[Ficlet-Series] #3. Memorial

memories.jpg

Memorial

by Naulia Kusuma

[BTS’] Kim Seokjin

Family, Sad, AU │ Ficlet │ General

Disclaimer: Just own this plot.

Another fic:

#1. Herzschmerz #2. Camouflage │#3. Memorial (now)


Selubung kabut putih yang samar mengambang di angkasa, membuat seantero kota dibungkus oleh jentikan suasana sendu yang cukup kental. Kelebat angin yang berarak siang ini tampak rapuh. Sementara gumpalan awan beraksen kelabu dengan seberaneka pola menyeberangi langit menuju timur. Bagai terhipnotis, siang menyerahkan tampuk kekuasaannya lewat mentari yang terpilin masuk ke dalam rombongan awan.

Langit mulai menghitam. Lamat-lamat, gelegak guruh menebas setiap jejak kesunyian, Bumi pun tertempa berjuntai-juntai rinai air. Dingin abadi bersemayam di antara lipatan kulit orang-orang, sementara aku membubuhkan sedikit intrik dalam aksi kamuflaseku kali ini. Maka, aku berupaya mempertontonkan sikap tegar, terlihat kebal dari tatapan mereka yang penuh iba dan simpati. Semaksimal mungkin aku meramu ekspresi di wajahku agar menumpul, sebagai mekanisme untuk menyiasati keratan luka. Meski kuakui, setengah mati kucoba menyekap beludak emosi ini, hingga rasa sesak meremat-remat tulang rusukku. Aku mau gila dengan semua lelucon memuakkan ini!

Hujan terus merantau di seluruh penjuru; bermula dengan percikan halus bagai sebuah komposisi dengan nada-nada tentatif, kemudian bertransformasi jadi tempo cepat yang frekuensinya kian melaju jadi badai berangin. Serta-merta, semburan hujan mengepung tux hitamku dengan bintik-bintik kecil mirip tetesan peluh. Rambut kecokelatan mengilap yang semula bergerak gemulai mengikuti ritme angin, kini menjuntai kuyu di kening. Setidaknya, tampang awut-awutan hasil rekonstruksi paket cuaca kesukaanku memang tak pernah mengecewakan; aku mengapresiasi setiap tonjolan detailnya. Dobel, bila perlu.

Manikku berotasi cepat. Mengobservasi area sekitar yang mulai dikerumuni oleh figur-figur berpakaian serbahitam serta bernaung di bawah payung berwarna senada. Arakan mereka tampak rapi, ditunjang oleh langkah-langkah pelan seiring dengan tempo hujan  yang makin melambat. Aku pun mencoba untuk mendeteksi sesuatu yang ganjil, sesuatu yang tak pernah kudapati dari acara peringatan sebelumnya. Nihil. Keheningan yang kentara mengoyak ekspektasiku. Setelahnya, yang mengudara hanya dentuman keras dari sepatu yang mereka kenakan, bergesekan dengan jalan setapak yang dilandasi bebatuan abu-abu.

Tak ada yang berbeda. Dunia senantiasa sama; berjalan normal mengikuti skenario agung yang direka oleh Sang Mahasutradara, dan jarum jam telah diset untuk berpacu dengan irama konstan. Paviliun kaca yang menjadi destinasi utama orang-orang untuk berkumpul, tetap menjulang kokoh di atas topangan kaki bukit landai dan sejuk, tak tampak terpengaruh dengan aura dukacita. Seperti biasa, aku selalu menempatkan diri di sudut yang kusanggupi, diam-diam menjadi siluet pemerhati yang bisanya memprotes situasi timpang ini dalam hati.

Bila aku diharuskan untuk berpartisipasi dalam arena maraton, pastilah aku satu-satunya pelari terdungu yang statis pada posisi semula, menjelma maskot di tengah hiruk-pikuk balapan. Padahal, kemenangan mencapai titik finis bergantung pada setiap sekon yang bergulir. Aku merasa tanah yang kupijak seperti sekaliber samudra luas yang tengah bergolak, melahap tubuhku tanpa permakluman, lalu menelanku bulat-bulat tanpa proses dikunyah. Itu, bukti bahwa sewaktu-waktu tanah bisa menunjukkan ketidaksukaannya atas otot-otot tubuhku yang saling memenjarakan. Ilustrasi mengerikan itu membuat kesadaranku perlahan berkembang. Betapa hidupku berevolusi dengan kecepatan yang tak biasa. Bahkan, sudah banyak momen berharga yang kucampakkan, lalu kubiarkan wafat sebagai bagian dari sejarah yang tak lagi utuh.

Keinginanku untuk berlari menjauh dari dunia riil semakin membuncah, tapi tetap saja aku terpaku dalam spiral waktu, dan aku terempas kembali untuk menyaksikan kisah sedih terulang. Setiap tahun, hari ini adalah hari yang paling kuantisipasi, saat seluruh kediamanku serta paviliun kaca didekorasi dengan bunga-bunga segar layaknya pesta pernikahan, saat aku didaulat untuk memainkan komposisi yang tak kuhendaki. Hari ini, semua orang diselubungi pilu mendalam seraya mendekap buket-buket bunga yang dicintai Mama. Rangkaian bunga-bunga memorial berupa peoni, aster, lilac, petunia, dan lili memenuhi paviliun kaca setiap tahunnya.

Hari ini adalah hari peringatan kematiannya. Kami berkumpul untuk mengenang kembali sosoknya, salah satu musisi berbakat kebanggaan dunia. Tujuh tahun silam, di akhir musim gugur, tepat empat hari menjelang ulang tahunku yang kedelapan, orang favoritku itu meninggalkan dunia untuk selamanya.

 -o-

Aku memasuki ruangan dengan langkah panjang dan cepat, meski proyeksi kesedihan di wajahku tak dapat tersamarkan. Aku tahu, semesta turut merayakan luka dengan caranya sendiri, mengirimkan hujan sebagai pelengkap cerita. Hujan berhasil membuat kondisi menjadi dramatis, persis seperti di hari pemakaman tujuh tahun lalu. Hujan pun mengguyur seluruh inci wajahku seolah linangan air berasal dari mataku. Padahal, aku benci menangis, betapa aku benci melihat para tamu yang terus-menerus melambungkan tatapan kasihan. Mereka selalu berspekulasi tahu banyak tentang kehilangan, tapi faktanya mereka tak lebih dari kumpulan pembual. Kehilangan memang sesuatu yang bersifat universal, sesuatu yang mampu memercikkan magis naluriah kepada siapa saja, tapi tidak semua orang benar-benar menginterpretasikan kehilangan dengan baik.

Sejujurnya, aku lebih suka berkutat dengan barang-barang yang akan kubawa ke Camelopardalis—sekolah baruku yang berlokasi di Salzburg, daripada terlihat mencolok di antara kerumunan. Tapi, sosok Victor dengan potongan rambut cepaknya memenuhi layar komputerku semalam. Sekretaris kepercayaan papaku itu bilang, kalau kepergianku ke Salzburg harus ditunda demi penghormatan untuk Mama di hari peringatannya. Kalau saja tatapan memelas itu tidak membuatku merasa seperti pecundang terbesar, mungkin aku akan berpura-pura tidak mengingat apa-apa tentang acara rutin di akhir musim, atau aku malah makin giat menenggelamkan diri dalam sesi mengepak barang. Namun, Victor tahu bahwa sikap abaiku selama ini adalah sebuah gestur defensif tiap kali ingatan tentang Mama terusik.

Yang kulakukan saat ini adalah berdiri di depan sebuah foto Mama yang diabadikan dalam pigura kayu berukiran kompleks, membaringkan seikat peoni yang sejak tadi berada dalam genggamanku. Katya yang merangkainya, dia berharap aku mengantar persembahannya dengan aman tanpa rontok sedikit pun. Aku paham mengapa dia tak melakukannya sendiri, karena dia tak sanggup bila harus berhadapan dengan sosok yang menjelma kenangan di balik pigura. Dia lebih memilih menyembunyikan pipinya yang becek karena air mata di balik mantel Papa.

Aku tak pandai beretorika, mengucap sepatah kata pun aku tak kuasa. Tanpa basa-basi, aku memosisikan diri di balik piano Bösendorfer hitam di pusat ruangan, mulai memainkan sebuah komposisi gubahan Frederic Chopin, “Tristesse” adalah nomor tiga dari sepuluh etude, bermain di nada dasar E mayor. Komposisi kompleks yang berdurasi sekitar empat menit itu merefleksikan kesedihan. Dalam memainkannya diperlukan keluwesan jari serta pergelangan untuk berpindah dari interval yang satu ke interval lain, sekaligus akurasi dan interpretasi yang baik dari pemainnya.

Aku berani bersumpah, seluruh gerakan maupun gumaman seketika menggunung beku. Hanya ada alunan nada sendu yang mampu mencuri napas siapa saja dan membuat gemetar. Entah kenapa, aku merasa kompilasi emosiku mulai mencair dan tersalur hati-hati lewat musik. Pada detik yang sama, hidup telah mengajarkan hal-hal yang penting pada diriku; tentang “sabar” yang seharusnya menjadi kosakata permanen dalam menghadapi rasa kehilangan, dan yang kita butuhkan bukan terasingkan di tempat sepi, kadang kita butuh kewajaran dalam setiap harinya sebagai syarat untuk bergerak maju.

Dan segala keindahan yang sebelumnya tak kasatmata, sesungguhnya akan menyembul dari hati yang bening. Sebab, kondisi hati yang keruh nan pengap tanpa pembiasan akan mengkristalkan masalah jadi amarah.

.

.

[end]


Cuap-cuap penulis:

  • Tristesse dalam bahasa Prancis artinya kesedihan.
  • Etude adalah komposisi musik instrumental yang biasanya singkat dan memiliki kesulitan tinggi, diciptakan sebagai bahan latihan untuk menyempurnakan kemampuan musik tertentu.
  • Halooo… selamat mengapresiasi! ^^

 

XOXO,

Nau

8 pemikiran pada “[Ficlet-Series] #3. Memorial

  1. OMG ff apa ini keren buaanget /lebaynya muncul -_-/ kak kakak makan apa sih ko rangkaian katanya bisa keren bgt?? Hehe maafkan.. setiap bikin cerita pengen bisa rangkaian katanya kayak begitu tapi ujung ujungnya selalu aneh /malah curhat/ daebak daebak daebaaaak pokoknya.. mas jin (ku) nya jadi musisi gitu toh hmm keren dah ff ini di tunggu kelanjutannya kak
    FIGHTING!!! ^^

    Disukai oleh 1 orang

    • Halo raserin 🙂
      /makasi udah baca en komen/
      haha… aku makanannya biasa aja; nasi, sayur, daging, apa aja yg penting halal hehe 😀

      Suka

  2. Ceritanya terlalu indah buat dikomen:”)
    Aku selalu jatuh cinta sama rangkaian kata dan penggunaan diksinya:’)
    Kadang iri kenapa bisa nulis seindah ini sedangkan saya msh blm apa apa:’)

    Satu kata kak buat ff nya, sempurna:’)

    Suka

  3. AKU NUNGGUIN PART 3 INI DARI KAPAN TAUN COBA, NAUUUU //matiin caps//

    Minggu kelabuku semakin membiru, hik
    Aku engga mau mereview..cuma mau apresiasi karya indahmu ini dengan segumpal(?) cuap2 tak berarti..wkwk
    pokoknya fic nonkonversasi itu favoritku, dalem, bikin terhanyut.
    Kalimat terakhir fav bgt, nau…huhu pokoknya ini jempol empat as alwayssss.

    ((balang cinta seokjin buat Nau))

    Disukai oleh 1 orang

    • Hai mbak ipy 🙂 /makasi syudah brkunjung ^^
      wkwkwk… aku juga gatauu knapa lebih suka buat cerita tanpa konversasi, lebih menghayati (?) hehe 😀

      Suka

Leave a Review