[What is Your Color?] Three Things – Vignette

PhotoGrid_1458491188789

Three Things

Velyn208’s storyline

[BTS] Yoongi & [OC] Amel

Genre romance, school life, teen, drama | Rating PG-13 | Length 1,983 words

Warna biru, mengingatkanku pada tiga hal; langit, shooting shirt, kamu.

 

__

All the cast(s) aren’t mine, but the plot is pure mine. Happy reading!

__

“Yoongi-ya!”

 

Dengan gerakan setengah hati, pria itu melirik. Kau tahu, dan selalu tahu bahwa pria itu tak pernah melakukan apapun dengan sepenuh hati. Memberikan setengah hatinya saja ia terlalu pelit. Bukan hanya dalam kasus menjawab panggilanmu, tapi juga mencuci piring, mengerjakan tugas Matematika, mengikat tali sepatu—

 

ya, Yoongi akan melakukan semuanya setengah hati, kecuali kegiatan itu adalah bermain basket.

 

Bukan hanya kau saja, tapi seantero sekolah juga mengakui betapa hebatnya laki-laki pendek berkacamata minus itu dalam hal memantulkan bola oranye dan memasukkannya ke dalam ring yang tingginya dua kali lipat dirinya sendiri. Min Yoongi adalah kapten basket sekolah, satu-satunya kapten basket yang pertama kali mencetak enam belas kemenangan berturut-turut dan belum berakhir hingga pertandingan terakhirnya. Kau berdoa, kemenangan ketujuh belas, delapan belas, sembilan belas hingga sembilan ratus sembilan puluh sembilan berada di tangannya—atau bahkan melebihi angka itu pun tak masalah.

 

Karena kau selalu ingat, bahwa setiap kemenangan yang Yoongi cetak, setidaknya ada satu kurva kecil yang hadir dan membuat perbedaan itu menguar.

 

Tiga tahun sudah kaulewatkan dan hampir seluruh waktunya kau isi bersama Yoongi. Min Yoongi memang dingin, tapi ia merupakan sahabat yang baik untukmu. Dia sangat tenang, mimiknya hampir tak pernah bersahabat, ia terlalu serius dalam berbagai hal dan terlalu menganggap enteng sebuah senyuman.

 

“Jangan bodoh, senyuman itu kebanyakan palsu. Buat apa bersembunyi dalam kepalsuan?” kau ingat, itu adalah kata-kata Yoongi saat kau sedikit khawatir apakah Yoongi mengidap cacat yang membuatnya sulit tersenyum.

 

Selain dingin dan sangat serius, Yoongi juga tipe yang terlalu apa adanya. Dia bukan tipe yang menjaga perasaan orang lain, ia terlalu jujur—kau mengakui bahwa terkadang ada baik dan buruknya sifatnya yang satu ini.

 

“Gambarmu bagus.”

 

“Benarkah?”

 

Kauakui, waktu itu kau nyaris melayang jika saja tangan kananmu tak memegang kursi kayu yang keras dan kausadari, kukumu nyaris patah karenanya.

 

“Ya, bagus. Tapi mirip sekali dengan gambar Jungkook, tidak begitu spesial.”

 

Okay, Min.

 

Yoongi juga tipe yang arogan. Egois, mau menang sendiri, cuek, suka memerintah, tidak mau ambil pusing hingga memusingkan orang lain, benci keramaian, suka menyendiri—

 

—dan tergila-gila pada warna biru.

 

Awalnya kau tak begitu peduli. Warna biru sangat biasa dalam daftar warna favorit laki-laki, tapi—

 

Semuanya berubah saat kata biru menyentuh daun telingamu, telingamu spontan mengingat tiga hal; langit, shooting shirt dan Min Yoongi.

 

Kau masih mengingat, percakapan yang terjadi ketika jam tiga sore dua bulan lalu—ketika kau melihat Jungkook, Jimin, Taehyung dan beberapa anggota tim basket lainnya pulang sambil menatap lantai sekolah, mengumpat berulang kali, dan sekali-dua kali, kau menangkap nama sahabatmu itu disebut penuh emosi.

 

“Kenapa dengan tim basketmu itu?”

 

“Tidak ada.”

 

“Aku melihat Jungkook, Jimin, Taehyung dan yang lainnya tadi. Mereka sepertinya marah padamu, ada apa?”

 

Sejenak, sahabatmu itu berpikir. Kepalanya miring ke kiri, wajahnya menjadi bodoh sekali. Nyaris saja kau tertawa, tapi keinginanmu itu terpaksa kaukurung dalam-dalam karena Yoongi sudah mendapatkan jawabannya.

 

Oh, mereka marah karena aku memutuskan shooting shirt tim kami berwarna biru.”

 

Kau mengangguk. “Memangnya mereka mau warna apa?”

 

“Seperti tidak tahu mereka saja. Jungkook mau warna merah, Jimin dan Taehyung selalu mendukung Jungkook, beberapa mau warna putih. Semuanya jelek, jadi aku pilih warna biru.”

 

Bodoh. Satu kata itu muncul begitu saja setelah penjelasan itu terucap. Kau ingin berargumen sejenak, tapi kautahu, kau akan selalu kalah.

Karena Yoongi yang kaukenal itu egois, arogan, tidak sportif sama sekali, mau menang sendiri, tidak mau ambil pusing, sering memusingkan orang lain, dan terlalu mencintai biru.

 

__

 

“Min, kau ada latihan basket lagi?”

 

Yoongi mengangguk. Sebotol air mineral berpindah dengan cepat, melumuri bibirnya, menyusuri kerongkongannya. Sembari memperkirakan jarak tempat sampah, ia berujar, “memangnya ada apa?”

 

“Tidak ada, aku nonton lagi, ya?” shoot! Yoongi berhasil melemparkan botol itu SERATUS PERSEN TEPAT dan rahangmu nyaris saja terjun bebas jika akalmu tak seratus persen bekerja. Segaris kurva lahir di wajah menyebalkan sahabatmu itu, pertanda bahwa ia merasa ini kemenangan ketujuh belasnya.

 

“Aku nonton lagi, ya?” sedikit jengkel, kau mengulang kalimatmu. Yoongi mengerutkan keningnya, alisnya menyatu, berikut dengan kacamata bulatnya yang sedikit bergeser. Tapi tak lama, ia mengangguk.

 

__

 

“Yoon, shooting shirtnya jelek sekali. Aku jadi malas latihan, tahu.”

 

“Sudah kubilang kan, lebih baik warna putih!”

 

“Wufan, bukannya kemarin kau bilang mau warna hijau?”

 

“Kita jadi terlihat seperti anak kecil.”

 

Hyung, kenapa warna biru?”

 

Kau menggeleng-geleng kecil. Bodoh, Yoongi bodoh.

 

Sementara kau menatapnya dari jauh, obsidianmu bersirobok pada satu laki-laki pendek yang memegang bola basket di tengah lapangan. Sambil menatap tajam seluruh anggota tim, ia memantulkan bola itu dengan keras.

 

TAK!

 

Untungnya, Taehyung berhasil merebutnya, mengantisipasi argumen yang tak akan berakhir jika saja kapten tim mereka itu merasa anggotanya mulai tak berguna—menangkap pantulan bola saja tidak bisa.

 

“Jika memang kalian tidak berniat, keluar saja. Lapangan ini terbuka, tidak ada pintu, kenapa tidak pergi sekarang?”

 

Tanda tanya itu mengakhiri kalimat Yoongi, menyisakan hening sebagai jawaban. Dengan sekuat tenaga, Yoongi menangkap lemparan bola Taehyung, kemudian memantulkannya ke lantai lapangan dengan tenang. Menunggu satu-dua-tiga orang atau bahkan semuanya keluar pun tak jadi masalah untuknya. Tapi nihil, tak ada yang bergerak barangkali sesenti untuk menjauh dari lapangan yang membawa enam belas kemenangan tahun ini.

 

“Tidak ada?”

 

Tanpa melihat wajah mereka, Yoongi terus memantul-mantulkan bola, memasukkannya ke dalam ring beberapa kali, kemudian melakukan pivot hingga tubuhnya berputar seratus delapan puluh derajat—menghadap seluruh anggota timnya yang sedang menunduk, tak berniat melawan.

 

“Angkat wajah kalian,” sahabatmu itu memantulkan bola tiga kali, kemudian melemparkannya ke sembarang arah—yang berhasil ditangkap oleh Jungkook dengan sempurna.

 

Permainan dimulai.

 

__

 

“Tidak ada salahnya sekali-sekali kau mendengarkan mereka.”

 

Sudah pukul empat sore, sungai Han mulai sepi, dan kau cukup terhibur melihat tenangnya air sungai itu mengalir. Sementara Yoongi sibuk menyalin tugasmu, kau tak henti-hentinya melayangkan pertanyaan demi pertanyaan yang kautahu, tak akan pernah menghadirkan kemenangan dalam argumen bersama Yoongi.

 

“Mereka juga perlu mendengarkanku.”

 

“Kau juga.”

 

“Aku kaptennya.”

 

“Ya, kau kapten yang hanya bisa mengeluarkan dan memasukkan anggota tim seenaknya, melakukan segalanya sesuka hatimu, tentu saja,” kau memutar bola matamu. Jengah, tapi selalu tahu diri bahwa kau akan kalah.

 

Yoongi menghela napas, kau dapat mendengarnya dengan jelas. Dari sudut matamu, kau mendapati tatapan dari pria itu. Pria itu menatapmu, dan kau berusaha mengabaikannya.

 

“Mel.”

 

Sedikit tersentak, kau mengingat bahwa Yoongi begitu jarang memanggil namamu. Selalu kau yang memanggil namanya, selalu kau yang mengajaknya berbicara.

 

“Ya?”

 

“Aku memilih biru karena—“

 

“Warna kesukaanmu, kan, Tuan Min?”

 

“Dengarkan aku!” kau tertawa, mendapati Yoongi merengek setengah manja. Dengar baik-baik—setengah manja. “Aku belum selesai!”

 

“Apa, sih?”

 

“Aku memilih biru karena—“ Yoongi mengambil napas sejenak. Sekon-sekon berlalu, kau mulai gusar. Tak ingin lebih penasaran, kau melempar tatapanmu ke samping—

 

—mendapati Yoongi mengeliminasi jarak wajahmu dan wajahnya.

 

“—karena biru itu aku, Mel.”

 

Biru itu tenang, sama seperti air sungai Han yang kauobservasi satu jam lamanya.

 

Biru itu dingin, sama seperti rintik hujan yang menghantarkan banyak orang pada melodi sedih perambah airmata.

 

Biru itu tegas, sama seperti genangan air yang pasti mengikuti wadahnya. Tak pernah melebihi, karena ia mengerti dirinya sendiri.

 

Biru itu arogan, kokoh, tak terguncangkan, seolah gunung yang berdiri tegak dan tak ingin goyah. Tak ingin digoyahkan.

 

Biru itu tenang, dingin, tegas, arogan, kokoh—punya lebih dan kurangnya, namun biru itu sederhana.

 

Sesederhana langit yang tak pernah mengakui bahwa ialah yang tertinggi—kendati itu fakta dan tak satu pun dapat mengingkari.

 

Biru itu dia.

 

Biru itu Min Yoongi.

 

__

 

Hari demi hari berlalu, kau mendapati segalanya masih sama. Biru selalu mengingatkanmu pada tiga hal; langit, shooting shirt dan Yoongi.

 

Kau tersenyum. Mendapati tiga hal yang mengingatkanmu pada warna biru itu terangkum dalam pemandangan di depanmu, justru menjadi satu hal favorit untukmu. Min Yoongi dengan shooting shirt biru, bermain basket di bawah terik matahari dan langit biru.

 

Kendati warna favorit Yoongi adalah biru dan itu fakta yang tak tergantikan, kau tak pernah berniat mengganti warna favoritmu. Merah dan ungu selalu masuk dalam daftar, kau tak berniat mengubahnya. Tapi—

 

—siapa yang tahu, kau tiba-tiba memiliki keinginan untuk memasukkan Min Yoongi dalam daftar favoritmu?

 

Siapa yang tahu tentang fakta jantungmu yang sering kali berdetak abnormal sejak Yoongi dengan tiba-tiba mengeliminasi jarak, menyisakan beberapa senti hingga hidung kalian bertemu?

 

Siapa yang tahu tentang fakta bahwa kau menyukai Yoongi ketika ia menggunakan kacamatanya atau tidak, ketika ia menggunakan shooting shirtnya atau dengan seragam culunnya, ketika ia menggenggam basket atau buku Matematika, ketika—

 

—pendeknya, siapa yang tahu kau jatuh cinta pada sahabatmu sendiri, setelah tiga tahun bersama?

 

Bahkan kau pun tak mengetahuinya. Kau terlalu takut memikirkannya, terlalu takut mengakuinya.

 

Yoongi tampan. Kau mengakuinya, sepenuh hatimu.Wajahnya lumayan juga, sikapnya padamu lebih hangat daripada sikapnya dengan perempuan lainnya. Apa salah jika kau memupuk harap?

 

Apa salah jika kau jatuh cinta pada sahabatmu sendiri?

 

Kau baru mulai berpikir, dan segalanya lantas terjawab ketika Yoongi menyelesaikan latihannya tepat pukul tiga, sore itu. Ia berlari kecil menuju bangkumu, meraih air mineral dan meneguknya hingga tandas. Sekon selanjutnya ia terjatuh di sampingmu. Napasnya naik-turun, bau keringat bercampur parfum kesukaan Yoongi mendominasi indra penciumanmu, tapi tak masalah, kau menyukainya.

 

“Mel,”

 

Jantungmu berdegup kencang. Panggilan Yoongi adalah panggilan favoritmu, entah sejak kapan.

 

“Ya?”

 

“Sepertinya, aku menyukai seseorang.”

 

__

 

Faktanya, kau melupakan satu hal tentang warna biru. Kau baru mengingatnya saat pertemuan waktu itu—ketika Yoongi menanyakan mengapa kau menghindarinya seminggu lalu.

 

“Tidak apa, Yoon. Aku baru mengingat satu hal.”

 

Yoongi diam, tak berniat memotong pembicaraanmu, kau mengerti. Kendati tak berkomunikasi seminggu lamanya, kau selalu mengerti semua tentang Yoongi.

 

“Dulu, biru mengingatkanku pada tiga hal. Langit, shooting shirt, dan—“

 

“Kau, Yoongi.”

 

Rahang Yoongi mengeras. Kau mendapati tatapan bingung bercampur waspada saat kau menghela napas.

 

“Sekarang, aku mengerti, biru bukan hanya tentang tiga hal sederhana itu.” Kau melayangkan senyum pahit. Tawa sumbang kau kirimkan, memberi jeda kosong khusus untuk percakapanmu dan Yoongi, kali ini.

 

“Apa lagi, memangnya?”

 

Suara Yoongi pelan. Nyaris terdengar seperti bisikan untukmu, dan kau masih menyukainya.

 

“Kau ingat pelangi, Yoon?” kau tersenyum kecil. “Me-ji-ku-hi-bi-ni-u.”

 

“Kau masih seperti anak SD, rupanya,” Yoongi tertawa, dan kau menyadari itu bukan tawa biasanya. Bukan tawa yang menjadi favoritmu setiap kau mendengarnya. Sama, itu tawa sumbang seperti yang kaukirimkan.

 

“Di sana, ada warna biru juga, kan?”

 

Yoongi mengangguk.

 

“Tapi kita tak pernah sadar, ada warna biru di sana.” Kau tersenyum, semakin pahit. “Bukan karena ia kalah terang, namun ia tersamarkan oleh biru langit yang tak pernah menginginkannya. Karena ia merasa, ia cukup, dia tak perlu teman yang sama lagi, bukan?”

 

Sudut matamu meremang, namun sekuat tenaga kau berusaha menahannya agar tak lolos, menghancurkan kokohnya figurmu yang sudah berusaha kaubangun. Kau tak berani melirik sahabatmu, karena kau terlalu lemah untuk itu. Dengan perlahan, kau menepuk bahunya.

 

“Aku mendengar kabarnya, Yoon.” Kau tersenyum gugup. “Selamat, kau dan Hyejoo memang sangat cocok. Dia cantik, kau tampan. Aku baik, kan? Aku masih memujimu dengan ucapan yang sangat baik,” kau tertawa. Tawa kecilmu itu semakin mengecil di setiap detiknya.

 

Sembari merogoh sakumu, kau berujar pedih. “Mungkin kau sudah mengetahui hal ini lama, tapi ada baiknya kau mengetahui faktanya langsung.” Dengan cepat, kau meletakkan satu lipatan kertas dalam lipatan tangan Yoongi. Setelahnya, kau memutar tubuhmu seratus delapan puluh derajat. Bisikan terima kasih yang nyaris tak terdengar terucap, bersamaan dengan rintih hujan dalam matamu. Mengabaikan Yoongi yang telah membaca suratmu, kau berlari tanpa tahu ke mana kau harus melangkah.

 

‘Yoongi, jika aku mengatakan aku menyayangimu melebihi seorang sahabat, apa semuanya akan baik-baik saja?’

 

__

 

Pada akhirnya, kau menyerah.

 

Mendapati Yoongi dan Hyejoo yang berdiri di tengah lapangan basket, kau mendapati segalanya terlalu jelas. Ini akhirnya, ini akhir yang kautemukan, setelah berlama-lama mencari dan meraba.

 

Obsidianmu bersirobok pada Yoongi yang tertawa, sementara Hyejoo yang merengut dengan shooting shirt Yoongi pada badannya. Kau tak cukup kuat untuk berkata kau baik-baik saja, tapi—

 

—melihat Yoongi bahagia, itu cukup untukmu.

 

Dan di sinilah kisah itu berakhir. Di bawah langit yang sama, dengan degup yang masih sama.

 

Min Yoongi, berbahagialah.

 

F I N

 

OKEFIKS INI GAJELAS WKS

Aku ngerjainnya 2 jam dari jam 9-11, AHAHAHA

Ditunggu komen-komennya :v

BTW HEPI ANNIV YAK BTSFFI!! Makin+++

 

 

 

21 pemikiran pada “[What is Your Color?] Three Things – Vignette

  1. Astaga pelin….
    Kamu denger ga suara gemeretak hati aku?
    HEUUUU MIN YOONGIIII W SUMPEL KAOS KAKI BARU NYAHOOOO!
    Kenapa harus berakhir begini agh aku ga sanggup. Ini tuh baper nya crazy level…….
    /pergi menghilang/

    Suka

  2. sabar sabar doh.
    kretek kretek gitu rasanya vel😂 tapi keren sungguh, gimana dapet ide pake warna ginii kerenn👌
    amel.. amel sabar ya /pukpuk diri sendiri/
    haha pokoknya keren dah, ga ketebak jalan ceritanya👊

    Suka

  3. Biru…identik dg air kan…dan knp endingnya air mata si “kau”… Kasian…
    4 the first time i say…suga oppa kau kejam..
    Ahra eonni

    Suka

  4. Feelnya dapet kakaq:*
    ‘Kau’nya berasa di sini:(
    Dan sekarang punya kesan yang jelas banget buat mas yoongi:(
    Huaa baperr

    Suka

  5. Ngga disangka-sangka, Yoongi sukanya sama Hyejoo ya
    Kupikir sama Amel loh
    Penjelasan mengenai warna birunya juga bagus
    Ini serius dua jam? Bagus loh T^T sampai terhanyut~

    Suka

    • Makasih banget reviewnyaa kak! Btw salken, Velyn 02L heree 😀 jangan bosen2 baca FF bocah inii yaa kak wkwkwk

      (( maaf baru balas commentnya ))

      Suka

  6. Jadi ‘mu’ itu yang baca, ‘mel’ itu yang baca jadi yoongi punya pacar terus mel/mu itu suka sama yoongi tapi ternyata yoongi udah punya pacar, jadi hal yang biru menurut mel/mu selanjutnya adalah kesedihannya atau apalah yang jelas itu… /komenna apa ini gajelas/

    AAAAAAKKKKK LOVE IT suka banget keep writing kakkkkk!❤️

    Suka

Leave a Review