[What is Your Color?] Anagapesis – Vignette

[4th Event_ What is Your Color] Anagapesis

Anagapesis

by Naulia Kusuma

[BTS’] Kim Taehyung x [OC’s] a girl

AU!Angst, Dark, Poetry, Psychology, Romance, Surrealism │ Vignette │ PG-15

Disclaimer: Just own this plot.

Summary:

“Sayang…, semata-mata kulakukan ini atas nama kasih sayang murni. Sebab, dia tak layak untuk disakiti, jadi jangan genapi lukanya dengan dibagi. Sesungguhnya, dia menanti satu cinta yang sanggup memiliki, bukan malah dibelah dua kali. Dan bukankah tak ada yang salah bila dalang dari kemunafikan ini harus dibasmi?”

.

.

.

 

Sejak hidup menginfeksi kita untuk berbenah dari seberantak masalah, sejak itu pula kita mulai ditangguhkan dengan sikap tabah. Bersembulanlah sebuah kesepakatan, tujuan yang mengelupas kemasan utuh dalam diri kita agar bisa terjamah. Merancang sewujud menara agar julangan perasaan kita punya ruang untuk merekah memang tak pernah salah, meski kutahu suatu saat ruang yang berlandaskan fondasi mantap itu akan membutakan arah. Di dalam kepala, di setiap mimpi, miliaran bongkahan warna bergelantungan di langit-langit dan menunggu momen terbaik untuk pecah. Cukup kupilih satu warna yang mampu mengungkung sebersit takjub, untuk kubalurkan pada sepetak dinding ruangan saat sekelumit kesadaran naluriah datang menjelajah. Akan kupastikan tiada ceruk bibir yang boleh menyanggah. Dan ke dalam pelukanku, kamu yang ditudungi perasaan searah akan merebah─sebagai tanda bahwa aktualisasi kejujuran telah menggusur gelisah. Konsep hubungan mutual yang kamu tafsirkan sebagai mahakarya istimewa─yang menggugah degub alami kehidupan untuk ikut menambal setiap celah, memapah kita untuk sering mencetaknya satu demi satu ke dalam perkamen sejarah.

            Sebelum terlelap di pelukku, kamu terus bertanya mengenai benda apa yang pantas menjadi sentral di dalam ruangan yang kelihatannya ngeri. Tanpa ragu kujawab kegusaranmu, benda itu berupa gumpalan kecil yang lebih halus dari serat sutera, yang bersandar lekat pada bentangan tembok tebal mendaki. Sekilas tampak rapuh, tapi tak bisa meluruh dengan mudah meski disentil dengan jari. Dia yang diberi nama ‘hati’ oleh Sang Ilahi. Dibungkus dan disimpan rapi dalam jasad ini. Tampak sederhana di antara guyuran warna merah pekat, kurang berdimensi, apalagi minim susunan gradasi. Tertelungkup damai di sekitar sesamanya yang ribut sendiri. Dia bertutur teramat santun menggunakan bahasa unik yang hanya dapat dipahami nurani. Setiap bisikan yang menggelontor membuat tubuhmu ingin terantuk kembali ke dalam buaian mimpi. Bahkan, setengah dirimu ingin tetap meringkuk di pojok ternyaman demi leluasa menikmati, sampai enggan kamu perintahkan kedua tungkaimu untuk menghambur pergi. Mari kutuntun kamu menguncinya dengan janji, agar si merah hati tak lekas berloncatan menuju batas garis usai tanpa pretensi.

            “Jadi, hati adalah sangkar dari perasaan yang kita cipta,” ucapku. Lantas kamu mengamini semua baris penjelasanku mengenai hati dengan senyum merayu. Untuk ke sekian kali aku terbentur oleh auramu, kurasa perlu melengkapi semarak bahagiaku dengan satu cumbu. Bukankah kamu rela berlama-lama menyamar jadi batu untuk itu? Ya, aku tahu, betapa kamu kerahkan segala usaha agar seutas perasaan tak kasatmata bisa bertemu.

            Duhai Sayang, di palung terdalam hati, perlu diselundupkan seperangkat perasaan yang bernama cinta. Dan sebaiknya cinta yang terlanjur dipersembahkan harus dijauhkan dari seluruh pikiran bodoh, kekhilafan, cemooh, agar eksistensinya tetap terpelihara. Biar jiwa kita yang semula berangkat beda jalur bisa selamanya berjumpa. Biar setiap inci perjalanan yang kita bayar mahal tidak terbuang sia-sia. Biar kita selalu terhubung layaknya liukan aksara di setiap bait-bait puisi yang tak pernah jenuh dibaca. Biar kejujuran tertinggi dari kasih sayang akan terus terasa. Biar kubangan merah setengah beku yang menyelaputi hati akan mencair, lamat-lamat mengalir dan bertumpu pada satu muara.

Merah; cukup diwakili satu warna.

Merah yang bagimu sungguh romantis, merah yang selama ini kamu damba. Merah yang malah bagiku sederhana, merah yang kuharapkan tak sungkan bersuara tentang jati dirinya kepada dunia. Merah yang berasosiasi dengan jalinan rumit mengatasnamakan cinta, namun merahlah yang menggundukkan ranjau sarat bahaya─suatu saat tak segan untuk meledakkannya tanpa aba-aba. Ya, campuran palet merah yang membungkus hati punya beraneka cara untuk mengedutkan urat kewarasan kita. Mendamparkan diri kita di hamparan laguna tak dikenali, dan kita masih menebak-nebak kekuatan magis macam apa yang menyokong segalanya.

Terkadang, aku ingin berhenti melirikmu barang sejenak demi mengangankan sebidang langit luas yang kuinterpretasikan sebagai jatah kebebasan. Aku ingin berhenti tergila-tergila padamu layaknya aku berhenti menonton gugusan bintang utara yang menghelat tarian. Aku ingin segera mengemasimu layaknya barang utuh dalam pajangan. Bila perlu aku tak mau bersusah payah mengiming-imingi kamu dengan nikmatnya peluk-cium, hingga bagian dirimu yang merasa paling membutuhkanku akan menyiratkan ketidakrelaan. Tapi, entah kenapa, sulit sekali memercayai bahwa kita akan memutuskan detik berikutnya untuk usai dan memusnahkan segala harapan. Bahkan, tanganku seakan melepuh oleh siksa apabila harus menimbun kisah kita rapat-rapat, dan meratakan ujungnya yang membukit jadi kenangan. Aku takut, apa pun yang melintas di pikiranku sungguh mengerikan. Aku juga takut kalau akhirnya singgasana yang kita bangun berubah jadi reruntuhan yang terabaikan. Barangkali, itulah sebabnya, aku tak bisa memastikan apakah kita masih setia bertahan atau malah menunda perjalanan. Ya, tepatnya, aku belum sanggup berbagi kesedihan dan rasa kesendirian.

            Namun, saat mengeja perasaan lewat kanal merah yang terus mengalir, kudapati serangkum isyarat yang terperangkap dalam sebentuk ruang kumal berdebu yang dulu kita reka, tak terhitung banyak riwayat di dalamnya yang berkelana dengan rapat. Riwayat tentang sesuatu yang berkarat sebelum aku sempat merawat. Tentang rasa paling hangat apabila diucapkan dengan kata-kata yang tepat. Yang lekas dibebat sekalinya diriku terjerat. Ya, sesuatu itulah si merah hati─pemersatu rasa─pemangkas jarak yang jauh menjadi dekat. Pada akhirnya, kutahu kamulah pembohong ulung yang lebih dulu berkhianat. Kamu yang dengan tega membiarkan dia kebingungan sendiri menyisir alamat, hingga dia berteriak-teriak putus asa karena tersesat. Dulu, kamu yang paling semangat begitu mengikrarkan kalimat sepakat, untuk senantiasa menjaga keutuhannya sebelum dunia dikerubungi gulita karena kiamat. Kamu… layaknya semburan racun mematikan yang menggelondoti segenap sel di tubuhku dengan sensasi luar biasa, nyaris membuatku mengecap proses sekarat. Tapi, aku masih sanggup bernapas oleh sisa cinta yang mendekapku erat.

            “Kupikir, kamu tetap jadi sosok berkarisma yang paling disegani. Tapi kamu berubah, kamu tidak lebih dari singa gurun yang kelaparan.” Berkata-kata kamu di hadapanku dengan topeng sendu yang menirai wajahmu. Cih, aku sudah hafal betul trik penyamaranmu. Apa, sih, yang kamu andalkan dengan menipu? Bermodalkan sorot mata sayu, suara parau yang menusuk rungu, wangi bunga yang mengudara dari badanmu, apa lagi yang belum kutahu? Bahkan, diam-diam kamu mengirimkanku abu sisa kebohonganmu─menghablurkannya sampai memuramkan fajar mataku.

            Lama baru aku menyadari bahwa kamu menggiringku bukan membiarkan sepasang kaki ini melangkah beriringan denganmu lagi.

            Lama bagiku mengais nyali untuk menengok ke belakang, menghitung setiap butiran air mata yang mengalir mubazir, menandai lekukan jalan terjal yang menangkis kebuntuan kosakata kala kamu terlambat mengucap kata maaf yang seharusnya terucap, menganalisis seluk-beluk hubungan yang dibiarkan merambat liar tanpa terpelihara, dan memburu mata lain yang meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. Inikah yang namanya cinta dengan keteraturan yang kita alami? Tidakkah bukti konkret dari pengalaman menginvestasikan perasaan yang selama ini kita jalani menyedihkan sekali? Sayang, pemahamanku mengenai dirimu telah mendaki titik kulminasi. Aku tahu, ketakutan untuk berlaku jujur membuatmu berevolusi jadi manusia skeptis yang tak bisa menoleransi hati.

            “Sayang…, semata-mata kulakukan ini atas nama kasih sayang murni. Sebab, dia tak layak untuk disakiti, jadi jangan genapi lukanya dengan dibagi. Sesungguhnya, dia menanti satu cinta yang sanggup memiliki, bukan malah dibelah dua kali. Dan bukankah tak ada yang salah bila dalang dari kemunafikan ini harus dibasmi?”

            Jangan tersinggung bila sebilah belati ini ingin merasakan hangat temperatur kulitmu, ingin meluncur di hamparan surai berkilap yang selembut beledu, ingin mencumbu ruang keruh tempat hatimu selalu menunggu, ingin membiarkan kecemasan yang menyumbat otakmu menggulir tanpa ragu, sehingga kamu tak lagi merasa terganggu. Dan aku selalu menempatkan diri di jajaran terdepan untuk menyita detik-detik yang kamu perintah bolak-balik tanpa aturan, supaya aku bisa menggiringmu untuk terpilin masuk ke dalam pelukku. Aku berani jamin kamu senantiasa akan berada di situ, tidak boleh seorang pun menggugatmu untuk lengser dari kedudukan itu. Karena suatu masa siluetmu yang bergeming sempurna akan pertama kali kutemui ketika aku merindu.

            Mungkin, sampai kapan pun, alasan dari kegilaan ini tak akan pernah kupahami. Kita sama-sama tahu, semua tindakan berdasarkan rasio dan akal atau tidak, pasti ada konsekuensi. Saat salah satu di antara kita lebih condong berjalan sendiri─tanpa ada usaha untuk menyeimbangkan, kusangka bakal ada jiwa yang melolong tak terima dengan kekeruhan ini. Aku, tanpa terkecuali.

            Kini, izinkan aku menyusulmu bersama samudra tak berbatas yang dialiri fluida merah kental, dengan sepasang mata terkatup permanen oleh mimpi. Kususut air matamu dengan kecupan untuk terakhir kali. Tanganmu yang bertaut dengan tanganku tak bisa kamu tarik ulur lagi, biarlah sebagai bukti bahwa dulu kita pernah mengikrarkan janji sehidup semati.

Duhai Sayang, mari kita berkejaran di sepanjang ruang hati. Dan bila hari esok menanti, jangan gentar untuk mengakui bahwa cinta ini belum mati, sekalipun perih dari goresan luka tak terobati.

.

.

.

Ketidakpastian menjejakkan begitu banyak teka-teki. Tentang kamu, aku, dan hati, adalah bagian tak terpisahkan dari misteri.

.

.

.

[end]

 

Cuap-cuap penulis:

ANAGAPESIS

(n.) falling out of love; the feeling of not loving someone or something once loved.

15 pemikiran pada “[What is Your Color?] Anagapesis – Vignette

  1. dan komenanku kepotong T.T
    sajaknya juga keren sekaliiiiii T.T sungguh kata2nya indah banget… aah sudahlah bagus banget banget banget pokoknya kak huehe ^^ btw kenalkan kak aku hyeon, maaf nyampah kkk~ keep writing ^^

    Suka

  2. uwaaah(?) hai kak, ini kerennnnnnnnnnnnn plus plus plus T.T speechless bacanyaaa uwaaa terbawa angiiiiin(?) hehe, sumpah kak ini diksi dan majas beterbangan ><

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Naulia Kusuma Batalkan balasan