[Vignette] An Advice to Proper Date

tkm-3

an advice to proper date

a vignette by tsukiyamarisa

BTS’ Min Yoongi, Kim Seokjin, Kim Namjoon, Park Jimin, Kim Taehyung, Jung Hoseok

1000+ words | The King’s Magazine!AU, Friendship, slight!Romance | G

.

related to: Once Upon A Time At The King’s Magazine | Of Magazine Layout, Coffee, and Sudden Date

.

.

Pergi ke book-cafe untuk kencan adalah pilihan terbaik.

.

.

.

.

Lima belas menit menuju jam istirahat dan ia mendengar perdebatan itu.

Kim Namjoon, sang pemimpin redaksi, bisa melihat sosok-sosok yang berkerumun di luar sana. Tepat beberapa meter dari ruangannya, membentuk lingkaran dan saling beradu mulut. Apa yang menjadi topik perdebatan, Namjoon tak bisa menangkapnya dengan jelas. Namun, ia masih bisa mendengar nada suara yang semakin dinaikkan dan….

“Astaga, kami bahkan tidak berkencan! Kenapa kalian repot sekali, sih?”

Oke, ini menarik.

Yang tadi itu adalah suara Min Yoongi, karyawan di bagian redaksi yang bekerja paling keras dan tidur paling banyak. Bagaimana kedua hal itu berhubungan, Namjoon tidak tahu. Ia hanya tahu jika apa pun yang mereka perdebatkan pasti adalah sesuatu yang menarik, mengingat: 1) Min Yoongi bukan tipe orang yang melewatkan waktu kosongnya dengan berkencan, dan 2) semua orang tahu jika Min Yoongi sedang dekat dengan seorang gadis.

Maka Namjoon pun bangkit berdiri, baru saja akan menyelinap melalui celah pintu ketika….

Oh-ho! Kau mengajak adikku minum kopi berdua dan kau tidak menyebutnya kencan? Apa kau hendak mempermainkannya?”

Park Jimin, yang selalu berujar jika dirinya adalah penyandang status “Kakak Terbaik di Dunia”, menyedekapkan lengan tepat kala Namjoon berhasil keluar. Tatap dipicingkan ke arah rekannya, yang membalas dengan helaan napas dan ekspresi lelah.

“Sebagai informasi, Park Jimin, aku tidak berniat mempermainkan siapa-siapa. Dan lagi, aku hanya berusaha untuk membalas budi pada Minha, oke?”

Balas budi yang Yoongi bermaksud bermula dari suatu insiden sekitar dua minggu lalu, ketika ia tak sengaja menghabiskan persediaan kopi di pantry dan membuat Minha menggerutu sepanjang hari. Lalu, seakan rasa bersalah Yoongi belum cukup, Minha masih mau-mau saja membuatkan desain untuk rubrik yang diminta sang lelaki.

Oke, Min Yoongi memang hobi bersikap cuek. Tapi, khusus untuk kejadian satu ini, entah mengapa ia tidak bisa melupakannya begitu saja. Ia harus melakukan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ajakan untuk minum kopi berdua sekaligus mengobrolkan hasil pekerjaan mereka di JY’s Cafe.

Yang mana, ide ini sendiri berasal dari….

“Apa perdebatan ini akan terus berlangsung? Bisa-bisa aku dan Yoongi terlambat.”

Kim Seokjin, sang copy editor sekaligus editor akuisisi, menyandarkan tubuh pada dinding pembatas kubikel seraya memasang tampang bosan. Ialah yang memberi usul pada Yoongi, agar lelaki itu mengajak Minha pergi ke JY’s Cafe—kafe yang berada di sebelah gedung The King’s Magazine. Hitung-hitung promosi, begitu pikir Seokjin, lantaran tempat yang berkonsep book-cafe itu sejatinya adalah usaha gabungan miliknya dan sang kekasih.

Dan Yoongi setuju.

Alasan pertamanya adalah perkataan Minha beberapa hari lalu, saat Yoongi mengunjungi bagian layout dan desain kemudian mendapati sang gadis sedang membaca artikel buatannya. Tidak hanya itu, Yoongi bisa melihat setumpuk kliping di meja Minha—semuanya memuat potongan artikel dari rubrik ‘The Genius Mr. Min’. Sontak membuatnya melongo lebar, sampai Minha menyadari keberadaannya dan mengeluarkan pekikan keras.

“Kamu sedang apa di sini, Min Yoongi?!”

“Kamu mengumpulkan artikel buatanku,” balas Yoongi, yang tak terdengar seperti jawaban atas pertanyaan barusan. “Oh, shit, kamu mengumpulkannya selama ini?”

Mungkin Yoongi tak seharusnya mengumpat—Park Jimin akan membunuhnya jika ia tahu—tapi Minha tampaknya memahami keterkejutan Yoongi. Ia menggaruk tengkuk dan mengulum senyum malu, baru kemudian berujar, “Aku menyukai isinya. Sebenarnya, aku suka membaca apa saja. Dan caramu menyampaikan informasi-informasi menarik ini….”

Telinga dan pipi Yoongi sontak memerah, seraya ia buru-buru mengalihkan topik konversasi. Bertanya bagaimana perkembangan desain untuk artikel terbarunya, sementara Minha membuka beberapa file dan menunjukkan isinya.

Itulah sebabnya Yoongi setuju dengan usul Seokjin—book-cafe tampaknya adalah tempat yang tepat untuk seorang gadis yang suka membaca. Sedangkan alasan kedua Yoongi adalah Seokjin. Kalau ia mengajak Minha ke sana, ia tak perlu melewatkan waktu berdua saja dalam kecanggungan. Akan ada Seokjin dan Lee Yein—pemilik cafe yang satu lagi sekaligus kekasih Seokjin—sehingga ia tak perlu takut terjebak dalam suasana kaku.

“Aku masih tidak mengerti.” Kembali ke perdebatan yang tengah berlangsung, Jimin buka suara. Kening berkerut, seraya telunjuknya ditudingkan ke arah Yoongi dan Seokjin bergantian. “Book-cafe? Kencan macam apa itu? Sama sekali tidak ada manis-manisnya.”

“Dan kenapa tidak, Park Jimin?”

“Karena kalian akan sibuk membaca sambil makan dan minum, bukannya berpegangan tangan atau mengobrol atau semacamnya.” Taehyung kini berbicara, menjawab pertanyaan Seokjin—yang sesungguhnya sama sekali tidak ditujukan pada dirinya. “Maksud Jimin adalah, ‘tega sekali kau mengajak adikku ke kencan pertama yang sangat membosankan!’”

“Ini bukan—“

“Hei, kafeku tidak membosankan, tahu.” Seokjin memotong usaha Yoongi untuk membela diri, maniknya berkilat berbahaya. “Menurutku dan Yein, tempat itu menyenangkan. Kau yakin jika dirimu adalah penyandang predikat ‘Kakak Terbaik di Dunia’?”

“Apa hubungannya dengan itu?”

“Karena tampaknya kau tidak memahami adikmu sama sekali,” sembur Seokjin, lantas diikuti dengan acara meleletkan lidah—membuat kemarahannya terlihat menggelikan. “Yoongi bilang, adikmu suka membaca. Pergi ke book-cafe untuk kencan adalah pilihan terbaik.”

“Ini bukan kencan.” Yoongi mengulang, kendati tampaknya tak ada yang memerhatikan dirinya.

“Aku tahu kalau Minha suka membaca, terima kasih banyak,” balas Jimin, masih tak mau kalah. “Aku hanya ingin adikku mendapat acara kencan yang pantas. Kencan di mana ia tidak diabaikan oleh sang lelaki, yang mungkin akan berakhir tertidur dan….”

“Aku akan menjamin agar Yoongi tidak tidur.” Seokjin membalas cepat. “Ditambah lagi, ini adalah kencan yang pantas. Selama ini, aku dan Yein baik-baik saja, kan?”

Jimin tampak bingung harus merespons apa, menggaruk dagu sementara Seokjin memelototinya. “Iya sih, tapi….”

“Cukup.”

Namjoon, dengan segala wibawa yang ia miliki, melangkah ke tengah lingkaran perdebatan. Kedua tangan terangkat tanda menengahi, ekspresi serius tampak di wajahnya.

“Aku sudah memahami perdebatan kalian, dan aku setuju jika kencan yang diselingi acara membaca terdengar tidak menyenangkan. Secara pribadi, aku sendiri memiliki preferensi yang lebih baik dari itu. Makan di restoran Itali, menonton film berdua, atau bersepeda berdua di taman.” Namjoon menarik napas dalam, mengangguk khidmat. “Tapi, kita harus memahami perbedaan, bukan begitu?”

“Er….”

“Seokjin dan Yein mungkin menyukai kencan yang tenang serta dipenuhi aroma buku serta kopi. Itu juga cukup romantis. Barangkali, Yoongi dan Minha pun akan mengikuti jejak mereka. Kita hanya perlu belajar untuk menerimanya, layaknya prinsip yang ada di kantor kita tercinta ini. Perbedaan sesungguhnya adalah hal yang baik, yang nantinya akan membawa kita pada kemajuan, kegemilangan, dan….”

Celoteh Namjoon disambut kuap, selagi empat orang lainnya mulai beranjak. Taehyung menarik Jimin, mengajaknya untuk pergi ke kantin karena jam istirahat sudah tiba. Jimin, yang perutnya juga sudah bergemuruh, memberikan tatap “perlakukan-adikku-dengan-baik” ke arah Yoongi, sebelum akhirnya pasrah ditarik Taehyung pergi. Pun dengan Seokjin serta Yoongi, yang menyempatkan diri untuk menepuk pundak Namjoon sebelum pergi menemui Yein dan Minha.

“Ceramah yang bagus sekali, Kim Namjoon. Dan ini bukan kencan, omong-omong.”

“Sebenarnya kami ini hanya para lelaki yang berusaha menghargai preferensi para gadis,” imbuh Seokjin, cengiran muncul di wajahnya. “Tapi filosofimu boleh juga.”

Begitu saja, mereka pun pergi meninggalkan Namjoon. Biarkan sang pemimpin melongo seorang diri, tak diacuhkan selagi seluruh anggota redaksi pergi beristirahat. Tak ada yang mau repot-repot melirik atau mengajaknya makan siang, semua kecuali satu orang yang tahu-tahu muncul dari balik kubikel sambil memegang penggaruk punggung.

“Hei, mau minum kopi denganku di kafe sebelah, tidak? Lihat kantung mataku? Aku sudah begadang semalaman demi deadline dan—“

Jika ada pelajaran yang bisa Jung Hoseok dapatkan hari ini, itu adalah: 1) Jangan tertidur saat teman-teman kerjamu berdebat seru; dan 2) Poin satu menjadi beratus kali lipat lebih penting ketika topik perdebatan itu adalah seputar kencan.

Karena sekarang, lelaki malang itu terpaksa…..

“JANGAN SEMBARANGAN! AKU MASIH INGIN BERKENCAN DENGAN WANITA DAN AKU TIDAK MAU MENGUBAH DOUBLE-DATE MEREKA MENJADI TRIPLE-DATE!! JAUH-JAUH DARIKU, JUNG HOSEOK!!”

.

.

.

Well, semoga telingamu selamat, Jung Hoseok.

.

fin.

13 pemikiran pada “[Vignette] An Advice to Proper Date

Tinggalkan Balasan ke tsukiyamarisa Batalkan balasan