[Chapter 1] Of Alienate and A Mirage: A Secret of Nomina High School

of-alienate-and-a-mirage-poster

Of Alienate and A Mirage

by echaminswag~

BTS members with some OCs
| genres AU!, Fantasy, Friendship, School Life, Sci-Fic | length 1.8k words | rating PG-17 |

Prev:
Prolog & Introduction

.

.

Mereka kerap menyebutnya; sesuatu yang tidak ada.

.

.

Chapter 1; A Secret of Nomina High School

Nomina High School. Berdiri pada tahun 1970 dan terkenal sebagai sekolah pertama bagi para elementer. Sekolah bergaya Eropa kuno ini terletak jauh dari pusat kota Roovel, tepatnya berada di dataran tinggi Albion dan berbatasan langsung dengan laut lepas. Nomina High School memiliki tiga gedung inti yang berderet sesuai golongan elemen terpenting dan tingkat kecerdasan siswa. Masing-masing gedung memiliki tujuh lantai, dimana setiap lantainya menunjukkan tingkatan atau kelas dari siswa-siswi tersebut.

Dimulai dari gedung A. Dari lantai pertama hingga ketujuh, siswa yang memeroleh kartu A selama masa orientasi merupakan siswa-siswi terlatih dan memiliki IQ paling tinggi. Elemen yang dimilikinya adalah elemen penting dan terkuat. Elemen dari kelas ini pun hanya ada beberapa di seluruh dunia. Carden adalah salah satu siswa yang masuk di kelas ini. Saat berada di tingkat tiga, ia dipercaya menjadi ketua Dewan Sekolah.

Gedung B. Merupakan tingkat kelas menengah yang memiliki siswa-siswi terbanyak. Dari 1190 total siswa Nomina, 65% siswa berada di gedung ini. Elemen yang dimiliki siswa-siswinya adalah elemen khusus dan si empunya mampu mengendalikannya dengan baik. Beberapa nama penting juga mendiami kelas ini, seperti; Valco―ketua klub sastra, Varrel―kapten basket, Aron―ketua klub teater, Evan―dokter sekolah, Leevi―penyerang klub sepak bola, dan Jeanneth―anggota klub teater.

Yang terakhir adalah gedung C. Siswa-siswi yang berada di gedung ini, kebanyakan adalah mereka yang belum mampu atau masih kesulitan mengendalikan elemennya. Jumlah siswa dari gedung C adalah terbanyak kedua setelah gedung B. Beberapa siswa-siswi yang menempati gedung ini adalah Weston, Cia, dan Raizel.

Dari ketiga gedung inti tersebut, Nomina juga memiliki tiga gedung khusus. Gedung pertama, merupakan ruang kepala sekolah, ruang para master, dan perpustakaan. Gedung kedua―yang berhadapan dengan gedung pertama―adalah ruangan-ruangan klub, ruang kesehatan, dan kafetaria. Satu gedung terakhir yang terbesar―karena letaknya berhadapan dengan gedung inti―merupakan aula Nomina High School. Ada pula sebuah lapangan basket, lapangan bola, dan taman yang berada di tengah sekolah (dikelilingi oleh gedung-gedung inti dan khusus).

Bagian depan sekolah terdapat pintu gerbang tinggi dan jalan setapak panjang menuju ke pintu kayu besar berplakat Nomina High School. Pintu tersebut akan tertutup apabila pembelajaran di setiap kelas telah dimulai. Lurus dengan pintu masuk, ada air mancur berbentuk lingkaran yang dikelilingi rerumputan labirin rendah. Ada pula lampu-lampu taman yang berada di beberapa sisi air mancur tersebut.

Sedangkan, bagian belakang sekolah merupakan sarana pembelajaran langsung ketika mereka menempuh ujian tengah semester. Para siswa Nomina akan berkumpul sesuai elemen yang dimilikinya untuk menunjukkan sejauh mana mereka mampu mengendalikan elemen tersebut. Saat ujian akhir dimulai, masing-masing siswa akan saling beradu elemennya di tempat tersebut. Siswa yang kalah akan tetap tinggal di gedung semula, sementara yang menang akan dipindahkan ke gedung yang lebih baik. Namun, ujian akhir yang seperti itu hanya dilaksanakan oleh siswa-siswi yang menempati gedung B dan C. Sedangkan siswa-siswi dari gedung A hanya akan mengerjakan beberapa soal sebagai syarat kenaikan tingkat.

Setiap tahun ajaran baru dimulai, siswa-siswi yang berada di tingkat satu diharuskan memakai pakaian resmi; atasan putih dan bawahan hitam, bersepatu, berdasi, serta untuk anak-anak perempuan dilarang membiarkan rambutnya tergerai. Mereka harus mengikatnya jadi satu ke atas dengan rapi. Setelah memasuki tingkat dua, mereka akan mendapat seragam lengkap; almamater berwarna merah tua, rok/celana berwarna senada, seragam musim panas, seragam musim dingin, dan beberapa alat tulis (seperti buku dan pena bertuliskan Nomina High School). Di tingkat ini pun, para siswa juga diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan klub.

Namun, dibalik nama besar dan gambaran mewah Nomina High School, sekolah ini ternyata memiliki sebuah rahasia yang cukup mengerikan. Rahasia yang hanya diketahui oleh seluruh siswa-siswi NHS. Rahasia yang sama sekali tak terendus oleh khalayak umum. Rahasia yang menjadikan seseorang kerap mengakhiri hidupnya karena merasa tidak sanggup menanggung beban tersebut.

A secret of Nomina High School.

 

***

 

“Bentuk sesuai polanya, Aron! Mengapa dari tadi guntinganmu selalu keluar dari pola?”

Baru beberapa sekon terdiam, Jeanneth kembali mengeluarkan suara karena merasa gemas dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Aron. Gadis itu tahu bahwa Aron sangat minim pengalaman dengan hal yang tengah ia kerjakan sekarang, sehingga Jeanneth selalu terjebak dengan kondisi-kondisi seperti ini ketika kelas mereka mendapat tugas membuat kerajinan tangan. Bukan apa-apa, sih, ia justru senang membantu karibnya ini. Tetapi, Jeanneth selalu mengalami kesulitan karena Aron tidak ada perkembangan sama sekali.

“Aku sedang mencobanya, Jean. Jangan berbicara terus, dong. Kau merusak konsentrasiku, tahu!” Aron menyahuti dengan nada kesal, yang hanya dibalas kekehan ringan oleh Jeanneth.

“Aku sedang membantumu, Aron. Coba jika tidak ada aku, mana mungkin kaubisa―”

“Aku menyerah.”

Satu jitakan keras mengenai kepala Aron. Jeanneth yang melakukannya usai mendengar perkataan dari si pemuda barusan. Membiarkan pemuda itu meringis sambil mengusap-usap kepalanya, Jeanneth pun mengambil pekerjaan tangan yang sebelumnya dilempar oleh Aron ke atas meja.

“Hei, kautinggal mengikuti polanya saja. Apa susahnya?” ujar Jeanneth seraya memberikan contoh kepada Aron. “Gunting sesuai pola, kemudian jahit seperti ini.”

“Mudah bagimu, tetapi sangat sulit untukku, Jean. Mengapa harus ada kerajinan tangan segala di sekolah ini?” Aron masih bersungut-sungut.

Sementara, Jeanneth membalasnya dengan merekahkan satu senyuman. “Supaya kita memiliki keahlian, Aron, tentu saja. Kita juga diajarkan untuk lebih telaten dengan mengerjakan ini.” Gadis itu kemudian mengambil benang dan jarum yang tercecer di atas meja. Memasukkan benang tersebut ke dalam jarum, kemudian mendorongnya kepada Aron. Meminta pemuda itu juga melakukan hal yang sama, namun tidak bisa. “Kautahu, memasukkan benang dalam jarum saja tidak semua orang dapat melakukannya. Kita memerlukan ketelitian dan juga konsentrasi. Sama seperti mengendalikan elemen, jika tidak teliti dan berkonsentrasi maka elemen tersebut akan berbalik menyerangmu. Parahnya, kauakan mendapat luka jika hal itu sampai terjadi. Kau tentu kerap melihat Raizel, kan? Dia sering sekali―”

“Hei, kalian!” sebuah suara menginterupsi perbincangan Aron dan Jeanneth. Lelaki itu berjalan ke arah keduanya sambil tersenyum meledek. “Masih suka berdua-duaan, ya?”

Jeanneth memicing tajam. “Aku hanya membantunya menyelesaikan ini, Evan. Dan kaupasti tahu bahwa anak ini sangat benci mengerjakan kerajinan tangan.” Tutur Jeanneth yang justru mendapat lebih banyak tawa ledekan dari Evan―senior sekaligus sahabatnya.

“Begitu, ya? Bukan karena ada hal lain, kan, Jean?”

“Oh ya Tuhan, berhenti menggodaku sebelum kusilaukan matamu!” Jeanneth telah bersiap mengeluarkan elemennya, namun dicegah oleh Aron ketika melihat seorang master berjalan melewati mereka. Gadis itu pun kembali duduk, sementara Evan masih saja menggodanya.

Ugh, kausuka menggunakan elemenmu untuk kepentingan pribadi sekarang?”

“Berhenti bicara sembarangan! Katakan, ada apa kau kemari?” Jeanneth bertanya sambil menyilangkan tangannya.

Evan sontak berhenti tertawa. Ia nyaris lupa untuk apa datang menemui dua karib ini. “Aku membutuhkan bantuan dan… teman.” Merasa mereka berdua justru menjungkitkan alis keheranan, Evan lekas mengimbuhi, “untuk Raizel, bukan untukku.”

“Ada apa? Dia terluka lagi?” Tanya Jeanneth buru-buru. Menjatuhkan tangannya yang tersilang, lantas menatap Evan dengan tajam.

“Begitulah.” Gumam Evan seraya mengangguk, kemudian melesakkan tangannya ke dalam saku jas laboratoriumnya. Matanya memindai seluruh sisi ruang kelas Aron dan Jeanneth seolah mencari objek lain sebagai pelarian ekspresi sedih yang tiba-tiba tergambar di mimiknya. “Temani dia di ruang kesehatan, kalau kalian tidak keberatan.”

Mendengar penuturan Evan, Jeanneth hanya mampu menghela napas berat. Raizel memiliki elemen yang begitu kuat, namun ia masih belum dapat mengendalikannya dengan baik. Seperti yang Jeanneth singgung pada percakapannya dengan Aron tadi, elemen tersebut akan melukainya jika mereka tak sanggup mengendalikannya.

“Memangnya kau tidak bisa menemaninya?” Aron tiba-tiba menyahut dengan ketus. Sementara Evan yang bersedih atas kondisi Raizel, pemuda ini justru mengkhawatirkan kerajinan tangannya yang masih bercecer dengan bentuk abstrak. Aron harus segera menyelesaikannya sebelum deadline pengumpulan mencekik lehernya.

“Memangnya dia mau bicara denganku setiap kali terluka? Bahkan jika aku tidak menemukannya di belakang sekolah, dia pasti sudah tewas sekarang.” Suara bergetar tak mampu ditutupi oleh pemuda yang dijuluki si penyembuh itu. Kendati biasanya tampak ceria dan sangat bersemangat, ia juga dapat merasakan kesedihan apabila sahabatnya mengalami kesulitan.

“Apa yang dia lakukan, sih? Ujian tengah semester bukannya masih lama?” Aron kembali menimpali, namun dengan suara lebih pelan.

“Dia bilang sedang berlatih dengan beberapa pemilik elektrokinesis lainnya dan murid-murid di kelas C.” Evan lantas melirik jam tangannya. Merasa ia sudah tak punya banyak waktu, pemuda itu pun kembali meminta pertolongan kepada dua sahabatnya ini. “Tolong temani dia untuk sementara, aku harus ke rumah sakit sekarang.”

“Untuk apa kaupergi ke sana?” tanya Jeanneth.

“Mengambil beberapa obat khusus. Ada yang terluka lebih parah.” jelas Evan.

“Siapa?” keduanya bertanya secara bersamaan, namun Evan tak memberikan jawaban. Ia justru melenggang pergi setelah master vitakinesis memanggilnya. Jeanneth dan Aron pun segera pergi ke ruang kesehatan, meninggalkan kerajinan tangan mereka tercecer sembarangan.

 

***

 

“Cia, buka matamu, kumohon.”

Kalimat tersebut telah Aron dengar sebanyak lima kali usai ia masuk ke ruang kesehatan dan duduk di sebelah tempat Raizel berbaring. Gadis pengendali petir itu telah sadarkan diri beberapa saat lalu, dan sekarang tengah memulihkan kondisinya. Berbeda dengan teman satu tingkatnya―bernama Cia―yang masih terpejam dan membuat sang saudara uring-uringan.

“Dia akan baik-baik saja, Carden. Tenanglah.” Aron menyahuti karena tak ingin mendengar kalimat demikian lebih banyak lagi. Ia menyilangkan tangannya sembari bersandar pada dinding di belakangnya.

Sementara, Carden justru menatapnya tajam. “Aku pun berusaha untuk tenang, tetapi lihat kondisinya! Bagaimana aku bisa tenang?” ujarnya lantas bergantian menatap siswa-siswi dari gedung C yang memenuhi ruang kesehatan hari ini. “Apa, sih, yang sedang kalian lakukan? Jika ingin berlatih seharusnya bukan di belakang sekolah. Kalian bisa melukai siapapun jika elemen-elemen itu belum sepenuhnya dapat kalian kendalikan.”

“Dan kau menyalahkan Raizel, juga teman-temannya, atas kejadian ini? Hei, adikmu juga berlatih di tempat yang sama, asal kautahu.” Aron bertutur dengan nada marah yang dibalas picingan tajam oleh si lawan bicara.

“Aku tidak menyalahkan siapapun. Tetapi sesuai peraturan, area belakang sekolah hanya digunakan untuk ujian tengah semester dan ujian akhir. Bukan untuk bermain-main!”

Mendengar kalimat tersebut, Aron berjalan maju―berniat menghajar Carden―namun lekas dicegah oleh Jeanneth yang mencekal pergelangannya. Aron akhirnya kembali mundur, karena akan menjadi masalah jika ia sampai menghajar pemuda itu.

“Hei, mereka tidak bermain-main! Mereka tidak berada di kelas A sepertimu, jadi mereka harus berlatih supaya pada ujian tengah semester nanti dapat menunjukkan kemampuan yang lebih baik.” Serunya kemudian.

“Lalu, jika sudah seperti ini, siapa yang akan bertanggung jawab? Semua orang nyaris tewas dengan kejadian ini.”

“Kau yang harus bertanggung jawab, Carden! Bukankah kau adalah ketua Dewan Sekolah? Lakukan sesuatu kalau begitu!”

“Aron, Carden, sudahlah! Mengapa kalian seperti anak kecil begini? Tidak akan ada yang berubah jika kalian berdebat. Justru semuanya akan semakin rumit. Lebih baik kalian diam dan serahkan semuanya kepada para master.” Jeanneth berbicara untuk menengahi. Membuat keduanya terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya Aron memilih untuk pergi dengan wajah merah menahan amarah.

“Aku pergi dulu.”

“Aron!” teriak Jeanneth yang tidak direspons oleh si empunya nama. Melihat itu, gadis lunarkinesis tersebut lekas beranjak usai meminta maaf kepada Raizel karena ia harus pergi menyusul Aron. “Sial, akan terjadi gempa bumi kalau dia marah.” Gerutu Jeanneth sembari berjalan pergi.

 

***

 

Ravendra tengah berdiri di atap gedung dengan menyanggakan sebelah tangan ke besi pembatas. Sebelah tangan lainnya menggenggam sekaleng minuman bersoda yang isinya tinggal separuh. Ia kembali mengangkat kaleng tersebut, meneguknya hingga tak bersisa dan membuang kalengnya begitu saja.

Sorotnya menatap lurus ke depan, menempatkan satu-satunya fokus pada garis senja yang nyaris menghilang di ujung cakrawala sana. Hamparan laut lepas juga tertangkap oleh kedua bola matanya. Senja keunguan membias pada laut tersebut, menjadikan sebuah pendar indah yang bahkan sayang untuk dilewatkan oleh siapapun.

Ravendra yang selalu menikmatinya, seorang diri. Ketika yang lain memilih untuk pulang ke kediaman masing-masing, pemuda itu masih terjebak di sini dan menikmati langit senja hingga gelap membumihanguskannya. Bukan kemauan Ravendra sesungguhnya untuk tetap berada di sini dan baru bisa kembali ke rumahnya saat larut. Ini adalah peraturan sekolah yang tak dapat ditentang oleh siapapun. Ravendra harus datang satu jam sebelum sekolah dimulai, dan pulang setelah gelap datang. Ia tidak dapat mengikuti pembelajaran seperti sebayanya dan hanya mengandalkan layar komputer pada ruangan khususnya untuk menerima materi. Ia hanya diampu oleh satu master ketika ujian tengah semester atau ujian akhir telah tiba. Kenaikan tingkat ditentukan oleh sang master pula, namun, ia tak dapat berpindah dari ruangan itu seperti yang lainnya. Ia diharuskan tinggal di ruangan tersebut hingga menemukan penggantinya.

Dan hal yang dialami oleh Ravendra ini adalah rahasia besar yang tersimpan di Nomina High School.

 

 

 

To be continued…

Nomina High School

final-fantasy-type-0-full-630232

20 pemikiran pada “[Chapter 1] Of Alienate and A Mirage: A Secret of Nomina High School

  1. JIMIN JADI BADBOY?!?! JINJJA?!?! JINJJA?!?!?! UGH NDA BISA BAYANGIN MUKA NISTA MESUM GITU JADI MACEM CARDEN(?)

    Eh—carden tuh jimin kan yak/?

    DUH DUH- KOK KAYAKNYA NASIB ANAK KELAS C SEDIH AMAT YAK. CEM ANAK BUANGAN(?).

    Tapi kenapa mbak yunra masuk kelas C sementara kakaknya masuk kelas A? Nah loh. Kan sedarah?????? Nggak ada keturunan kah?!?!? /? Atau jangan jangan mbak yunra ketuker di rumah sakit?!?!?! JENG JENG JENG JENG /nda

    Disukai oleh 1 orang

  2. sumpah demi apa aku bolak balik dari sini ke prolog gegara gak inget ini siap itu siapa duh susah banget ngingetnya.. dan itu maksudnya ravendra rahasia sekolah itu apaan? suga?? karena dia gak punya kekuatan dan cuma stuck dengan komputer gak kayak yang lain atau gimana??? ugh.. penasaraaannn…

    Disukai oleh 1 orang

  3. AAAAAA SUKA SUKAAAAA BANGEETTT XD

    Ini keren sumpah, deh!
    Aku selalu tertarik dengan genre fantasi yang ceritanya ttg anak sekolahan (?) kek gini!

    Part ini lucu, dan karakter tiap tokohnya udah mulai keliatan.
    Wkwkw aku masih berusaha mengingat nama-nama tiap tokoh hihi..

    Lanjut cepetann yaaa kak! ^^

    Disukai oleh 1 orang

  4. aku suka sama part ini
    sama masih berusaha inget-inget nama para tokoh nya
    aduh kasian itu si yoongi 😦
    tenang aja ntar ada kawan kan dia di cerita ini
    kasian kalau sendiri trus… bisa galau deh 😀 haha

    Di tunggu lanjutan nya
    Semangat!! 😀

    Disukai oleh 1 orang

  5. Hiks komenku kepotong ㅠㅠㅠ

    아주 나이스 !
    Aaa seruuu… Aron kalo marah bisa gempa yeth? Duh duh bahaya ini… Wkwk…
    Aku suka karakter nya Jeanneth disini >< Btw, dia sebenarnya knp? Ga punya kekuatan kah? Kalo karena Weston, apa gegara dia hancurin kekuatannya si Ravendra? (secara dia destroyer gt /plak/)
    Kelanjutannya ditunggu kak.. Fighting!

    Disukai oleh 1 orang

  6. 아주 나이스 ….
    Aaa seruuu… Aron kalo marah bisa gempa yeth? Duh duh bahaya ini… Wkwk…
    Aku suka karakter nya Jeanneth disini >< Btw, dia sebenarnya knp? Ga punya kekuatan kah? Kalo karena Weston, apa gegara dia hancurin kekuatannya si Ravendra? (secara dia destroyer gt /plak/)
    Kelanjutannya ditunggu kak.. Fighting!

    Disukai oleh 1 orang

  7. Kak echaaaaa aku masih menghapalkan nama-namanya ih gemez astaga dan itu si Ravendra kenapa? Dia di kurung? Atau bagaimana? Ravendra punya kekuatan yang lebih lebih lebih sangat kuat? Ravendra kenapa dia—-

    Ini elemen2nya apa aja kak Echa? XD api? Tanah? Air? Udara? Kek avatar gitu XD seru ih chp 1 nya kutunggu di chp selanjutnya kak echa XD

    Disukai oleh 1 orang

    • IPINCHU SAYAAANAG INI APAAN YALORD LAGI ASIK ASIK BACA MALAM NEMU TBC SEBEL IH /lempar meja/

      Terus ya selama baca yg kebayang itu cuma aron sama evan selebihnya aku gatau si a siapa si b siapa e ravendra tau dong bikos peran utama aseq (entar butuh training khusus buat ngapalin nama mereka deh ini pin)

      RAHASIA YA? SYEM WIS MALES IH KALO BERHUBUNGAN SAMA RAHASIA SERAH AELAH DD BAKAL KEPOIN INI FIC POKOKNYA HUFT

      oiya btw salemin lagi si aron dari mba reyn yg semalam roman romannya bakalan ditembak eh ternyata malah dipehapeih /salah lapak woi salah/😂😂😂

      Fighting yass!💜

      Disukai oleh 1 orang

  8. Aku penasan pake banget, kanapa Ravendra bisa diisolir kyk gitu di sekolah. Tapi dianya adem2 aja gituu?
    Aron, Kak Echa aku suka bgt deh sama nama Taehyung ini. Ngingetin sama Aron Yan gituu, hehe. Terus juga ya ampuun apa susahnya sih ngegunting ngikutin pola? Part ini aku suka bgt, lucu sekaligus manis.

    Disukai oleh 1 orang

Leave a Review