanku? Aku bahkan mulai berhenti mengurus diriku!

    “Manusia itu makhluk sosial. Kamu nggak mungkin, kan, hidup sendirian?” Aku langsung meliriknya tajam. Tanpa sadar, tanganku sudah mengepal. Aku berusaha menelan ludah menyadari wajahku yang terasa panas. Menyadari bahwa semakin sulit untuk bernapas bahkan menelan ludah. Ah, ayolah, bukan waktunya untuk menumpahkan emosimu di sini, Namjoon-ah, hiburku dalam hati. “Kamu butuh seseorang untuk berbagi.”

    “Aku merasa tidak ada yang perlu kubagi.” Tukasku lalu segera menyampirkan ranselku di pundak. Semakin lama membahasnya, aku tahu semakin lemah pertahananku jadinya.

    “Mungkin kamu belum menemukannya.” Hara noona masih bersikeras dengan hukum ‘manusia adalah makhluk sosial’ yang diyakininya. “Sesuatu untuk dibagi.”

    Aku melengos. Keras kepala, pikirku.

    “Kamu harus menemukannya.” Hara noona masih ngotot, padahal aku sudah mengabaikannya. “Pasti ada.” Ucapnya penuh keyakinan.

    “Ah, ya, ada.” Aku menoleh, menemukan wajahnya yang mendadak sumringah. “Sandiwara.” Jawabku lugas, lengkap dengan sebuah senyuman puas. Air mukanya berubah seketika. Siapa suruh ikut campur masalah orang?

~.-‘-.~

    Masih dengan nyawa yang belum genap, aku mengeluarkan buku kimiaku, mencoba mengulang-ulang materi yang diberikan Hara noona. Aku menggumam sendiri melafalkan rumus-rumus yang terdengar asing di telingaku. Mencoba memahami setiap soal yang kubaca, lalu mengaplikasikan rumus tersebut untuk menyelesaikannya.

    Molar dikali volume sama dengan molar dikali volume.

    “Namjoon, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, lho.”

    Ion H+ sama dengan akar koefisien asam lemah dikali molar asam lemah.

    “Tapi ceritakan ke seseorang yang kamu percaya. Ke sahabatmu, mungkin?”

    pH sama dengan minus….

    “Kenapa kamu nggak percaya sama siapa pun? Kamu nggak mungkin, kan, hidup sendirian?”

    Minus…. Ah, minus apa….

    “Kamu butuh seseorang untuk berbagi.”

    ARGH! Aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Semakin sering aku mengulang materi yang diberikan Hara noona, entah mengapa semakin sering kalimat-kalimat yang dilontarkannya menggema di kepalaku. Aku mencoba menegakkan tubuhku, kembali fokus dengan deretan soal di hadapanku.

    Fokus, fokus…. ucapku dalam hati sembari mengatur napas. Baiklah, mari kita coba.

    Dua ratus mililiter larutan HCl nol koma satu molar dicampurkan dengan seratus….

    “Kamu nggak mungkin, kan, hidup sendirian?”

    Sialan, umpatku dalam hati. Tanpa sadar, kakiku sudah menghentak-hentak pelan pada kaki meja belajar, tanda bahwa aku sudah mulai resah dengan ketidakfokusanku ini. Oh, ayolah, sejak kapan kamu peduli tentang dirimu sendiri, Kim Namjoon? Sejak kapan kamu jadi khawatir untuk sendirian, hah?

    Aku memutuskan untuk menutup buku kimiaku. Percuma juga kalau dipaksakan, begitu kata kebanyakan orang. Alibi yang baik untuk rasa menyerah yang kurasakan. Aku mematikan lampu kamarku, membalut tubuhku dengan bed cover berwarna biru, lalu terlelap dalam alam bawah sadarku.

~.-‘-.~

    Eomma menangis sesenggukan. Tubuhnya bergetar. Tapi bocah laki-laki di hadapannya itu hanya berdiri, terpaku, tak tahu harus berbuat apa dengan apa yang dihadapinya. Bocah itu mengetuk-ketukkan ujung jemari kakinya, pelarian dari sebuah keresahan yang dirasakannya.

“Apa yang membuatmu seperti itu, Nak?” Eomma berusaha berbicara di tengah tangisannya. “Apa eomma pernah menyakitimu, Nak? Siapa yang kamu maksud di sana? Apa eomma dan appa membuatmu merasa sesakit itu, Nak?” Suara eomma bergetar, membuat bocah laki-laki itu semakin membisu.

Deja vu. Aku berjalan memutar, mengambil sisi lain untuk melihat wajah bocah laki-laki tersebut. Seharusnya dadaku terasa nyeri. Seharusnya aku terkena serangan jantung di tempat. Seharusnya bocah itu tidak perlu mendengarkan apa yang eomma katakan. Seharusnya aku tidak memutuskan untuk melihat rupa bocah laki-laki itu.

“Siapa yang menyakitimu, Nak?” Sekali lagi, eomma bertanya, meminta jawaban yang tak kunjung diberikan. “Jawab, Namjoon-ah!” Eomma berteriak di tengah tangisnya.

Tubuhku terasa terhempas. Terhentak seperti jatuh dari gedung bertingkat-tingkat. Napasku tertahan. Apa aku mati? Aku mengangkat kepalaku. Menemukan bahwa aku masih berada di kamarku. Hanya saja sekarang aku berada di lantai, tengkurap. Aku mengambil ponsel dari meja di dekat kasur lipatku. 02.57 AM. Diam-diam aku meraba dadaku, menyadari bahwa detaknya masih tidak beraturan. Nightmare.

Aku menyandarkan tubuhku pada dinding kamar. Bukan pertama kalinya mimpi itu datang, berulang-ulang seperti sebuah kaset rusak. Memutar sesuatu yang sama berkali-kali. Menciptakan sensasi yang jauh lebih menakutkan daripada kenyataan yang terjadi.

Aku bahkan tak menyangka kejadian kecil itu menjelma menjadi sebuah trauma. Hadir memainkan emosi bahkan di saat seharusnya otakku dapat berisitirahat. Aku tertunduk, memainkan sweater lusuhku.

Buku tulis itu –yang sudah kubuang sejak eomma menangis di depanku— berisi imajinasi otak bocahku. Bocah ingusan yang baru mengenal suka, lalu mengaku-ngaku jatuh cinta. Yang coba-coba menyatakannya, ditolak, lalu melebih-lebihkan rasanya. Sama seperti eomma yang tak tahu apa-apa tentang anak pendiamnya, lalu terkejut membaca isi buku yang tak sengaja ditemukannya. Terlalu perasa atau berlebihan nyaris tak ada bedanya. Dan aku tak berminat untuk tahu eomma termasuk yang mana.

Sama sekali tidak menyenangkan saat aku mengingat wajah eomma yang tiba-tiba menangis sesenggukan seperti itu. Menyalahkan pihak-pihak yang tak ada sangkut pautnya dengan puisi, imajinasi, dan hal-hal liar yang tertuang di dalam sana. Benar-benar…. Bahkan aku yang seusia itu berpikir untuk mencekik diriku sendiri agar tak perlu mendengarnya, tidak perlu mengingatnya, terlebih kalau aku tahu ternyata kata-kata itu akan terputar berulang-ulang di kepalaku. Begitu kuat hingga menyugesti alam bawah sadarku.

Salju masih turun di luar sana, mengembun pada kaca jendela. Wah, aku bahkan lupa menutup gordennya. Aku mengintip keluar sana. Jalanan berhias cahaya remang-remang. Kerlap-kerlip gedung-gedung kota dengan segala kebisingannya, bahkan di pagi sedini ini. Aku tercenung.

Setiap orang begitu sibuk dengan urusannya. Begitu larut dalam kesenangannya. Sama sepertiku. Sibuk dengan kesendirianku. Mengurus sunyi senyapku. Terlarut dalam kerumitan duniaku, mimpi-mimpiku, ambisiku, emosiku. Sesuatu yang nyaris tak pernah kubagi, kubiarkan mengendap dalam diriku sendiri. Aku yang hanya bisa mengepalkan tangan, menahan napas, berdelusi tentang segala kemungkinan menakutkan yang dapat kulakukan jika aku benar-benar mampu mengekspresikannya saat seseorang membuat emosiku memuncak. Air mata yang hanya menggenang di pelupuk mata, membeku sebelum aku sempat menjatuhkannya.

Aku sibuk memendam emosiku. Sibuk menutup diri dengan sandiwaraku. Sama halnya seperti appaku. Berpura-pura kuat menjadi kepala keluarga, menanggung beban kami, berusaha  tetap tersenyum selagi rambut dan kumisnya memutih seiring bertambahnya usia. Eomma yang selalu merias wajahnya, menutupi keriput kulitnya, berpura-pura tabah dibalik tangis tengah malamnya, mengerjakan pekerjaan rumah –mencuci, memasak—, dan masih ikut mencari nafkah untuk keluarga dengan tulang-tulang rapuhnya. Sama halnya seperti Taehyung, yang meski tak ku tahu pasti apa yang dia sembunyikan, dia juga melakukannya. Berpura-pura.

Tanpa sadar setetes air mataku jatuh. Aku buru-buru mengusapnya. Sesuatu yang hanya bisa jatuh saat aku sendirian, terlalu muak dengan kehidupan, terlanjur lelah bersandiwara, namun tak dapat berbalik karena aku tahu tak seorang pun akan menopangku.

~.-‘-.~

    Pintu kamar Taehyung terbuka. Aku menemukan eomma berjalan menghampiriku. Malam ini jadwal lesku kosong. Berbalik dengan jadwal Taehyung.

“Namjoon, eomma khawatir dengan dongsaengmu.” Eomma bercerita sembari meletakkan keranjang pakaian milik Taehyung. “Kemarin eomma menemukan sebuah struk dari sebuah bar di pusat kota. Bagaimana jika Taehyung minum hingga mabuk?” Dahi eomma berkerut, tegang memikirkan Taehyung. Dia lagi.

“Namjoon, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, lho.” Tiba-tiba saja kata-kata Hara noona terngiang kembali.

“Eomma dan appa sudah berkali-kali mengingatkannya. Tapi Taehyung sama saja. Berjanji, bersumpah,” “Kenapa kamu nggak percaya sama siapa pun?” Lagi. Kalimat-kalimat itu jelas di kepalaku. tapi semuanya hanya sesuatu yang keluar dari mulutnya saja, tak pernah ada hasilnya.”

“Kamu harus menemukannya.” “Pasti ada.” Aku menghela napas. Cih, bahkan sekarang aku dapat mengingat wajahnya dengan baik, lengkap dengan senyum dan nada keyakinannya. “Eomma sama sekali tidak mengerti jalan berpikirnya.”

    Dan aku sama sekali tidak mengerti jalan berpikir eomma dan appa.

~.-‘-.~

    Seperti biasanya, appa menjemputku sepulang les. Kebetulan proyek appa cukup dekat dengan tempat lesku jika ditempuh dengan mobil. Lagipula, aku sudah berhenti mengendarai motor sejak kecelakaan dua tahun yang lalu. Entah trauma atau mungkin aku lebih nyaman untuk diantar jemput seperti ini.

Aku meletakkan tasku di jok tengah. Membuatnya berdebam karena beratnya buku yang kubawa. Aku memasang sabuk pengaman. Siap tertidur selama perjalanan. Atau mungkin, aku harus mendengarkan cerita appa tentang Taehyung. Anak itu lagi.

“Hah, appa benar-benar tidak tahu harus apa lagi dengan dongsaengmu itu.” Nah, benar, kan? “Dua minggu yang lalu eommamu menemukan struk bar. Entah apa yang dia lakukan di sana. Padahal appa sudah berkali-kali bertanya kepadanya, meminta jawaban yang sejujurnya. Bahkan appa berkata bahwa jika dia memang pernah melakukannya –merokok atau minum—, appa tidak akan mengatakannya pada eomma kalau dia mau berhenti sesudahnya.” Appa berhenti sejenak, mengambil air mineral dan meminumnya selagi traffic light masih menyala merah.

Appa diam, memberi jeda pada ceritanya. Aku hanya menghela napas mendengarnya. Taehyung, Taehyung, Taehyung. Selalu saja anak itu. Selalu saja dia. Kapan appa dan eomma akan menyebut namaku? Mengkhawatirkanku? Apa mereka tidak berpikir bahwa aku –yang jauh lebih pendiam dan tertutup ini- tidak dapat melakukan hal yang lebih menakutkan? Minum-minum, misalnya? Pergi ke karaoke dengan beberapa yeoja, atau malah, diam-diam kabur dari les dan pergi ke sebuah motel untuk me….

    “Appa juga sudah berusaha membujuknya.” Suara appa membuyarkan pikiranku yang semakin berantakan. Mendadak pikiranku kusut. Bagaimana jika aku malah menjadi seperti yang kupikirkan?

“Kamu tahu, Namjoon-ah, eommamu itu menangis setiap malam. Khawatir dengan kondisi dongsaengmu itu.” Aku tenang-tenang saja, tidak terkejut dengan apa yang appa katakan.

“Taehyung, kamu tahu, eomma dan appa melakukan ini bukan karena melarangmu bergaul dengan teman-temanmu. Tapi eomma dan appa ini menyayangimu, khawatir kalau-kalau kamu berada di jalan yang salah. Eomma dan appamu ini menyayangi kamu lebih daripada Namjoon hyung, Taehyung-ah.” Appa mengulang kalimat yang bukan pertama kalinya diucapkan kepada Taehyung. Kalimat yang juga bukan pertama kalinya dikatakan kepadaku. “Kamu tahu, kan, kenapa appa sampai mengatakan hal seperti itu kepadanya?” Lalu bunuh saja aku, Appa.

Bukan masalah untukku apabila appa mengatakannya, berusaha membuat Taehyung percaya bahwa ia dikasihi kedua orang tuanya. Dan bukan masalah jika appa meminta pengertianku untuk hal-hal semacam itu.

Tapi kalimat itu akan terus berulang-ulang menjadi sugesti. Bukan hanya untuk appa dan eomma yang mengatakannya, bukan hanya untuk Taehyung yang menerimanya, tapi juga untuk aku yang mendengarnya. Bagaimana jika akhirnya eomma dan appa benar-benar melakukannya –untuk lebih menyayangi Taehyung dibanding aku yang juga anaknya? Bagaimana jika akhirnya aku benar-benar percaya bahwa eomma dan appa mengasihiku tidak lebih banyak –bahkan lebih sedikit— dari mereka menyayangi dongsaengku sendiri?

    Semua paradoks itu memenuhi kepalaku. Apa pikiranku terlalu liar?

~.-‘-.~

    Ujian tengah semester akan berlangsung kurang dari seminggu lagi. Persiapanku terbilang kurang, bahkan masih nol. Aku membalik-balikkan lembar soal matematika di hadapanku. Omong kosong macam apa ini? Aku mengerjakan soal-soal apa adanya, sebisa yang ku bisa. Jengah berhubungan dengan angka-angka, aku meraih buku sejarah. Tapi bukan Namjoon namanya kalau betah belajar sejarah. Baru dua halaman, aku sudah menguap.

    Aku merebahkan tubuhku. Menyambar ponsel dari tasku. Baru membaca beberapa chat di akun Line-ku, terdengar suara pintu kamar Taehyung yang terbuka. Tubuhku nyaris berbalik, kembali menghadap buku dan soal-soal di sampingku.

Aku dapat merasakan jantungku berdegup lebih kencang dan aku benci untuk mengetahui kenyataan bahwa aku selalu tersentak setiap mendengar suara pintu itu terbuka. Selalu tergerak untuk menyembunyikan segala kegiatan yang berhubungan dengan hubungan sosialku, masalah pribadiku, bahkan kehidupan normalku. Berusaha terlihat menjadi anak yang rajin di depan eomma dan appaku, menjadi anak dambaan setiap orang tua di depan mereka, seolah-olah memainkan ponselku saat belajar adalah sebuah kesalahan, melakukan hobi menulisku adalah sebuah kejahatan, sekali pun aku tahu bahwa eomma dan appa tidak akan memarahiku saat menemukanku memainkan ponselku sesekali saat belajar atau menulis cerita dan puisi di waktu senggang.

    Mungkin aku tidak mengingatnya dengan baik. Saat eomma beberapa kali memergokiku tengah memainkan ponsel di tengah-tengah jam belajarku, lalu memarahiku. Aku hanya diam, tapi diam-diam dan tanpa sengaja menyugestikan diriku bahwa memainkan ponsel adalah sebuah dosa besar. Maka aku menyiapkan strategi dengan menajamkan pendengaranku, menghafal dengan baik bagaimana bunyi pintu kamar yang dibuka. Lalu tanpa sadar aku menjadi seperti ini. Secara spontan mengganti aktivitasku saat aku merasa terancam.

    Aku menyambar buku matematikaku. Pikiranku kalut dan aku benci saat aku tidak dapat mengendalikannya. Bab peluang dan kaidah pencacahan. Aku menggumam, membaca cepat contoh soal di hadapanku.

Seorang polisi diminta untuk membuat kombinasi plat nomor dari angka 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Setiap plat terdiri atas 3 angka. Berapa kombinasi nomor yang dapat dibuat?

Aku mencoret-coret halaman kosong di bukuku. Aku mengerling. Salah? Aku menyimak penyelesaian di bukuku. Baru membaca sebagian, penjelasan Kris seonsaengnim menggema di kepalaku.

“Karena nol di depan rangkaian angka tidak ada artinya.”

“…nol di depan rangkaian angka tidak ada artinya.”

“…tidak ada artinya.”

Aku tercenung. “Kamu tahu, kan, kenapa appa sampai mengatakan hal seperti itu kepadanya?” Tiba-tiba saja kata-kata appa terlintas dalam pikiranku. “Tapi eomma dan appa ini menyayangimu,”

Bagaimana jika aku adalah angka nol? “Eomma sama sekali tidak mengerti jalan berpikirnya.”

Yang terlalu percaya diri untuk berada di depan. “Eomma dan appamu ini menyayangi kamu lebih daripada Namjoon hyung, Taehyung-ah.”

Yang terlalu berani untuk berdiri sendirian. “…, waktumu banyak terbuang, lho.” Aku tidak mengerti bagaimana semua itu terputar begitu cepat di kepalaku, lalu entah mengapa aku merasa marah. “Kamu butuh seseorang untuk berbagi.”

Namun tidak berarti….

Tanganku terkepal kuat. Memoriku rusak. Semua kenangan-kenangan menyedihkan yang tak pernah muncul itu menyeruak. Kini aku melihatnya dengan jelas, mendengarnya dengan jelas. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut eomma tentang bukuku, tentang kesalahanku, tentang semua hal yang selalu diungkit-ungkit olehnya setiap kali marah, tangisannya yang pecah namun membekukan hati.

Kini bahkan hatiku terasa ngilu. Kalimat-kalimat appa tentang ia yang mengaku lebih menyayangi Taehyung dibanding aku, meminta aku mengerti, namun mengulangnya terus-menerus menjadi sugesti, lupa bahwa aku masih punya hati. Kini aku merasakan semuanya dengan baik. Ketakutan, iba, dan rasa ingin bunuh diri yang muncul setiap kali mendengar nada bicara eomma yang meninggi. Perasaan lelah untuk mengerti, berkali-kali, seolah keberadaanku tak pernah berarti.

Arraseo…. Aku tersenyum getir.

Sekarang aku mengerti. Ya. Mungkin aku memang angka nol yang berdiri sendiri. Tak berarti. Aku tertawa getir memikirkan kenyataannya. Menyadari begitu menyedihkannya aku selama ini.

Mungkin sekarang aku harus mengakhirinya. Lalu memulai sesuatu yang baru atas nama kebebasan yang tak pernah benar-benar kukenyam. Ya. Mungkin Hara noona benar. Mungkin ia memang benar tentang aku yang membuang begitu banyak waktu untuk kesia-siaan. Maka aku akan berhenti membuangnya sekarang.

Selamanya.

FINAL?

~.-‘-.~

    Taehyung bergetar. Bagaimana tidak, laptop milik Namjoon masih menyala saat ditemukan. Kini saat melihat tubuh hyungnya terbujur dengan berbagai selang di tubuhnya, ia tak kuasa menahan tangisnya. Bagaimana eomma dan appa mengabaikan perasaan hyungnya untuk dirinya, bagaimana hyungnya itu tersiksa dengan segala paradoks dalam otaknya, bagaimana hyungnya berniat mengakhiri hidupnya demi sesuatu yang disebutnya kebebasan.

    Semua kata-kata yang Namjoon ungkapkan dalam laptopnya datang silih berganti memenuhi memorinya. Taehyung membeku. Tatapannya kosong. Bagaimana bisa ia tak mengenal seinci pun tentang hyungnya?

Tiba-tiba saja telinganya berdenging. Taehyung masih terpaku. Ia melihat sosok-sosok berpakaian putih berlari menuju ranjang hyungnya. Semua tampak seperti adegan slow motion di matanya. Suara manusia-manusia itu terdengar samar di telinganya.

    Taehyung menoleh, menatap bagaimana orang-orang itu membawa hyungnya pergi pada setiap inci gerakannya. Rasanya hampa. Taehyung tersenyum getir. Selamat jalan, Namjoon hyung. Selamat memulai hidup barumu. Dan… selamat atas kebebasanmu.

END

Finally, akhirnya selesai juga 😀 Gimana, chingudeul? Gaje banget, ya, authornya :v

Mian atas segala kekurangan author dalam FF ini.. Semoga ke depannya bisa menyajikan sesuatu yang lebih baik lagi 6(^-^6) /aamiin

Jangan lupa komen untuk kritik dan sarannya 🙂 Author rasa itu adalah bentuk apresiasi terbaik dari para pembaca ^-^ Gomaptaa :3

9 pemikiran pada “[BTSFF 1st Event] A Paradox

  1. Sumpah ini keren bgt. Hmmm… kayanya konfliknya lebih ke batin dan jiwa ya? *maaf aku sok tau 😂 btw ini kisah nyata *hmm. Dapet Bgt Feel-nya, aku bisa Ngerasain rasanya Jadi Namjoon. Pasti Tertekan. Pokonya keren Deh ff Nya. Aku Suka Banget. Keep Write Ya Thorr. Semangat!

    Suka

  2. author tega banget masa namjoonnya dimatiin. kan kasian 😥 tapi daebak deh ceritanya. feelnya dapet banget. aku suka sama karakter taehyung yang badboy badboy gitu 😀

    Suka

  3. Namjoonnya mati? Oh…Tidakkkkk!!!
    Thor, ini kisah nyata Authorkan? Klw blh tau author yg jd siapanyaa? Namjoon atau Tae? #Kepo kekekek..

    Tp asli ini keren thor….beneran nyesek deh klw jd Namjoon. Entah mau ngomong apa lagi… yg jelas ff ini bikin nyesek 😭

    Suka

Tinggalkan Balasan ke tiarachikmamu Batalkan balasan