[BTS FF Freelance] 2 Sides of Love (Chapter 9)

2 sides of love (pt. 9)

[Chaptered] 2 Sides of Love (Pt. 9)

Author: Pinkchaejin
Rate: PG 15+
Length: chapter
Genre: angst, sad, hurt/comfort, brothership, romance
Cast:
-> Kim Seok Jin (Jin of BTS)
-> Han Chae Young (Pinkchaejin’s OC)
-> Kim Yong Jin (OC/Seokjin’s twins)
Other cast:
-> Han Chae Ra (OC)

©Pinkchaejin//2016

-Happy Reading-

Rinai hujan mengguyur bumi. Hiruk pikuk kota melanglang buana menusuk gendang telinga tiap-tiap makhluk hidup. Sinar mentari perlahan meredup, menyisakan bekas-bekas warna kejinggaan yang terletak di ufuk barat. Satu per satu bintang bermunculan di angkasa. Hingga seluruh langit menghitam, sang rembulan pun muncul dari peradaban, mengakhiri tidur panjangnya tatkala mentari terbenam.

Seokjin memandangi sang saudara kembar yang tengah terlelap. Keadaannya stabil, namun pucatnya tak kunjung pudar. Ia pun mendudukan dirinya di atas sofa, belum mau beranjak pulang dari tempat itu. Sesekali ia bernostalgia, meredam rindu pada sang adik—Kim Chanrin—yang telah lama hilang, entah di mana keberadaannya sekarang.

‘Chanrin, kau di mana? Apa kau tak merindukan aku, Yongjin, serta ayah dan ibu? Kembalilah, ayah selalu memikirkanmu. Ia sangat menyayangimu. Maafkan kakakmu yang bodoh ini, yang tak bisa menjagamu dengan baik.’ Seokjin bermonolog ria dalam batin.

“Kau belum pulang?” Seokjin menengadahkan kepalanya yang tertunduk, menyahut pada suara yang mengajaknya berbicara.

“Yongjin? Sejak kapan kau bangun?” balasnya.

“Baru saja. Hei, ini sudah malam. Mengapa tak pulang?” Yongjin mengulangi pertanyaannya yang belum sempat terjawab.

“Entahlah, aku hanya enggan beranjak dari tempat ini. Rumah sepi tanpamu, aku hanya terlampau rindu padamu setelah hampir sebulan koma. Malam ini aku akan menginap, aku sudah meminta izin pada ibu,” ujar Seokjin.

“Menginap? Bagaimana dengan kuliah besok?” tanggap Yongjin.

“Kau terlalu lama tidur di masa komamu. Besok adalah hari Minggu, mana mungkin aku pergi ke kampus,” ledeknya.

“Ah, rupanya kau sekarang mulai berani meledekku, Kim Seokjin. Itu adalah tidur panjang yang tidak disengaja, mana mungkin aku sempat melihat kalender,” balas Yongjin membela diri.

Kala itu, ponsel Yongjin—yang sekarang digunakan oleh Seokjin selama menyamar menjadi Yongjin—tiba-tiba bergetar. Keduanya saling membisu, lalu Seokjin pun meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas tersebut. Raut wajahnya berubah tatkala membaca nama kontak yang tertera, hingga memancing Yongjin untuk mengajukan pertanyaan.

“Dari siapa?” tanyanya.

“Dari ayah, aku yakin ayah pasti marah karena aku menginap di sini,” jawab Seokjin. “Apa yang harus kukatakan pada ayah?” sambungnya.

“Kemarikan padaku, biarkan Kim Yongjin yang asli yang menangani ini. Aku tahu kau pasti sedang gemetaran saat ini. Biarkan aku yang berbicara pada ayah,” ucap Yongjin sembari menengadahkan tangan kanannya, meminta Seokjin memberikan benda berbentuk persegi panjang tersebut padanya.

Tak banyak bicara, Seokjin pun memberikan ponsel bermerek iPhone 5 tersebut pada Yongjin. Ia mempercayakan segalanya pada Yongjin karena ia tak mampu berkata jika telah berhadapan dengan ayahnya.

“Halo ayah? Ada ap—”

“Pulang sekarang! Sedang apa kau di sana? Ayah bukannya tidak menyediakan kamar yang nyaman untukmu di rumah. Jadi, kau tidak perlu menginap di sana. Pulang!” ucap suara di seberang sana.

“Ayah ini kenapa? Bukankah Seokjin sedang sakit? Ayah, Seokjin adalah saudaraku, saudara kembarku sendiri. Wajar tidak kalau aku peduli padanya? Kembali pada ayah, apa ayah tidak peduli dengan saudara ayah sendiri? Terutama saudara kandung. Jadi, biarkan aku menginap satu malam saja. Tidak selamanya ayah bisa terus melarangku untuk berhubungan dengan Seokjin,” tutur Yongjin.

“Ayah tidak peduli, pokoknya—”

“Berikan aku izin atau aku tidak akan pulang ke rumah selamanya,” ancam Yongjin.

“Apa kau sedang dipengaruhi oleh Seokjin? Tampaknya semakin kau dekat dengannya, semakin pula kau tak menghormati ayahmu,” ujar Tuan Kim dingin.

“Berkacalah terlebih dahulu sebelum ayah mengatakan itu padaku. Wajarkah seorang ayah membenci salah satu anaknya? Aku tidak akan pulang malam ini, aku akan menemani Seokjin di sini. Terserah ayah saja, yang jelas aku tidak main-main dengan ancamanku barusan,” ujar Yongjin tak kalah dingin.

Belum sempat sang ayah menjawab, Yongjin sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan telepon. Ia menghempas asal ponselnya di atas nakas. Sesekali ia mengusap wajah, berusaha meredam emosi.

“Jika pada akhirnya kau emosi pada ayah, lebih baik aku saja yang berbicara tadi,” ujar Seokjin.

“Aku tidak yakin dengan itu, pada akhirnya kau juga pulang ke rumah dengan perasaan takut dan khawatir akan kemarahan ayah di rumah. Aku berusaha untuk selalu menghormati ayah, tetapi ia sulit menghargai segala pembelaanku terhadapmu. Sungguh, aku tak ingin ayah terus-terusan membencimu. Aku sangat membenci ketidakadilan,” ucap Yongjin agak kesal. “Apa kau tak bisa mengeraskan sedikit hatimu? Sesekali kau harus berani mengungkapkan segala rasa yang kau kubur dalam batinmu. Aku yakin, beban pikiranmu sangat menumpuk. Hanya ini yang dapat kubantu. Membujuk ayah untuk mengikhlaskan Chanrin itu sangat sulit,” sambungnya.

“Tidak, Yongjin. Aku yakin Chanrin masih hidup, aku yakin Chanrin masih ada di sekitar kita. Aku akan terus berusaha, aku—”

“Sampai kapan, Seokjin? Sampai kapan? Selama bertahun-tahun, tidak ada kabar mengenai Chanrin. Puluhan liter keringat kau habiskan hanya demi menunggu ketidakpastian. Mau sampai kapan lagi kau berharap?” Yongjin menarik napas berat, memandang Seokjin nanar melalui iris keabuannya. Sejenak, ia membetulkan letak tancapan selang oksigen di lubang hidungnya yang dirasa sedikit miring.

Seokjin bungkam. Sejenak ia menunduk, menyembur karbondioksida dari kedua lubang hidungnya. Nostalgia yang melanda tak henti membuatnya terus terpuruk. Bayang-bayang Chanrin menghantuinya dan kini membuat dadanya terasa sesak, sakit rasanya. Sungguh, ia ingin segera memperbaiki segalanya terutama memperbaiki hubungannya dengan sang ayah.

“Aku tidak akan menyerah. Aku pasti akan berusaha mencari tahu di mana keberadaan Chanrin,” lirih Seokjin perlahan.

“Istirahatkan pikiranmu, Seokjin. Jangan pikirkan masalah itu berlarut-larut. Ini sudah malam, ayo tidur!” celetuk Yongjin mengakhiri percakapan.

Membahas masalah ini tentu tak ada ujungnya. Selama tak ada satupun kabar mengenai Chanrin, segala masalah tak akan ada penyelesaiannya.

Yongjin memejamkan mata, mendahului Seokjin terbang ke alam mimpi. Sementara itu, Seokjin mendudukkan diri di sofa, belum ada niat berbaring. Sejenak, ia menyandarkan tubuh. Paru-parunya bekerja, menarik ulur oksigen yang ada. Genangan air mata menyebabkan pengelihatannya buram. Kala ia menutup mata, genangan air itu terjatuh dari ekor matanya. Ia rapuh, lelah, dan depresi.

‘Bagaimana cara aku mengakhiri segala cobaan ini, Tuhan? Dimanakah Kau sembunyikan Chanrin adikku? Jika memang ia telah berada di sisimu, berikanlah sebuah klarifikasi. Namun, jika ia masih berpijak kaki di atas bumiMu yang fana, pertemukanlah kami dengannya. Engkaulah yang Maha Kuasa, tabahkanlah hambaMu dalam ujian yang Kau berikan,’ batin Seokjin bersua, memohon pada Tuhan yang Maha Esa.

“Cepatlah sembuh, Yongjin. Tetaplah bertahan sekuat mungkin, aku sangat membutuhkanmu,” lirih Seokjin dalam derai air mata.

***

Fajar pun tiba, sinar mentari terbit di ufuk timur. Kicau merpati memasuki gendang telinga hingga menyebabkan Seokjin terbangun dari tidurnya di atas sofa yang empuk. Ia mengusap ekor matanya, membersihkan kotoran mata yang menghalangi pengelihatan. Atensinya beralih pada wastafel yang berada di ruangan ini. Ia pun beranjak, menghampiri wastafel tersebut dengan niat mebasuh wajah.

Sejenak ia memandangi Yongjin yang masih terlelap. Fokusnya terbang kesana kemari, Seokjin termenung dalam keheningan. Ia pun beranjak keluar dari ruang opname Yongjin. Langkahnya terhenti di sebuah ruangan. Ia pun memutar knop pintu ruang tersebut. Dokter yang ia cari selalu hadir pagi-pagi sekali di rumah sakit.

“Permisi, dokter,” ujar Seokjin.

Seakan tahu maksud kedatangan Seokjin, sang dokter pun mempersilahkannya duduk.

“Bagaimana hasil tes kemarin, dokter?” Frontal saja, Seokjin langsung beranjak ke topik.

“Sumsum tulang belakangmu sembilan puluh tiga persen cocok dengan Yongjin. Ini, ambilah hasil tesnya.” Pria berpakaian putih itu menyodorkan selembar amplop putih pada Seokjin. Selain Kakek Jung, dokter ini juga mengetahui pasalnya Seokjin dan Yongjin tengah bertukar posisi. Perlu diingat, sebelum Yongjin koma dialah dokter yang biasa memeriksa keadaan Yongjin.

“Sembilan puluh tiga persen? Jika aku mendonorkannya pada Yongjin, apakah ia memiliki peluang besar untuk kesembuhannya?” Seokjin meneguk saliva, ia meraih amplop tersebut. Tak langsung membukanya, terlebih dahulu ia simpan dalam jaketnya.

“Sangat besar, Seokjin-ssi. Terlebih lagi, kau adalah saudara kembarnya. Gen yang diturunkan dari kedua orang tuamu kepada kalian pasti serupa yang berarti apapun yang kau miliki pasti cocok dengan Yongjin,” jelas dokter. “Tetapi, kau tahu sendiri konsekuensi pendonor, bukan?” sambungnya.

“Ya, aku tahu, dokter. Kupikir ini bukan saatnya untuk melakukan donor, namun aku akan melakukan jika waktunya tepat,” tanggap Seokjin.

“Dengan segala konsekuensi, kau harus banyak mempertimbangkan apa yang akan terjadi. Persentase keselamatan pendonor hanya berkisar dua puluh persen. Itu artinya, kau bisa saja kehilangan nyawa di meja operasi,” imbuh dokter. Seokjin menghela napas, poin itu selalu mengancamnya.

“Dokter, bisakah aku meminta tolong? Jangan katakan apapun pada Yongjin mengenai hal ini, tentang rencanaku untuk mendonorkan sumsum tulang belakangku,” pintanya.

“Ya, baiklah. Oh iya, saya rasa Yongjin sudah bisa pulang hari ini. Ini adalah beberapa resep yang harus ditebus. Tolong jaga pola makannya serta ia harus banyak beristirahat dan menghindari aktivitas berat karena sewaktu-waktu kondisinya bisa drop. Sel kanker yang ada di tubuhnya sangat ganas, kalau bisa ia melakukan kemoterapi seminggu sekali. Hal itu terserah pada Yongjin sendiri, kemoterapi bertujuan untuk membunuh sel-sel yang berkembang cepat seperti sel kanker. Efek samping dari kemoterapi juga ada, maka dari itu pihak rumah sakit tidak mengharuskan Yongjin menjalani kemoterapi. Kami hanya memberi saran.” Sang dokter pun menyerahkan selembar kertas berisi resep yang harus ditebus.

“Terima kasih. Mungkin Yongjin bisa mempertimbangkan perihal saran kemoterapi dari rumah sakit. Aku tahu ia pasti mengerti kinerja kemoterapi itu seperti apa. Kalau begitu, saya permisi, dokter.”

Sebuah anggukan ditujukan sang dokter untuk Seokjin. Seokjin pun keluar dari ruangan tersebut, langkah kakinya membawanya kembali ke ruang rawat Yongjin. Seapik mungkin, ia menyembunyikan amplop yang berisi hasil tes kecocokan antara sumsum tulang belakangnya dengan sumsum tulang belakang Yongjin.

“Barusan kau dari mana?” Yongjin mengajukan pertanyaan tatkala melihat Seokjin kembali.

“Anu… aku baru saja bertemu dengan dokter. Ia bilang, kau boleh pulang hari ini,” tanggap Seokjin.

“Benarkah?” Senyum Yongjin merekah.

“Aku akan membantumu berkemas-kemas. Gantilah bajumu, biarkan aku yang membereskan barang-barangmu,” tukas Seokjin yang dibalas anggukan dari Yongjin.

***

08.06 AM

“Terima kasih.” Seokjin mengeluarkan beberapa lembar uang; memberikannya pada supir taksi yang mengantarkan ia dan Yongjin pulang ke rumah.

“Terima kasih kembali,” balas sang supir.

Selepas itu, Seokjin dan Yongjin pun turun dari taksi tersebut. Sembari melangkahkan kaki ke teras rumah, Seokjin menunduk ragu.

“Bagaimana jika ayah marah perihal semalam?” Sedikit terbesit rasa khawatir pada intonasi pengucapan Seokjin.

“Ingatlah, sekarang aku adalah kau, kau adalah aku. Jika kau pikirkan lebih matang, pasti aku yang akan dimarahi oleh ayah, karena aku adalah Kim Seokjin. Ayah terlalu sayang padaku, padahal aku berharap ayah bisa membagi rasa sayang itu padamu,” kata Yongjin.

“Ini semua salahku. Jika semalam aku tak menginap, pasti tidak akan seperti ini,” ujar Seokjin sembari menelan saliva tatkala rasa khawatir mulai menyeruak dalam dirinya.

Yongjin hanya bisa tersenyum miring, “Bukan sepenuhnya salahmu. Lagipula, tak apa juga jika ayah marah.”

Yongjin mengakhiri basa-basi ini dengan membuka pintu. Rasa rindunya terhadap rumah kini terobati. Diikuti Seokjin dibelakangnya, Yongjin melangkah masuk.

“Seokjin-ie, kau pulang, sayang….” Nyonya Kim menghampiri kedua anaknya. Peluk cium ia hadiahkan pada Yongjin atas kepulangannya.

“Ibu….” Yongjin membalas pelukan hangat tersebut sembari tersenyum tipis.

“Kau sudah tak apa ‘kan, sayang?” Nyonya Kim melepaskan pelukannya; memandang Yongjin dengan tetes likuid yang mengalir di pipi.

“Aku baik-baik saja seperti bagaimana yang kau lihat, ibu. Jangan menangis, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk sembuh. Lepaskanlah beban pikiran ibu terhadapku, aku sungguh tak apa.” Yongjin menghapus cairan likuid yang membuat basah pipi ibunya.

“Maafkan ibu yang selama ini selalu mengacuhkanmu, Seokjin. Ibu hanya masih terpukul dengan hilangnya Chanrin. Namun lambat laun, ibu bisa mengikhlaskannya. Kau mau ‘kan memaafkan ibu?” Nyonya Kim menggenggam erat kedua telapak tangan Yongjin.

‘Maafkan aku juga, ibu. Karena ulahku, anak yang susah payah ibu kandung selama sembilan bulan hilang begitu saja. Aku mengerti jika ibu juga terpukul saat itu,’ batin Seokjin.

Yongjin mengembuskan napas pelan. Ia mengangguk kecil menanggapi pernyataan sang ibu sembari sesekali mengerling ke arah Seokjin yang kini terpaku di tempatnya kala ibunya berkata demikian.

Sejuknya udara musim semi menembus ventilasi. Sejuk pun menusuk indera peraba, menghasilkan damai dalam batin. Seokjin mengulas senyum tatkala sadar kini sang ibu mulai menyayanginya walaupun melalui perantara Yongjin.

“Ayah di mana?” celetuk Yongjin tiba-tiba; menyebabkan Seokjin yang refleks dilanda rasa cemas tatkala Yongjin berucap demikian.

“Ada di ruang kerjanya,” tanggap Nyonya Kim. “Yongjin-ie, dari semalam ayah mencarimu. Semampu ibu, ibu menjelaskan pada ayah bahwa kau menemani Seokjin di rumah sakit dengan menginap selama satu malam. Namun begitulah tabiat ayahmu, ia malah menyalahkan Seokjin yang tak tahu apa-apa. Sepertinya kau harus menemui ayah, jelaskan sampai ia mati kata. Hanya kau yang bisa menghadapinya,” ujar Nyonya Kim.

“Se… sekarang?” Satu kata yang cukup bodoh terucap begitu saja dari bibir Seokjin.

“Ayolah, tidak usah banyak basa-basi.” Yongjin menarik lengan Seokjin; mengajaknya masuk ke ruang kerja sang ayah.

“T… tapi—”

“Sudah pulang kau rupanya?” Suara itu kini menggelegar; menyebabkan bibir Seokjin membeku.

“Apa kabar, ayah?” sapa Yongjin santai.

“Keluarlah kau dari ruanganku! Jangan harap kau mendapatkan selamat dariku atas pulangnya kau kemari,” bentaknya.

“Ayah….” Seokjin mencoba meredam emosi Tuan Kim.

“Aku tak butuh pembelaanmu terhadapnya, Kim Yongjin. Bahkan semalam kau berani menyinyiri ayahmu sendiri tanpa rasa hormat,” ujar Tuan Kim.

“Anu… itu… maafkan aku, ayah. Aku tak akan mengulanginya lagi,” lirih Seokjin.

‘Kim Seokjin bodoh! Untuk apa ia minta maaf pada ayah? Apa ia tak bisa sesekali saja melawan sifat ayah yang begitu?’ batin Yongjin sedikit kesal.

“Baiklah, kuharap kau benar-benar tak mengulanginya lagi,” tanggap Tuan Kim.

“Mudah sekali ayah memaafkannya. Aku yang datang kemari dengan niat baik untuk menyapa saja langsung dibentak oleh ayah, padahal di kalimat sapaanku tidak ada yang salah.” Tak sanggup meredam bongkahan api yang meluap-luap dalam dirinya, Yongjin pun bersua.

“Sudah mulai sok berani kau rupanya, Seokjin? Asal kau tahu, semua yang kau lakukan itu selalu salah. Bernapas pun kau juga salah. Jadi lebih baik kau menyingkir dari tempat ini!”

Dada Seokjin mendadak perih kala sang ayah berkata demikian. Seolah ribuan panah menghujam jantungnya, sakit sekali rasanya. Walaupun Tuan Kim mengatakan itu pada Yongjin, tetap saja kata-kata itu diperuntukkan untuknya. Tak berucap sepatah kata pun, Seokjin beranjak pergi dari ruangan tersebut. Tetes likuid mengalir di pipinya, tak kuasa memendam perih hati yang kian menyiksa.

“Berarti, sedikitpun ayah tak pernah memberi maaf untukku?” lirihnya dalam kepedihan.

“Seokjin-ah….” Yongjin memanggilnya; ia juga ikut keluar dari ruangan sang ayah. Secepat mungkin, Seokjin menyeka air mata.

“Kau pasti sakit hati atas perkataan ayah. Maaf, aku tak bisa menahan emosi hingga mengeluarkan ucapan yang memancing ayah untuk berkata kasar,” ujar Yongjin sembari meraih kepala, sakit mulai menyerangnya hingga sebelah lubang hidungnya mengeluarkan darah.

“Yongjin-ah, aku akan mengantarmu ke kamarku. Bertahanlah sebentar….” Seokjin memapah Yongjin menaiki anak tangga menuju kamarnya.

“Hindari ibu, jangan biarkan ia khawatir…,” lirih Yongjin sembari mengatur napasnya yang agak sesak.

Seokjin memutar knop pintu kamarnya, kemudian memapah Yongjin menuju ranjang. Tetes darah menodai lantai kamar, Seokjin pun meraih tisu dan mengangsurkannya pada Yongjin.

“Maaf, lagi-lagi aku menyusahkanmu,” ucap Yongjin sembari berusaha menghentikan laju darahnya dengan cara mendongakkan kepala.

Seokjin tersenyum tipis menanggapi ucapan Yongjin. Getar ponsel tiba-tiba menjalari saku celananya. Seokjin pun merogoh saku untuk mengambil benda berbentuk persegi panjang tersebut.

“Dari Chaeyoung…,” ujar Seokjin.

“Angkat saja.”

Langsung saja, Seokjin menekan tombol hijau pada layar ponselnya.

“Halo…,” ujar suara serak di seberang sana.

“Chaeyoung-ah, kau menangis?” ujar Seokjin kala menyadari perbedaan suara Chaeyoung.

“Chaeyoung menangis?” tanggap Yongjin berbisik. Seokjin menganggukkan kepalanya.

“Ibuku kecelakaan, Yongjin-ah. Tadi pagi ia tak sengaja terserempet mobil saat pulang dari belanja denganku di swalayan. Bisakah kau menemaniku? Aku di rumah sakit,” pintanya.

“Ya, baiklah. Aku akan segera ke sana,” ucap Seokjin.

Chaeyoung pun mengakhiri sambungan telepon dari seberang sana.

“Ada apa?”

“Ibunya Chaeyoung kecelakaan, Chaeyoung memintaku… maksudku meminta kau untuk datang menemaninya,” jelasnya.

“Ia pasti sangat membutuhkanku saat ini….” Yongjin bergumam, kemudian ia pun berdiri dari ranjang. Baru saja ia melangkahkan kaki kanan, tubuhnya serasa oleng dan sakit menyerang kepalanya. Untunglah Seokjin segera memegangi kedua bahunya.

“Temui Chaeyoung, Seokjin-ah… aku tak bisa menjumpainya dengan keadaan yang seperti ini…,” ucap Yongjin lirih.

“Baiklah… istirahatlah yang cukup.” Seokjin membantu Yongjin menaiki ranjang.

“Buatlah ia tak menangis lagi. Hibur ia semampumu,” bisiknya lemah.

“Pasti. Aku akan lakukan semuanya untukmu,” balas Seokjin.

***

Seokjin melangkah menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Satu per satu nomor pintu kamar pasien ia telusuri, menyesuaikannya dengan nomor pintu kamar pasien yang telah dikirimkan Chaeyoung melalui pesan. Tatkala ia melihat Chaeyoung bersama Chaera di seberang sana—yang tengah berbincang dengan dokter—, Seokjin pun segera berlari menghampirinya.

“Chaeyoung-ah… bagaimana keadaan ibumu?” ujar Seokjin.

“Golongan darahmu apa?” Tak menjawab pertanyaan Seokjin, Chaeyoung langsung menyuguhkan pertanyaan.

“Golongan darahku O,” balas Seokjin. “Ada apa?” sambungnya.

“Ibu kehilangan banyak darah dan buruh donor secepatnya. Golongan darah ibu A, sedangkan golongan darahku B seperti ayahku,” jelas Chaeyoung.

“Bagaimana dengan Chaera?” tanya Seokjin.

“Aku tidak tahu apa golongan darahku,” sahut Chaera.

“Tes golongan darah tak memakan waktu yang banyak. Sebenarnya pasien boleh menerima darah dari golongan darah O karena O merupakan donor universal yang darahnya cocok untuk semua golongan. Tetapi lebih bagus lagi jika pendonor bergolongan darah sama dengan pasien,” jelas dokter.

“Periksalah terlebih dahulu golongan darah adikku,” ujar Chaeyoung. Langsung saja, Chaera pun mengikuti dokter untuk mengetes golongan darahnya.

“Kumohon, doakan yang terbaik untuk ibuku, Yongjin-ah…,” lirih Chaeyoung. Seokjin meraih tangan Chaeyoung; menggenggamnya dengan hangat.

“Aku yakin ibumu baik-baik saja. Semoga saja hasilnya Chaera juga bergolongan darah A.” Seokjin menyunggingkan senyum. Entahlah, rasanya ia nyaman kala mengenggam tangan Chaeyoung.

Sekitar enam menit, Chaera dan dokter pun kembali. Tampaklah wajah Chaera sedikit bingung juga termenung sembari memegangi jari telunjuknya yang diperban.

“Golongan darahku O, Kak Chaeyoung…,” lirih Chaera dengan mata berlinang. “Aku anak siapa sebenarnya? Mengapa golongan darahku bisa berbeda dari ayah, ibu, juga Kak Chaeyoung?” Cairan likuid itu pun mulai menuruni pipinya.

TO BE CONTINUED….

5 pemikiran pada “[BTS FF Freelance] 2 Sides of Love (Chapter 9)

  1. wah keren thor 😂😂 tapi sedih liat penderitaan my oppa , semangat trus thor jgn lupa cepetan postingnya , fighting 😇😇

    Suka

  2. mungkinkah chaera itu chaerin??
    semoga benar,,cz kasihan lihat seokjin yg selalu menerima kebencian ayah’y sendiri ..
    ff mu kerenn thor cpet di next eoh !! 😀

    Suka

Leave a Review