[What is Your Color?] Blue Spectrum – Oneshot (tsukiyamarisa)

Blue Spectrum - tsukiyamarisa

Blue Spectrum

.

written by tsukiyamarisa

cast(s) [BTS] Suga with [BTS] Jimin and [OC] Park Minha length Oneshot (4,9k) genre AU, Life, Family, Friendship, slight!Surrealism rating 17

.

.

blue;

represents freedom, trust, sincerity, wisdom, serene, and friendly;

but also melancholy, sadness, loneliness, mourning, mysterious, and cold

.

.

Orang bilang, laut dan langit menyimpan banyak misteri.

Min Yoongi pernah berpendapat lain.

Lelaki itu bahkan bisa dengan bangga berkata bahwa ia memahami laut dan langit, lantaran objek-objek itu adalah perumpamaan yang ia berikan pada dua orang terpenting dalam hidupnya. Laut yang pendiam dan menenangkan, tetapi ombaknya terkadang dapat berayun penuh semangat dan tak terduga. Pun dengan langit yang membentang dan cerah, yang mampu menghadirkan rasa bebas serta senyuman dalam hidup.

Oh, kalian pasti menganggapnya berlebihan, bukan?

Well, Min Yoongi tidak peduli.

Ia toh punya cerita sendiri, kisah yang mungkin kalian anggap klise atau bagai drama. Ia juga punya pemikiran dan cara pandang sendiri, yang bisa jadi tak akan mudah dipahami atau malah dianggap aneh. Apa pun itu, Yoongi tak akan ambil pusing atau sok-sokan berpolah acuh.

Lagi pula, ini hidupnya.

Dan satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah sedikit membagi kisahnya dengan kalian.

.

-o-

.

“Tahu tidak, kalau kamu mengingatkanku akan laut?”

Satu konversasi dibuka, kendati saat itu keduanya sedang berada di bus. Duduk bersisian, mengamati beberapa penumpang yang baru saja turun di halte terdekat. Sama sekali tak ada pemandangan yang berhubungan dengan laut, sehingga sang gadis yang baru saja mendapat pertanyaan pun sontak menjungkitkan alisnya.

“Kenapa tiba-tiba?”

“Hanya pikiran sekilas,” jawab Yoongi sambil mengulum senyum, manik bergulir untuk menatap Minha. “Maksudku, kamu suka warna biru. Dan dari semua objek yang ada, menurutku laut pas untukmu.”

“Bukan langit?”

“Kurasa langit lebih tepat untuk kakakmu.” Yoongi mengedikkan bahu, sementara Minha memajukan bibirnya. Sukses mendorong Yoongi untuk mengulurkan tangannya, mencubit pipi tembam sang gadis sekilas sebelum melanjutkan, “Kamu lebih pendiam. Lebih tenang, walau bukan berarti kamu tidak bisa bertingkah penuh semangat. Dan lagi, tidak semua orang bisa selalu melihat atau mengunjungi laut. Sama sepertimu. Tidak semua orang bisa masuk dalam hidupmu, bukan?”

Penjelasan itu berbuah anggukan singkat dari Minha, juga sudut-sudut bibir yang terangkat selagi ia mendalami makna di balik kata-kata Yoongi barusan. Kepala ditelengkan, seraya ia membalas, “Kurasa kamu benar.”

“Tentu saja aku benar.”

“Dan Kak Jimin seperti langit karena dia lebih terbuka? Lebih mudah untuk bergaul dan disukai banyak orang?”

“Kurang lebih seperti itu,” sahut Yoongi, tapi lekas-lekas menambahkan, “hanya saja, bukan berarti langit lebih baik dibandingkan laut atau semacamnya. Dua-duanya adalah favoritku, omong-omong.”

“Jadi, kami berdua adalah favoritmu?” Minha menyimpulkan, mengangguk-angguk puas. “Kurasa itu bisa diterima.”

Tanggapan Yoongi adalah kekeh tawa, selagi ia melingkarkan lengan pada pundak Minha. Secara tak langsung mengiakan pertanyaan sang gadis barusan, kendati otaknya saat ini memikirkan sesuatu yang lain. Oh, Min Yoongi tentunya tidak membuat perumpamaan itu tanpa alasan, bukan? Ada memori yang tersimpan di dalam sana, yang mendorongnya untuk kembali membuka mulut dan bergumam, “Ingat saat kali pertama kita bertemu? Mungkin, itu yang membuatku berpikir demikian.”

Hening menyapa, tetapi reaksi Minha sudah mengatakan segalanya. Gadis itu serta-merta menoleh untuk bersitatap dengan Yoongi, mengunci kontak mata mereka selama beberapa detik. Ada sekelebat kenangan yang melintas, tercermin jelas dari kilau sendu yang mendadak tercipta. Tak mungkin kalau gadis itu tidak ingat, lantaran….

Yeah, itu masa-masa yang berat.”

Itu memang masa yang berat, batin Yoongi lekas menimpali, mengiakan tanpa vokal. Seolah satu kalimat itu mampu melemparkannya kembali ke masa lalu, pada saat ketika ia melihat Jimin melakukan pertunjukan jalanan. Kali pertama itu, Yoongi ingat bagaimana dirinya mendadak tertarik untuk berhenti sejenak dan menonton. Abaikan tubuhnya yang lelah akibat kerja paruh waktu di berbagai tempat, juga fakta bahwa sebenarnya ia tak begitu suka dance. Ia tetap berhenti di sana, bersama kerumunan manusia lainnya yang menyesaki trotoar.

Walau pada saat itu, Yoongi bersikeras mengatakan bahwa ia hanya tertarik dengan musiknya.

Irama serta tempo yang mengalun mengikuti gerakan-gerakan Jimin memang mengasikkan, memaksa dirinya untuk ikut mengangguk-anggukkan kepala sembari mencari inspirasi membuat lagu. Namun, seiring berjalannya waktu, Yoongi tak bisa berbohong. Lelaki yang tengah menari demi mendapatkan uang dari para penonton itu memang berbakat, dan setelah beberapa kali menyaksikan pertunjukannya, Yoongi merasa bahwa ia perlu mengajaknya berbicara.

Lagi pula, Yoongi sedikit merasa bersalah lantaran selama ini ia menonton tanpa memberi kompensasi apa-apa.

Jadilah ia menghampiri Jimin setelah pertunjukan berakhir, mengajaknya berkenalan dan bertukar konversasi ringan. Yoongi ingat kalau ia sempat mengajak lelaki yang lebih muda itu untuk makan malam bersama, kendati definisi makan malam di sini adalah memenuhi perut dengan jajanan ringan dan camilan jalanan. Yah, setidaknya, itu adalah cara Yoongi untuk menunjukkan apresiasinya.

Hanya saja, ia tak menyangka kalau Jimin akan menolak.

Tidak hari ini. Aku harus segera pulang. Mungkin lain waktu?”

Tentu tak ada yang bisa Yoongi lakukan selain mengangguk—mereka juga masih asing dan belum memahami hidup satu sama lain. Pikirnya, ia toh bisa mengulangi ajakan itu esok hari. Terdengar wajar dan masuk akal, mengingat seseorang cenderung untuk menaruh curiga pada orang lain di zaman seperti ini.

Sampai hari esok tiba, seminggu berlalu, dan Jimin tidak muncul dalam jangka waktu tersebut.

Bohong kalau Yoongi berkata bahwa ia merasa cemas. Untuk ukuran dua orang yang baru satu kali bertukar obrolan, kejadian macam ini wajar adanya. Bukan suatu beban yang harus dipikirkan, bukan pula sesuatu yang akan berpengaruh pada hidupnya. Tapi, sama seperti manusia lainnya, Yoongi kadang lupa bahwa takdir bisa berbuat lain.

Mereka kembali bertemu, pada satu suasana yang amat tidak biasa.

Sore itu, Yoongi baru saja melangkah keluar dari restoran tempatnya bekerja paruh waktu. Kedua lengan pegal akibat mencuci tumpukan piring dan mangkuk kotor, sehingga yang ia inginkan hanyalah cepat sampai ke gedung flat tuanya untuk tidur. Namun, belum sempat Yoongi menjalankan niatan itu, seseorang sudah lebih dulu menerjangnya. Nyaris membuat sang lelaki mengeluarkan makian akibat rasa berdenyut di pundak, sementara sosok yang menabraknya buru-buru menghentikan langkah dan membungkuk berulang kali.

“Maaf, maaf. Aku sedang buru-buru dan—”

“Park Jimin?”

Realisasi itu berbuah panjang, sesuatu yang bahkan tak disangka Yoongi sebelumnya. Kepanikan Jimin bagai sesuatu yang membuat ia lupa akan rasa lelahnya, yang membuat Yoongi mendadak rela berlarian demi membantu Jimin mencari seorang gadis. Ia saudari kembarku, begitu kata Jimin. Ia satu-satunya yang aku punya, dan aku tidak bisa membiarkan apa pun terjadi padanya.

Maka, Yoongi pun menurut. Memutuskan bahwa tawaran makan malam kala itu mungkin bisa diganti dengan sebentuk bantuan, mengira kalau uluran tangan yang ia berikan adalah sesuatu yang normal dan biasa-biasa saja. Yoongi tak pernah membayangkan jikalau hidupnya akan berubah setelah ini, sampai ia menemukan gadis itu berdiri di sebuah jembatan.

Sembari menggunakan sebelah tangan untuk mengetikkan pesan, Yoongi pun melangkah mendekati gadis itu. Menyaksikan bagaimana surai sebahunya bergerak karena embusan angin, kedua telapak tangan mencengkeram rangka besi jembatan, sementara tatapnya tertuju pada permukaan air di bawah sana. Ia sama sekali tak menoleh kendati Yoongi kini sudah berdiri di sisinya, seolah eksistensi lelaki itu bagai daun kering yang tak pantas diacuhkan semata.

Berdeham pelan adalah cara Yoongi untuk menarik atensinya.

Eum, apa benar kamu… adiknya Jimin?

Tidak ada jawaban. Hanya suara deru kendaraan yang terdengar, berpadu dengan suara klakson serta keramaian kota yang samar. Gadis itu masih tetap geming, enggan menatap Yoongi sampai-sampai sang lelaki mulai merutuki dirinya sendiri. Bagaimana kalau ia salah orang? Mungkin ia kurang jeli dalam mengamati foto yang ditunjukkan Jimin tadi, sehingga ia akan berakhir mempermalukan diri. Kalau begini caranya, lebih baik ia—

Minha-ya! Aku kan sudah bilang, kamu tidak akan pernah sendiri di dunia ini!”

Memecahkan kecanggungan, seruan itu terdengar seiring dengan kehadiran Jimin. Napas terengah-engah, tetapi ia sama sekali tak berhenti sampai tiba di samping adiknya. Kedua lengan otomatis terjulur untuk merengkuh sang gadis erat-erat, tak peduli kendati ia sama sekali tak mendapatkan balasan. Mereka tetap bertahan dalam posisi itu selama beberapa sekon; Jimin berulang kali menyatakan kelegaannya, sampai ia menyadari kehadiran Yoongi yang masih diam terpaku.

“Oh, dan terima kasih banyak, Hyung! Maaf kalau aku merepotkan—”

“Dia siapa?”

Memotong ocehan Jimin, Minha menarik diri dan melemparkan sorot ingin tahu ke arah Yoongi. Membiarkan wajahnya terlihat secara jelas, menunjukkan sisa-sisa air mata yang masih ada di lengkung pipinya. Suatu pemandangan yang entah mengapa langsung mengingatkan Yoongi akan lautan sepi yang terabaikan, yang menyimpan banyak rahasia dan membuatmu diserang keputusasaan. Semua itu sukses membuat sang lelaki tertegun sejenak, bibir sedikit terbuka tanpa ada perkenalan yang meluncur keluar.

Kak?”

“Ah. Yoongi. Min Yoongi. Kamu bisa memanggilku begitu.”

“Dia membantuku, Minha-ya,” sahut Jimin cepat, menjelaskan segalanya. Bagaimana mereka bertemu di tiap akhir pertunjukan Jimin, bagaimana Yoongi sempat mengajaknya makan malam, serta bagaimana mereka tak sengaja bertemu lagi. Jimin membeberkan segalanya: berkata bahwa ia sengaja menunjukkan foto Minha pada Yoongi, serta memberikan nomor ponselnya pada lelaki yang lebih tua. Semua itu ia lakukan demi sang saudari, demi menghentikannya dari satu perbuatan yang akan berakibat fatal.

Tapi aku tidak butuh—”

“Itu hanya mimpi buruk, oke? Aku tidak akan pergi, Park Minha. Jadi, jangan berpikiran untuk meloncat lagi!”

Dari tempatnya berdiri, Yoongi bisa melihat bagaimana bibir gadis itu terkatup rapat sementara rahangnya mengeras. Wajah dipalingkan agar ia tak perlu bertukar pandang dengan Jimin, tetapi Yoongi dapat merasakan takut dan cemas yang menguar. Sesuatu yang tanpa sadar membuat ia ikut merasa sesak, mendadak teringat akan hidupnya sendiri yang juga tak mudah.

Sekarang, ayo kita—”

“Tawaran makan malamnya masih berlaku,” ucap Yoongi, menyela obrolan sepasang saudara itu dengan maksud mengusir kesuraman. “Kalau kalian mau.”

Yoongi kemudian berbalik, mulai berjalan menjauh dengan langkah-langkah kecil. Sengaja melakukan hal tersebut, sampai ia mendengar dua orang itu mengikutinya. Mereka memang masih menjaga jarak dengan Yoongi, berdebat dalam bisikan dan gumaman. Tetapi, detik itu juga, Yoongi tahu bahwa hidupnya mungkin tak akan pernah sama lagi.

Ia benar.

Pertemuan sore itu membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, pada berbagai macam obrolan serta kisah mengenai hidup. Ketiganya tak butuh waktu lama untuk mengakrabkan diri, seolah kerasnya dunia mampu berperan sebagai lem perekat yang menyatukan persepsi dan pendapat. Lagi pula, mudah saja bagi mereka untuk saling memahami—Yoongi sudah sebatang kara sejak tiga tahun lampau, sementara Jimin dan Minha sengaja kabur dari rumah karena memiliki orang tua yang ringan tangan.  

Bahkan, bisa dibilang, hidup mereka menjadi lebih baik setelah saling bertemu.

“Kita mau makan apa malam ini?”

Seperti saat ini misalnya.

Mengikuti Minha yang sedang menuruni undakan bus, Yoongi menundukkan kepala sekilas untuk berterima kasih pada si pengemudi sebelum mengalihkan perhatiannya. Menunggu sampai deru kendaraan itu terdengar samar, sebelum membuka mulutnya untuk berkata, “Katanya mau buat nasi goreng? Atau kita pesan sesuatu saja untuk malam ini?”

“Kalau kamu tidak keberatan dengan pilihanku, aku akan memasak,” sahut Minha. “Aku sedang ingin membuat sesuatu dan—”

“Oke,” potong Yoongi, cepat-cepat mengiakan seraya ia menyeret Minha ke arah gedung flat mereka. Ujung-ujung bibir berjungkit naik, lega karena ia tak perlu mengingat-ingat kenangan itu lagi. Yang lalu biarlah berlalu, terlebih karena satu-satunya hal yang ia pedulikan saat ini adalah suara keroncongan di perutnya.

“Kalau begitu, sebaiknya kita lekas pulang. Aku sudah sangat lapar, omong-omong.”

.

-o-

.

“Liburan ke pantai?”

“Jalan-jalan saja. Kurasa akan menyenangkan, melepas penat dan melupakan realita barang sejenak. Benar begitu?”

Yoongi memilih untuk tidak menjawab, melempar pandang ke arah Minha yang sedang sibuk memasak. Gadis itu pasti bisa mendengar percakapannya dengan Jimin barusan, dan Yoongi ingin menunggu responnya lebih dulu sebelum memutuskan.

“Bagaimana, Minha-ya? Mau tidak?”

“Terserah Kakak saja,” jawab Minha seraya mematikan kompor, menghampiri dua lelaki itu dengan wajan berisi nasi goreng. Meletakkannya di atas meja kecil berkaki rendah, sebelum beralih untuk mengambil tiga buah sendok. “Maksudku, asal kita bisa bersenang-senang….”

“Nah, bagaimana denganmu, Hyung?”

“Memang aku bisa menolak?” Yoongi balik bertanya, tertawa kecil sembari menyendok nasi goreng, meniupnya sejenak, dan lekas menyuapkannya. “Tidak masalah bagiku. Kita akan pergi akhir minggu ini?”

“Yap!” Jimin mengiakan, terdengar senang akan prospek liburan yang terbentuk. “Selama hampir tiga tahun tinggal bersama, kita belum pernah pergi berlibur, kan? Jadi, kupikir, tidak ada salahnya melakukan itu.”

Tiada bantahan, namun baik Minha maupun Yoongi sama-sama tahu bahwa alasan yang diungkapkan Jimin barusan belum seratus persen lengkap. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang kembali membangkitkan kenangan di benak Yoongi kendati ia sedang tidak mau bernostalgia. Tetapi, walau bagaimanapun juga, mustahil baginya untuk mengusir masa-masa itu. Kesedihan ada sebelum kebahagiaan; dan mungkin, itulah salah satu penyebab mengapa Jimin ingin ketiganya bersenang-senang bersama.

Mereka benar-benar sudah melewati banyak hal.

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, mereka memutuskan untuk tinggal bersama dalam satu flat. Sebuah solusi atas biaya sewa yang semakin naik, juga atas segala kesulitan yang ada. Kebersamaan membuat mereka lebih bisa bertahan, lantaran terkadang yang kaubutuhkan hanyalah teman untuk berbagi masalah. Untuk mendengarkan segala keluh kesahmu, mimpi-mimpi burukmu, serta memberimu penghiburan di penghujung hari. Dan bagi Yoongi, hal-hal itulah yang membuat kehadiran Minha dan Jimin menjadi berharga.

Dari mereka berdua, Yoongi mengetahui bahwa bukan ia saja yang terkadang merasa sendirian atau kesepian di dunia ini. Insiden waktu itu adalah salah satu bukti terkuat, sesuatu yang terjadi akibat rasa takut berlebih. Sebagai pihak yang senantiasa melihat Jimin dipukul atau dihukum demi dirinya, wajar saja jika Minha berpolah sedemikian rupa. Ada masa-masa ketika mimpi buruk setia menghampirinya, menampilkan gambaran-gambaran mengenai perginya sang kakak dari dunia.

“Aku tidak mau ditinggalkan, kamu tahu?”

Itu kata Minha setelah ia selesai menceritakan segalanya, menyatakan bahwa ia lebih suka pergi daripada harus mengalami kehilangan. Ia tidak mau ditinggal sendiri dalam kubangan rasa bersalah, enggan jika harus melihat orang yang disayanginya menderita sementara ia selamat. Sebuah pola pikir yang mungkin susah dipahami banyak orang, tetapi Yoongi bisa mendengar ketulusan yang tersemat di sana. Ketulusan yang mendorongnya untuk mengusap puncak kepala sang gadis sekilas, juga menggumamkan sebuah fakta sederhana.

Tenang saja. Sekarang, ada aku juga, bukan?”

Itu benar, dan dimulai sejak titik itulah, segalanya perlahan-lahan berubah. Minha bukan lagi laut dalam yang tak terjamah; Jimin bukan lagi langit yang tertutup mendung. Seolah kesedihan dan keputusasaan mulai bergeser, bergerak ke arah kebebasan serta harapan yang tanpa batas. Hidup mereka mungkin memang masih biru, tetapi bukan lagi biru yang menyesakkan dan membangkitkan kecemasan. Biru yang ini menenangkan hati, membuat Yoongi sadar bahwa ia tak lagi perlu menanggung semuanya seorang diri.

Bersama-sama, mereka belajar arti pentingnya afeksi. Bagaimana sekelumit kecil perhatian dapat menjadi sesuatu yang mengubah keadaan, serta bagaimana sebuah senyuman dapat memiliki arti yang begitu mendalam. Singkatnya, mereka mengarah pada sesuatu yang lebih baik—sebuah perubahan yang Yoongi harap dapat bertahan selamanya.

Jadi, tidak salah bukan, jika Yoongi mau sedikit menyombongkan diri serta berkata kalau ia memahami laut dan langit? Tidak salah bukan, jika ia hanya ingin punya hidup yang lebih baik? Keinginannya itu sederhana; teramat simpel sampai-sampai Yoongi tak tahu apakah ia telah berbuat salah dengan berharap demikian.

Atau mungkin, harapan Yoongi memang tidak salah.

Karena perubahan itu sendirilah yang ia tuding sebagai pembuat masalah.

.

-o-

.

Satu hal utama yang Yoongi abaikan selama ini: setiap warna memiliki spektrum masing-masing.

Oh, bodohnya ia, bisa sampai melupakan hal tersebut. Bodohnya ia, yang berani melupakan bahwa tiada yang konstan di dunia ini. Mungkin, itulah sebabnya mengapa semua orang ingin menghentikan waktu. Agar kebahagiaan bisa bertahan, agar suatu momen yang indah bisa terasa abadi. Juga, agar sebuah kejadian buruk…

“Kau sungguh belum bertemu dengannya seharian ini?!”

…tidak perlu terjadi lagi dalam hidupnya.

“Kali terakhir kita melihatnya adalah saat sarapan tadi, Jimin-a,” sahut Yoongi, berusaha tenang kendati ia sendiri juga panik bukan main. “Kita semua sibuk dengan kerja paruh waktu hari ini. Ia juga punya jadwal kerja, kan?”

Shift-nya di minimarket selesai sore tadi,” timpal Jimin cepat, seraya kedua maniknya bergerak gelisah. “Tidak mungkin ia berada di luar sana sampai selarut ini, Hyung. Ditambah lagi, aku tidak bisa menghubunginya.”

“Jimin-a….”

“Ini salahku karena tidak memperhatikannya,” ucap Jimin lagi, masih belum bisa berhenti berbicara. “Ini salahku. Bagaimana kalau dia mencoba mengakhiri hidupnya lagi?!”

“Jangan berpikiran negatif dulu!” sambar Yoongi cepat, kepala digelengkan kala ia teringat akan kondisi Minha saat mereka pertama bertemu dulu. Jelas bukan sesuatu yang mau ia saksikan lagi, kendati debar jantungnya yang makin meningkat malah menghadirkan firasat buruk itu. “Mungkin Minha hanya—”

“Aku ini saudaranya, Hyung! Aku bisa merasakannya!”

“Park Jimin!”

“Aku bisa merasakan kalau semua tidak baik-baik saja!”

“Kalau begitu, kenapa kau diam saja di sini?!” Yoongi ikut menaikkan nada suaranya, menyilangkan kedua lengan di depan dada. “Memarahiku tidak akan membawa hasil! Aku juga khawatir, dan mungkin, akan lebih baik kalau kita mencari—”

Untuk kali kedua, perkataan Yoongi terpotong oleh derap langkah Jimin. Lelaki itu baru saja meninggalkannya di ruang tengah flat, memasuki kamar tidur mereka tanpa penjelasan. Membuat Yoongi terpaksa geming selama beberapa menit lamanya, telinga menangkap suara lemari yang dibuka, serta—

Hyung! A-aku… aku menemukannya!”

Mereka nyaris saja berbenturan—Jimin yang lekas keluar dari kamar Minha, sementara Yoongi berlari menghampiri. Tatap sama-sama terarah pada selembar kertas di tangan Jimin, lipatannya sudah terbuka sehingga tulisan tangan sang gadis bisa terlihat. Yoongi memang belum dapat membaca seluruh kata-kata yang tergurat di sana, tetapi tanpa diberitahu pun, ia tahu kalau itu adalah sebuah surat. Surat terakhir Minha, dan pada saat yang bersamaan, sebuah penjelasan bagi mereka yang ditinggalkan.

“Jimin-a, bagaimana….”

“Aku baru saja mau mengambil jaketku,” jelas Jimin, sedikit gemetaran kala ia menyodorkan kertas itu. “Dan aku melihat ini di atas nakas. Menurutmu… apakah….”

Dari tempatnya berdiri saat ini, Yoongi bisa menyaksikan bagaimana kepanikan Jimin lamat-lamat berubah menjadi kesedihan. Menjadi sebuah duka yang menyebar, yang membuatnya ikut bungkam selagi menggulirkan kedua bola mata. Seolah detik demi detik terlewati lebih lambat, sembari keduanya sibuk membaca rangkaian kata yang ditulis Minha di atas kertas itu.

.

.

.

Aku masih tidak suka ditinggalkan.

Mungkin ini gila, tapi bagaimana jika seseorang bisa melihat masa depan?

Aku memimpikan kakakku mati; berulang kali.

Lalu, pertemuan dengan Yoongi—aku juga melihatnya dalam mimpi.

Dan sekarang, aku kembali memimpikan kakakku mati.

Di tempat yang sama, kejadian serupa, hanya saja dia tidak sendiri.

Jadi, biarkan aku pergi, ya?

Aku sayang kalian.

.

.

.

Setelahnya, tak ada suara.

Tiada kata terlontar, pun sebuah optimisme atau penghiburan. Yang ada hanya sunyi, keheningan yang tiba-tiba menyelusup masuk tanpa diundang. Menyadarkan kedua lelaki itu bahwa mereka tak lagi mampu melakukan apa-apa, bahwa mereka sudah terlambat, bahwa mereka telah gagal. Yoongi bahkan bisa melihat Jimin yang bergerak menjauh, berjalan keluar dari flat mereka dengan gontai.

Dan ia, apa yang harus ia lakukan selanjutnya?

Apa yang harus Yoongi lakukan, selain jatuh terduduk di atas lantai dan merasakan semua kebahagiannya membanjir pergi? Apa yang harus ia perbuat, ketika tubuhnya menjadi enggan bergerak sementara kedua kakinya lemas bukan main? Apa yang bisa ia usahakan, ketika otak dan pikirannya tenggelam dalam emosi sampai-sampai tak mau bekerja lagi?

Apa, apa, dan apa?

Ia tidak tahu jawabannya.

Karena Yoongi pikir, ia sudah mati rasa sekarang.

.

-o-

.

Ia mati rasa, dan sialnya, ia diberi kesempatan untuk merasakan lagi.

Senja itu, ia kembali berada di bus.

Duduk bersisian, sementara kendaraan beroda empat itu melaju cepat menuju laut. Seminggu telah berlalu semenjak Minha pergi, dan selama itulah Jimin tidak pulang ke flat mereka. Asumsi Yoongi, lelaki itu pasti mengelilingi kota demi mencari sang saudari. Sebuah perbuatan yang tampaknya berbuah sia-sia, lantaran hanya raut muka lelah dan pasrahlah yang Yoongi temui kala Jimin akhirnya muncul pagi tadi.

“Ayo kita ke laut, Hyung.”

Satu tanya “mengapa” lantas dilontarkan Yoongi, yang dibalas senyum sendu dari Jimin beserta ucapan, “Mungkin, Minha ada di sana.”

“Di sana?”

“Belakangan, Minha berkata kalau ia suka laut. Ia ingin melihat laut, sehingga aku berpikir kalau mungkin… well, mungkin, itu tempat terakhir yang dikunjunginya.”

Kendati jawaban itu sudah dapat Yoongi sangka sebelumnya, tetapi mendengarnya terucap tetap menghadirkan luka di dalam benak. Memunculkan sekelumit rasa bersalah, selagi pikiran bertanya-tanya apakah Minha menyukai laut karena dirinya. Karena satu perumpamaan yang pernah Yoongi ucapkan, sebuah pengandaian yang ternyata memiliki dua makna.

Hyung.

Maka, di sinilah mereka. Pada bus yang bergerak mengikuti kelok jalanan, menuju suatu daerah yang terletak di pesisir pantai. Hening sudah melingkupi keduanya semenjak bus berangkat tadi, sampai Jimin akhirnya buka suara dan menarik atensi Yoongi yang sedang menatap ke luar jendela.

Hm?

“Menurutmu, apa kita bisa merelakannya? Setelah kita pergi ke laut, mengucapkan selamat tinggal, dan—”

“Aku sudah merelakannya,” balas Yoongi tanpa menunggu Jimin selesai berkata-kata, kepala tertoleh agar mereka dapat bertukar pandang. “Aku sudah mengucapkan selamat tinggal; dan bukan, ini bukan karena aku tidak menyayanginya.”

Jimin tidak memberinya sanggahan, pun argumen atas pernyataan barusan. Lelaki itu hanya diam dan menunggu, seakan memberi kode bagi Yoongi untuk lebih dulu menjelaskan.

“Maksudku adalah, bagaimana jika ia tidak pernah bahagia?” lanjut Yoongi sambil mengulas sedikit senyum, berlawanan dengan selapis air yang muncul di sepasang maniknya. “Bagaimana jika pergi akan membuatnya lebih bahagia, karena dia memang tidak pernah menyukai hidup ini?”

“Apa kau hendak berkata bahwa kehadiran kita tak pernah cukup, Hyung? Itukah alasan mengapa kau sama sekali tak mencarinya? Karena kau sudah tahu kalau itu sia-sia? Dan karena kau ingin mengabulkan permintaan Minha?”

Rentetan pertanyaan itu sarat akan tuduhan, memancing emosi. Namun, alih-alih marah, Yoongi memilih untuk menggelengkan kepalanya perlahan. Sukses menghadirkan puluhan tanya tambahan dari Jimin, selagi Yoongi menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dalam rangkaian kalimat.

“Aku masih tidak mau kehilangannya, Jimin-a. Aku dan kalian, kita mungkin memang belum selama itu saling mengenal. Tetapi, aku sudah menganggap kalian sebagai keluargaku, dan tak ada yang mau kehilangan keluarga, bukan?”

“Tentu saja.”

“Nah, sayangnya, aku juga tidak bisa bersikap egois,” ucap Yoongi lamat-lamat, iris bergerak untuk melihat reaksi Jimin atas kata-katanya. “Itu jawaban atas pertanyaanmu. Aku tidak mau bersikap egois, dan jika menahannya hanya membuatnya makin menderita, aku tidak mau melakukan itu.”

“Jadi… menurutmu….”

“Ini bukan masalah cukup atau tidaknya kehadiran kita,” imbuh Yoongi, teringat akan tuduhan pertama yang Jimin lontarkan tadi. “Aku yakin Minha menyayangi kita, tapi ada hal-hal di dunia ini yang lebih dari sekadar rasa sayang dan eksistensi. Daripada berdebat mengenai penting atau tidaknya keberadaan kita dalam hidup orang lain, aku memilih untuk memahami. Karena mungkin, itulah yang Minha butuhkan. Agar kita—“

“—memahaminya,” sahut Jimin dalam bisikan, tanpa sadar meneruskan kata-kata Yoongi. Kepala ditundukkan, sementara tangan meraih selembar foto dari dalam saku jaketnya. Itu adalah foto mereka bertiga, tersenyum lebar sembari berangkulan seolah tak ada beban. “Mungkin kau benar, Hyung. Aku tak pernah cukup memahaminya.”

“Jimin-a.

“D-dan aku butuh waktu, bukan?” ujar Jimin, suaranya bergetar menahan tangis. “A-aku paham maksudmu, tetapi untuk menerimanya begitu saja… k-kurasa aku….”

Yeah, kita semua butuh waktu.” Yoongi mengangguk setuju, telapak terulur untuk menepuk pundak Jimin. Menguatkan, selagi mulutnya bergerak mengimbuhkan, “Jadi, ambillah waktu yang kauperlukan. Karena suatu hari nanti, kau pasti bisa—“

BRAAAKK!!

 

 

Memotong ucapan Yoongi, suara hantaman keras itu sekonyong-konyong terdengar menusuk gendang telinga. Seakan hendak membantah kalimat penyemangat yang baru saja dikeluarkan oleh sang lelaki, atau mungkin sengaja mengejek mereka yang terlalu berpikiran sempit. Apa pun itu, segalanya mulai terasa bagai ironi kala bus yang mereka tumpangi mendadak terguling dan menabrak pagar besi di pinggir jalan.

“Apa yang—“

Kebingungan lantas ditelan jerit kepanikan, sementara beberapa penumpang menunjuk sebuah truk barang berukuran besar yang kini berdempetan dengan bus mereka. Percik-percik api mulai terlihat, namun bukan itu yang perlu mereka khawatirkan sekarang. Tidak karena separuh badan bus sudah menggantung di tepi jalanan, selagi gravitasi berulah dan memutuskan untuk menarik segalanya menuju maut. Timbulkan bunyi berderit mengerikan, sebuah pemicu yang memaksa seluruh penumpang untuk berebutan untuk mencapai pintu keluar tanpa membawa hasil.

Hyung!”

 

 

BRUUUK!!

Yoongi bisa mendengar teriakan-teriakan itu, tetapi tubuhnya tak lagi bisa digerakkan. Ia terempas pada salah satu kursi yang ada, terimpit hingga seluruh oksigen serasa dipaksa keluar dari tubuhnya. Segalanya terlihat buruk, tetapi tidak ada yang lebih buruk dibandingkan suara badan bus yang membentur air. Mengingatkan mereka bahwa jalanan ini berada di atas tebing, satu yang langsung berbatasan dengan lautan dalam.

Lalu, detik berikutnya, rasa dingin itu mulai merambati raga.

Entah bagaimana, namun air telah membanjiri seluruh interior bus tanpa belas kasihan. Menambah jerit-jerit ketakutan yang ada, juga teriakan memohon yang agaknya tak akan berbuah apa-apa. Jalan buntu seolah ada di mana-mana, menumpulkan akal sehat serta kerasionalan untuk berpikir. Seakan ada tangan-tangan tak tampak yang enggan mengizinkan mereka kabur, tak peduli dengan usaha Yoongi untuk terus meronta dan menendang-nendang.

Toh, pada akhirnya, kekuatan Yoongi tetap tak sebanding.

Terbentur dan terbenam dalam birunya air garam, Yoongi bisa merasakan kesadarannya mulai hilang dan muncul. Suara tak mau keluar dari bibirnya; telinga menulikan diri dari semua jeritan. Ia bahkan tak lagi bisa melihat sosok Jimin ataupun memikirkan hal lainnya. Hanya dingin yang ada, dingin yang menusuk dan menghilangkan semua persepsi bahwa dirinya telah mati rasa. Karena saat ini, pada detak-detak waktu yang seolah berlalu lambat, Yoongi tak lagi mati rasa. Ia merasakan sakit, ia seolah ditusuk-tusuk di setiap tarikan napas yang berusaha diambilnya. Bukan jenis perasaan yang menyenangkan, tetapi dirinya tak punya pilihan lain.

Ia tak punya pilihan, sehingga otaknya pun secara otomatis menghadirkan kalimat-kalimat Minha dalam surat terakhir itu. Semua pesan yang bernada keputusasaan, sama mengenaskannya seperti kondisi Yoongi dan Jimin saat ini. Karena pada akhirnya, permintaan Minha mungkin memang akan terkabul. Gadis itu tak pernah mau sendiri, dan setelah semua ini berlalu, ia tak akan sendiri lagi, bukan?

Apa kamu… menungguku dan Jimin?

Membiarkan tanya terakhir itu bergema dalam benak, Yoongi akhirnya berhenti melawan dan memejamkan matanya rapat-rapat. Berharap kegelapan segera menelan, tetapi anehnya, kilasan warna birulah yang ia dapatkan. Biru yang berkelebat cepat di balik kelopak mata sang lelaki, melambangkan berbagai macam emosi dan makna yang sempat terlewatkan.

Biru yang berarti kebebasan, keceriaan, ketenangan, ketulusan, dan kepercayaan.

Juga biru yang berarti kesenduan, kesedihan, kesendirian, keputusasaan, dan kehilangan.

Itulah yang selama ini Yoongi lupakan, bahwa warna biru tak hanya menggambarkan sisi kehidupan yang bahagia. Terlalu banyak tenggelam dalam rasa senang membuatmu lupa akan masalah dan kesedihan yang tersembunyi; terlalu banyak biru yang berarti keindahan membuatmu lupa akan arti lain yang tersimpan. Sehingga, kalau dipikir-pikir, wajar saja bukan jika sisi lain itu meminta untuk diperhatikan?

Sudah saatnya biru yang lain itu mengambil alih keadaan.

Dan sudah saatnya pula bagi Yoongi dan Jimin untuk bergerak maju demi menemui Minha kembali.

Jadi, bisakah kegelapan datang sekarang?

Atau—

.

-o-

.

—mengapa ia membuka matanya kembali, kalau begitu?

Min Yoongi mengerjap berulang kali, berusaha membuat pandangnya tak terlihat kabur. Langit-langit putih adalah hal pertama yang tertangkap pupilnya, membentang tetapi tidak memberi kedamaian. Napasnya terengah, pun dengan sekujur tubuhnya yang berkeringat. Ada bias sinar mentari yang menyusup masuk, membuatnya sedikit silau dan terpaksa mengangkat lengan untuk menutupi sebelah mata.

Selama beberapa jenak, Yoongi mengharapkan rasa sakit, ngeri, dingin, dan ngilu itu untuk menghantam tubuhnya lagi.

Namun, mereka tidak datang.

Mereka tidak datang, dan selagi Yoongi lamat-lamat mendudukkan diri, ia juga menyadari bahwa mereka bukan hanya pergi. Semua rasa itu lenyap seolah tak pernah ada, meninggalkannya dengan sedikit rasa pening dan bingung yang mendera. Ia kehilangan orientasi. Ia tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, terlebih ketika pupilnya bergulir ke arah kanan dan….

“Minha-ya? Jimin-a? Kalian—”

Ssstt! Masih pagi, Yoongi-ya. Berangkat ke pantainya masih nanti, kan? Ayo tidur lagi.”

Bingung, Yoongi menatap tangan Minha yang tengah menarik lengannya sebelum beralih menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Gadis itu terlihat mengantuk, sedikit menggerutu kala Yoongi malah beringsut mendekat untuk mengguncang-guncangkan pundaknya perlahan. Namun, jelas sekali jika sang lelaki tengah bersikap tak acuh pada protes Minha. Bagaimanapun juga, ini semua aneh dan ia butuh penjelasan.

“Minha-ya, sebentar saja.”

Hmmm.

“Apa belakangan ini kamu bermimpi buruk?”

“Mimpi apa?” Minha membalasnya dengan gumaman, lantas menggulingkan badan agar ia bisa memeluk lengan Jimin yang masih lelap. “Kadang-kadang saja. Tapi, malam ini mimpiku indah.”

“Kamu yakin?”

“Memang kenapa, sih?” Minha balik bertanya, suaranya sedikit teredam. “Apa kamu bermimpi buruk?”

Yoongi ingin sekali mengiakan tanya itu, tetapi entah mengapa, ia tidak bisa melakukannya. Seolah batas antara yang semu dan yang nyata telah kabur, meninggalkan mereka terjebak di antaranya. Terombang-ambing dalam ketidakpastian, dalam ketidaktahuan mengenai banyak hal tentang dunia ini. Ditambah lagi, rasa lega itu tidak mau muncul kendati Yoongi sudah melihat bahwa dirinya—juga Jimin dan Minha—baik-baik saja. Prasangka mengenai sesuatu yang buruk itu masih terus bercokol, berlawanan erat dengan kemauannya untuk menyatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Maka, mengabaikan suara bergumam Minha yang kembali terdengar, sang lelaki memilih untuk bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela. Memandangi persegi panjang yang mengizinkan sinar matahari menyorot masuk, selagi otaknya memikirkan apa arti di balik semua kejadian ini. Berusaha memilah antara yang ada dan tiada; antara yang harus ia ceritakan dan ia pendam. Sebuah kontemplasi yang agaknya tak berujung, sampai sepasang pupil kelam itu menemukan langit yang membentang cerah di luar sana.

Langit yang mengingatkan Yoongi akan semua warna biru di dalam hidup mereka.

Benar juga.

Dari semua hal yang telah terjadi, satu-satunya kesimpulan yang bisa Yoongi genggam adalah analogi bagi mereka bertiga—sebuah spektrum warna biru. Tempat di mana kesedihan dan kesenangan bercampur-baur, juga tempat di mana rahasia dan realita berpadu. Dan mungkin, itu cukup. Itu cukup, lantaran satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah ketidakpastian itu sendiri. Bahwa hidupnya tak akan pernah berjalan konstan, bahwa ia akan terus dihadapkan dengan hal-hal tak terduga.

Lagi pula, tak peduli seberapa pun dalamnya kerutan di kening Yoongi saat ini, jawaban-jawaban yang dicarinya tetap tidak akan muncul. Ini bukanlah sesuatu yang bisa diusahakan, bukan pula sejenis pengetahuan yang bisa dipelajari. Kuriositasnya tidak akan menemui akhir, melainkan terus mengendap di dalam benak selagi waktu berdetak maju. Yoongi tahu itu, dan ia juga tahu jikalau dirinya tidak bisa melakukan apa-apa. Membiarkan segalanya tetap berjalan adalah pilihan terbaik, meskipun saat ini, diam-diam Yoongi tengah mencatat semua pertanyaan itu dan bermaksud untuk menyimpannya.

Jadi, sebenarnya, mereka ini hidup atau mati?

Atau yang tadi itu hanya mimpi buruk semata?

Oh, mungkinkah seorang Min Yoongi baru saja melihat masa depannya sendiri?

Ataukah ada penjelasan yang lain?

Well, tidak ada yang tahu, bukan? Bahkan, sebagai lakon utama pun, ia tak tahu jawabannya. Hanya dugaanlah yang bisa ia berikan, serta sebuah konklusi singkat mengenai bagaimana hidup ini sebenarnya berjalan. Tidak memuaskan memang, tetapi Yoongi telah memilih untuk menutup potongan kisahnya kali ini dengan sebuah ungkapan sederhana.

Karena menurut Min Yoongi, kehidupan adalah suatu anugerah yang misterius.

.

.

.

Nah, kalau begitu, bagaimana menurutmu?

.

fin.

26 pemikiran pada “[What is Your Color?] Blue Spectrum – Oneshot (tsukiyamarisa)

    • Duuuuh dari awal aku udah penasaran sama event ini. “Pasti keren-keren nih ceritanya.” tentang warna-warna, pasti perumpamaan yang dibuat menarik. Dan itu benar, perumpamaan warna biru, langit dan laut, ini keren sumpaaaah. Fiksi ini perasaannya ngena banget, pas adegan sedih aku bener-bener nangis. Aku baca fiksi ini sampai dua jam baru selesai, abisnya penggambaran ceritanya bikin gak rela buat dilewatin, serasa nonton film beneran. Setelah selesai baca fiksi ini baru tahu kalau fiksi ini yang dapet first place. Anyway, selamat ya kak! /telat/ Terus berkarya, kak Amer♡ /sok kenal/ /ditendang/

      Maul

      Suka

  1. Keren bgt ff ny thor…
    Brsa aku ikut msuk jga k ff ny ><
    Perumpamaanny itu krn bgt & ngena bgt sma aku aplgi aku jga ska warna biru…
    Pkony THE BEST deh ff ny ^^

    Suka

  2. waaaaa ff juara 1 emang beda ya xD
    good job author-nim jempolan deh pokoknya..
    ini one shoot terpanjang yg pernah aku baca wohooo (~°v°)~
    dan aku gak bosen *ajaib* diksinya, alurnya, pengambaran suasananya keren bgttt xD
    daaan lagi aku juga yoomin shipper \(♥○♥)/ omaigad berasa kayak imagine aku terwujudkan lewat fic ini, melihat yoonmin hidup bersama(?) xD
    ff ini benar” mengambarkan sosok yoongi dan jimin di kehidupan nyata, baca ini imaginenya lancar bgt ehe..
    ditunggu ff selanjutnya thor 😉
    쩔러 !!

    Suka

  3. Ahh, pantes aja ini jd juara pertama. Keren gila…. suka bgt thor… ceritanya keren, bahasanya keren…. jd ikut masuk ke dalam ceritanya. Ahh.. Daebak lah pokoknya >_<

    Suka

  4. pertama mau bilang selamat for the first place ^^ aku susah banget sama yang namanya baca ff panjang, tapi kok nyampe fin juga ya? wkkwkw sumpah betah banget baca ff kakak, bahasanya cantik tapi gak rumit, definisinya memukau bbanget sumpah ;;-;; kapan ya bisa buat begini? suka banget sama tulisan kakak ❤ kutunggu nextnya dan penasaran sebenernya itu gimana :v aku memang lemot dalam memahami cerita T^T duhhh masih sangat jatuh cinta sama fic mu kak. Suka banget dngan cara dikau menceritakannya *0* duh kujatuh cinta ❤

    Suka

  5. Hampir ga bisa berkata-kata~
    Sepanjang tulisan aku sampai menghayati banget bacanya, serius wkwk
    Dalam sekali 😀
    Endingnya pun dibuat terbuka, tapi jadi makin penasaran kira-kira sebetulnya gimana sih kejadiannya XD

    Suka

  6. First, Congrats for got the 1st place↖(^ω^)↗
    Kamu ahli thor (y) Aku sampe bisa ngerasain blue spectrum itu sendiri. Tapi yang aku gak ngerti itu Yoongi emang asli nightmare ato gimana?’-‘ Dan disini aku mencium banyak YoonMin :v :v Diksi yang dipake pun beneran buat aku larut 😀
    Last, Keep writing thor<3

    Suka

    • Halo vio(?), makasih banyak ya buat ucapannya! ♡

      Itu bisa nightmare aja, bisa juga ternyata dia beneran mimpi masa depan, atau bisa yang lain lain juga terserah pembaca sih wkwk namanya juga open ending, tergantung kepercayaanmu (?) aja~ dan maklum ya, habis yang nulis juga biasnya yoonmin dan shipper yoonmin sih hehe 😂

      Anyway makasih sudah berkunjung! ^^

      Suka

  7. Kak Mer, ini keren bgt. Aku sendiri bukan tipe yang betah baca ff panjang2 beberapa bulan terakhir ini, karena alasan waktu dan kadang cepet bosen juga.
    Tapi anehnya aku selalu betah baca oneshotnya Kakak. Penjelasannya detail, penuh makna bgt.
    Congrats Kaaak ^^
    asik, bisa baca cerita Kak Mer di sini, hehe

    Suka

  8. Daebak! Daebak!
    As expected, Kak Amer, ni ff keren keren kereeeen bgt… Selalu ya, ff kakak ga pernah ga bikin puas aku buat baca..
    Makna hidupnya ngena sekali.. Dan penjelasan2 ttg warna biru yg berarti 2 hal juga.. Ini ff sarat sekali akan makna, ah authornim satu ini emang favoritku ^-^

    Suka

  9. Kalau menurutku, yoongi sama jimin di selamatin sama minha di pantai dan minha pura-pura gak tau /apa ini drama banget/ apalah yang min yoongi rasakan hanya dia yang tau, singkatnya, dia aja gak tau aku juga gak tau /oke ini pingin di timpug/ well keren bangetttt aku suka deh, penggambarannya jelas banget dan panjangnya juga banget /wkwkwk/ gak biasanya baca oneshot tp ini oneshot paling keren yang pernah aku baca. Chukkhae author-nim! Keep writing and i lav your style!😆❤️

    Suka

    • Sebenernya pas mereka ke pantai itu minha udah mati kok 😂 jadi itu maksudnya jimin “minha ada di sana” tuh matinya yang di sana /krik

      Kalo soal ending, emang sengaja dibuat open hehe jadi kamu maunya apa? Mau mimpi biasa, mimpiin masa depan, atau mau mereka bertiga uda ke surga? /lah /malah makin bikin bingung

      Anyway makasih banyaaaak ♡

      Disukai oleh 1 orang

  10. Kak tsukiyamarisa…ini fanfict-nya kece parahh. Aku sampai terpana ngeliatnya!! Congrats ya, kak..aku tunggu fanfict kakak yang lain, ya?

    Suka

Leave a Review