[Oneshot] Greatest Fear

e026ff7ce1e706d68ac23a4f8812e853

Greatest Fear

a story by feyrefly

[BTS’s] Kim Namjoon and Nao [OC’s]
PG • Oneshot • Psychology, Dark, Family, Hurt/Comfort.

cr pict : pinterest

.

She’s a psychopath.

.

Satu hal yang Nao suka dari seorang Kim Namjoon; adanya jeluk dalam yang terpulas jelas saat kulit pipinya tertarik ke atas. Kehadiran lesung di setiap senyum yang terkembang membuatnya menawan, terlebih kelopak mata miliknya akan turut menyipit tiap kali bibirnya membentuk selengkung kurva. Nao selalu suka saat sulung keluarga Kim itu tertawa—baik sukarela maupun dipaksakan. Karena menurutnya, segelak tawa yang terkuar mampu menyarak aura kelam yang kental melekat.

Kim Namjoon memoles tiga perempat epidermis kulitnya dengan tato konstan yang tak akan pernah terhapus presensinya. Cougar besar melukisi punggung tegapnya hingga ke leher, masih ditambah dengan motif tribal abstrak yang menjalar dari pangkal lengan hingga pergelangan tangan kanan, dan baru-baru ini ia menambahkan tipografi memanjang dari pergelangan tangan kiri hingga ibu jari; sebuah tulisan yang terbaca sebagai ‘serenity‘.

Nao berulangkali mendesak agar sang kakak berhenti menyakiti diri sendiri, tapi Namjoon tak pernah berniat peduli. Ia tak pernah mengindahkan eksistensi Kim Nao sebagai adiknya—satu-satunya saudara yang ia punya setelah kematian kedua orangtua mereka. Menurutnya, Nao hanya seonggok parasit kecil bermulut nyinyir yang selalu mengatur kehidupannya, memintanya melakukan ini itu yang tentu saja merusak kebahagiaannya, pun membatasi gerak bebasnya untuk mengekspresikan apa yang ada dalam jiwa. Baginya, Nao bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.

“Kau menambah satu piercing lagi, Namjoon-a?”

“Apa itu penting bagimu?!”

Gertakan Namjoon disusul jeduak keras akibat kepalan pemuda itu menghantam meja, membuat Nao seketika terbungkam. Bibirnya menghentikan kunyahan selagi obsidiannya memicing ketakutan. Saat ia membuka mata perlahan, Namjoon telah berlalu dari hadapan. Nao menelan sarapannya dengan susah payah, kerongkongannya terasa sesak.

Ck! Aku kan hanya bertanya.” batin gadis itu mendecak.

Namjoon memang selalu seperti itu, ia tak pernah memperlakukan Nao sebagaimana seorang saudara bersikap. Namjoon kasar, ia tak segan melempar tampar saat beradu ucapan dengan Nao. Beberapa waktu, gadis itu sempat menerima tato lima jari di kulit pipi akibat perbuatan Namjoon. Sakit memang, namun tak sesakit hatinya saat mendengar makian sang kakak.

“Berhenti mengurusi hidupku, you fucking bastard!”

Nao mendulang napas dalam dan melepaskannya pelan-pelan. Ucapan Namjoon kembali membayang tatkala pertengkaran mereka kemarin malam, masalahnya sepele; Nao hanya bertanya, kemana saja perginya si kakak hingga pulang ketika jam menunjuk pukul tiga malam?

Bukan penjelasan yang Nao dapatkan, melainkan satu tamparan yang membuat sudut bibirnya berdarah pun umpatan yang tak layak didengarkan. Kondisi Namjoon sedang mabuk saat itu, namun tenaganya masih cukup kuat untuk membuat Nao tersungkur.

Setidaknya ia masih ingat untuk pulang, Nao menguatkan hatinya. Diucapkan kata-kata menenangkan untuk mengembalikan ketegaran, Namjoon tak pernah suka ada air mata dalam pertengkaran mereka atau ia akan memukul Nao lebih keras dari sebelumnya. Mengalah selalu menjadi referensi terakhir setiap kali ia menghadapi Namjoon dan sikapnya yang arogan; semata karena ia telah berjanji kepada orangtua mereka bahwa ia selalu memastikan Namjoon baik-baik saja.

Namun terkadang, Nao berpikir untuk apa ia mempertahankan keutuhan keluarganya sementara Namjoon bersikeras menginginkan perpecahan?

Nao berderap ke arah wastafel bersama setumpuk piring kotor, jemarinya sudah terbiasa berlumuran busa dan membersihkan piring-piring kotor itu sendirian. Terkadang, iris gelapnya menerawang ke luar jendela sementara tangannya dengan tenang membersihkan noda. Ada banyak hal yang ia pendam dalam bungkam katupnya, ada yang ingin ia buncahkan di balik teduh tatapannya.

“Ibu, aku lelah.” lirihnya mengoyak keheningan.

×××

Setiap pijak pemuda itu diikuti satu serapah yang mengotori jalanan. Beberapa pejalan kaki lainnya melirik tak suka saat ia menendang kaleng bekas soda keras-keras lantas mengumpat tidak jelas. Seorang ibu bahkan harus menutup telinga anaknya saat berpapasan jalan dengan Namjoon karena apa yang diucapkan pemuda itu tak pantas menelusup telinga seorang anak kecil.

“Gadis sialan, menyebalkan, hah aku ingin sekali membunuhnya!”

Namjoon menendang udara, mengingat tak ada lagi benda yang mampu menjadi penyaluran emosinya. Rusuk pemuda itu naik turun menahan amarah yang kembali menjalar, ia memang buruk dalam hal mengoordinasi perasaan.

“Hei, Bung, berhenti! Kau menakuti para pejalan kaki!”

Seloroh menyebalkan itu membuat Namjoon seketika merotasi arah pandangnya. Segera ia sarangkan satu tendangan tepat di tulang kering pemuda yang kini meringis kesakitan, tolong ingatkan dia untuk tidak menambah percikan saat api sudah berkobar.

“Aku bercanda, oke? Jangan tendang lagi.”

Hoseok menggosok kasar tulang keringnya yang masih nyut-nyutan. Sialan benar, ia tak pernah tahu Namjoon akan setega itu padanya. Pemuda itu segera membawa Namjoon ke trotoar bagian dalam sebelum ia menjadi bulan-bulanan para pengguna jalan akibat seenak jidat menendang kerikil—yang pastinya akan berbahaya jika mendarat di tempat yang salah.

“Kau kenapa? Ada masalah dengan adik perempuanmu itu lagi, ha?”

“Berisik! Jangan pernah sebut dia adikku lagi, Jung Hoseok!”

Hoseok bungkam, ia tidak berani macam-macam sekarang. Ketimbang mendapat perlakuan yang lebih menyakitkan daripada tendangan di tulang kering, lebih baik ia duduk dalam geming. Trotoar jalan pagi itu cukup lengang dengan mendung yang mengabukan lelangit, namun tak segera menurunkan hujan. Padahal, hari masih terlalu pagi untuk berbasah-basahan.

“Aku benci gadis itu,” Namjoon berujar setelah jeda membisukan mereka dalam kurun waktu cukup lama. Lirih ucapan penuh penekanan itu membuat Hoseok selaku pendengar segera memasang telinga. “Setiap kali melihatnya, aku seperti melihat ibu.”

“Lantas? Ada yang salah dengan itu?” Hoseok sempat merutuki pertanyaan spontan yang terlontar dari rasa penasarannya. Namjoon sempat meliriknya tajam sebelum mengalihkan pandangan ke arah jalanan. “Aku akan terlihat benar-benar menyedihkan jika menceritakannya.”

Tawa pelan yang Namjoon lepaskan dari kotak suaranya terdengar sumbang. Seakan-akan tawa itu hanya sebagai kedok, bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya memang patut ditertawakan. Namun Hoseok masih tak paham dengan arah pembicaraan Namjoon yang dirasa mengambang.

“Aku benci tatapan mata gadis itu, aku benci ketika ia menanyakan keadaanku, aku benci setiap kali ia berusaha menyentuhku. Wajahnya seperti ibu, manis tapi busuk.”

Wow, wow, tunggu dulu. Ada apa ini? Sepertinya dendammu dalam sekali.”

Hoseok tak pernah tahu apa latar belakang kesumat yang meluap-luap dalam diri Namjoon untuk sang adik. Setahunya, Nao gadis yang baik. Ia mengurus rumah sebagaimana mestinya, bahkan gadis itu bekerja paruh waktu di tengah kesibukan kuliahnya. Hoseok mengenal keluarga Kim jauh sebelum kecelakaan yang merenggut kedua orangtua Namjoon terjadi dan ia masih tak mengerti prahara di balik keluarga yang terlihat harmonis itu.

“Kau tak akan percaya, Hoseok-a.” Namjoon mengembuskan napas keras, kedua alis Hoseok menukik di atas matanya. “Memang apa yang ibumu lakukan hingga kau sebenci itu?”

Antara menata ucapan atau enggan menceritakan, Namjoon membiarkan kelopak matanya terpejam—sedetik—sebelum ia bertutur pelan. “Ibuku menyiksaku, di luar pengawasan ayahku. She’s a psychopath.”

×××

Namjoon selalu melarang Nao memanggilnya kakak. Awalnya Nao tak pernah tahu alasan apa yang mendasarinya. Dulu Namjoon berkata karena selisih usia mereka hanya satu tahun, maka Nao tak perlu memanggilnya kakak. Lambat laun, seiring usia mendewasakan paradigmanya, Nao sadar bahwa pelarangan itu tak sekadar karena selisih usia. Ada hal yang lebih intens dari itu, namun Nao tak pernah mencoba mencari tahu.

Setelah Namjoon meniup lilin berangka delapanbelas, ia tak pernah mau terlibat dalam urusan keluarga mereka. Ia menyibukkan diri di luar rumah dengan berbagai alasan, termasuk kegiatan tak masuk akal seperti berkemah di rumah Hoseok untuk memperingati hari kematian anjingnya. Namjoon mulai melakukan hal-hal aneh saat mereka mulai beranjak remaja, saat Nao mulai memasuki masa pubertas. Ia tak pernah lagi mau menyentuh dunia Nao dan mengabaikan keberadaan gadis itu seperti angin lalu.

Nao pernah bertanya, namun Namjoon tak jua menjawabnya.

×××

Semenjak gelingsir matahari menelusup ufuk, Nao bertumpu dagu di tepi jendela dengan keadaan terduduk. Senja menggurat jingga di kaki langit sebelah barat, sedikit berpadu dengan delima kemerahan yang menembus birai jendela. Hujan pagi buta mereda setelah cakrawala disibak cahaya kekilauan sejak siang, menebarkan sejuk yang menggerus dingin setelah tetes-tetes reranting mulai mengering.

Gedubrak keras menggema di ruang tengah saat Namjoon datang. Rupanya pemuda itu menendang lengan sofa setelah terhuyung-huyung menabrak pintu depan. Botol alkohol dalam genggamannya lepas dan terburai memenuhi lantai. Nao beringsut dari posisi nyamannya dan melangkahkan kaki ke ruang keluarga. Bergegas gadis itu menunduk, dengan hati-hati ia memunguti pecahan-pecahan kaca itu agar tak menyakiti orang lain. Begitu pula dengan cairan alkohol yang tertumpah di lantai sudah ia bersihkan, lekas ia dekati tubuh yang terkapar itu.

Nao berniat memapah Namjoon untuk berbaring di sofa, namun pemuda itu bangkit dan mendorong Nao hingga ia tersuruk.

“Jangan sentuh aku!” bentak Namjoon bengis. Meskipun sudah hampir tidak sadarkan diri, pemuda itu masih memiliki intuisi yang tinggi.

“Kalau tidak ingin disentuh jangan tidur di lantai! Bisakah kau sehari saja tidak merepotkanku, Namjoon-a?!”

Afeksi Nao mendaki hingga slot tertinggi saat Namjoon meludah sembari memalingkan wajah. Ada decakan hina beserta lirikan tajam yang pemuda itu timpakan untuknya, upaya intimidasi yang nyatanya gagal total. Nao tak pernah segan dengan pemuda itu kendati mereka lahir dari rahim yang sama. Bukannya Nao berniat menjadi adik durhaka, tetapi ego dalam diri menuntutnya untuk memasang hati sekuat baja demi menghadapi sang kakak.

“Merepotkanmu, ha?! Apa aku pernah memintamu untuk mengurusi hidupku?!”

“Setidaknya ucapkanlah terimakasih! Kakak macam apa kau–AH!”

Kepala Nao terteleng ke kanan saat telapak tangan Namjoon menampar pipinya keras. Gadis itu meringis, segenap tegarnya runtuh saat sang kakak berujar sinis, “Aku bukan kakakmu, gadis jalang!”

Gadis jalang? Do you forget that I’m your sister?!” Intonasi suara Nao naik beberapa oktaf, ditatapnya mata Namjoon yang berpendar mengancam. Kepalan di kiri-kanan tubuhnya menegang, ia tak akan menyerah dalam tangisan kendati pelupuk matanya telah membentuk telaga.

Namjoon tertawa, mencibir Nao yang mengaku-aku sebagai adiknya. Meskipun darah yang mengalir dalam tubuh mereka ber-DNA serupa, ia tidak akan menganggap adanya tali persaudaraan di antara mereka. “Aku tidak pernah punya adik. Aku tidak pernah punya keluarga!” desis Namjoon sebelum berbalik dan membanting pintu.

Setelah debum keras itu, Nao merosot jatuh. Tangisnya pecah. Sesak yang ia tahan, emosi yang ingin ia luapkan tumpah ruah dalam isakan. Keadaan di luar gelap, malam telah memekat. Temaram sang lunar yang menyusup dari celah-celah ventilasi udara membuat ruang tengah rumah mereka remang-remang. Nao masih memeluk lutut, masih terisak.

Apa salahnya?

Nao tak tahu dan Namjoon terlanjur bisu.

Di dalam kamarnya, Namjoon duduk meringkuk. Punggungnya bersandar pada kasur, jemarinya dengan kuat menarik helai-helai surainya. Ia mabuk, ia terlampau mabuk. Panas di tangannya—sisa penamparan yang ia lakukan—masih terasa. Jika di tangan saja sesakit ini, bagaimana di pipi adiknya tadi?

Namjoon menangis.

Ini bukan salah Nao, Namjoon tahu itu. Namun ketika ia menatap iris coklat Nao yang seperti ibunya, ia tidak bisa membiarkan tatapan itu melukai dunianya lagi. Ia tidak bisa membiarkan wajah itu hadir dalam dunianya lagi. Namjoon memang durhaka karena ia bersyukur akan kematian ibunya. Ia pikir setelah kematian ibunya, hidupnya akan berjalan normal. Tapi nyatanya, traumanya tak pernah hilang sedikitpun. Bahkan ketika Nao beranjak dewasa dan mewarisi wajah ibunya, trauma itu semakin kuat dan membuat jiwanya terguncang.

Namjoon melampiaskan trauma itu—ketakutan yang mengukung hidupnya—dengan apa pun yang membuatnya bahagia; alkohol, tato, piercing, atau apa pun, tapi hasilnya sama saja. Trauma itu masih membayanginya—selama Nao masih berseliweran dalam hidupnya, ketakutan itu akan semakin nyata.

×××

“Karena kau mirip ibumu, Nao-ya.”

Hoseok menatap redup pada retina gadis di hadapannya dalam diam. Mereka tak sengaja bertemu di minimarket. Nao mentraktir Hoseok satu cup ramyun instan, semata agar pemuda itu mau melakukan wawancara. Nao sudah jengah, ketika dirinya sendiri tak bisa menemukan jawaban, satu-satunya manusia yang bisa membantunya hanyalah Hoseok.

“Lantas kenapa jika aku mirip dengan ibu?”

Ramyun milik Nao masih utuh, tidak berniat disentuh. Nafsu makan gadis itu hilang semenjak Hoseok mengatakan alasan utama mengapa Namjoon membencinya; karena ia mirip ibunya. Hell, alasan gila macam apa itu, ha?

“Namjoon belum cerita padamu?” Hoseok mengusap kuah ramyun di sudut bibirnya dengan telapak tangan, lantas meneguk air mineralnya. Nao menggelengkan kepala sebagai jawaban. Jangankan bercerita, Namjoon bahkan tak pernah memandang Nao tepat di manik mata.

“Dia membenci ibumu, ibu kalian. Apa kau tak pernah tahu tentang penyiksaan yang ibumu lakukan setiap kali kau dan ayahmu pergi dari rumah?”

Nao terhenyak, namun memilih diam dan mendengarkan.

“Ibu kalian psikopat, ia seorang bipolar disorder. Ketika dalam fase manic, ia akan menyayangi Namjoon seakan dia satu-satunya cinta di dunia ini dan ketika ia dalam fase depressive, ia akan menyiksa Namjoon dengan kejam bahkan hingga menyayat-nyayat kulitnya.” Jeda sejemang saat Hoseok memilih mempertimbangkan perasaan Nao daripada melanjutkan cerita. Dilihatnya Nao menutup bibir dengan telapak tangan—menyembunyikan pekikan keterkejutan. Ia tak pernah tahu tentang itu, sekalipun setelah kematian sang ibu.

Itukah alasan yang sebenarnya?

“Namjoon trauma, Nao-ya. Setiap kali melihatmu, dia seperti melihat ibumu.”

Genangan air di mata Nao turun perlahan. Emosi dalam dirinya meledak-ledak, ingin sekali berderap dan menghambur dalam pelukan sang kakak. Ia tak mengerti bagaimana sakitnya Namjoon saat melihat Nao karena kenangan pahit itu pasti telah mencemari kejiwaan kakaknya.

“Satu lagi, Nao-ya, kau tahu kenapa Namjoon menutupi seluruh punggungnya dengan tato cougar besar?”

Nao menggelengkan kepalanya.

“Karena ia ingin menutupi bekas siksaan ibumu yang menggores di setiap inchi kulit punggungnya. Ia menato tubuhnya karena ingin menutupi trauma itu, namun ia tidak bisa. Trauma itu masih ada dan terus saja membayangi hidupnya.”

Sesaat Nao tergugu, pilu menyucuk relung dalam setiap degup tulang rusuk.

×××

Keadaan rumah kosong saat Nao tiba di sana, Namjoon pergi entah kemana. Gadis itu segera bergegas menuju dapur dan meletakkan belanjaan. Setelahnya, lekas ia kembali termangu di sisi jendela, memandangi jalanan depan rumahnya yang lengang.

Tatkala ucapan Hoseok terngiang di telinga, air matanya kembali bergumul di pelupuk mata. Nao menyeka segelintir basah yang lolos dari tanggulnya saat ia menutup kelopak.

Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba pintu rumah dibuka pelan, tidak digebrak seperti biasa. Namjoon berdiri di birai pintu, menatap Nao dengan pandangan sayu. Sayangnya, sinar benci itu masih ada. Trauma masih bertengger gagah di sana.

Menebalkan keberanian, Nao memanggil nama itu pelan. “Kak Namjoon…”

“Jangan memanggilku—”

“KAKAK!” sanggah Nao cepat, memotong ucapan Namjoon yang belum tuntas. Gadis itu maju selangkah, menuntut manik mata Namjoon untuk menjumpai maniknya. “Kenapa Kakak tak pernah menceritakan itu padaku?”

“Apa maksudmu, ha?!” Namjoon mendorong bahu Nao keras, namun tak mampu menggoyahkan pendirian gadis itu.

“Aku sudah tahu semuanya! Mau sampai kapan kau akan menyembunyikan tentang itu, Kim Namjoon!”

Bentakan Nao membuat Namjoon terdiam. Untuk pertama kalinya, manik gelap Namjoon menyatukan pandangan dengan manik kecoklatan milik Nao. Nao menghela napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika ia ingin membongkar semuanya malam ini. “Kau membenciku karena aku mewarisi mata milik ibu?”

Namjoon membeku di tempatnya.

“Kau membenciku karena aku mengingatkanmu pada ibu? Pada seorang yang sudah menyiksamu sewaktu kau masih kecil?”

Namjoon melangkah mundur hingga punggung tegapnya menyentuh dinding. Nyeri itu datang lagi.

“Kau masih memelihara trauma itu, Namjoon-a? Bahkan untuk melihatku saja kau tak bisa, kan? Kau tak berani melawan trauma itu, ha?”

Namjoon merosot jatuh, berteriak, kepalanya terasa akan meledak. Melihat itu, Nao mengikis jarak. Ia berlutut di hadapan pemuda itu, mencoba menyentuhnya. Namun Namjoon menolak sentuhan. Ia menepis tangan Nao yang berusaha menjangkaunya dan mendorong gadis itu hingga menabrak sofa. Nao meringis, kepalanya terantuk pinggiran sofa dan berdarah.

“Hentikan, Namjoon-a…” Masih belum menyerah, Nao kembali mendekati amukan itu. Namjoon masih saja berteriak dan menarik kasar surainya, seakan-akan ia ingin memecahkan kepalanya sekaligus menghapus memori kelam yang membuat hidupnya berantakan.

“Aku saudaramu, aku tak akan menyakitimu!” Nao mendekap erat tubuh itu, kendati Namjoon meronta, mencoba melepas pelukan mereka. Entah kekuatan dari mana, Nao mampu memerangkap tubuh itu dalam rengkuhnya.

“Aku tidak akan menyakitimu, Namjoon-a. Aku tidak akan menyakitimu.” Nao masih menangis dan Namjoon berangsur-angsur tenang. Tenaganya telah terkuras habis untuk berteriak, melemparkan benda apa pun yang ada di sekitarnya. Kini, ia terkulai dalam pelukan Nao. Telunjuk Nao bergerak menyusuri pungung Namjoon di balik kaus abu-abu tipisnya—sekadar memastikan. Dan benar saja, banyak bekas goresan yang timbul di sana saat Nao merabanya. Bisa saja bekas sayatan pisau atau cakaran kuku yang tajam.

Air mata Nao kembali berjatuhan.

“Aku bukan ibu, aku adikmu. Aku tidak akan menyakitimu, Kak. Kau harus percaya padaku.”

×××

Namjoon terbangun dengan pening yang mendera kepalanya. Ketika menoleh ke sisi ranjang, ia melihat Nao masih tertidur dengan darah mengering di dahinya. Namjoon menatap Nao dalam bungkam, mengingat apa yang terjadi semalam.

“Aku bukan ibu, aku adikmu. Aku tidak akan menyakitimu, Kak. Kau harus percaya padaku.”

Nao benar; mereka berbeda. Nao dan ibu mereka adalah dua pribadi yang berbeda. Namun trauma itu tak bisa sembuh dengan mudah. Namjoon masih takut setiap kali melihat gadis itu. Mungkin, ia akan selalu takut.

“Maafkan aku, Nao-ya.” batin Namjoon berucap gamang.

Lekas pemuda itu beranjak dari kasurnya. Ia sempatkan untuk membasuh diri sebelum berjalan ke luar dari kamarnya. Pemuda itu mematung di ruang keluarga, menyaksikan kekacauan yang terjadi akibat perlakuannya semalam.

Setelah sekian lama, luka lamanya kembali terkuak. Ia tidak bisa seperti ini, ia tidak bisa terus menerus menyakiti Nao hanya karena genealogis gadis itu yang mirip dengan ibunya. Bagaimanapun, Nao tak ada sangkut pautnya dengan trauma yang ia derita; kendati gadis itulah si pemicu utama.

Nao tak bersalah.

Dan Namjoon merasa kalah saat kakinya berbalik ke arah kamar. Tangannya dengan cekatan meraih koper dan mengisinya dengan beberapa lembar pakaian. Tabungan yang tersisa mungkin cukup untuk menunjang hidupnya beberapa bulan ke depan, ia juga bisa bekerja sebagai apa saja untuk menyambung hidupnya.

Hanya saja, ia tidak bisa terus berada di sana. Nao akan terluka lebih lama jika trauma itu belum menemukan penyembuhnya.

Maka, keputusan Namjoon sudah bulat. Perlahan, ia menyeret kopernya ke arah Nao yang masih terlelap. Gadis itu tertidur dengan posisi duduk di meja kerja Namjoon, masih begitu pulas hingga tidak sadar Namjoon sedang mengecup puncak kepala gadis itu untuk beberapa detik lamanya.

“Aku berjanji akan kembali suatu saat nanti.” Namjoon berucap dalam hati. Segera ia bawa kopernya ke luar dari rumah setelah meninggalkan secarik pesan untuk adiknya; Jaga dirimu, aku akan kembali saat aku sudah siap melihatmu tanpa rasa sakit itu.

Namjoon mulai mengukir langkah menjauh dari rumah; meninggalkan Nao yang masih terbuai lelapnya. Trauma tak akan sembuh hanya dengan satu pelukan, itu yang Namjoon rasakan. Ia dihadapkan pada dua pilihan; untuk terus berada di sana dan menyakiti adiknya atau pergi dan mencari penyembuhnya sendiri. Namjoon pun memilih opsi yang kedua, ia tak akan membiarkan Nao terluka lebih lama karena trauma mendalam yang entah kapan bisa disembuhkan.

Ia akan memulai hidup baru seraya mencoba menghapus trauma itu perlahan-lahan. Tak akan mudah, namun Namjoon sudah bertekad untuk mencoba. Entah akan memakan waktu berapa lama pun, ia akan siap menunggu. Hingga ketika semuanya terasa baik-baik saja, saat ia bisa menyebut nama ibunya tanpa rasa sakit dan trauma, Namjoon akan kembali ke rumahnya.

Ia pun berjanji dalam hati; Nao akan selalu menjadi pelabuhan pertama saat bahteranya memutuskan menepi. Nao akan selalu menjadi tempatnya pulang, satu-satunya rumah yang akan selalu ia rindukan. Karena Nao adalah adiknya–realita yang bagaimanapun adanya tak bisa ia dustakan.

.

.

Wait for me to come home, Kim Nao.”

—fin.

Untuk penjelasan tentang bipolar disorder bisa dicek di sini
Btw halo, aku fey, 98’s. Salam kenal dan ayo berteman?

 

34 pemikiran pada “[Oneshot] Greatest Fear

  1. KAK FEEEYYYY MAAPKEUN KUBARU BACA HIHIHI.
    Intronya, “She’s a psychopat.” Kirain si Naonya yang psiko. Makin cerita, kok malah maz namjun yang makin keliatan psiko/? XD
    Eh ternyata ibu mereka yang psiko.
    Ah- maz namjun kejam banget. Ku sampe ngeri sendiri bacanya 😦 kesian si nao. Kalo kujadi nao mah langsung kutinggal itu namjun 😦 /apa

    Btw kak, coba bikin tampilan paragrafnya pake justify. Biar lebih asik gitu bacanya(?). Hihi

    Suka

    • ECIE MBAK AGNES MAMPIR YUHUUU~ Kalo aku jadi nao juga udah kutinggalin cha……. ga deng boong. Ga tega jiahahahaha (dikeplak)

      Oiya, thankschuu sarannya, ntar postingan berikutnya bakalan di-justify (alesan, bilang aja males ngedit fey) thankschuu juga udah mampir ya (peloqciyom)

      Suka

  2. aku mau komen kira2 diusir nggak ya?/celingukan/

    udahlah fey akumah ngangguk2 cengeng aja kalo disuguhinnya jun-nao(asal nyingkat):”( berasa pengen punya abang(abangan) kalo bayanginnya bangjun..

    sebenernya aku udah baca ini, kemaren/tapi ngga bisa komen/ kenapa?/tanyalah pada rumput yang bergoyang/qriq….

    DITUNGGU BANGET LOH NAO-JIMIN YANG KEMARENnYAH/maksa/eh betewe ini kan jun-nao, yu, duh..

    ❤ ❤ ❤

    Disukai oleh 1 orang

    • Diusir kok yu, iya ini mau diusir abis bales komen bhaq (kemudian fey yg diusir dari lapak sendiri)(oke skip)

      Kyaaa Joonao shipper in da house yo! Aku juga shiperin kim siblings….(iyain aja)(fey lg gila)

      Yaudin bungkus aja itu bangjun, bawa pulang aja gapapa tapi dirawat dgn baik ya yu, jan lupa kasih makan, dimandiin juga…….eeee berasa kasi kucing (krik)

      ASTAGA AYU MAH INGET AJA NAOMIN YG ITU wkwkwk padahal aku (sengaja) melupakan….bhak. Ditunggu aja ya yu, sambil didoakan semoga fey ga beneran lupa 😀

      Thankchuu sudah mampir sist….<3

      Disukai oleh 1 orang

      • Mkasih lho fey, udah mau ngusir>,<terhura kan jadinya..
        IYA AKU JUGA SHIPPERIN KIM SIBLING YANG AGAK SABLENG ITU!!!
        kalo namjun kayanya bukan kucing, mungkin lebih mirip kambing, eh*
        IYA POKONYA NAOMIN saus tiramnya(Hah?)jangan dilupakan…
        Sama sama ya sist~/pergi sblum benar2 diusir/

        Suka

  3. Hallo shenpai….
    Maafkan reremahan kukis ini yang berkunjung dan mengotori lapak indahmu…
    Aku gamau komen, cuma mau menjejak/pffffttt
    Ini keren bgt fey shenpai….aku bisa apa .huhu
    Nao tegar ya…sini kenalan dulu sini nao sama mbakesi biar diajarin gimana cara menghajar namjun yg baik dan benar /pfffffttt lagi XD

    Anyway happy debut, shenpai….

    Suka

    • Gapapa mbakesi, anda menjejak saja saya sudah senang :’) apalagi kalo tambah ninggalin duit, ah saya menerima anda dengan senang hati…..

      Yaudin nanti Nao berguru sama mbakesi cara menghajar (dan mencintai) bang namjun dengan baik dan benar (ea)(kemudia dikaplok seokjin)

      Thankchuu ya mba-senpay-kesi sudah mampir, padahal nao belom gelar karpet + bersih2 :’)

      Suka

  4. Kukira, yang psikopat itu Nao
    Tapi untung, lega banget ternyata itu karena Namjoon trauma, dan Nao ngga salah apa-apa
    Dan aku juga suka endingnya, soalnya awalnya takut Namjoon bunuh diri gitu, tapi untung dia milih pilihan yang lebih bijak
    Semoga dia bisa kembali ke Nao ya:’D

    Love love kak
    Btw, aku salah seorang reader yang sering mampir di sini =D

    Suka

    • Halo, Aihara! (ato siapa ini panggilnya?) kenalan sini yuk! Aku fey, 98L.

      Kyaa pada salah tebak semua ya? Wkwkwk maafkeun tapi Nao ga psikopat kok, Nao anak baik heheu.

      Semoga dia bisa kembali ke Nao ya >>> Minta sequel detected nih haha, oke tapi ga janji bakal cepet ya xD

      Salam kenal, Ai! (aku panggilnya gini aja ya? Lucu ih haha)

      Suka

  5. Ceritanya sungguh menyentuh /lebay:D/ kasian nao nya disiksa begitu sma bang namjoon hiks kata katanya bagus banget pake kata kata ilmiah begitu /so tau maafkan/ keren ceritanya daebak.. ku kira nao bakal minggat/? Dari rumah itu eh ternyata dia pantangg menyerahh..
    Daebak lah pokoknya.. ^^

    Suka

    • Halo Raserin! (eh, gimana ini manggilnya?)

      Huhu terimakasih udah baca dan meninggalkan jejak yaa. Nao pantang menyerah? Emang iya? Liat nanti deh wkwkw.

      Salam kenal, Raserin!

      Suka

  6. Halo kak fey, salam kenal aku 01L ^-^
    Ini ffnya keren kereeen bgt kak..
    Semua feelnya dpt, dari segi keluarga itu dah kerasa bgt pas liat gmn Nao yg ttp tegar menghadapi kakaknya itu, dan beneran ga nyangka klo yg psycho itu ibunya, aku kira si Nao
    Apalagi pas bagian Namjoon cium keningnya Nao itu, aduh pengen punya kakak cowo juga jadinya :’
    ((Sepertinya kak fey memang jago di genre family ya? Aku jg pernah baca ff kak fey di sini yg ttg Yoonmin dan itu feel brothershipnya dpt bgt //kenapa nyambung kesini(???)//))
    Overall ini bagus bgt.. Kata2nya, diksi, majas(?) dan alurnya semua keren menurutku
    Ditunggu karya2 lainnya! ^^)9
    ((Kira2 ni bakal ada sequel ga? Klo bsa ada ya, ditunggu pastinya :)))

    Suka

    • Halo Ratih!

      Apalagi pas bagian Namjoon cium keningnya Nao itu, aduh pengen punya kakak cowo juga jadinya :’ >> Jangan, kakak cowo itu nyebelin (ato cuma kakakku doang?) ya pokoknya gitu /plak.

      Sepertinya kak fey memang jago di genre family ya? >> Hehe maapkeun tapi aku ketawa bacanya. Aku bukan jago, aku manusia (lah)(dipacul)

      ff Yoonmin yg Alucinaciones bukan? Ah itumah ff favoritku (yah nulis2 sendiri di favoritin sendiri gapapa ya) wkwkwk

      Ada sequel ga? Hm ditunggu saja ya kalo engga muncul2 di home BTSFFI berarti ga ada xD (php tingkat dewa)

      Salam kenal, Ratih!

      Suka

  7. Halo fey…
    Kayaknya dari semua staff yang belum kenalan sama kamu cuma aku yaaa…
    Ehehe, jadi senpai, ijinkanlah biji cabe ini berkenalan dengan dikau, wahay senpay fey…
    Siluetjuliet disini, salam kenal:))

    Dan, soal tulisan, aku gak pantes ngomentarin kamu soalnya kamu udh jago…. diksi, plot, dan feelnya oke bgt dah. Daebak thor~

    Yawis pokoknya gitu…
    /ditendang/

    Disukai oleh 1 orang

    • Halooooo mibec (aku panggil gitu boleh? Nyamain anak-anak sih waks /digeplak) kenapa ga pernah muncul di line mih…….?

      Lah kalo mibec biji cape aku apa? Bijinya biji cabe deh.

      Apalah tulisan recehan ini mih, but thankcuu udah baca ampe bawah huhu :’)

      /tendang mibec ke pelukan pimon/

      Suka

      • Aku masih kecil fey, panggil dekbec aja /ditampar
        Ehehe emg aku lg gak join grup, lg ada sesuatu yg harus dibereskan, lagian kasian grup line ntar tercemar kalo ada aku… eheheh

        Tulisan bagus dibilang receh uhuhuuu….
        Mau dong ditendang ke kuade bareng pimon :))

        Disukai oleh 1 orang

  8. Aku.. aku…. gatau mau komen apa. Ini keren banget menurutku dan astaga namjoon dirimu… kok seperti chef juna /lupakan/

    Dan mbak nao tetep tegar ya. Aku sempet mikir ntar mbak nao mau bunuh namjoon masa wkwkw pokoknya kusuka kusukaaa. Btw pas kalimat endingnya ‘wait for me to come home’ kujadi nyanyi photograph nya ed sheeran wkwkwwk

    Semangat terus, mbafey

    -wyd

    Disukai oleh 1 orang

    • Halo mbawyd! (atau hrs kupanggil tante? /plak)

      namjoon dirimu… kok seperti chef juna >> Maap, aku ngakak bentar.

      Engga dong mbawyd, Nao kan anak baik 0:) wkwk itu yg nyanyi ed sheeran emang bener kok wkwkwk aku waktu lg nulis playlistnya keputer itu jadi ya…begitulah hihi

      Disukai oleh 1 orang

  9. Aku baca malem malem pas bener bener malem dan pas belom tidur jadi maafkeun jika kata2 di komentar ini rancu rancu ancur gimanaaa gitu ((abaikan))

    Sumpah aku ga mikir sampe kondisi psikis namjun ((anak saiko gagal)) dan aku bahkan ngira nao yang saiko. Ternyata ibunya omg.. sumpah entah karena aku ngantuk atau emang ga ketebak, tapi kayanya yang kedua karna ngantuk masih bisa bikin aku mikir ((apaini))

    Aku suka bagian akhirnya. Tenang mengalir kayak air gitu ga ada tempat berlabuh. Yaah tipikal ending yg kusuka lah. Pokoknya, ini freakin good very well dst dst lah ((rancu kan bener)) ((abaikan saja))

    Keep writing yhaaa!!!

    Disukai oleh 1 orang

  10. We’re in the same line, cie habis UN ya? Btw jihyeon imnida.
    Bikin sequel dong bikin sequel, entah kenapa pas baca ini, ini bener-bener genre yang kusuka tp kalau bikin sendiri selalu gagal/? Feel kekeluargaannya dapet bgt, kerasa banget namjoon yang masih dalam keadaan trauma. Satu kata, keren! Keep writing with your own style!😆❤️

    Disukai oleh 1 orang

Leave a Review