[BTS FF FREELANCE] My New Bad Neighbor (Chapter 11)

my-new-bad-neighbour-shynim

Credit Poster :

RosaliaOcha – ExoShidae FF&Graphic

Author : SHYNIM | Length : Chapter | Genre : Comedy , Romance | Rating : PG-17 | Main cast : – BTS’s Jeon Jung Kook – Kim Hye Hwa – BTS’s Kim Seok Jin | Disclaimer : This fanfic is originaly mine, created by me, don’t copy-paste without my permission

“Hei, kau melamun.”

Jung Kook melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Wajah imut khawatirnya membuat hatiku berdesir. Iya aku memang melamun. Selang beberapa hari sejak kejadian di cafe itu, aku belum sempat bertemu dengan Jin. Niatku, setelah kejadian di cafe itu, aku ingin melaporkannya pada Jin, dengan mengesampingkan bahwa aku terkesan ikut campur dengan urusannya. Karena aku masih peduli dengan perasaan Jin.

“Aku tidak melamun,” elakku.

Jung Kook mendengus, ia mengangkat kakinya ke atas meja dengan santai, mengabaikan aku sebagai tuan rumah disini. Aku melotot ke arahnya. “Turunkan kakimu Jung Kook!”

Jung Kook mengangkat bahunya acuh, lalu memakan apel di tangannya. “Tidak mau,” ucapnya bebal.

Aku menyerah, percuma saja berbicara dengannya saat ini. Kepalanya sedang dilapisi kabut tebal untuk mengerti maksudku. Aku menghembuskan napasku, terus begitu dalam beberapa menit.

“Kau gusar.” Itu pernyataan bukan pertanyaan. Jung Kook kini menatapku dengan intens. Membuat bulu kudukku berdiri.

“Ti-tidak… aku baik-baik saja.” Aku masih mengelak.

Ia memicingkan matanya lalu mendengus kemudian. “Kau tidak memercayaiku.”

Aku memutar bola mataku jengah. Sekarang muncul sifat sensitifnya. “Apa sih maksudmu?”

Dia melengos pergi, tidak memedulikan pertanyaanku. Kakinya menghentak-hentak di lantai apartemenku. Ia terus berjalan ke arah pintu. Dalam hati aku tertawa. Sifatnya yang sedikit ke kanakan tidak berubah. Dia lucu, membuatku gemas sendiri.

Aku menunggunya. Ia berhenti de depan pintu, tangannya memegang kenop. Lalu kepalanya berputar ke arahku. Matanya memicing tajam.

“Kau tidak mau menahanku?”

Dan saat itu juga tawaku menyembur keluar. Ya Tuhan, sebenarnya yang wanita disini itu siapa? Kenapa Jung Kook sangat wanita sekali.

“Hye Hwa!” dia teriak. Aku buru-buru berhenti tertawa dan berjalan ke arahnya. Aku memeluknya dari belakang dan menyandarkan kepalaku di punggungnya.

Ia masih saja diam. Tak membalas pelukanku ataupun bersuara. Aku kesal jadi kesal sendiri. Tapi aku cukup sadar untuk tidak merajuk saat Jung Kook masih berada di mode merajuknya juga.

“Jangan marah,” bisikku di punggungnya.

Ia menghela napasnya. Lalu meraih tanganku yang berada di pinggangnya. Aku pernah berpikir, kenapa akhirnya aku bisa jatuh dalam pesona Jung Kook yang menyebalkan ini? Dan perlahan, ternyata aku sudah mendapatkannya. Aku jatuh dalam pesona Jung Kook yang apa adanya.

“Aku tidak marah.” Di mencoba mengelak.

Aku tertawa. “Iya tidak marah, tapi merajuk seperti wanita,” kataku, mencoba menggodanya.

Ia ikut tertawa, tubuhnya terguncang-guncang. Lalu ia membalik badan dan menatap kedalam manik mataku. tatapannya sangat dalam. Dan aku merasakan pipiku mulai memanas.

Aku beralih memeluk lehernya, sedikit berjinjit karena tingginya. Lalu menenggelamkan kepalaku di lekukan lehernya. Ia memeluk pinggangku posesif. Suaranya di telingaku seperti lullaby yang membuatku semakin tersanjung ke atas langit.

“Aku mencintaimu… aku mencintaimu….” bisiknya.

Aku mengembangkan senyumku, lalu dengan reflek aku langsung mengecup pipinya. Matanya membelalak, tangannya terangkat ke pipinya dan menatapku tidak percaya. Aku tahu, dalam hubungan kami, aku yang ter-kaku. Pasti dia sangat kaget dengan tindakanku tadi.

“Wow.” Ucapnya setengah berbisik.

Aku terkekeh melihat wajah bodohnya saat ini. Kemudian matanya beralih menatap mataku. Namun, raut tak percayanya berubah menjadi sendu. Aku mengerutkan keningku ketika melihatnya.

“Kenapa?” tanyaku.

Ia mendesah gusar. Lalu mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Aku menjadi gundah sendiri melihat perubahan sikapnya ini. Loh, apa yang salah?

“Kenapa?” ulangku lagi.

Ia diam, menatap manik mataku sekali lagi. Tangannya menangkup kedua bahuku, dan mendekatkan tubuhku kepadanya. Mulutnya terbuka, lalu tertutup lagi.

“Aku… maunya disini.” Dia menunjuk bibirnya.

Aku membelalakan mataku. Sial, aku sudah merasa kalang kabut melihat perubahannya, dan ia… oh sial!

Aku reflek memukul kepalanya berulang kali. Ia mengaduh sambil tertawa puas.

“Diam! Aku tidak mau berbicara denganmu lagi. Pergi sana.”

Aku mendorongnya menuju pintu. Lantas ia menepis tanganku yang mendorongnya dan beralih menggenggamnya.

“Aku kan bercanda.” Wajahnya sendu, dan bibirnya mengerucut saat mengatakannya.

Aku masih memasang wajah tak suka ku padanya. Lalu beberapa saat kemudian aku sudah tertawa lepas sambil memegang perutku.

“Kenapa malah tertawa?” Ia mengerutkan wajahnya. “Kau menertawakanku? Iya?”

Tiba-tiba saja tubuhku serasa melayang di udara. Ia menggendongku, lantas menjatuhkanku ke atas sofa. Jari-jarinya mengelitikku, membuatku semakin tertawa sambil menggeliatkan tubuhku di bawahnya. Tanganku menggapai-gapai ke arah tubuhnya. Namun, tak lama, ia sudah memegang kedua tanganku dan menempatkannya di atas kepalaku.

Aku bisa merasakan wajahku memanas. Napasku masih tidak beraturan. Ia melihat mataku dengan memasang seringaiannya.

“Curang,” kataku kemudian.

Dia tertawa. Namun, matanya tidak lepas dariku.

“Sekarang… aku minta, cium aku disini.” Ia menunjuk bibirnya sekali lagi dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih memenjarakan kedua tanganku. Aku mencoba melepaskannya saat tahu hanya satu tangannya yang memegang kedua tanganku. Tapi, nyatanya tidak bisa. Tenaganya ternyata sangat kuat.

“Lepas aku dulu.” Tawarku.

Ia menggeleng. “Tidak, cium dulu.”

Aku menghembuskan napasku. “Oke.” Aku menaikan kepalaku untuk menggapai bibirnya.

Cup

“Sudah kan?” kataku tak sabar. “Sekarang lepaskan aku.”

Ia mendengus. “Itu bukan cium namanya.”

Aku memutar bola mataku jengah. “Sudah di kasih hati minta jantung.”

Tahu-tahu saja bibirnya sudah mencium bibirku. Pelan… pelan… ia mencoba bersabar denganku. Lalu bibir itu melumat bibirku atas bawah. Rasa ini… aku selalu merasakannya dengan Jung Kook. Perasaan ini meledak-ledak dalam diriku. Aku tidak tahu pengaruh apa yang ia gunakan terhadapku. Aku sadar, aku begitu menyukainya, begitu mencintainya.

Ia melepaskan tanganku yang ia pegang dengan kuat. Tangannya beralih ke pinggangku, mengelusnya dengan lembut. Begitu juga denganku, aku langsung mengalungkan kedua tanganku ke lehernya. Ini bukan gairah, ini karena kami saling menyayangi. Walaupun aku tahu, semakin lama kami tenggelam dalam situasi ini. Satu kemungkinan akan terjadi.

“Hye Hwa kau ke…,” aku segera melepaskan Jung Kook dan berdiri dari tempatku sebelumnya, “…mana… saja….”

Aku melihat Yoon Hye berdiri di ujung pintu dengan wajah syoknya. Aku memejamkan mataku, berharap ini hanya sekedar ilusi belaka. Nyatanya, saat aku membukanya lagi, aku masih melihat Yoon Hye berdiri mematung disana.

“Yoon Hye!” seruku.

“Hi!” Ia menyengir ke arahku. Namun, wajahnya mengatakan you-should-explain-me-about-this.

“Masuklah Yoon Hye.” Aku berjalan ke arahnya. Merangkulnya untuk masuk kedalam apartemenku setelah menutup pintu.

Jung Kook melambai ke arah Yoon Hye dengan cengirannya. Aku memutar bola mataku. lalu mengisyaratkannya diam lewat mataku.

“Jadi, ada apa kau datang kemari?”  tanyaku setelah memersilakannya untuk duduk.

Tapi, wajahnya menekuk lalu mengisyaratkanku sesuatu melalui lirikan matanya. Aku tahu apa yang ingin dia bicarakan. Tapi, aku masih merasa gugup. Sial, batinku. Ketahuan dengan cara yang sama sekali tidak bagus, sudah seperti ketahuan sedang membuat video porno.

Jadi, aku menyeret Jung Kook keluar dari apartemenku dengan sedikit paksaan. Tapi, tangan Jung Kook malah melingkar di pinggangku. Sesaat aku merasa geli karena gerakannya di pinggangku. Aku tipe orang yang mudah geli, itu saja.

“Lepas!” bentakku.

Namun, Jung Kook nyatanya masih saja bebal. Ia menggeleng dan menggeleng lagi. Akhirnya, kami duduk di tempat yang sebelumnya. Dengan Yoon Hye yang duduk bersidekap, memicingkan matanya ke arahku.

Tiba-tiba tangan Jung Kook sudah di ulurkan ke arah Yoon Hye. Untuk beberapa detik, tidak ada sambutan dari Yoon Hye. Namun, kemudian ia mengulurkan tangannya, dan menjabat tangan Jung Kook dengan sedikit canggung. Sedetik, aku mencuri lihat ekspresi Jung Kook, ia masih menyengir seperti tidak punya salah sama sekali. Sedangkan aku, sudah seperti memertemukan pacarku dengan ibuku sendiri. Rasanya panas dingin.

Sial, teriak batinku sekali lagi.

“Aku Jung Kook, calon suaminya Hye Hwa.”

Aku membelalakan mataku tak percaya. Sedetik aku di buat tenang, lalu sedetik kemudian aku di buat panas dingin. Sial, untuk kesekian kalinya aku berteriak dalam hati.

“Aku… Yoon Hye, sahabat Hye Hwa.” Mata Yoon Hye masih memerlihatkan kekagetan.

Jung Kook mengangguk lalu menegedipkan satu matanya.

“Aku tahu.”

Aku memutar bola mataku, lalu beralih ke arah Yoon Hye sambil mengulas senyumku.

“Jadi… aku ulangi lagi, tidak biasanya kau kesini. Ada apa?” tanyaku.

Lalu Yoon Hye menyengir canggung sambil menggaruk-garuk tengkuknya. Dia gugup, aku sangat tahu itu.

“Jung Kook, tolong ambilkan minuman untuk Yoon Hye, ya?” mohonku padanya.

Jung Kook mengerutkan keningnya. Namun, tak lama ia berdiri juga dan berjalan menuju dapur. Tiba-tiba saja Yoon Hye sudah mengambil tempat Jung Kook duduk tadi. Matanya berkilat-kilat senang. Aku merasa… sawan. Ugh.

“Sejak kapan kau berkencan dengannya?” cecearnya langsung.

Aku menutup mataku, in-hale… ex-hale…

Sambil mengurut kepalaku yang rasanya ingin pecah. Lalu aku memaksakan tersenyum, walau… rasanya sangat bertolak belakang dengan suasana hatiku saat ini.

“Kau ingin ku ceritakan sekarang?”

Yoon Hye menyipitkan wajahnya. Lalu menunjuk-nunjuk wajahnya dengan tidak sabaran.

“Kau lihat wajahku? Lihat? Lihat?”

Aku mengangguk.

“Bagus. Memang terlihat kalau aku ingin menunggu ceritamu?” hidungnya mulai kembang kempis, “Aku.mau.sekarang.juga.”

Aku melotot. Sejak kapan Yoon Hye seperti ini. Ya Tuhan…

“Baik… baik….” Aku memaksakan senyumku lagi.

“Yasudah… tunggu apa lagi?” kesalnya.

Aku menggeram dalam hati. Tidak pacar, tidak sahabat, sama-sama membuat tensi darahku meningkat drastis sampai level dua ratus. Ah, aku sudah mati kalau begitu. Aku terkekeh dalam hati.

“Kau sudah pernah melihatnya di gerbang kampus sebelumnya.” Aku mulai bercerita.

“Dia tetanggaku. Kamarnya tepat di sebelah kamarku. Kira-kira sudah hampir dua bulan dia disana. Lalu… ah aku tidak mau melanjutkannya.” Aku menenggelamkan wajahku ke bantal sofa sambil menghentak-hentakan kakiku di atas lantai.

“Oh kalian sedang membicarakanku, ya?” sahut sebuah suara yang buat aku jengkel.

Aku kembali duduk tegak, dan melihatnya sudah duduk di depanku dengan tiga gelas es teh. Yah… mau bagaimana lagi, jangan mengekspetasikan hal-hal yang bagus di apartemenku, es teh saja sudah cukup mahal buatku. Sesaat aku lega, karena Jung Kook bisa di andalkan untuk hal-hal seperti itu.

“Dia tidak ingin melanjutkan cerita kalian. Padahal baru saja mulai bercerita, kalau di ibaratkan sesuatu. Baru saja menstarter mobil tapi kuncinya langsung di cabut lagi.” Yoon Hye mulai cerewet, aku mendelik ke arahnya, dan di balas delikan kembali. Dasar sahabat kurang ajar.

Jung Kook terkekeh.

“Mau aku yang menceritakannya?”

Yoon Hye mengangguk antusias.

“Nah, kau bisa di andalkan. Ayo ceritakan!”

Jung Kook tersenyum lalu mulai bercerita.

“Aku pindah kesini sekitar dua bulan lalu. Nah, aku sering sekali meminta bantuan sahabatmu untuk berbagai keperluanku,” Jung Kook tertawa, “lalu, kira-kira saat itu baru seminggu atau lebih dari kepindahanku kesini, dan sepupuku datang menjenguk. Saat itulah awal mula hubunganku dengan Hye Hwa.”

Wajah Yoon Hye terlihat seperti sedang berpikir keras. Lalu dia menyeletuk.

“Apa hubungannya?”

“Dia menyukai sepupuku.” Jung Kook melirikku sesaat dengan senyum tulus di bibirnya.

“Sepupumu? Siapa?”

“Kim Seok Jin, kau pasti tahu.” Aku menutup mataku, lalu membukanya dan melirik Yoon Hye yang kini setengah mangap.

Kemudian ia mengangguk. Aku mendengar ia menggumamkan kata ‘Jesus’ dengan volume yang tidak begitu besar. Tiba-tiba saja aku diberi tatapan tajamnya.

“Apa?” cicitku takut. Namun, dia langsung mengabaikanku dan menatap Jung Kook.

“Jadi, bisa ceritakan dengan cepat?”

Jung Kook mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada dagunya. Lalu mulai menceritakan semuanya pada Yoon Hye. Tak ada satupun yang terlewat. Aku melihat Yoon Hye yang sangat antusias dengan cerita Jung Kook.

Setelah Jung Kook selesai bercerita, Yoon Hye tertawa sangat keras. Ia menepuk-nepuk pungungku.

You did a great job, sissy! Oh, finally you found someone special. So sweet….” Dia mengedip-ngedipkan matanya. Aku malah tersenyum canggung.

“Nah, aku harus pergi. Wish you have a great time with your special one today, babay Hye Hwa,” ia mengecup kedua pipiku, “aku turut senang atas cerita kalian.” Ia tersenyum tulus.

Aku juga mengulas senyumku. lega rasanya tidak menyembunyikan apapun lagi pada Yoon Hye. Kemudian, ia menjabat tangan Jung Kook.

“Jaga sahabatku, ya?”

Jung Kook tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Pasti.”

***

Pasar Dongdaemun hari ini kelihatan ramai, tidak seperti hari-hari biasanya. Aku berkali-kali menabrak orang-orang yag sedang memilih-milih baju-baju di toko-toko sepanjang jalan. Aku sendiri menjadi bingung. Untuk apa aku kesini setelah jam kuliah yang membuatku penat.

Niat awalku ingin ke taman. Namun, di pertengahan jalan hal itu berubah jadi Dongdaemun. Punya uang saja tidak. Maksudku, uang untuk berbelanja.

Hari ini aku sendiri, Jung Kook sedang bersama dosennya untuk keperluan skripsi. Omong-omong, sidangnya sekitar tiga minggu lagi. Tapi, justru aku yang berdebar-debar, seperti aku yang akan melakukan sidang itu.

Berbicara tentang kelulusannya yang sebentar lagi. Aku ingin sekali memberinya sesuatu yang tidak akan pernah di lupakannya. Sounds cheesy but I want it. Memberi sesuatu yang berharga, hal itu tiba-tiba saja muncul dalam otakku.

Aku terus berjalan, menyisir setiap toko yang di dominasi barang-barang yang serupa. Aku sendiri bingung ingin memberi apa pada Jung Kook. Masa aku harus memberinya batu akik warna hijau yang sedang tren itu. Tidak mungkin….

Lalu tiba-tiba sekelebat ide muncul di otakku. Walau rasanya ia bisa membelinya sendiri. Tapi, sepertinya akan sangat berharga jika aku yang memberinya. Aku tertawa dalam hati. Sepertinya otakku hampir sembilan puluh persennya sudah terkena virus drama-drama Korea yang berlebihan. Ouch.

***

Aku masih setia menunggu di atas bangku reyot di depan gedung apartemen sambil memasukan beberapa kali chips kedalam mulutku. Menunggu siapa lagi selain sang pangerang Jung Kook. Terdengar berlebihan memang, iya memang berlebihan, aku akui itu. Entah angin muson darima datangnya hingga aku rela duduk di bangku reyot  ini selama hampir tiga puluh menit–ya memang belum lama, sih–untuk menunggu Jung Kook yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya setelah jam hampir menunjukan pukul sepuluh malam.

Bahkan sudah beberapa tikus yang bergilir lewat untuk menemaniku disini. Aku merasa tersanjung. Ouch.

Di bawah lampu remang-remang luar apartemen ini, tidak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain memakan snack di tanganku sambil sesekali berbicara kasar dengan nyamuk yang seenak jidatnya menempel di kulitku. Dan baru kali ini rasanya, aku tidak merasa keberatan untuk menunggu seseorang yang baru saja aku anggap sedikit ‘berarti’ dalam hidupku.

Beberapa menit kemudian, setelah beberapa kali aku mengeluarkan kotoran yang sangat menganggu di hidungku, membuat napasku tidak stabil. Ada sebuah cahaya terang yang datang dari kejauhan. Dari suaranya, aku bisa menebak siapa orang itu.

Aku pun bersiap-siap berdiri. Jung Kook memarkirkan motornya di tempat parkir biasa di samping gedung ini. Matanya memebelalak heran saat melihatku berdiri sambil mengulas senyum manja kepadanya. Aku sudah bilang, aku tidak tahu kenapa aku seperti ini.

“Kenapa kau disini?” tanyanya setelah sudah berjarak beberapa meter di depanku.

Aku tidak bisa menjawabnya. Dadaku terasa meletup-letup girang hanya karena akhirnya melihatnya di depan mataku. wajah lelah dan rambut kusutnya membuat tanganku gatal ingin menyentuhnya. Lantas aku mengambil tangannya dan menyeretnya masuk ke apartemennya.

“Ada apa?” tanyanya sekali lagi. Namun, masih tak aku hiraukan.

Aku membuka pintu apartemennya dan membawanya masuk ke dalam setelah menghidupkan lampu. Meja makan yang penuh dengan berbagai makanan spesial sudah terhidang di atas sana, walau aku yakin semuanya sudah mendingin karena saking lamanya Jung Kook datang.

“Apa ini? Apa ada sesuatu yang terlewat olehku?”

Raut wajah Jung Kook benar-benar lucu. Dahinya yang mengekerut dan matanya yang memicing tajam, melihat seluruh meja makannya yang penuh.

“Nah, kau harus mandi dulu.”

Aku mendorongnya menuju kamar mandi, sambil melepas tas, jaket, hingga hanya bersisa pakaian dalamnya. Boxer hitam dengan tulisan Calvin Klein. Sial, boxernya saja mahal.

“Hye Hwa! Kau ingin apakan aku?” Jung Kook berteriak sedikit di lebih-lebihkan.

Aku memutar bola mataku. Dalam hati, aku juga tidak tahu kalau aku akan berbuat sejauh ini dengan melepas seluruh pakaiannya. Bahkan tidak ada perasaan malu sedikit pun.

“Mandi.” Kataku tegas. Aku mendorongnya sampai ke dalam kamar mandi. Setelah dia berada di dalam, aku menutup pintunya dari luar. Kemudian dia menggedor-gedor pintu itu sampai aku menutup kedua telingaku sendiri.

“Jung Kook! Jangan berlebihan, aku hanya menyuruhmu mandi,” teriakku, “cepat! Aku menunggumu di meja makan.”

Setelah beberapa detik, barulah aku mendengar suara guyuran air shower dari dalam. Aku bernapas lega, lalu segera melangkahkan kakiku menuju meja makan. Aku meneliti masakan yang kubuat satu-satu.

Apa sebaiknya aku panaskan lagi?

Aku mengetuk-ngetukkan jariku pada dagu. Lalu menggeleng. Tidak, tidak cukup waktu untuk memanaskannya.

Lantas aku mengambil tempat duduk. Mengeluarkan ponselku selagi menunggu Jung Kook mandi. Aku mengambil gambar makanan yang kubuat dan memasukannya dalam akun media sosialku.

Setelah aku punya kekasih, entah kenapa aku semakin attractive di media sosial. Sial, aku seperti abege beger yang baru jatuh cinta. Walau memang begitu kenyataannya.

Beberapa menit berselang, pintu kamar mandi terbuka dan Jung Kook keluar dengan handuk yang melilit pingangnya. Aku segera mengacungkan garpu ketika ia beranjak kesini.

“Pakai dulu bajumu. Baru kesini!” ancamku sambil masih mengacungkan garpuku.

Ia menghela napas, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang basah.

“Oke… oke….”

Di sepanjang jalannya menuju kamar, aku masih mendengar gerutuannya yang sedikit terdengar dalam pendengaranku. Aku terkikik sendiri, aku yakin dia merasa salah menjadikanku sebagai kekasihnya. Hye Hwa yang ajaib bin aneh.

“Jadi, dalam rangka apa kau memasakanku banyak makanan seperti ini?”

Jung Kook duduk di salah satu kursi di depanku. Ia sudah memakai pakaian untuk tidurnya. Tangannya di buat tumpuan untuk kepalanya. Dan aku mengikutinya.

“Perayaan untuk ulang tahun anjing paman Choo?”

Ia memutar bola matanya dan menjitakku. Aku meringis, walau tidak terlalu sakit.

“Ouch, kenapa menjitakku?”

Namun, dia malah menempelkan telapak tangannya pada dahiku. Awalnya aku tidak mengerti, namun aku langsung menghempaskan tangannya begitu aku ter-konek dengan otakku.

“Sial, aku tidak gila,” aku mencebikkan bibirku, “setidaknya, belum….”

Dia tertawa lepas. “Kau sudah gila sejak lahir. Akui saja.”

Aku menepak dahinya. “Diam, kau lebih gila.”

Dia terus tertawa, kini sambil mengangguk-angguk, seperti mengiyakan ucapanku tadi.

“Berhenti tertawa.”

“A..a…” dia masih tertawa, “a.. a-aku.. akh!”

Aku menggeplak kepalanya sekali lagi.

“Kenapa kau memukulku lagi?” protesnya.

Aku mengendikan bahuku. “Kau tidak bisa berhenti tertawa dan mulai gagu.”

Kemudian matanya memicing tajam ke arahku. Oh, dia pikir dia membuatku ciut. Aku langsung membalas melotot sambil mengangkat-angkat daguku.

“Apa?” tantangku.

Untuk beberapa menit, kami bertahan dengan posisi itu. Sampai dia menghembuskan napasnya, mengalah.

“Kenapa jadi bertele-tele seperti ini,” gumamnya.

“Ceritakan saja, ada acara apa hari ini sampai kau memasak banyak seperti ini?”

Dia menggenggam tanganku dengan lembut sambilmengelus punggung tanganku dengan jempolnya.

Aku menggeleng, mengulas senyumku sambil berbalik menggenggam tangannya.

“Ini semua untukmu,” kataku memulai.

“Untuk semua kerja kerasmu,” dia mengulum senyumnya, “aku… hanya ingin memberimu sesuatu yang sederhana namun berkesan.”

Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya dan melangkah ke arahku. Awalnya aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan, sampai ia mencium keningku lama. Aku tersenyum, rasanya sangat indah.

“WOAAA JUNG KOOK BROTHER!”

Tiba-tiba saja sebuah suara memecahkan momen kami. Buru-buru kami melepas momen berharga itu dan melihat orang gila mana yang datang malam-malam seperti ini.

“Jimin! Sialan kau!” teriak Jung Kook.

Namun, Jimin-Jimin itu malah tertawa dan merangkul bahu Jung Kook.

“Ada perayaan apa ini?” tanyanya pada kami.

“Tidak tahu.” Jung Kook menjawabnya dengan sebal.

Lalu si Jimin itu beralih ke arahku. Ia beralih merangkul bahuku sok-akrab. Aku yang merasa kesal dan malu secara bersamaan, langsung menginjak kakinya tanpa ampun.

“Ouch!!! Ou…ch….” erangnya.

Jung Kook dan aku tertawa bersamaan. “Rasakan!” kataku.

“Ya Tuhan, apa-apaan tadi!”

“Kau yang apa-apaan, malam-malam datang ke tempatku,” Jung Kook mengomel.

Jimin tertawa canggung dan menggaruk-garuk tengkuknya.

“Aku… boleh… mmm….”

Ku lihat Jung Kook memutar bola matanya malas. Ia meninju pelan bahu Jimin.

“Menginap?”

Jimin tertawa canggung. “Boleh?”

Jung Kook menghembuskan napasnya. Lalu ia mengangguk. Setelah itu juga Jimin langsung melompat girang dan memeluk Jung Kook manja.

“Sial, aku bukan Homo.”

Jimin langsung melepaskan pelukannya. “Kau kira aku homo?”

Aku memutar bola mataku dan mengetuk-ngetukkan jariku pada meja makan. Secara serentak mereka mengalihkan perhatiannya padaku.

“Aah… jadi ini Hye Hwa kekasih Jung Kook yang sangat di damba Jung Kook?”

Apalagi ini.

Aku tersenyum masam. Kemudian, ia mengulurkan tangannya padaku.

“Mungkin kau tidak tahu aku, tapi aku mengetahuimu sangat banyak, dan…” ucapannya terhenti saat Jung Kook menyumpal mulutnya dengan selada.

“Awua-awuan wau wung uuk (Apa-apaan kau Jung Kook).”

“Perkenalannya sampai sana saja. Sekarang kita makan.”

Jung Kook mendudukkan Jimin dengan sedikit paksaan, dan mengambil tempat duduk untuk dirinya sendiri. Aku tertawa dalam hati. Pikiranku melayang lagi. Sebenarnya, ada berapa teman Jung Kook yang satu spesies dengannya? Selain si Jimin ini tentunya.

Dan selama sisa malam itu kami menghabiskan waktu untuk… tidur setelah mengisi perut karet kami yang sedikit demi sedikit memelar.

Tbc

6 pemikiran pada “[BTS FF FREELANCE] My New Bad Neighbor (Chapter 11)

  1. Wow..udh chap 11 aja, kyk nya terakhir aku liat chap nya gk sampe belasan (aku udh lupa terakhir baca sampe part brapa)..part ini menghibur bgt, pasangan yg absurd+romantis ..pas bagian hyehwa nunggu jungkook,ada beberapa kalimat yg bikin aku ngakak,pliss deh itu tikus bulak-balik emang bner mo nemenin hyehwa? Ckckc..okelah sampe d sini komen ku,ntar kepanjangan klo d lanjut, d tunggu ya next chap nya^^

    Suka

  2. wah bagus ceritanya apalagi waktu jimin datang uuu keren banget ^_^
    aku udah baca dari yang pertama seruuu

    next ya thor seru soalnya sayng kalau gak di terusin

    Suka

  3. Bener tuuh kata @zhiel99
    kenapa ga di kapelin aja pasti lucu deh … 😍
    adaaa ajaaa yg gangguin moment bagus..
    ga mikir apaa …
    ini seru banget thoor 😎😎😍😚

    Next chap thoor😁😍😝😚😎 /banjir emot/

    Suka

  4. uwooooo… keren udah keluar lagi *-*
    jungkook kok matanya sendu mulu? udah tau sendiri masalah pasangan gay jin jangan2 😱
    terus yoonhye sama jimin ganggu. sama2 sahabat dari dua itu kan? kenapa gak di kapalin aja/? ‘-‘ maksudnya kopelin nyehehe… *ketawa jahat/?
    fightung for next chap’-‘)9

    Suka

Leave a Review