[What is Your Color?] Traumatic of Distressing – Ficlet

Traumatic of Distressing

A Storyline Present by Angelina Park

Traumatic of Distressing

Park Jimin (BTS) & OC | Riddle, Horror, Psychology | T | Ficlet

“Sial, ia datang.”

0o0

 

Minggu terakhir di musim gugur, Jimin berjalan menyusuri taman dengan oranye dedaunan yang menyaksikan langkah demi langkah terajut sempurna. Memilin ingatan masa lalu, tangan kirinya mengeratkan syal yang melingkar di lehernya. Dingin, entah dari mana itu yang jelas cukup menyiksanya sejak beberapa jam yang lalu.

Tak tentu arah, hanya sebuah niat jalan-jalan sebelum pulang yang berakhir dengan secangkir kopi di kafe langganan. Jam tangan yang menunjukkan pukul lima sore tak lantas membuatnya berbelok ke kanan di perempatan itu. Ia lebih memilih berjalan lurus menuju tempat lain yang dirasanya menyenangkan.

Raut wajah yang berubah seiring berjalannya waktu. Mengingatnya saja sudah mampu membuat lengkungan senyum terpatri dengan manis di wajahnya. Jimin yang masih terus berjalan, membelah waktu seakan lorong gelap tak nampak di hadapannya. Ia yang masih terus berjalan di tengah-tengah putaran detik yang melingkar, menunggu sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali.

Masih sebuah kemungkinan, kan? Jimin hanya mencoba berpikir positif.

“Ayah!”

Teriakan gadis kecil itu menjadi sumber senyumannya yang lain. Tangannya kini membuka gerbang dengan tinggi sebatas pinggang. Dari arah pintu masuk nampak seorang gadis kecil berlari ke arahnya, yang tentunya ia sambut dengan pelukan hangat layaknya rindu yang terobati rintikan hujan di tengah gurun pasir.

“Bagaimana harimu?” tanya Jimin kemudian, berjalan dengan sang gadis kecil dalam gendongannya.

“Baik. Nenek membuatkanku sarapan yang enak setiap pagi.”

Lagi-lagi senyum itu, bibir yang sama persis jika wajah keduanya ditilik bersamaan. Menoleh ke depan, Jimin bisa melihat wanita paruh baya yang tersenyum menatapnya. Sepertinya tak ada lagi hal yang lebih membahagiakan dari ini, pikirnya.

“Jimin, bagaimana keadaanmu?”

Gadis kecil dalam gendongan kini telah berpindah tangan. Kaki-kaki yang melangkah memasuki ruang tengah teredam karpet burgundi yang membentang. Jimin menatap ibunya, mencoba tersenyum kecil namun hanya kepalsuan yang terlihat jelas mendominasi.

“Ya, seperti ibu tak tahu saja,” ucapnya sembari mengendikkan bahu. “Ia masih sering muncul di rumah.”

“Masih? Demi Tuhan, bahkan ini sudah tiga tahun berlalu.”

Wajah yang tak dapat membohongi siapapun. Berdusta pun percuma, sang ibu memang terkejut dibuatnya. “Ya sudahlah, memang seperti itu adanya,” kata Jimin akhirnya, mencoba menenangkan ibunya.

“Jadi itu alasanmu masih bersikeras menitipkan Minji di sini?”

Matanya menerawang, ia melihat putri kecilnya yang kini sudah menjauh dan tengah asyik menyusun balok-balok di sisi lain ruangan. Menghela napas sekali, Jimin lagi-lagi menunjukkan senyumnya, walau tak dapat dipungkiri mata lelahnya menjabarkan segala hal yang rumit dalam hidupnya.

“Iya, maaf merepotkanmu, Bu.”

Dipandangnya lagi gadis kecil bersurai oranye itu. Gadis manis yang entah mengapa selalu mengingatkannya lantaran kemiripan gen yang lebih condong pada pihak satunya. Jimin hanya ingin anaknya bahagia, tanpa rasa takut dan perasaan tak nyaman. Jimin hanya ingin gadis kecilnya hidup dengan normal.

Ya, seperti anak-anak lainnya.

 

0o0

 

Tiga puluh menit memang dirasa cepat, namun ia tetap harus kembali atau akan jadi tambah buruk nantinya. Senja yang terlukis semakin membuatnya tak nyaman. Aneh, otaknya selalu merespons berbalik dengan fakta yang diharapkan. Kepalanya pusing, ingin muntah rasanya. Tapi sangat disayangkan mengingat jalan pulang hanya tinggal menghitung langkah.

Sampai akhirnya ia menjejakkan kakinya di halaman, primrose oranye menyambutnya dengan lambaian kecil yang cantik.

Namun tidak bagi Jimin, sungguh. Ia hanya ingin tidur lalu bangun esok pagi dan menjalani hari-hari normalnya di depan layar komputer.

Kakinya melangkah masuk, mengunci pintu lalu berjalan menuju dapur demi mendapatkan segelas air. Setelah melepas penat dan dahaga sejenak, matanya tak sengaja menangkap jeruk-jeruk kecil di tengah meja makan.

Oh, tidak lagi. Kali ini Jimin segera berlari menuju kamar mandi, memuntahkan isi perutnya yang bahkan belum sempat menerima asupan apa pun selain air. Mencoba mengatur napas, ia terduduk di lantai kamar mandi dengan tangan menyangga tubuh pada kloset.

“Jimin, kau di dalam?”

Sial, ia datang.

Benar kan dugaannya? Tak pernah ada satu hari tenang lagi untuknya. Demi Tuhan, sudah tiga tahun lamanya―semuanya terasa menyebalkan.

Ia masih bisa menatap senja di atas kepalanya. Kosen yang terkhianati jendelanya mendatangkan angin dingin pertanda malam. Bisik-bisik yang tak pernah membuatnya nyaman, Jimin rasanya sudah tak sanggup lagi jika saja tak teringat akan gadis kecil kesayangannya.

Menguatkan diri, Jimin akhirnya berdiri dan berjalan gontai keluar dari kamar mandi. Dengan cepat, aroma jeruk menyergap penciumannya. Jika saja hal konyol itu hanya sebuah mimpi. Jika saja hanya akan terus menjadi sebuah hal konyol yang tak pernah berwujud nyata dalam hidupnya. Semuanya hanya akan menjadi jika saja dalam dunianya yang kejam.

Mual, Jimin ingin rasanya kembali lagi masuk ke dalam kamar mandi jika saja surai oranye itu tak tertangkap oleh netranya. Diam terpaku, paralisis konyol yang sejalan dengan trauma harfiah.

“Kau harusnya tidur nyenyak dan bukannya muncul seperti ini. Membuatku mual,” ujar Jimin.

Mencoba kuat, ia memilih tak ambil pusing dengan semua ini. Toh sudah tiga tahun juga dan ia masih memegang kewarasannya dengan baik sampai saat ini. Apa lagi yang perlu ia takutkan? Setidaknya ia tenang lantaran putri kecilnya aman di tangan yang tepat.

Aman dari segala perasaan takut juga teror.

“Tidurlah, sayang. Jangan ganggu aku.”

Setelah mengucapkan itu, Jimin mengambil laptop yang ia letakkan di atas meja ruang tengah dan menyalakannya untuk mengerjakan naskah yang belum sempat disuntingnya. Perlahan, senyum kecil kembali terulas di bibirnya begitu menoleh ke kamar dan mendapati pemilik surai oranye itu tidur dalam damai.

Kaca jendela masih menampakkan prosesi senja yang menjemput malam. Aroma jeruk juga masih melayang-layang di sekitarnya―walaupun sudah terbiasa tetapi ada kalanya juga Jimin dikalahkan rasa mual sialannya.

Sekali lagi menoleh ke arah ranjangnya, Jimin menghela napas cukup lama sebelum akhirnya kembali fokus menatap layar laptopnya lagi.

Trauma yang berbanding terbalik dengan kenyataan, rasanya membuat Jimin buta sementara. Namun, rasa cinta yang dalam mampu mengubah itu semua, membuatnya bisa melakukan apa pun bahkan walaupun harus menjadi seseorang dengan paradoksal di luar nalar.

Membenci namun tak sanggup melepaskan, apa yang akan orang lain lakukan jika berada di posisi Jimin?

Oh sial, lagi-lagi aroma jeruk itu membuatnya mual. Mungkin lain kali ia harus membeli bahan lain yang tak mengandung aroma dari benda oranye bulat menyebalkan itu.

 

FIN

8 pemikiran pada “[What is Your Color?] Traumatic of Distressing – Ficlet

  1. Jimin ngebunuh istrinya(?) trus diawetin dirumahnya(?) dikasih aroma jeruk biar ngga bauk(?) dia mual karena mencium aroma bauk+jeruk jadi satu(?) dia nitipin anaknya dirumah ibunya karena ngga mau kalo anaknya takut ngeliat ibunya yg udah jadi mayat gitu(?) ahh entahlah kutak tau:vv

    Suka

  2. hm…. jadi istrinya jimin meninggal terus disimpen di rumah? terus bilangnya ke ibunya dia datang lagi padahal emang dia disitu terus? aroma jeruk? pewangi? buat hilangin bau busuk? ._.
    wqwq qu hanya ngawuurr

    Suka

  3. kok aku g connect y?! pas aku baca komen, pemikiran aku hmpir sama sama yg dibilang ‘nojams’
    ‘istrinya jimin mati karna makan jeruk, jd klo ada jeruk jimin ngerasa ada istrinya’ 😂 #buntu

    Suka

  4. Jadi istri Jimin itu hantukah? Mungkin ia suka parfum jeruk makanya Jimin kalo inget2 jeruk jadi mual karena istrinya meninggal dengan bau jeruk secara mengenaskan /? #apaini
    Aku lagi buntu, maapkan O.O

    Suka

  5. jadi maksudnya apa ?? jimin yg trauma sm buah jeruk ?? atau ada wanita yg rambut ny seperti jeruk (?) #abaikan
    buntu nihhh .. sukses bikin bertanya-tanya ^^

    Suka

  6. Pusing^^ ini jimin hamilin jeruk yang menjelma jadi manusia ya? atau istrinya jimin mati karena makan jeruk jadinya kalo ada jeruk jimin langsung ngerasa ada istrinya?

    Suka

Leave a Review