[Chapter 2] Messed Up: Of Reality and Unacceptability

messed up - tsukiyamarisa

Messed Up

written by tsukiyamarisa

.

All of BTS’ members

Chaptered | AU, Life, Friendship, slight!Angst and Dark | 17 (for trigger warning: suicidal thoughts, drinking, self-harm, panic attack, etc.)

loosely based on Run MV and HYYH Prologue

.


But what is a friendship?

Something that collide with us, or something that stay with us during collision?


.

previous: #1: This Is Not Where We Started

.

#2: Of Reality and Unacceptability

.

.

.

Percakapan mereka dimulai dengan sapaan, tawa, dan sedikit basa-basi.

Yoongi sendiri adalah tipe orang yang lebih suka berbicara langsung pada intinya, memilih untuk mengetahui tiap perkara tanpa perlu diimbuhi kata-kata manis. Kendati begitu, ia paham mengapa teman-temannya tak langsung menceritakan apa yang mengganjal di dalam benak. Senja sore ini terlampau indah untuk dibumbui dengan kesuraman, sama halnya seperti perjumpaan mereka setelah sekian minggu berlalu. Walau keceriaan yang ada mungkin semu, tetapi tak ada salahnya bukan untuk mempertahankan hal itu selama beberapa saat?

Jadi, yang Yoongi lakukan hanyalah mendengarkan. Duduk bersebelahan dengan Seokjin di atas rerumputan, mengamati kelima kawan mereka yang sibuk bertukar canda dan berebut makanan yang dibawa Namjoon. Sebuah pemandangan yang cukup untuk membuat ujung-ujung bibirnya terangkat, selagi Seokjin ikut tergelak dan mulai mengambil kentang goreng yang ada di pangkuan Yoongi.

“Keberatan?”

Nope. Kau tahu aku tidak terlalu suka makan.”

“Itu hal teraneh yang pernah kudengar.”

Yang dikomentari hanya mengedikkan bahu, tak menjawab selagi maniknya bergerak untuk mengawasi tingkah Jungkook dan Taehyung—bergulingan di rumput sambil melakukan semacam gerakan gulat.  Tawa mereka membahana, dan tak butuh waktu lama, Jungkook sudah berhasil menindih sebagian tubuh Taehyung sambil menyuarakan kemenangannya. Tatap menantang ditujukan pada teman-temannya yang lain, disambut dengan gelengan cepat dan penolakan kompak.

“Kalian payah.”

“Aku masih sayang tulang-tulangku, trims,” balas Namjoon sarkastis, sementara Hoseok mengangguk setuju. “Lagi pula, kalau kau memang ahli berkelahi—”

Yeah?” Jungkook menyambar cepat, tetapi seolah menyadari kata-katanya, Namjoon buru-buru bungkam. Memilih untuk tak melanjutkan, karena ia tahu persis bahwa Jungkook terkadang sengaja tidak melawan teman-teman sekolahnya saat dipukuli. Ia tidak mau dicap sebagai tukang pukul atau ahli berkelahi, walau begitulah label yang diberikan orangtuanya di rumah. Jeon Jungkook selalu ingin membuktikan kalau dirinya lebih baik dari semua itu, kendati untuk saat ini, hanya luka dan rasa diabaikanlah yang ia dapat.

“Ayo….” Jimin berdeham, memungut bola sepak yang dipungut Taehyung entah dari mana sembari mengusulkan, “Ayo kita main lempar tangkap saja.”

Seriously, Park Jimin? Memang kita anak-anak?” Hoseok menjungkitkan sebelah alis, tapi tetap bangkit berdiri dan mengisyaratkan temannya untuk melempar bola. Menangkap benda putih kusam itu dengan sigap, lantas bermaksud untuk mengopernya ke Namjoon. Sayang, belum sempat Namjoon bangkit berdiri, Jungkook sudah lebih dulu menginterupsi. Kaki kanan terayun untuk menendang bola tersebut, diiringi seruan Taehyung dan sebuah ucapan yang ditujukan kepada Namjoon.

“Kau lambat, sih, Hyung. Sana, ambil!”

Tersenyum, Namjoon lekas bangkit dan berlari mengambil bola itu. Tanpa perlu dijelaskan, ia tahu kalau Jungkook sudah memaafkannya. Dan bukan hanya Namjoon, yang lain pun bisa melihat itu. Masalah semacam tadi memang sensitif, tetapi bukan berarti mereka butuh waktu lama untuk memaafkan. Lagi pula—menurut pengamatan Yoongi yang memilih untuk tetap duduk—Jungkook juga sudah mengabaikan kata-kata Namjoon tadi dan enggan mengungkitnya lagi. Mereka kembali ceria seperti biasa, seperti anak kecil hingga membuat Yoongi diam-diam merasa hangat karenanya.

Hyung, tidak ikutan?”

Menginterupsi pikiran-pikiran yang melintas di benak Yoongi, Hoseok menoleh sepintas ke arahnya demi mengajukan tanya tersebut. Badan setengah dibungkukkan untuk menghindari lemparan Taehyung, sementara Yoongi menunggu bola itu menggelinding ke arahnya dengan sabar.

“Kau tahu aku lebih suka mengamati,” timpal Yoongi sambil melempar bola yang telah ditangkapnya, manik terarah pada Seokjin untuk mencari pembenaran. Namun, yang dicari tak lagi duduk di sampingnya. Alih-alih, Seokjin sudah ikut berdiri dan mengambil jarak yang cukup jauh dari mereka semua. Handycam di satu tangan, lampu merah yang berkedip menyala di sisi kanan adalah tanda bahwa ia tengah merekam semuanya. Pantas saja ia tidak ikut bermain dan tak ada yang mengajaknya—merekam selalu menjadi alasan Seokjin untuk tidak sepenuhnya terjun dalam ide konyol kawan-kawannya.

Hyung?”

Ck, tidak.” Yoongi menolak ajakan Hoseok lagi, mengembalikan atensinya pada kelima temannya yang lain dengan sudut bibir dinaikkan. “Sana, main saja. Bangunkan aku kalau sudah selesai.”

Hoseok mendengus, tapi memutuskan untuk tidak mendebat dan membalikkan badannya. Kembali pada permainan, membalas lemparan Taehyung hingga lelaki yang bersangkutan menyuarakan protesnya. Riuh mengisi suasana, dan Hoseok sedikit tertawa geli saat membayangkan apakah Yoongi bisa tidur dalam kondisi seperti ini.

Tentu saja jawabannya adalah tidak bisa.

Well, sesungguhnya, Yoongi juga tidak berniat untuk memejamkan matanya dan lelap ke alam mimpi. Ia sudah mendapatkan tidur yang cukup tadi, dan sesuai dengan alasan pertama yang ia sampaikan, ia memang lebih suka mengamati. Duduk seraya memenuhi pikiran dengan hidup teman-temannya, berusaha menebak-nebak apa yang kiranya ada di dalam tiap benak. Sejak dulu, Yoongi selalu memberi dirinya label pengamat yang baik. Ia bisa tahu segalanya—bahwa Jimin sedang gelisah jika ia tidak mau turun dari tempat tidurnya; bahwa Namjoon baru saja dikirimi uang jika ia merokok lebih banyak dari lima batang sehari; bahwa Jungkook sesungguhnya ingin menangis dibalik aksinya membanting barang-barang; bahwa senyum Hoseok kadang tak mencapai matanya; bahwa Taehyung yang terlalu semangat bermain adalah Taehyung yang sedang kabur dari realita; dan bahwa Seokjin kini sedang mengamati dirinya dengan segudang pikiran lain di dalam otaknya.

“Apa?”

“Kau tidak banyak berubah.”

Hanya itu jawaban Seokjin, sembari ia mengembalikan fokus lensanya pada lima orang yang lain. Setengah jam telah berlalu, dan mereka sudah berhenti berteriak-teriak serta melempar bola. Benda putih itu kini tergeletak di pangkuan Jungkook yang terengah-engah, terlihat lelah tapi jelas bahagia. Begitu pula halnya dengan Taehyung, Jimin, Namjoon, dan Hoseok. Mereka semua berbaring di rerumputan, berkeringat dan berusaha menstabilkan napas, tetapi manik mereka sama cerahnya dengan lampu-lampu perkotaan yang mulai menyala di seberang sana.

“Berikutnya apa?”

Yoongi bisa mendengar Jimin bertanya, membuatnya sedikit keheranan. Teman-temannya itu tak pernah kehabisan energi, dan menilik dari senyuman penuh arti yang ada di wajah Taehyung dan Hoseok, Yoongi tahu bahwa jawabannya adalah sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang di luar dugaan, yang mungkin akan melibatkan beberapa pelanggaran peraturan serta—

“Taehyung memberiku satu ide. Tadi, sebelum kalian datang.” Hoseok memulai, ada cengiran di wajahnya. “Kemarin malam, ia dan Namjoon—“

“Kami menghias kota!”

Taehyung berlari kecil ke arah ranselnya yang tergeletak di atas rerumputan, membukanya untuk menunjukkan beberapa botol pylox di sana. Erangan Namjoon terdengar sedetik kemudian, disusul dengan pekik kekaguman Jimin serta pernyataan penuh semangat dari Jungkook bahwa ia juga ingin melakukannya.

Ia benar, ‘kan?

“Sisanya tidak banyak, tapi….” Taehyung melempar satu botol pylox warna merah, menangkapnya kembali dengan seringaian di wajah sambil melanjutkan, “Kurasa ini akan menyenangkan? Di sana, maksudku.”

Tatap mereka semua sekarang tertuju pada jembatan yang membentang di atas kepala, salah satu rangkanya yang tegak dan dicat abu-abu tertanam tak jauh dari bentangan rumput tempat mereka duduk. Layaknya tempat yang tersembunyi dan jarang menjadi perhatian, cat abu-abu itu tentu tak sepolos dan sebersih kelihatannya. Ada coretan dan grafiti di sana-sini, pun dengan pecahan botol bir dan bungkus rokok serta makanan yang tersebar. Namun, bukan itu maksud Taehyung. Bukan di rangka beton keabuan itulah mereka akan membuat onar.

Melainkan di tempat jembatan itu berujung.

“Ada terowongan di ujung jembatan ini, langsung menuju pusat kota,” ucap Taehyung tatkala ia menyadari bahwa teman-temannya masih diam, menimbang-nimbang. “Kalau kalian tidak mau, aku akan mengajak Namjoon Hyung lagi.”

“Hei, seluruh badanku masih pegal, ta—“

“Jangan khawatir, Hyung. I’m in!”

Memotong protes Namjoon, Jungkook-lah yang pertama kali buka suara dan menyerukan keikutsertaannya. Melonjak-lonjak penuh semangat, tanpa disuruh memilih cat dengan warna biru gelap. Cengiran lebar dan usil tampak di wajahnya ketika ia mengangkat sebelah alis, seakan menantang yang lain.

“Tidak usah sok begitu, Jeon Jungkook,” ucap Hoseok tak lama kemudian, merentangkan lengan seperti sedang melakukan gerakan pemanasan. “Mana mungkin kami menolak, iya, ‘kan?”

Persetujuan terdengar di sana-sini, ditingkahi bunyi kaleng cat yang tengah dikocok. Langit sudah mulai menggelap, sinar mentari sepenuhnya digantikan oleh keremangan rembulan yang belum bulat sempurna. Malam sebentar lagi datang, namun bagi mereka, hari itu seperti baru akan dimulai. Pacuan adrenalin, semangat yang berapi-api, dan juga keinginan untuk berlari. Untuk melakukan sesuatu; memulai hal yang mungkin melanggar norma umum, tetapi mampu membangkitkan kehidupan di dalam diri mereka semua.

Bahkan, Yoongi yang tadinya terlihat malas pun mulai bergerak menghampiri tas Taehyung.

“Oh, lihat siapa yang—“

Shut up,” sambar Yoongi tajam, mendorong tas itu kembali ke pemiliknya ketika ia mendapati bahwa tak ada lagi kaleng cat yang tersisa. “Aku akan memberi kalian backsound kata-kata makian saja kalau begitu.”

Aww, atau kau mau milikku, Hyung?” Jimin sedikit terbahak, mengacungkan kaleng catnya ke hadapan Yoongi. “Warnanya oranye, dan kurasa ini bisa sedikit mencerahkanmu!”

Yoongi memutar bola matanya sebagai tanggapan, sedikit menoyor Jimin menjauh dan memberinya gelengan tegas. “Kau saja. Aku tidak melakukan hal kekanak-kanakan seperti menggambari dinding, tahu. Yang penting aku ikut, ‘kan?”

Bullshit.”

Hei!!”

“Tapi aku kaget juga kau tak menolak,” kekeh Namjoon, keengganannya jelas sudah menguap. “Kukira, beberapa bulan tidak bertemu akan mengubahmu menjadi lelaki tua tukang ceramah. Untung saja tidak.”

Kali ini, Yoongi membalas dengan tendangan pada kaki Namjoon hingga si lawan bicara mengaduh kesakitan. Sukses membungkamnya, selagi ia menggulirkan manik ke arah Seokjin. Teman mereka itu hanya mengulum senyum mendengar semua obrolan tadi, handycam masih berada di tangan untuk merekam semuanya. Ia juga tak mendapatkan kaleng cat semprot, tetapi Yoongi tahu bahwa ia tak akan mau kelewatan acara bersenang-senang ini.

Dugaannya itu tepat, karena Seokjin kini sudah beralih mematikan handycam-nya. Membalas tatapan Yoongi sejenak, sebelum akhirnya melangkah mendekat dan menepuk bahu sahabatnya. Sorot matanya menyiratkan bahwa ia sedikit cemas akan semua ide ini—khas seorang Kim Seokjin—meski pada saat yang sama ia juga bersemangat dan tak mungkin meninggalkan teman-temannya sendiri.

“Semua akan baik-baik saja,” gumam Yoongi lirih. “Lagi pula, ini bukan kali pertama kita melakukannya, bukan?”

Satu anggukan, dan keduanya lantas kembali mengalihkan atensi pada kelima orang lainnya. Berkumpul sejenak membentuk lingkaran, ekspresi serius seolah sedang membahas strategi untuk berperang. Lucu, mengingat apa yang akan mereka lakukan setelah ini sesungguhnya bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Orang-orang dewasa tidak akan mengerti, tetapi itulah tepatnya yang mereka butuhkan saat ini. Untuk kabur dari realita, untuk melakukan semuanya tanpa pikir panjang, dan untuk bersikap layaknya bocah yang belum mengerti benar atau salah.

Maka, tak ada sedikit pun lagi keraguan di benak mereka.

Dan hanya tawa serta kegembiraan sajalah yang terdengar—

“Oke, semua siap, ‘kan?”

—sebagai jawabannya.

.

-o-

.

Suara klaksonnya bising, menggema, dan saling bersahutan.

Ada sedikit kemacetan di dalam terowongan itu, yang memaksa beberapa mobil untuk mengantre pada satu jalur sementara yang lain merayap perlahan di jalur lain. Penyebabnya sederhana. Jeon Jungkook baru saja sukses melempari kaca jendela beberapa mobil dengan kerikil, seraya teman-temannya mencoretkan pylox pada dinding terowongan membentuk barisan kata-kata asal serta gambar tak bermakna. Tak jauh dari mereka, ada Taehyung yang sedang mengayun-ayunkan balok kayu bekas sepanjang kurang lebih satu setengah meter. Secara efektif menghentikan laju kendaraan, memaksa pemilik sedan berwarna putih—seorang wanita dengan rambut disanggul tinggi—menekan klaksonnya berulang-ulang.

“Oh, ini akan bertambah menyenangkan,” dendang Taehyung sambil bangkit berdiri, mendekatkan wajahnya ke kaca mobil si wanita bersanggul tinggi. Ia membuat beberapa raut muka mengejek di sana, yang tentu saja makin membuat geram wanita itu. Tak tahan lagi, kaca jendela mobil sedan itu pun lekas diturunkan. Maksud hati hendak memprotes, tapi gagal tatkala lemparan kerikil dari Jungkook berhasil menghantam bingkai kaca—nyaris mengenai si wanita.

“Anak-anak kurang ajar!”

Bukannya merasa takut, Taehyung dan Jungkook malah kompak tertawa. Seakan mengejek, seakan menegaskan bahwa omelan dan makian orang dewasa tak berpengaruh bagi mereka. Mereka mengabaikan jerit kekesalan wanita itu sepenuhnya, memutar bola mata ketika jemari gemuk si wanita meraih ponsel di dasbor mobil. Mungkin untuk menghubungi pihak berwenang, melaporkan bagaimana rusuhnya situasi di terowongan ini.

“Lima menit, guys!”

Meneriakkan peringatan itu, Jungkook menepuk-nepuk atap mobil sedan seraya Taehyung menyandarkan diri pada kap depan mobil. Balok kayu yang ia bawa sukses berfungsi sebagai ancaman, selagi jawaban kawan-kawannya terdengar menggema di seluruh terowongan.

“Hanya lima menit?”

Yeah, makanya cepat sedikit!” Taehyung membalas, dari sudut mata menangkap presensi Hoseok yang sedang menghabiskan sisa makanan yang dibawa Namjoon dan melempar bungkusnya dengan asal. Beberapa mendarat di atas kaca depan mobil terdekat, membuat pemiliknya langsung memaki-maki sebelum akhirnya mendapat siraman air di badan mobilnya dari Yoongi.

Fucking crazy, hm?” Yoongi membalas, menaikkan sebelah alis dengan santainya. “Shit, kau benar-benar kesal, ya?”

Pemilik mobil itu, seorang lelaki berjas dan berdasi, hanya bisa menggeram dan mengancam akan melaporkan mereka pada polisi. Beberapa kata umpatan terdengar lagi, yang anehnya malah memancing tawa Yoongi dan Hoseok. Gerutuan dari beberapa pengguna jalan lainnya juga mulai tertangkap telinga, kaca-kaca jendela diturunkan agar mereka bisa melihat dan menyuarakan protes dengan lebih jelas.

Ah, tidak bisa bersenang-senang sedikit, ya, mereka?” Jimin mengomentari, kaleng cat semprot di satu tangan. Ia dan Namjoon sedang asyik menggambari dan menghiasi tembok terowongan, mencoretkan berbagai warna di atas cat abu-abu yang kusam. Abaikan omelan dari salah satu pasangan orangtua yang kebetulan ada di sana, yang berkata bahwa anak-anak muda seperti mereka pasti tidak pernah melakukan kegiatan berarti. Oh, tahu apa mereka, hah? Bukankah orang dewasa itu adalah sekumpulan manusia yang enggan ambil peduli? Mana mereka tahu, kalau dibalik semua tindakan ini, ada segudang kecemasan mengenai tumbuh dewasa, beban pekerjaan paruh waktu, tekanan orangtua, masalah di sekolah, setumpuk pemikiran gelap, serta jati diri yang nyaris terkikis?

“Mungkin mereka mau ikut bermain, Jimin-a?”

Seolah sedang memikirkan hal yang sama, Namjoon menyerukan ide itu. Bertukar tatap sejenak dengan Jimin, yang kemudian dibalas sebuah anggukan dari si lawan bicara. Mengocok kaleng pylox-nya, Jimin melangkah menghampiri Yoongi yang masih asyik beradu mulut dengan si pengemudi. Lengan terangkat, sementara manik si lelaki berdasi tadi berpindah ke arah Jimin dengan ngeri.

“Hai!”

“Jangan berani-beraninya kau mengotori mobilku, berengsek!”

“Oh, tapi kupikir kau butuh sedikit keceria—“

.

.

“TEMAN-TEMAN, LARI!!”

.

.

Memotong perkataan Jimin, suara teriakan Jungkook terdengar bagai komando yang menggema di seluruh terowongan. Teman mereka yang paling muda itu mengarahkan telunjuknya ke satu titik di kejauhan, selagi sirine mobil polisi samar-samar terdengar. Menolehkan kepala, mereka semua bisa melihat lampu merah-biru yang menyala dan membelah keramaian kota, masih cukup jauh tetapi sudah mampu tertangkap oleh netra.

Dammit!”

“Okay, time out, guys!”

Tanpa perlu diperintah untuk yang kedua kalinya, mereka pun kompak berlari meninggalkan semua kekacauan yang ada. Melemparkan kaleng pylox kosong, bungkus makanan, dan botol minuman; memenuhi jalanan dengan bekas-bekas keributan yang ada. Taehyung bahkan sengaja meninggalkan tongkat kayunya di tengah jalan, makin menghalangi para pengemudi untuk bergerak maju sementara mereka berpacu dengan bebas.

“Kita harus ke mana?” seru Hoseok, menaikkan tudung jaketnya sambil menggerakkan tungkai secepat mungkin. “Ada ide?”

“Flatku yang paling dekat,” balas Yoongi cepat, sedikit terengah tapi mengeraskan suaranya agar yang lain mendengar. “Kita berkumpul di flatku, oke?”

Yoongi tak perlu mendengar jawaban, karena Taehyung langsung menarik lengan Jungkook dan membawanya berbelok tepat di pintu keluar terowongan. Begitu pula halnya dengan Namjoon, Hoseok, dan Jimin, dengan sigap berpencar dan mencari jalan untuk mencapai flat milik Yoongi. Tinggalkan lelaki itu sendiri, sedikit melambatkan langkah kakinya untuk memberi isyarat pada seseorang yang duduk di balik kemudi.

“Kau juga harus pergi.”

Kim Seokjin menjungkitkan alis, melontarkan tanya tak terucap. Biasanya, mereka semua akan memilih untuk menumpang pada bak belakang mobil pick-up Seokjin. Membiarkan teman mereka memacu kendaraan, diiringi teriakan kencang dan tawa bahagia. Namun, hari ini, mereka semua tak berpikir untuk melompat naik ke mobil lelaki itu. Memilih untuk bergantung pada kecepatan kaki, kendati lelah akan datang kemudian.

“Sungguh?”

Yeah. Menghindari tertangkap akan jauh lebih mudah,” jawab Yoongi, menepuk badan mobil Seokjin seraya nyengir lebar. “Ayo, sebelum para polisi itu sampai di sini. Aku akan baik-baik saja.”

Tak memberi Seokjin kesempatan untuk mendebat, Yoongi sudah kembali bergerak. Menyelinap keluar dari terowongan, lantas beralih menuju trotoar yang akan membawanya ke jembatan penyeberangan. Deru mobil lain dan sirine khas polisi masih terdengar di kejauhan; terlampau terlambat untuk menemukan mereka yang sudah berbaur dengan kegelapan malam. Mereka lolos; dan seandainya Seokjin terpaksa berpapasan dengan kendaraan lain atau mobil polisi, Yoongi tetap yakin kalau tak seorang pun akan curiga. Seokjin bisa berpura-pura polos seperti biasa, bahkan mungkin memberi informasi palsu pada pihak yang berwenang.

Mereka aman.

Tanpa menoleh ke belakang lagi, Yoongi melepas jaket yang ia ikatkan di pinggangnya. Memakainya untuk menyelubungi tubuh, langkah kaki sedikit diperlambat saat ia menyusuri jembatan. Angin dingin berembus, membelai tiap inci kulitnya yang tak tertutup, menyejukkan sekaligus menenangkan pada saat yang bersamaan. Euforia dan adrenalin yang ada mulai surut, digantikan dengan tarikan napas teratur dan sudut-sudut bibir yang berjungkit puas.

Kalau boleh, Yoongi ingin sekali menghentikan waktu—pada detik ini, momen ini, dan rasa bahagia ini.

Namun, ia tidak bisa.

Tidak karena ada kawan-kawan yang pasti menunggu dirinya.

.

-o-

.

“Lemparkan lighter-nya padaku.”

Ia yang terakhir tiba di flat, mendapati bahwa ruangan sederhana tempatnya dan Jimin tinggal sudah penuh. Bau asap rokok belum tercium, tetapi menilik dari keberadaan selinting tembakau yang terselip di bibir Namjoon, Yoongi tahu kalau aroma itu akan segera datang. Pun dengan kekacauan serta keributan di sana-sini, mengingat teman-temannya itu kini sedang berkerumun sembari memakan snack dan minum bir.

Hyung! Kau lama sekali!”

Menyambut Yoongi yang baru saja melepaskan sepatunya, Jimin melambaikan sebelah tangan. Mengajaknya untuk segera bergabung, sementara Taehyung dan Jungkook sibuk mengocok satu pak kartu. Entah permainan apa yang akan mereka mainkan, lantaran Yoongi biasanya memilih untuk menjadi penonton dan memberi komentar di sana-sini.

“Aku berjalan-jalan sebentar,” sahut Yoongi sambil melepaskan jaketnya, dengan asal melempar benda itu ke atas sofa. “Memangnya aku tidak bosan, bertemu dengan kalian yang berisik ini?”

“Dikira kami tidak lelah, berteman dengan tukang penggerutu sepertimu?” balas Hoseok seraya melempar sekaleng minuman, yang langsung ditangkap Yoongi. Mengamatinya sejenak, ia baru sadar bahwa Hoseok memberinya sekaleng kopi dingin. Sungguh kontras dengan Jimin, Taehyung, dan Jungkook yang kini bermain kartu ditemani bir, sampai Yoongi melihat bahwa Hoseok sendiri memilih untuk menyesap soda.

Beringsut mendekat, ia bisa melihat kalau Hoseok tak banyak tersenyum seperti dulu. Setelah melemparkan balasan pada kata-kata Yoongi tadi, lelaki itu memilih bungkam. Dagu ditopangkan pada sebelah tangan, duduk bersila di atas karpet, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan. Tatapnya mengisyaratkan kalau ia ingin melakukan hal lain—mungkin membicarakan sesuatu yang serius—tetapi tak tahu harus memulai dari mana.

“Hei.” Yoongi menyenggolnya ringan, berdeham sejenak sebelum melanjutkan, “Tidak ikut bermain?”

“Sedang tidak minat,” balas Hoseok tanpa jeda, meneguk sodanya banyak-banyak. “Sedang tidak ingin mabuk juga.”

Yoongi mengangguk paham. “Ingin menceritakan masalahmu?”

Hoseok tak langsung menjawab. Ia memilih untuk melempar pandang, mengamati Namjoon yang sedang bersandar di birai jendela sambil mengembuskan asap rokok sebelum bergumam, “Masalah kita semua mungkin lebih tepat.”

“Hoseok-a….”

“Tapi, mereka terlihat bahagia, Hyung,” bisik Hoseok, kepala dikedikkan ke arah Taehyung, Jimin, dan Jungkook. “Setelah minggu-minggu yang terasa berat belakangan ini, dan sekarang aku bisa melihat mereka tersenyum. Aku tidak mau merusak—“

“Itu ilusi, kau tahu?”

“Aku tahu.”

“Semua yang kita lakukan hari ini, semua keributan tadi….” Yoongi memijat pelipisnya sejenak, lalu sekonyong-konyong bangkit berdiri seakan telah mengambil keputusan. “Mungkin kau tidak mau merusaknya. Aku juga tidak. Tapi, itu tidak mengubah fakta kalau kita semua harus berbicara.”

Tidak ada tanggapan, namun Yoongi bisa melihat anggukan Hoseok dari sudut matanya. Dan itu cukup, setidaknya untuk saat ini. Mereka masih punya beberapa jam sebelum hari berakhir, mereka punya sepanjang malam untuk menyortir isi pikiran dan mengeluarkannya. Maka, Yoongi pikir, tak ada salahnya jika ia ikut meramaikan suasana. Sedikit musik, mungkin?

“Buatanmu?”

Namjoon berkomentar ketika Yoongi sudah membuka laptop dan memainkan salah satu file yang ada. Membiarkan sedikit dentuman bass sebagai pembuka terdengar, diiringi dengan alunan tempo yang lebih cepat setelahnya. Itu adalah file yang telah ia garap berulang kali, yang tak pernah memberinya rasa puas bahkan hingga detik ini.

“Mungkin kalian bisa membantu mencari kekurangannya,” balas Yoongi, jemari dijentikkan mengikuti irama. “Aku merasa ada yang salah di sini.”

“Kau tahu, Hyung, menurutku lagu ini sudah—”

“Tidak, tidak! Ini bukan lagu yang pantas dipuji, ini sama sekali tidak terdengar bagus. Aku… aku tidak butuh itu, Namjoon.”

Pasrah, Namjoon pun menurut dan membiarkan lagu buatan Yoongi mengalir. Mendengarkannya dengan saksama, kendati ia yakin bahwa telinganya tak akan menemukan sesuatu yang kurang. Setiap iringan melodi, semua susunan tempo, serta suara nyanyian Jimin yang samar di latar belakang—bagi Namjoon perpaduannya sudah tepat dan indah. Namun, Yoongi tak mengizinkannya untuk melontarkan pujian. Sahabat Namjoon itu tetap diam dengan kening yang dikerutkan, abaikan seruan Jungkook dan pujian Taehyung atas lagu yang terdengar, sampai—

“Tunggu sebentar.”

Kepala Yoongi terdongak secepat kilat, manik tiba-tiba berkelebat ke sekeliling ruangan. Ia menatap kelima temannya lekat-lekat; memaksa Taehyung, Jungkook, dan Jimin untuk mengambil jeda dalam permainan mereka, Hoseok untuk menghentikan lamunannya, sementara Namjoon lekas menoleh dan tak jadi meraih batang rokok baru untuk disulut. Ada hawa kepanikan yang tahu-tahu menyusup, terlebih kala mereka menyadari bahwa Yoongi baru saja menggerakkan bibirnya tanpa suara untuk menghitung.

Hyung, ada apa?”

“Jimin-a, di mana….” Yoongi menggelengkan kepalanya, memandang Jimin yang tadi bertanya dengan bingung. “Seokjin Hyung belum datang?”

Tak ada jawaban.

Kuriositas singkat milik Yoongi itu tak berbuah jawaban, tidak karena yang Jimin dan Jungkook lakukan adalah memberinya tatap sendu. Pun dengan Hoseok yang langsung menundukkan kepalanya, juga Namjoon yang memilih untuk menarik napas dalam-dalam. Mereka tak memberinya jawaban, dan Yoongi bisa merasakan kekhawatirannya mulai memuncak tatkala Jungkook bangkit berdiri untuk menghampirinya.

Hyung….

“Tapi aku….” Beralih menggigiti bibir bawahnya, Yoongi memutuskan untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen lebih dulu. Sekali lagi mengamati raut wajah sahabat-sahabatnya, membiarkan satu bagian dalam otaknya untuk menyodorkan realita. Untuk mengingatkannya akan sebuah kejadian, untuk menyadarkannya bahwa ialah yang bergantung pada ilusi dan memori.

“Yoongi Hyung, kau tidak ingat?” Jungkook berkemam pelan, meletakkan kedua tangannya pada pundak Yoongi. “Aku… aku bukannya menghakimi. Terkadang, aku pun juga masih mengira ia ada di sini. Melihatnya duduk, menegurku, memberiku nasihat, atau sekadar bicara padaku. Aku—“

“Tidak.”

“Seokjin Hyung itu sudah—”

“Cukup, Jungkook.”

“Yoongi Hyung….”

“Kubilang cukup! Biarkan aku berpikir, oke?”

Jungkook tidak bisa membantah, membiarkan Yoongi menepis kedua tangannya dengan kasar. Lelaki itu mengacak rambut pirang pendeknya dengan frustasi, berderap cepat menuju dapur untuk mengambil bir dingin dari kulkas. Meneguknya hingga habis separuh, tak peduli dengan sorot khawatir yang diberikan kelima temannya. Yoongi benar-benar butuh waktu untuk menata isi pikirannya, untuk mengasihani dirinya sendiri yang telah berbuat kekanak-kanakan.

Oh, tidak, Yoongi tidak mengalami amnesia, sungguh.

Sejujurnya, ia ingat segalanya. Ia bisa menjabarkan dengan runtut detail kejadian beberapa bulan lalu itu, ia bisa menceritakan rasa dingin, hampa, dan sakit yang mengiringi. Yoongi ingat, tetapi sebagian dari dirinya juga menolak untuk mengakui kenangan itu. Selama ini ia telah memasang topeng, berpura-pura kuat, berpretensi kalau semuanya baik-baik saja. Yoongi bisa mengatasi ini; menambahkan sedikit imaji bahwa Seokjin masih ada untuk membantu mereka.

Sampai malam ini tiba.

Sampai lidahnya memutuskan untuk mengkhianati dirinya. Mengucapkan ilusi itu keras-keras; menentang isi hati Yoongi yang terus-menerus meneriakkan kata ‘bodoh’ dan ‘payah’.

“Aku pengecut, ‘kan? Kabur dari masalah seperti itu,” ujar Yoongi akhirnya, menandaskan alkohol yang ada dalam genggaman. Kaleng pembungkusnya lantas dilemparkan dengan asal, disusul kekeh sarkastis yang terdengar menyedihkan di telinganya sendiri. Alunan nada dan musik buatannya masih terdengar mengiringi, semakin lama semakin terdengar sumbang hingga memuakkan. Berantakan, sama seperti hidupnya dan teman-temannya.

Hyung….”

“Jangan coba-coba menghiburku,” sambar Yoongi cepat, mendelik tajam ke arah Jungkook yang sedang menghampirinya. “Tidak ada gunanya aku berpura-pura kalau Seokjin Hyung masih ada di sini bersama kita, kalau semua akan baik-baik saja, dan—“

“Semua akan baik-baik saja, Hyung.

Bullshit.

“Tidak, semua akan—“

“Tahu apa kau soal baik-baik saja, Jeon Jungkook?!” bentak Yoongi, tanpa sadar tangannya sudah terayun untuk menyambar kerah baju Jungkook. “Tahu apa, ketika hidup kalian bahkan berantakan dan kalian tak bisa menyelesaikannya sendiri? Kau bahkan kabur dari rumah dan meminta untuk tinggal di flat ini! Aku harus mengawasi Jimin untuk memastikan ia tidak melakukan sesuatu yang bisa merenggut nyawanya! Dan lagi, jangan kira aku tidak pernah mencemaskan Namjoon atau Hoseok atau Taehyung!”

Semua itu mengalir keluar begitu saja, segala beban yang sudah ia pendam selama minggu-minggu terakhir ini. Namun, meskipun begitu, Yoongi sama sekali tak merasa lega. Tidak karena ia bisa merasakan tatap kecewa Jimin menusuknya, usaha Jungkook untuk membebaskan diri dari cengkeramannya, serta ketegangan dari tiga orang lainnya. Ia terperangkap; dan tak ada yang lebih membangkitkan amarah Yoongi dibanding ucapan Jungkook yang menusuknya tepat pada sasaran.

“Lalu, apa kau bisa menyelesaikan masalahmu sendiri, Hyung?”

“Jeon Jung—“

“Kau tidak bisa, bukan?!” Jungkook balas menaikkan nada suaranya, dengan kasar melepas genggaman Yoongi pada kerah bajunya dan mendorong tubuh kawannya itu menjauh. “Siapa yang tidak menerima kenyataan di sini, hah?! Siapa yang sok menasihati, tetapi membedakan realita dan khayalan saja tidak bisa? Sia—“

Kelanjutan dari argumen itu tenggelam oleh suara benturan, satu yang terjadi ketika Yoongi balas mendorong tubuh Jungkook hingga membentur meja. Sontak menghadirkan jerit kekagetan dan kegaduhan dari yang lain, selagi Jungkook memegangi pinggangnya yang terbentur dengan sebelah tangan. Perlakuan Yoongi barusan agaknya berhasil memancing emosi Jungkook ikut naik ke permukaan, dan sebelum yang lain bisa mencegah, lelaki itu pun sudah balas melontarkan kekesalannya.

“Jungkook, jangan—“

.

.

BUGH!!

 .

.

“Apa itu yang kau mau, Hyung?!”

“Jeon Jungkook!”

“Aku hanya berusaha membuatnya menggunakan akal sehat!” seru Jungkook, kedua manik terarah pada Yoongi yang baru saja menerima pukulan di wajahnya. Memandangi sahabat yang sudah ia anggap sebagai kakak lelakinya itu terhuyung menabrak tembok, kekeh tawa serta makian bercampur menjadi satu. Hantaman Jungkook tadi nyatanya berhasil membuat sudut bibir Yoongi berdarah, tetapi yang bersangkutan sama sekali tak peduli. Alih-alih, ia malah mengangkat kepalanya untuk memandang Jungkook. Seolah menantang, berharap pertengkaran ini masih akan berlanjut dan….

“Teman-teman.”

Tapi, bukan itulah yang terjadi.

Sebaliknya, mereka semua terpaksa memberikan perhatian pada panggilan Namjoon. Pada diri teman mereka yang kini duduk berlutut di samping Taehyung, ekspresi kalut terpampang jelas di wajah. Wajar saja jika Namjoon berbuat demikian, lantaran Taehyung sendiri tidak sedang berada dalam kondisi normal.

Kim Taehyung tidak menerima hantaman atau teriakan, tetapi sesuatu dalam pertengkaran itu telah membuatnya hancur berantakan. Menghadirkan kekosongan dalam iris kelamnya; kedua tangan mencengkeram kepala sementara tubuhnya gemetaran hebat. Ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka prediksi sebelumnya, terlebih kala Taehyung tiba-tiba membuka mulutnya dan membiarkan sebuah pengakuan meluncur keluar.

Lirih, tak berdaya, dan sedingin es.

.

.

.

A… a-aku… aku telah membunuh Seokjin Hyung, bukan?”

.

.

tbc.

15 pemikiran pada “[Chapter 2] Messed Up: Of Reality and Unacceptability

  1. SERIUS DEMI APA GUA MEWEK 😭😭😭 ini ff pertama yang bikin dada gua sakit 😢
    Kenyataan jin udah mati itu jleb bikin aer mata gua turun -_-
    serius dari awal gua dah tebak klo ini cerita di ambil dari mv tapi why? gua menghilangkan fakta klo jin mati di theory mv. gua kira author cuman mau ambil kehidupan kelamnya anak bts ternyata tidak.
    keren keren keren pokonya👍🏻

    Suka

  2. MER BUYAR MER AKU TADINYA MESEM2 MAU MENAWARKAN DIRI NGUNYEL2 KAMU KARENA BIKIN BANYAK YOONJIN MOMEN TAPI PENAPAAAAA………
    (matiin caps dulu oke)

    Belum nangis aku belum nangis. Tapi udah kepengin gigiti bantal tau fakta(?) taehyung yang bunuh seokjin…
    Kamu kenapaaaa taetae???? Kamu garela nuna kencan sama omjin? Tapi gaboleh gitu 😭 itu salah 😭 (SADAY PY SADAR WOY NGERUSAK LAPAK ORANG LU) (iya maap mer.. Abis excited ini kokoro dugeun2 bacanya) eheheh
    Meluncuur chap 3 yuhuuu

    Suka

  3. Maaf nih kak amer aku baru baca yang chp 2nya huhu pdhl aku udh baca chp 1 dr pertama rilis :”( sesungguhnya td lagi baca ini lalu bts rilis fire jd ke yutub dulu XD
    Akhirnya kak seokjin ku nongooool :”D tapi kok….kok udah gaada?._. Ah aku mau baca selanjutnya! :”D

    Suka

  4. Ish…
    Chapter dua ini sukses
    Sukses bikin aku terbuai bacanya sampai-sampai baper:’D
    Masalah mereka udah terkuak
    Seokjin yang udah ngga ada
    Yoongi yang ngga bisa nerima kenyataan dan Jungkook yang bersikeras nyadarin Yoongi
    Ditambah di akhir, pengakuan Taehyung yang bikin aku tercengang
    Huhuhu:'(
    Ini udah ada chapter tiga-nya ya?
    Mau baca:’3

    kenapa comment-ku ngga bisa muncul?
    error nih error T^T

    Suka

  5. Sumpah, ending di chap ini bikin jantung langsung bunyi ‘Deg’. Itu apa maksudnga Jin dibunuh Tae? ADuhh…. penasaran tingkat dewa nie.huhuhh…

    Next chap palli juseyoooo ^^

    Suka

  6. Diksi oh diksi, ini kelewat apayah? Baper baper gimana gitu tapi kereeen😍😍 makin cinta deh sm kaka author<3<3 keep writing^^ ditunggu nextnya yuhuu❤❤

    Suka

  7. WHAT THEFFFFFFFFFF, ternyata pertanyaanku tentang taehyung kemaren kejawab di kalimat terakhir. oh jadi masalah taehyung itu/sok tau kau/
    terus seokjinnya sudah kuduga juga sih… AHHHH QUOTEs yang bagian mereka di terowongan ngjleb banget tau nggak sih kusukaaa ❤
    "Orang-orang dewasa tidak akan mengerti,…Untuk kabur dari realita,… untuk bersikap layaknya bocah yang belum mengerti benar atau salah." huaaah ini maknyos bangettt kata-katanya

    ditunggu lanjutannya kak^^ banyakin adegan berantem yak kak, akusuka orang tinju2an<3FIGHTINGGG!

    Suka

Leave a Review