[BTS FF FREELANCE] 2 Sides of Love (Pt. 10)

img_2064

[Chaptered] 2 Sides of Love (Pt. 10)

Author: Pinkchaejin
Rate: PG 15+
Length: chapter
Genre: angst, sad, hurt/comfort, brothership, romance
Cast:
-> Kim Seok Jin (Jin of BTS)
-> Han Chae Young (Pinkchaejin’s OC)
-> Kim Yong Jin (OC/Seokjin’s twins)
Other cast:
-> Han Chae Ra (OC)

©Pinkchaejin // 2016. All Rights Reserved

-Happy Reading-

Keheningan menyeruak tatkala Chaera bersua. Derai air mata pun membasahi pipi. Ia—Chaera—menangis kala gundah menyapa. Sementara Chaeyoung bungkam—seperti memikirkan suatu hal. Sejenak, ia pun merengkuh sang adik ke dalam pelukannya. Ia biarkan Chaera meluapkan tangis, sebab tangisan adalah emosi yang terpendam. Dielusnya surai ikal kecoklatan tersebut dengan penuh kasih sayang. Kemudian ia tenangkan sang adik dalam kata-kata lembutnya.

“Kau pernah dengar ‘kan ada perempuan bergolongan darah A dan laki-laki bergolongan darah O menikah, kemudian melahirkan anak bergolongan darah AB. Jadi, ada kemungkinan jika kau seperti itu, Chaera-ya…,” hibur Chaeyoung.

“Benarkah seperti itu?” lirih Chaera sembari melepas pelukannya. Ia tatap wajah manis kakaknya dengan penuh harap. Dua kali anggukan pun Chaeyoung beri.

“Baiklah, aku bisa juga mendonorkan darah untuk Ibu ‘kan?” ucapnya senang.

“Ah, aku hampir lupa. Kau ‘kan anemia, Chaera.” Chaeyoung mengingatkan. Wajah Chaera pun berubah cemberut.

“Lalu Ibu bagaimana?” sahut Chaera agak kecewa.

“Aku saja, Chaera-ya… aku juga O, bisa mendonorkan darah ke semua golongan ‘kan?” Seokjin pun mengajukan diri.

“Sungguh? Kak Yongjin mau mendonorkan darah untuk Ibu?” ujar Chaera dengan mata berbinar.

“Tentu saja. Chaeyoung-ah, boleh ‘kan?” ucapnya.

“Sangat boleh, Yongjin-ah. Aku akan sangat berterima kasih padamu,” tanggap Chaeyoung.

***

Two days later….

‘Apa maksud dari akapela? Yah, uji kompetensi jurusan musikmu susah sekali. Cepat jawab SMS-ku sebelum dosenmu memergokiku.’

Ponsel Seokjin bergetar sejak 20 menit yang lalu hingga sekarang. Hari ini tidak ada dosen yang datang mengajar untuk jurusan kimia dan suatu kebetulan karena jurusan musik tengah menjalani uji kompetensi. Maka hari ini adalah kesempatan emas bagi beberapa mahasiswa jurusan kimia yang hendak membolos. Pagi sebelum berangkat kuliah, Yongjin berkata bahwa ia ingin mencoba masuk ke kelas jurusan musik sebab selama ini Seokjin selalu berusaha keras di kelas kimianya. Maka suatu bencana tatkala kelas jurusan musik tiba-tiba mengadakan uji kompetensi secara tertulis dan Yongjin sama sekali tak tahu-menahu tentang apa saja yang diujikan di kertas putih tersebut.

‘Paduan suara tanpa iringan alat musik. Berapa soal yang kau tidak tahu?’ Seokjin membalas SMS Yongjin. Metode menyontek ala Yongjin patut diberi aplaus sebab ia mampu menghindari dosen yang mengawas. Belum sempat Seokjin menekan tombol ‘send’, tiga buah SMS pun masuk ke ponselnya.

‘Pengertian sonata?’

‘Pencipta lagu La Campanella?’

‘Pencipta lagu Fur Elise?’

“Aku tak tahu ia pintar menyontek juga selain pintar kimia, fisika, matematika, biologi, geografi, ekonomi… yah, banyak sekali mata pelajaran yang ia sukai, kecuali musik,” gumam Seokjin dengan tatapan yang berfokus pada ponselnya.

Baru saja ia mengirimkan SMS yang tadi diketiknya, tiba-tiba ponselnya berdering sebab Yongjin meneleponnya. Sontak Seokjin pun agak terkejut, bisa-bisanya Yongjin meneleponnya saat melaksanakan uji kompetensi.

“Yah, lama sekali kau menjawabnya…,” protes Yongjin dari seberang sana.

“Bagaimana bisa kau meneleponku?” jawab Seokjin setengah berbisik aagar tak ketahuan oleh beberapa mahasiswa yang masih bertahan di kelas itu tanpa dosen.

“Dosenmu sedang pergi keluar untuk merokok. Cepatlah, beri tahu jawabannya!”

“Pintar sekali kau mengambil kesempatan. Pengertian sonata adalah komposisi musik untuk instrumen tunggal. Pencipta La Campanella adalah Franz Lizst, kemudian Fur Elise adalah David van Beethoven. Ada lagi yang mau kautanyakan?”

“Ada 20 soal lagi….”

Seketika Seokjin pun menyesali pertanyaannya. Sekitar lima sampai tujuh soal yang didiktekan Yongjin berhasil ia jawab. Kemudian sambungan telepon tiba-tiba terputus begitu saja tatkala sayup-sayup Seokjin mendengar suasana kelasnya—jurusan musik—agak hening yang menandakan bahwa dosennya telah kembali ke kelas hingga tanpa izin atau basa-basi lagi, Yongjin segera memutuskan sambungan telepon dari seberang sana. Seokjin tertawa kecil tatkala membayangkan bagaimana tersiksanya Yongjin dengan soal uji kompetensi itu; kurang lebih sama tersiksanya tatkala ia mengerjakan soal uji kompetensi kimia beberapa hari tempo.

Sejenak, Seokjin memandangi Chaeyoung yang masih bertahan di kelas tanpa dosen itu. Hanya ada ia, Chaeyoung, Cho Kyuhyun, Im Yoona, Bae Sooji, Krystal Jung, Kim Joonmyeon, dan lain-lain yang memang selalu unggul di peringkat sepuluh besar. Pasalnya, para pemegang peringkat sepuluh besar tak ada yang beranjak bolos seperti yang lainnya. Tetap duduk di tempat sembari menikmati buku-buku pelajaran atau mencatat materi yang penting dengan pena warna-warni di buku catatan, begitulah yang biasa dilakukan oleh mereka yang terbilang pintar.

Seokjin menenggelamkan wajah pada tumpukan buku di atas meja. Tak ada niat yang berarti di dalam dirinya untuk menyentuh buku-buku tebal tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh mahasiswa lainnya tatkala belum meninggalkan kelas. Ia memejamkan mata; tenggelam dalam mimpinya.

“Yah, si Mantan Peringkat Satu telah menjelma menjadi si Tukang Tidur. Di mana pena warna-warnimu? Tumben sekali kau tak merangkum materi seperti biasanya jika tak ada dosen,” sindir Cho Kyuhyun yang membuat Seokjin membuka matanya.

Dari raut wajah Kyuhyun, sepertinya anak itu menginginkan respon atas sindirannya barusan. Namun tidak, Seokjin bukan tipe yang seperti itu. Ia hanya memandang Kyuhyun datar sembari meraih salah satu buku yang ada di mejanya, kemudian beranjak keluar kelas hingga menyebabkan air muka Kyuhyun berubah drastis.

‘Mengapa ia tidak marah ketika aku memancing emosinya?’ batin Kyuhyun yang masih memandang Seokjin bertanya-tanya.

“Ya! Yongjin-ah, kau mau pergi kemana?” ujar Chaeyoung tatkala melihat Seokjin keluar dari kelas. Seokjin hanya bungkam tanpa merespon ucapan Chaeyoung. “Kim Yongjin!” Akhirnya, Chaeyoung pun ikut pergi keluar—menyusul Seokjin.

“Berhenti di sana, Kim Yongjin!” titah Chaeyoung. Seketika, Seokjin menghentikan langkahnya, kemudian berbalik badan—memandangi Chaeyoung datar.

“Apa kau lupa, hm?” ucap gadis itu sembari berjalan mendekati Seokjin. Ucapannya membuat kening Seokjin agak mengerut. Lupa tentang apa?

“Maksudmu?” respon Seokjin agak bingung.

Wajah itu berubah kecewa, “Kau bukan Yongjin, ya? Sejak kapan Kim Yongjin bisa melupakan tanggal anniversary-nya bersama wanita yang selalu ia cintai?”

Bagai petir menyambar, lidah Seokjin kelu mendengar pernyataan Chaeyoung. Tatkala cairan likuid itu menuruni pipi mulus Chaeyoung, kala itulah Seokjin merasakan dadanya perih, ia tak mampu melihatnya menangis. Sama sekali, Yongjin tak menceritakan apa pun pada Seokjin perihal anniversary-nya bersama Chaeyoung. Ada rasa kesal tatkala Chaeyoung berkata bahwa ia bukan Yongjin, namun perih pun ia rasakan tatkala Chaeyoung menangis.

“Hanya karena tanggal anniversary, kau mengatakan bahwa aku bukan Yongjin?” Seokjin beralih pada sisi kecewanya, mungkin perihnya terkalahkan oleh rasa kesal dan kecewa terhadap pernyataan Chaeyoung.

“Jika kau mencintaiku, kau tak’kan mungkin melupakannya!” tuturnya sembari terisak.

Lagi, Seokjin merasakan perih tatkala tangis Chaeyoung pecah. Entah dorongan dari mana, ia meraih kedua lengan Chaeyoung sembari menariknya hingga jarak wajah mereka tinggal beberapa sentimeter lagi. Dalam diam, keduanya saling bertatapan lama. Hingga sebuah kecupan singkat mendarat di kening Chaeyoung.

“Yongjin….”

Seokjin pun memiringkan kepalanya. Perlahan, ia mendekatkan bibirnya pada bibir Chaeyoung. Tatkala benda kenyal itu saling menempel, Chaeyoung memejamkan matanya. Embusan napas hangat saling mereka rasakan. Setelah dirasanya cukup, Seokjin pun melepas ciumannya,

“Maafkan aku dan… jangan menangis lagi,” ucapnya sembari beralih memegang kedua telapak tangan Chaeyoung. “Happy anniversary, Chae-ya…,” sambungnya.

Sekonyong-konyong, Chaeyoung pun memeluk erat tubuh Seokjin. “Berjanjilah kau akan selalu mencintaiku, Yongjin-ah….”

Dalam diam, Seokjin menghela napas. Lalu, ia pun mengeratkan pelukannya.

‘Maafkan aku, aku tak dapat mencegah perasaan ini. Aku sangat mencintaimu, Chaeyoung…,’ batinnya.

***

Dua soal lagi… ah, aku tak tahan, mengapa di saat seperti ini aku hendak buang air kecil?’ gerutu Yongjin dalam hati.

Sembari menyesap bibir, Yongjin melirik Taehyung yang tepat berada di kursi sampingnya. Sembari mengawasi sang Dosen, Yongjin menendang kaki Taehyung agar atensinya beralih padanya. Taehyung pun menoleh, dengan sigap Yongjin memberi kode bahwa ia butuh jawaban.

“Nomor 28…,” bisiknya. Taehyung agak menaikkan alis, ‘tak biasanya ia menyontek. Bahkan tadi sempat bertelepon dengan seseorang untuk meminta jawaban,’ batin Taehyung.

“Melodi,” jawab Taehyung setengah berbisik. Lagi, Yongjin pun memanggilnya, “nomor 14….”

“Ritme,” jawab Taehyung lagi. Segera, Yongjin mengisi dua soalnya yang masih kosong. Ia pun berdiri—hendak mengumpulkan lembar uji kompetensinya. Sebelum beranjak mengumpulkan kertasnya, ia berterima kasih pada Taehyung walau sekilas.

“Pak, saya izin ke toilet!” ucap Yongjin setelah kertasnya terkumpul di atas meja. Belum sempat mendapat izin, Yongjin pun segera berlari keluar dari kelas itu menuju toilet pria. Tak peduli lagi bagaimana dosen itu menganggapnya, apakah dianggap sebagai mahasiswa tidak sopan atau dianggap sebagai mahasiswa yang tak menghormati yang lebih tua, Yongjin tak peduli lagi. Yang terpenting sekarang hanyalah celananya tidak basah sekonyong-konyong.

“Fiuh…,” desisnya lega setelah menyahut ke panggilan alam. Ia pun beranjak keluar dari toilet tersebut.

‘Aku harus menyuruh Seokjin kemari untuk kembali ke posisi semula. Aku harus menemui Chaeyoung sekarang. Ia pasti menunggu kejutan dariku,’batinnya.

Sembari berjalan, Yongjin pun mengeluarkan ponselnya—yang merupakan ponsel Seokjin. Baru saja hendak menelepon Seokjin, sebuah percakapan yang menusuk gendang telinganya pun mengharuskan Yongjin untuk berhenti sejenak dan mengurungkan niatnya untuk menelepon Seokjin.

“Chaeyoung? Mengapa… ia menangis? Apa yang diperbuat oleh Seokjin?” gumamnya.

“Kau bukan Yongjin, ya? Sejak kapan Kim Yongjin bisa melupakan tanggalanniversary-nya bersama wanita yang selalu ia cintai?” Begitulah ucapan yang ia dengar dari mulut Chaeyoung.

Awalnya Yongjin hendak menghampiri mereka. Namun mengingat ia dan Seokjin masih bertukar posisi, maka Yongjin pun mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk diam di tempat sembari mendengar percakapan mereka.

“Hanya karena tanggal anniversary, kau mengatakan bahwa aku bukan Yongjin?” Suara Seokjin meninggi, membuat Yongjin ingin sekali menghajarnya.

“Jika kau mencintaiku, kau tak’kan mungkin melupakannya!”

Kemudian, suasana pun hening tatkala tangis Chaeyoung pecah. Hancur sudah hari anniversary yang telah dipersiapkan sebaik mungkin oleh Yongjin. Gadisnya menangis di hari anniversary mereka, ini adalah sebuah pertanda buruk.

Hingga tibalah saat di mana Yongjin merasakan sakit bak tertusuk oleh panah. Seokjin mengecup kening Chaeyoung tanpa ragu. Dalam diam, ia menelan saliva tatkala perih menghunjam dada. Namun segera ia hapus rasa cemburu tersebut mengingat Seokjin masih bertukar posisi dengannya. Ia yakin, Seokjin melakukan itu demi menjaga perasaan Chaeyoung dan demi melakukan amanat darinya.

“Yongjin….”

Chaeyoung memandang Seokjin dengan linangan likuid yang masih membekas di pipinya. Seokjin tak bersuara, kemudian ia mendekatkan wajahnya dan pada akhirnya bibir kesayangan Yongjin itu kini dilumat oleh Seokjin. Sepertinya Yongjin lupa cara bernapas tatkala pemandangan itu memasuki netranya. Tak sangka bahwa Seokjin melakukannya sejauh ini. Dalam genggamannya, dalam kecupannya, Yongjin menemukan ilustrasi cinta yang kini tengah berlabuh dalam diri Seokjin. Seokjin melakukannya dengan cinta; itu merupakan kesimpulan yang dapat ditarik oleh pengelihatan Yongjin.

“Tidak mungkin jika Seokjin mencintai Chaeyoung… tidak mungkin…,” lirihnya dalam perih yang merasuk dalam dada.

Yongjin memilih untuk beranjak pergi. Sebenarnya ia bahagia sebab Seokjin tak lagi kaku tatkala berhubungan dengan wanita, namun di sisi lain ia tak terima manakala Seokjin mencintai kekasihnya. Pria mana yang rela ketika mengetahui bahwa kekasihnya dicintai oleh orang lain? Sama seperti Yongjin. Ia tak pernah terpikir sama sekali dalam benaknya bahwa Seokjin akan jatuh cinta pada Chaeyoung. Jika Seokjin menemukan sosok wanita yang dicintainya, mengapa wanita itu harus Chaeyoung?

Yongjin merogoh saku tatkala dering ponsel menusuk gendang telinga. Itu adalah telepon dari Seokjin. Sejenak, Yongjin menarik napas. Ia menelan salivanya untuk membasahi tenggorokannya yang agak kering.

“Halo?” Sebisa mungkin, Yongjin mengatur intonasi nadanya agar tak terdengar dingin. Jujur saja, ia marah pada Seokjin, namun ia berusaha untuk meredam amarahnya sebab ia tak pernah ingin bertikai dengan Seokjin.

“Mengapa kau tak bilang kalau kalian anniversary hari ini?” ucap suara dari seberang sana.

Netranya memandangi tanah kosong yang ia pijak. Bayang-bayang ciuman antara Seokjin dan Chaeyoung menghantui pikirannya. Sejenak, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbentuk persegi panjang dari saku celananya—sebuah hadiah yang hendak ia berikan pada Chaeyoung.

“Aku baru saja hendak meneleponmu, hendak memberitahu hal itu,” balas Yongjin datar, “bisa ‘kan kita kembali ke posisi semula? Aku menunggumu di toilet pria.”

“Aku akan segera ke sana,” tanggap Seokjin.

Seperti yang telah ia katakan pada Seokjin, Yongjin pun menunggu Seokjin di toilet pria. Yongjin mengembuskan napas kala memandang wajahnya yang terpantul dalam cermin. Ia menyadari, air mukanya berubah drastis setelah melihat kejadian tadi—antara Seokjin dan Chaeyoung.

‘Tapi… bagaimana jika nanti aku mati? Akankah aku terus egois untuk memaksa Chaeyoung tetap tinggal?’ batinnya gundah.

Kadang kala, ia berpikir keras bagaimana nantinya jikalau Chaeyoung mengetahui sebenarnya. Sebuah kebohongan besar ia sembunyikan darinya. Jika itu akan terbongkar di kemudian hari, tak akan ada bahan untuk menyangkal lagi. Hanya menunggu bagaimana rupa gadisnya kala kebenaran itu terbongkar. Ada dua kemungkinan yang dapat ia terima; pernyataan kecewa dari Chaeyoung hingga gadis itu membencinya, atau gadis itu tetap tinggal dan menerima kenyataan yang ada. Jika ia harus memilih, lebih baik ia memilih Chaeyoung membencinya dan meninggalkannya, sebab Yongjin tak pernah menginginkan air mata Chaeyoung terus menetes ketika suatu hari nanti hal ini terbongkar, lalu ia tetap menunggunya sembuh atau yang terburuk… menunggu waktu demi waktu akan berakhir hingga Chaeyoung harus menonton proses pemakamannya kelak.

Itu hanya dampak yang ia terima dari Chaeyoung. Lalu, bagaimana dengan respon Ayah dan Ibunya jikalau kebenaran ini terbongkar? Terkadang Yongjin menyesali waktu di mana ia meminta Seokjin untuk bertukar posisi. Kini, segala konsekuensi terberat ada pada diri Seokjin. Bahkan ia tak berpikir panjang tatkala meminta Seokjin untuk melakukannya, di situlah ia sadar bahwa ia benar-benar egois dan mementingkan diri sendiri. Dan Seokjin… sebenarnya ia tak pernah mengeluhkan permasalahan ini. Namun Yongjin selalu merasa bersalah tiap kali mengingat sandiwara ini terus berlanjut.

“Yongjin-ah,” suara Seokjin memanggil namanya hingga membuat Yongjin segera memalingkan atensi. “Wajahmu kacau sekali, kau sakit lagi?” tanya Seokjin agak khawatir.

Yongjin menggelengkan kepalanya, “Tidak….”

“Kebetulan aku memakai kaus yang sama denganmu, bedanya aku memakai jaket,” ucap Seokjin sembari melepas jaketnya, kemudian ia menyodorkannya pada Yongjin. Yongjin pun mengambil jaket tersebut, kemudian mengenakannya.

“Seokjin…,” panggilnya lirih.

“Heum…?”

“Aku hanya ingin bertanya, apa kau mencintai Chaeyoung?”

Seketika itu, Seokjin pun tenggelam dalam keheningannya. Lidahnya terasa kelu—tak mampu berkata. Tak dapat dipungkiri lagi, ia mulai mencintai Chaeyoung. Kala pertanyaan itu menusuk gendang telinganya, rasanya seluruh organ agaknya berhenti bekerja. Ia hanya dapat mematung dan membiarkan otaknya berkecamuk dalam dua jawaban yang harus ia lontarkan—antara ya atau tidak.

“Maaf, tetapi… kali ini aku belum mampu untuk menjawabnya,” jawab Seokjin dalam satu tarikan napas.

“Jangan buat ia mencintaimu sebagai Yongjin. Jika kau mencintainya, buatlah ia mencintaimu sebagai Seokjin,” ucap Yongjin yang membuat Seokjin tertegun mendengarnya.

“Aku… tidak mengerti,” tuturnya.

“Lain kali, kau akan mengerti.”

***

Ada kalanya di mana kau merasakan kekuatan cinta yang bersemi dalam dada. Seluruh napasmu ada padanya, membuat kau tak bisa kehilangannya. Cintamu melanglang buana dalam dirinya, tak dapat lagi kau menarik cintamu sebab kau telah jatuh padanya. Kau tak dapat memusnahkan euforiamu tatkala bersamanya. Terkadang cinta dapat menjadi satu kelemahan yang akan merasuk dalam tubuh.

Kelas terlihat sepi sebab waktu telah menunjukkan jam kuliah berakhir. Di sana—di kelas kimia itu—Yongjin menemukan Chaeyoung yang senantiasa menunggu keberadaannya. Ia yakin, Seokjin yang menyuruhnya tetap tinggal untuk menunggunya. Rasa rindu itu menyeruak dalam dirinya. Entah berapa lama ia tak lagi memandang dalam manik kecokelatan itu, tak lagi menggenggam tangannya, dan tak lagi memeluk tubuhnya.

“Ayo kita pul—”

Sekonyong-konyong, Yongjin menarik tubuh ramping tersebut ke dalam pelukan hangatnya. Ia tak peduli manakala gadis itu kebingungan dengan sikapnya. Setetes likuid pun mengalir dari kelopak Yongjin. Tak ada yang tahu apakah itu air mata kebahagiaan ataukah air mata kesedihan.

“Yongjin-ah, mengapa kau tiba-tiba—”

“Biarkan seperti ini, Chae-ya… aku hanya… ingin memelukmu lebih lama,” ucap Yongjin lirih.

“Sudah lama sekali kau tak memelukku seerat ini. Belakangan ini, pelukanmu agak berubah dan sama sekali tak kurasakan hangatnya pelukan itu. Namun aku bahagia… pelukan hangat itu kembali seperti sediakala,” kata Chaeyoung sembari tersenyum manis.

“Bolehkah aku tahu seberapa besar cinta yang kauberikan untukku?” Yongjin berucap di kala pikiran lain memasuki kepalanya.

“Aku sangat mencintaimu, Kim Yongjin… sangat mencintaimu sampai-sampai aku tak ingin kehilanganmu. Aku ingin hubungan kita tetap berlanjut hingga nanti kita memiliki anak dan hidup hingga hari tua,” ucap Chaeyoung yang berhasil membuat Yongjin terdiam membisu.

‘Bagaimana jika aku tak mampu, Chae-ya? Bagaimana jika aku tak ditakdirkan hidup hingga hari tua?’ batin Yongjin.

Perlahan, Yongjin melepaskan pelukannya. Kemudian, ia merogoh saku celananya—mengambil kotak kecil berbentuk persegi panjang yang berhiaskan pita putih di atasnya.

“Sekali lagi, happy anniversary… kali ini aku tak lagi menghadiahkan bunga lili kesukaanmu, karena bunga akan layu dan gugur hanya dalam kurun waktu beberapa hari. Aku ingin, hadiah ini melambangkan perasaan cintaku padamu, perasaan cinta yang tak pernah layu kendati badai menerpa, lebih tepatnya melambangkan perasaan cintaku yang tak’kan pernah mati. Aku berjanji, hanya mencintaimu selamanya,” Yongjin berkata. Ia pun mengambil tangan Chaeyoung sembari mengecupnya sekilas, kemudian ia menelentangkan telapak tangan Chaeyoung dan ia berikan hadiah itu padanya.

“Kapan aku bisa membukanya?” tanya Chaeyoung dengan mata berlinang—terharu. Kata per kata yang diucapkan oleh Yongjin membuat hatinya bergetar. Tak salah ia mencintai Yongjin. Baginya, Yongjin adalah pria yang amat sempurna di matanya.

“Kapan saja yang kau mau,” jawab Yongjin sembari menatapnya dalam. Rasa rindu, bahagia, juga sedih menyatu dalam sorot manik kelabunya. Begitu besar keinginannya untuk kembali sebagai Kim Yongjin, namun sebuah hal menghalanginya.

“Ini… cantik sekali,” komentar Chaeyoung tatkala melihat seuntai kalung berliontin setengah hati di dalam kotak berpita tersebut.

“Kau suka?” Yongjin bertanya, kemudian dibalas anggukan dari Chaeyoung.

“Pasti liontin ini memiliki pasangan. Apa aku boleh melihatnya?” Chaeyoung mengamati bentuk liontin tersebut.

Yongjin pun mengeluarkan seuntai kalung lain dari saku celananya, “Ini pasangannya, aku akan menyimpan ini. Aku berjanji, jika kita berjodoh maka aku akan mengajakmu ke suatu tempat di mana kita akan menyatukan liontin ini tanpa ada satu orang pun yang melihat.”

‘Jika kita berjodoh… jika tidak, maka aku tak dapat menepati janji itu,’ batin Yongjin.

Ponsel Chaeyoung yang berdering keras pun agaknya mengganggu momen tersebut. Sebelum mengangkat telepon itu, Chaeyoung meminta izin sejenak pada Yongjin. Itu adalah telepon dari sang adik, yakni Chaera.

“Halo—”

“Jungkook meninggalkanku lagi! Lalu bagaimana aku bisa pulang?” Suara itu terdengar seperti orang yang sedang kesal.

“Yah, kau dan Jungkook selalu begitu, ya. Aku tidak bisa menjemputmu, aku hendak pergi berkencan dengan Yongjin,” ucap Chaeyoung seadanya.

“Siapa?” tanya Yongjin berbisik.

“Adikku,” jawab Chaeyoung sembari berbisik juga.

“Kemarikan ponselmu,” ujar Yongjin. Chaeyoung pun memberikan ponselnya.

“Aku tidak mau naik taksi atau bus, temanku pernah digoda oleh sopir taksi, lalu temanku yang lain pernah dirampok di bus. Jadi, harus ada seseorang yang menjem—”

“Halo, ini aku Yongjin. Aku akan menyuruh saudara kembarku untuk menjemputmu. Sudah puas?” potong Yongjin.

“Yah, mengapa kau ketus sekali, Kak Yongjin? Ah, baiklah, aku akan menunggu kembaranmu menjemputku di sekolah. Terima kasih banyak, Kak Yongjin…,” ucap Chaera dari seberang sana, kemudian Yongjin pun memutuskan sambungan teleponnya.

‘Kelihatannya Chaera akrab sekali saat berbicara denganku, padahal aku tak pernah bertemu dengannya. Mungkin saja Seokjin pernah diajak Chaeyoung untuk menemui adiknya,’ Yongjin menyimpulkan keadaan.

“Aku tidak enak jika harus merepotkan Seokjin,” ujar Chaeyoung.

“Tidak apa-apa, Seokjin selalu bisa kuandalkan menjadi tangan kananku—maksudku… ah, lupakan…,” menyadari ucapannya agak melenceng pada suatu hal, maka Yongjin pun menghentikan mulutnya untuk bersuara. “Aku yakin ia tidak keberatan,” sambungnya.

***

“Memangnya, kau mau bicara apa?”

Kelas musik mulai menyepi. Hanya ada Seokjin beserta teman-temannya yakni Kim Namjoon, Min Yoongi, Jung Hoseok, serta Kim Taehyung.

“Sepertinya, kalian harus mencari vokalis baru. Tapi maaf, aku merasa… tak mampu lagi untuk menjadi anggota kalian,” ucap Seokjin seadanya. Ini saatnya ia melepaskan diri dari band-nya sebab berkali-kali ia harus bertukar posisi dengan Yongjin dan pada akhirnya ia menelantarkan band-nya yang tak bisa tampil tanpanya.

“Tapi Seokjin-ah….”

“Sudahlah, Yoongi. Lagipula, aku bisa memaklumi mengapa kau tak mampu lagi, Seokjin,” tanggap Hoseok.

“Hampir satu bulan kau absen dari perkuliahan. Yah, kudengar kau sakit parah… tetapi aku tak tahu kau sakit apa. Kuharap, kau cepat sembuh ya,” ujar Namjoon sembari menepuk punggung Seokjin.

“Mungkin kau tidak mau menceritakannya pada kami. Tetapi, aku juga berdoa agar kau cepat sembuh,” tambah Taehyung.

“Terima kasih atas pengertiannya, teman-teman. Sekali lagi, aku mohon maaf…,” ujar Seokjin.

“Tidak apa-apa, Seokjin-ah. Kalau begitu, kami izin pulang…,” ucap Hoseok mewakili, kemudian disambut anggukan dari Seokjin.

Seokjin merogoh saku celana tatkala merasakan getar ponsel yang menggelitik kulit. Sebuah SMS dari Yongjin ternyata yang menyebabkan ponselnya bergetar. Seokjin pun membuka SMS tersebut yang berisi:

From: Yongjin
Chaera tadi menelepon Chaeyoung. Ia bilang, ia ditinggal pulang oleh pacarnya. Kau bisa ‘kan menjemputnya? Kau pasti tahu di mana sekolahnya, bukan? Aku ada kencan dengan Chaeyoung, jadi bisa ‘kan aku meminta bantuanmu untuk menjemput Chaera di sekolahnya?

Segera saja, Seokjin menanggapi permintaan Yongjin dengan membalas:

To: Yongjin
Dengan senang hati… ya, aku tahu di mana sekolah Chaera. Aku akan menjemputnya. Ada sedikit peringatan dariku, kalau misalnya kau merasa lemas atau semacamnya saat kencan, kau bisa langsung menghubungiku. Jam empat sore adalah waktumu untuk meminum obat, aku selalu mengingat jadwal minum obatmu. Sekali-kali, kau harus bisa menelan obat tanpa pisang karena aku sangat yakin kau tidak membawa pisang di dalam sakumu. Jangan beralasan kau tidak meminum obat karena tidak ada pisang.

Setelah mengirim pesan tersebut pada Yongjin, Seokjin pun segera menuju ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Dalam waktu 10 menit, ia pun tiba di sekolah Chaera dengan mobilnya. Sembari membuka kaca mobil, matanya mengabsen satu per satu siswa yang berlalu-lalang di depan sekolah—mencari keberadaan Chaera.

“Kak Seokjin, ya?” Tiba-tiba Chaera pun muncul di hadapannya.

“Ehm, kau Chaera?” Seokjin pun bersikap seolah baru mengenal Chaera.

“Ya, aku Chaera… wah, ternyata kalian benar-benar kembar identik, ya,” komentar Chaera. Kemudian, Seokjin pun mempersilakan Chaera untuk masuk ke dalam mobilnya. Seperti biasa, Chaera mudah akrab dengan siapa saja. Maka tak heran manakala ia lebih memilih tempat duduk depan dibandingkan di belakang.

“Di mana alamat rumahmu?” Lagi, Seokjin berpura-pura tak tahu-menahu soal Chaera.

“Kemudikan saja hingga mendekati restoran kimchi yang terkenal itu, lalu aku akan memberitahu Kak Seokjin jalan menuju rumahku, karena rumahku dekat dari restoran itu,” ujarnya yang membuat Seokjin ber-oh ria.

Selama perjalanan, Seokjin menjadi pendengar sekaligus tong sampah yang baik bagi segala celotehan Chaera yang tiada henti. Mulai dari menggosipi Yongjin dan Chaeyoung, hingga menuju ke hubungannya dengan Jungkook yang terkadang manis juga terkadang membuat patah hati.

“Lolipop…,” Chaera berucap tatkala netranya menangkap penjual lolipop di sebuah taman kota yang cukup ramai dari pengunjung. “Kak, berhenti sebentar…,” pintanya.

“Yah, sudah besar masih suka makan lolipop?” ujar Seokjin sembari menepikan mobilnya.

“Itu makanan favoritku sejak kecil,” jawabnya. “Eh, uang jajanku habis….” Air mukanya berubah drastis tatkala ia tak mendapati selembar uang pun di saku roknya.

“Kak Seokjin, bolehkah aku meminjam uangmu? Aku sangat menginginkan lolipop itu…,” ujarnya dengan wajah memelas.

“Haruskah?”

“Yah, salah Kak Seokjin sendiri mempertemukanku dengan penjual lolipop. Pokoknya, aku mau makan lolipop,” Chaera tetap mempertahankan kemauannya untuk membeli lolipop tersebut.

Sejenak, Seokjin mematung. Seberkas memori menusuk pada sebuah ingatan di mana ia teringat pada adik kandungnya, yakni Chanrin. Saat di mana Chanrin merengek meminta lolipop seakan lolipop adalah sebuah hal yang wajib ia dapatkan, dan di sanalah saat di mana ia harus kehilangan Chanrin. Memori itu membuatnya meringis dalam perih. Kadang kala ia meruntuki kebodohannya di kala memori itu muncul dalam kepalanya.

Dan… Seokjin tak ingin hal untuk kedua kalinya terjadi lagi.

“Aku yang menraktirmu.” Seokjin menyodorkan uang sebesar dua ribu won pada Chaera.

“Kau serius? Ah, terima kasih banyak, Kak Seokjin!” serunya sembari menerima uang tersebut dengan senang hati. Setelah Seokjin mengucapkan sama-sama pada Chaera, Chaera pun segera keluar dari mobil dan menghampiri penjual lolipop tersebut.

‘Andai aku dapat melakukan hal ini pada Chanrin di waktu lampau…,’ batin Seokjin miris.

TO BE CONTINUED….

Finally! Akhirnya Pt.10 update! Sekalian pamer, part ini adalah part terpanjang yang pernah kuketik :v biasanya ‘kan aku nulisnya sekitar 3000+ word, nah kalo sekarang jumlahnya 3800+ word :v h3h3….

Komentar kalian adalah sebuah bayaran untuk karya gratis ini, jadi jangan ada silent readers yaa….

Cr cover by ReniArt.

2 pemikiran pada “[BTS FF FREELANCE] 2 Sides of Love (Pt. 10)

Leave a Review