[Oneshot] Sealed and Kissed

sealed-and-kissed

Sealed and Kissed

an oneshot and Halloween-fic by tsukiyamarisa

BTS’ Min Yoongi and OC’s Park Minha

6500+ words | Demon!AU, Dark, Life, Romance, slight!Surrealism | 17

(there are some disturbing topics and scenes in this fiction; feel free to back off if you don’t feel comfortable)

.

.

“Kiss me on the lips, a secret between two.”

.

.

.

.

.

.

Kali pertama mereka bertemu tatap, ia terpesona.

Ini aneh, lantaran Park Minha seharusnya merasa takut. Berdiri di tengah remangnya kamar, angin berembus kencang kendati semua jendela tertutup, dan telapak tangan berdarah selagi seorang lelaki meraih gelas wine yang ia letakkan di meja. Menyesapnya sedikit, kemudian mengangkat wajah agar iris hitamnya yang sekelam bulu gagak dapat mengamati rupa sang gadis.

Detik itu juga, Minha bisa merasakan bibirnya terbuka tanpa suara. Terkagum-kagum, tak menyangka jika legenda yang ia baca di sebuah buku tua ternyata dapat menjadi nyata. Padahal ia sama sekali tak berharap banyak, tidak karena semua harapan dalam hidupnya telah menguap sejak satu bulan yang lalu.

Namun, di sini, harapan itu kembali berdiri. Datang dalam bentuk kegelapan, dalam sebuah ikatan rahasia serta perjanjian terlarang.

“Bagaimana saya harus memanggilmu, Nona?”

Suara itu terdengar sejemang kemudian, selagi sang lelaki yang mengenakan jubah hitam panjang berjalan mendekat. Tak lupa kembali meletakkan gelas wine yang sudah kosong ke atas meja, kemudian menggerakkan tangannya untuk meraih dagu Minha. Menatapnya lebih lekat lagi, bibir tanpa disangka membentuk senyuman.

“M-Minha. Park Minha.”

“Yoongi,” balas lelaki itu langsung, kali ini jemarinya bergerak untuk menggapai tangan Minha yang masih meneteskan darah. Mengusapnya perlahan, kemudian menggumamkan sesuatu yang membuat luka itu menutup sepenuhnya. Sisakan bekas-bekas darah yang akan segera mengering, sementara Yoongi berdecak dan malah menggengam tangan tersebut.

“Um—”

“Kamar mandi. Ayo kita bersihkan semua ini, Nona.”

Yoongi menariknya keluar dari kamar tanpa basa-basi, menyeberangi ruang tengah, sampai akhirnya Minha menunjuk sebuah pintu yang mengarah ke kamar mandi. Biarkan lelaki yang baru ia kenal selama beberapa menit itu membawanya ke sana, nyaris terkejut ketika ia merasakan air mengalir dan usapan lembut Yoongi pada tangannya.

“Berantakan sekali, semua ritual ini. Aku tidak pernah mengerti mengapa caranya harus semacam ini.”

Minha mendengarkan komentar itu dengan tertarik, selagi netra bergerak untuk menyerap detail penampilan Yoongi. Untuk ukuran seorang malaikat bersayap hitam, sesosok iblis, Yoongi jelas tidak tampak mengerikan atau buruk rupa. Alih-alih, ia terlihat serupa seperti manusia-manusia yang bisa Minha temui di jalanan. Serupa, namun dengan unsur kerupawanan yang dingin dan mengintimidasi.

Lelaki itu cukup tinggi, setidaknya begitu bagi Minha yang hanya memiliki tinggi 160 sentimeter saja. Rahangnya tegas, dengan kulit seputih pualam dan bibir merah muda pucat yang membentuk garis tipis. Surai hitamnya berantakan, sorot matanya tajam dan mampu membuat lidah mendadak kelu. Kendati demikian, Minha bisa merasakan kuriositas serta perhatian yang diberikan oleh lelaki ini terhadap dirinya.

Mmm….”

“Kamu tidak harus memberiku perintah malam ini, Nona.” Yoongi tahu-tahu berbicara, tepat setelah ia selesai membersihkan tangan mereka. “Satu yang pasti, aku tidak akan meninggalkan sisimu. Perjanjian adalah perjanjian, aku tidak akan melanggarnya.”

Respons sang gadis adalah anggukan, selagi ia berjalan keluar dari kamar mandi dan membiarkan Yoongi membuntutinya. Mereka kembali melewati ruang tengah, dan pada saat itulah Minha menghentikan langkahnya. Tertegun sejenak, lamat-lamat menggerakkan kepala untuk mencari sosok Yoongi.

Lalu, sekarang ia harus bagaimana?

Kedatangan Yoongi adalah sesuatu yang tak disangka, sesuatu yang tadinya tidak bisa ia percayai. Namun, lelaki itu ada di sini. Masih setia di belakangnya, memaksa Minha untuk berdeham dan merangkai kata demi memecah keheningan.

“Er—untuk malam ini… well, apakah kamu… apakah kalian….”

Yoongi terpaksa menahan kekeh, kepala ditelengkan seraya ia menimpali, “Maksudmu soal tidur? Kamu tidak perlu khawatir soal itu.”

“Kamu tidak bisa tidur?”

Satu jungkitan alis tercipta di wajah Yoongi. “Kami bisa melakukannya di mana saja kami mau. Kamu tidak perlu khawatir soal… ah, hal-hal praktis seperti kasur atau semacamnya. Tidurlah jika kamu ingin tidur, Nona. Aku tidak akan ke mana-mana.”

Ini adalah kali kedua Yoongi menyatakan hal itu, bahwa ia akan tetap berada di sisi Minha dan siap melakukan apa saja. Minha sendiri paham kalau itu adalah inti dari perjanjian mereka—segala hal tentang melayani dan kesetiaan—tapi ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak merona. Lagi pula, situasi yang saat ini tengah ia alami memang tidak bisa dibilang biasa atau normal.

“Baiklah kalau begitu.” Minha akhirnya berkata, mengedikkan kepala ke arah kamar tidurnya. “Aku akan tidur dulu dan… ng, kita bicarakan ini besok pagi.”

“Selamat tidur, Nona Park.”

Minha lekas menggerakkan tungkai, berusaha untuk tidak menoleh lantaran ia tahu bahwa sorot Yoongi masih tertuju ke arahnya. Kendati demikian, ketika ia bergerak untuk menutup pintu kamar, ia tidak bisa menahan diri. Ia membiarkan pandang mereka kembali bertemu, diikuti dengan sederet kalimat yang membuat Yoongi sukses mengulum senyum.

“Perintah pertama untukmu, Yoongi. Panggil saja aku Minha, tanpa embel-embel ‘Nona’ atau semacamnya. Paham?”

.

-o-

.

Segalanya bermula tepat sebulan lalu.

Park Minha tahu apa pekerjaan kakak lelakinya, bagaimana berbahayanya tugas yang harus dilakukan sang saudara tiap perintah itu datang. Tumbuh dewasa di tengah sebuah organisasi rahasia yang bertugas melakukan hal-hal tak biasa, Minha sudah terbiasa dengan semua itu. Ia bahkan tak pernah tahu bagaimana dirinya dan sang kakak bisa berakhir terdampar di sana, bagaimana sang pemimpin organisasi senantiasa bersikap sebagai orangtua angkat mereka dan membesarkan mereka hingga titik ini.

Bukannya ia mengeluh, sih.

Minha bersyukur, karena setidaknya ia punya tempat tinggal dan orang-orang untuk disebut keluarga. Park Jimin—saudara kembarnya—sudah berulang kali mengingatkan Minha soal itu.  Bahwa hidup mereka bisa lebih buruk, jauh lebih buruk dibandingkan melakukan hal-hal keji dan bersembunyi dari hukum yang berlaku.

“Aku bukannya suka dengan pekerjaanku, tapi mereka juga tak sepenuhnya baik, Minha-ya.

Itu kata Jimin suatu malam, selagi ia membungkuk di atas keran air dan mencuci belatinya yang bernoda darah. Sebuah rutinitas yang tak lagi aneh, dilakukan tiap kali Jimin pulang dari tugasnya menghabisi sekumpulan orang tak berguna. Koruptor, politikus yang berbuat curang, lelaki yang hobi menyakiti wanita, serta jenis sampah-sampah lainnya. Itu adalah salah satu tugas organisasi rahasia mereka: menyingkirkan pihak-pihak yang tak berguna sesuai permintaan klien.

Dan Minha sendiri… yah, ia tak bisa dikatakan sepenuhnya bersih dari darah. Walau secara tak langsung, namun ia adalah pengumpul informasi yang andal. Si pembuat rencana, sang gadis di latar belakang. Jimin serta orang-orang lain di dalam organisasi bergantung padanya, sampai hari itu tiba dan Minha bertanya-tanya apakah ia membuat kesalahan.

Malam itu seharusnya berjalan seperti biasa. Jimin dan beberapa orang lainnya pergi melakukan penyergapan di sebuah gudang penyimpanan, markas besar yang sudah diintai selama beberapa minggu lamanya. Tugas kecil dan mudah, begitu kata Jimin sebelum ia berangkat, mengacak rambut Minha dengan sebelah tangan. Akan kembali sebelum kamu tidur, adikku sayang.

Tapi, itu bohong.

Entah bagaimana, orang-orang yang semestinya menjadi target berhasil menjalin kerja sama dengan sekelompok anggota geng. Sontak menambah jumlah pihak yang harus dilawan, menjadikan Jimin serta rekan-rekannya sebagai korban. Sialnya, Minha datang terlambat. Ketika ia melangkah masuk ke dalam gudang mengikuti sang ayah angkat, yang ada hanyalah kekacauan.

Kekacauan, dan jeritan, dan air mata yang tak bisa berhenti mengalir.

“K… kakak…. K-kak Jimin….”

Jimin memaksakan senyum dari tempat ia terbaring, genangan darah pekat yang berfungsi sebagai alas tidur terakhirnya. Bibir bergetar dan berwarna merah tua, selagi ia terbatuk hingga menodai kaus Minha dengan darahnya. Kaus Jimin sendiri tak lagi utuh, dipenuhi robekan tempat pisau penyerangnya menusuk dalam. Minha tak mau tahu berapa kali kakaknya itu terpaksa menerima serangan, tidak karena ini semua adalah mimpi buruknya.

“Ini… i… ini bukan salahmu.” Jimin berusaha berkata, selagi Minha menggenggam jemarinya erat. “B-balaskan mereka untukku… y-ya?”

Itu adalah pesan terakhir Jimin, yang disampaikan dengan nada lirih dan suara tersendat. Minha bahkan belum sempat membalas dan mengiakan, lantaran Jimin sudah lebih dulu menutup kedua kelopaknya dan terkulai lemas. Tak lagi bisa tersenyum atau tertawa, tak lagi bisa mengangkat tangannya untuk mengacak surai hitam Minha. Semua itu pergi, direnggut begitu saja melalui satu peristiwa mengenaskan.

Peristiwa yang, Minha yakin, tak akan pernah bisa ia lupakan.

Dan ia memang tidak berniat untuk melupakannya.

.

-o-

.

Ia tidak lupa, kendati terkadang ia merasa sangat benci dengan kemampuan otaknya mengingat.

Meskipun Minha bisa berpura-pura bahwa ia tidak lagi berduka saat sedang terjaga, hal itu tampaknya tak berlaku di kala ia terlelap. Mimpi-mimpi buruknya mengambil alih, menunjukkan gambaran kematian sang kakak nyaris setiap hari. Ia selalu terbangun dengan napas terengah, keringat dingin menuruni tengkuk dan tubuh gemetaran.

Hari ini pun bukan pengecualian.

Masih pukul tiga pagi, dan Minha sudah terduduk di atas kasurnya seraya membenamkan wajah pada kedua tangan. Berusaha menahan isak tangis dan jerit histeris, mencari-cari ketenangan yang telah lenyap bersamaan dengan kepergian Jimin. Minha tak pernah tahu bagaimana caranya mengusir kenangan pahit itu, sehingga ia biasanya memilih untuk tetap terjaga dan menghabiskan sisa malam dengan melamun atau menyesap kopi.

Namun, tepat saat ia bergerak untuk turun dari tempat tidur, ia pun terkesiap.

Duduk di atas lantai dan bersandar pada rangka kasur, adalah Yoongi. Jubahnya sudah ditanggalkan, menyisakan kemeja hitam yang membalut tubuh. Ia terlelap dalam posisi duduk, entah sejak kapan menyelusup masuk ke kamar dan benar-benar menepati perkataannya untuk berada tepat di samping Minha.

Minha tak bermaksud mengusik, tapi keterkejutan yang keluar dari mulutnya telah membangunkan Yoongi. Lelaki itu menoleh cepat, menatap Minha yang tampak pucat sebelum akhirnya bertanya, “Kamu… butuh sesuatu?”

Tak ada jawaban.

Sang gadis tidak tahu harus membalas apa, tak yakin apakah ini saat yang tepat untuk berbagi mimpi buruk. Ia tetap bungkam, membiarkan Yoongi memandanginya lekat-lekat. Terus seperti itu selama beberapa sekon, sampai Yoongi beranjak dan berganti untuk duduk di sampingnya.

“Aku bisa merasakan kecemasanmu, Minha,” ujar Yoongi perlahan, kening dikerutkan. “Emosi negatifmu… terlalu pekat.”

“Kamu bisa melakukan itu?”

“Membaca emosi adalah hal dasar.” Yoongi menjelaskan. “Aku datang dari kegelapan, sehingga hal-hal negatif akan lebih mudah dirasakan. Bukan berarti aku tak bisa merasakan hal positif. Hanya saja… aku tak pandai dalam hal itu.”

Minha memaksa diri untuk menjungkitkan ujung bibir sebelum menimpali. “Kalau begitu, kurasa aku tak bisa meminta dirimu untuk mengusir kegelisahan ini, bukan? Lagi pula, kamu—”

Reaksi Yoongi adalah merapatkan tubuh mereka. Lengan terangkat untuk merangkul Minha, tanpa permisi membawa gadis itu ke dalam dekapan. Butuh waktu sekitar semenit sampai pengaruhnya bekerja, sampai Minha merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya ditarik pergi.

“Aku bisa menarik emosi negatifmu dan membawanya pergi, Minha.”

Bisikan itu, entah bagaimana, berhasil menenangkannya. Minha membiarkan Yoongi memeluknya, bahkan mengizinkan dirinya untuk tertidur di dalam dekapan sang lelaki. Biarkan embusan napas Yoongi menggelitik tengkuknya, biarkan lengan itu melingkar di pinggangnya. Mereka baru saling mengenal selama kurang dari dua puluh empat jam, tapi anehnya, Minha merasa nyaman.

Apa ini yang seharusnya terjadi ketika kau membuat sebuah perjanjian dengan iblis?

Minha tidak yakin.

Tapi, ia toh tetap mempertahankan posisi mereka. Dalam hati memerintahkan Yoongi untuk tinggal, dalam diam menyerap semua rasa aman yang ditawarkan. Keduanya tertidur sampai matahari meninggi dan jam menunjukkan pukul delapan—hanya saja untuk sekali ini, Minha bangun tanpa jerit kepanikan ataupun mimpi buruk.

“Kamu berbohong soal hal-hal positif itu.” Begitu komentar Minha tatkala ia mengajak Yoongi untuk duduk di ruang makan. “Kalau kamu tak pandai dalam merasakannya, mengapa kamu bisa memberikannya dengan mudah?”

Yoongi menggelengkan kepala. “Semua pengetahuan mendasar tentang kami menyatakan demikian. Kegelapan akan selalu berhubungan dengan hal negatif, bukan?”

“Entahlah, Yoongi.” Minha membuat dua cangkir kopi, menuangkan air lamat-lamat sambil berkata, “Yang jelas aku tidak berbohong. Aku… aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku tidur senyaman itu.”

“Yang kulakukan hanyalah menarik emosi negatifmu keluar.” Yoongi mengingatkan, berharap penjelasan itu cukup. “Jujur saja, aku tidak tahu banyak soal ini. Kamu adalah manusia pertama yang menjalin kontrak denganku, Park Minha. Jadi….”

“Aku tidak mengeluh.” Minha bergerak meletakkan secangkir kopi di hadapan Yoongi, lantas menyesap miliknya sendiri. “Apa kamu juga butuh makan dan minum? Aku tidak tahu harus memberikan apa….”

“Secara teknis, tidak,” sahut Yoongi, namun ia meraih cangkir yang diberikan. “Namun, sesekali, aku juga bisa menikmatinya.”

Minha mengangguk-angguk, membiarkan Yoongi untuk meminum kopinya sementara ia membuat sarapan. Menyiapkan beberapa tangkup sandwich di atas piring, kemudian meletakkannya di atas meja. Tanpa banyak kata mendudukkan diri di hadapan sang lelaki, berdeham untuk menunjukkan bahwa ia akan menanyakan sesuatu.

“Ya?”

“Apa kamu…” Minha menggerak-gerakkan sebelah tangan, tampak ragu untuk mengutarakan maksudnya. “…benar-benar bisa… melakukan apa saja?”

“Apa pun yang kamu perintahkan, ya.” Yoongi membenarkan. “Aku akan melakukannya.”

“Apa pun?”

“Apa pun.”

“Termasuk…” Sang gadis ragu sejenak, menggigit bibir bawahnya dan mengurungkan niatnya untuk mulai makan. Semua sikap berani yang ia tunjukkan saat berusaha memanggil dan membuat perjanjian dengan Yoongi agaknya telah lesap, digantikan dengan getar-getar ketakutan yang cukup kentara.

Bahkan, Yoongi pun bisa melihatnya dengan jelas.

Lelaki itu mencondongkan tubuhnya, membiarkan tangan menangkup sebelah pipi Minha. Mengusapnya perlahan, sudut-sudut bibir tertarik membentuk senyuman yang amat manis. Menenangkan, seraya ia berkemam, “Katakan saja, Minha. Seberapa pun berbahayanya perintahmu, aku pasti akan melakukannya dengan sukses.”

“Termasuk… membunuh orang?”

Balasan Minha juga keluar dalam gumaman, diiringi kelopak yang terpejam dan bayang-bayang mimpi buruknya. Ia ingat apa pesan terakhir Jimin, ia ingat niat dan sumpahnya untuk membalas dendam, dan ia ingat persis bagaimana keputusasaan itu mendorongnya untuk memanggil Yoongi. Ia membiarkan semua itu kembali membanjir keluar, mengembalikan kekuatannya sebelum menambahkan, “Orang-orang yang kubenci. Bisakah kamu membalaskan dendamku, Yoongi?”

Dan jawaban Yoongi singkat, mantap serta penuh keyakinan.

”Tentu saja, Minha. Jadi, bagaimana kita harus memulainya?”

.

-o-

.

Perlahan-lahan dan tidak menarik perhatian.

Minha ingat betapa cepat sang kakak diambil darinya, betapa kejam orang-orang itu melayangkan tusukan. Ia bisa saja meminta Yoongi untuk berbuat demikian, menghabisi mereka semua dalam satu kedipan mata. Namun, alih-alih melakukannya, Minha memilih cara lain. Menyiksa secara perlahan jauh lebih menarik bagi dirinya, teror yang disebarkan sebelum pertunjukan utama ditampilkan.

“Hal-hal kecil dulu saja. Kecelakaan, surat ancaman, dan yang semacam itu. Kamu tahu, kan?”

Yoongi memberinya kekehan tawa, seolah Minha sedang bercanda dan meremehkan kemampuannya. Lelaki itu meninggalkan kamar apartemen Minha setelah mengedipkan sebelah mata, berkata bahwa sang gadis hanya perlu duduk dan menunggu sementara ia bekerja. Tak perlu cemas, begitu katanya. Aku akan kembali dan memberi bukti yang kamu mau.

Ia tidak cemas, tentu. Tidak karena itu bodoh, tidak karena—berbeda dengan saudara lelakinya—Yoongi bukanlah seorang manusia. Ia akan melakukan pekerjaannya dengan baik, menjalankan perintah Minha dengan sempurna. Pembalasan dendamnya nyaris dipastikan bisa berjalan lancar, tetapi….

Mengapa ia malah mondar-mandir dan tak bisa tenang begini, sih?

Menjelang pukul dua belas malam, Minha menyandarkan tubuhnya di samping pintu depan. Menunggu, sembari mengingat bagaimana ia memanggil Yoongi tepat satu malam yang lalu. Bagaimana ia merapalkan kalimat yang ia temukan di dalam buku kuno, darah menetes sebagai tanda bahwa ia ingin menjalin sebuah kontrak. Minha ingin bergidik rasanya jika mengingat hal itu lagi, rasa takut yang sesungguhnya sama sekali tak wajar.

Toh, ia sudah tahu konsekuensinya, bukan? Ia tahu harga apa yang harus ia bayar, ia tahu jika perjanjian ini adalah jalan terakhir yang didorong oleh keputusasaan. Minha mungkin memang tak akan pernah bahagia, tapi ia tidak keberatan. Ia hanya perlu memastikan Yoongi menuruti semua perintahnya, lantas memberikan apa pun yang diinginkan lelaki itu dan—

“Sedang apa di luar sini?”

Memotong lamunan Minha, sosok Yoongi tampak berjalan mendekat. Kali ini, ia mengenakan sweter hitam dan celana panjang, mengganti pakaiannya semudah menjentikkan jari. Kedua tangan dipenuhi barang, yang lekas menarik atensi Minha ketika keduanya sudah berdiri berdekatan.

“Aku… aku menunggumu.” Minha mengaku, merasa bodoh sementara Yoongi menaikkan alis. Gadis itu menggerakkan pupilnya ke kantong plastik di tangan kiri Yoongi, hendak bertanya apa yang dibawa sang lelaki, tepat ketika suara mengeong lirih mengalihkan perhatiannya.

“Oh, aku menemukan ini dan ia menempel padaku.”

Di sana, berada dalam pelukan tangan kanan Yoongi, adalah seekor anak kucing berbulu putih kecokelatan. Kedua irisnya berwarna biru cerah, tampak begitu tak berdaya selagi ia mengelus-elus sweter yang dikenakan Yoongi. Sesuatu yang seketika membuat Minha terpana, tanpa sadar berjalan mendekat untuk mengelus anak kucing itu.

“Sebenarnya kamu ini apa, Yoongi?” Minha bergumam lirih, nyaris menangis. Entah mengapa hal ini mengingatkannya akan Jimin, akan kakaknya yang dulu sering mengajak Minha untuk memberi makan kucing terlantar di jalan. “Kamu tidak terlihat seperti makhluk yang berasal dari kegelapan.”

“Aku melihatnya berkeliaran seorang diri dan kesepian.” Yoongi mengulurkan kucing itu ke arah Minha, yang langsung diterima sang gadis dengan senang hati. “Mungkin kalian bisa berteman.”

“Berteman?”

“Menurutku ia mirip denganmu,” balas Yoongi santai, sekarang ganti mengulurkan kantung plastik yang ia bawa. “Ini juga untukmu.”

Minha mengintip isinya, kepala kembali digelengkan tanda tak percaya. “Es krim?”

“Katanya itu bisa membuat manusia merasa lebih baik.”

“Dan katanya, kamu tidak pandai dalam hal-hal positif.”

“Tugasku adalah melayanimu,” ulang Yoongi, nada suara tiba-tiba berubah serius. Ekspresi berubah seakan-akan ia sedang mengingat sesuatu, sebelum berucap, “Perjanjian kita baru akan berakhir jika kamu sudah merasa puas. Hanya saja, aku tidak memahami emosi yang kamu rasakan.”

Kebingungan seketika muncul di rupa Minha. “Apa maksudmu?”

“Aku juga tidak tahu.” Yoongi membalas tanpa jeda, mengikuti Minha yang saat ini sudah berjalan masuk ke dalam apartemennya. “Niatmu untuk membalas dendam terasa kuat, amat kuat malah. Kamu jelas menginginkannya. Tapi….”

“Tapi?”

“Ada sesuatu yang lain. Aku tidak tahu apa. Suatu… hasrat yang lain.”

Pernyataan Yoongi tersebut bertemu keheningan, karena Minha sudah memutuskan bahwa ia tak akan mencari-cari atau mencoba menemukan jawabannya. Fokusnya saat ini hanya boleh tertuju pada satu hal, pada pembalasan dendam yang sudah ia inginkan sejak hari Jimin dimakamkan. Ia tidak boleh memikirkan perkara lain, terlebih karena ia—secara teknis—sudah menyerahkan jiwanya ke tangan Yoongi.

“Ceritakan saja apa yang kamu lakukan hari ini.”

Berusaha untuk tidak memedulikan konversasi mereka tadi, Minha memasukkan es krim yang Yoongi bawa ke dalam freezer. Sebelah tangan masih menggendong anak kucing yang diberikan kepadanya, seraya ia mengempaskan diri di atas sofa. Kepala dikedikkan tanda ia meminta Yoongi untuk duduk di sampingnya, menunggu lelaki itu memberikan laporannya.

“Seperti yang kamu inginkan,” kata Yoongi langsung, tahu bahwa ini bukan waktunya bagi ia untuk mencari apa yang disembunyikan Minha dalam benak terdalamnya. “Gudang tempat markas besar mereka berada… well, aku membakarnya. Kamu mungkin akan melihat beritanya di televisi besok. Beberapa surat ancaman juga sudah dikirimkan, teror telah dimulai. Aku bahkan sempat bertemu salah satu dari calon korban kita dan membuatnya gemetaran.”

“Untuk ukuran pertama kali melayani manusia, kamu hebat juga.”

Yoongi menghela napas. “Kamu meragukanku?”

“Aku—“

“Lupakan saja apa yang kukatakan tadi,” potong Yoongi cepat. “Aku akan melayanimu sebaik mungkin, itu kan inti dari perjanjian kita?”

Rasanya seperti dilempar kembali ke dua puluh empat jam lalu, saat ketika Yoongi datang dan masih bersikap serba misterius. Ketika aura sang iblis masih terasa begitu pekat, jarak terbentang lebar di antara keduanya. Satu hari sejatinya memang waktu yang sedikit untuk saling mengenal; tetapi setelah semua yang terjadi… benarkah jarak itu masih ada?

Minha masih ingat bagaimana rasanya pelukan Yoongi, yang menenangkannya dan mampu mengusir semua hawa buruk. Ia ingat bagaimana cara mereka berbaring bersisian, bagaimana kedua lengan itu membuatnya merasa dilindungi dan dijaga. Ia juga ingat setiap perkataan dan janji Yoongi, semua yang terlontar diikuti dengan nada protektif. Yoongi memang bukan malaikat bersayap putih bersih, namun anehnya ia tetap mampu menghadirkan semua itu ke dalam hidupnya.

Kalau Minha boleh jujur, ia adalah iblis yang aneh. Sangat, sangat aneh.

Sang gadis tak bisa menebak apa maunya, apa arti dibalik tatapan yang diberikan lekat pada dirinya. Yang ia tahu hanyalah satu, bahwa ia tak lagi mau mengalami mimpi buruk itu dalam tidurnya. Lagi pula, selama ia bisa memanfaatkan kekuatan Yoongi, tak ada salahnya untuk melakukan ini, bukan?

“Yoongi.”

“Ya?”

“Ayo temani aku. Tolong usir mimpi burukku jauh-jauh.”

.

-o-

.

Dua minggu berlalu.

Selama itu pula Minha menjadi terbiasa berada di dekat Yoongi, terlebih mengingat fakta bahwa ia selalu terbangun di dalam dekapnya. Memandang wajah seputih pualam miliknya tiap pagi, juga garis wajah yang entah bagaimana terlihat lembut dan tak berbahaya. Terkadang ia masih tak percaya, bahwa Yoongi bukanlah manusia. Pemikiran yang biasanya datang di kala Yoongi memerhatikannya, kemudian lesap saat sang lelaki baru saja menyelesaikan tugasnya.

Kehidupan mereka berjalan seperti itu, konstan dan teratur.

Yoongi tak lagi menyebut-nyebut soal hasrat lain yang berada di dalam benak Minha, mengenai keinginan yang masih tak terungkap. Persis seperti apa yang Minha mau, bahwa mereka harus berfokus pada niat serta rencana membalas dendam yang ada. Hanya itu saja yang perlu Yoongi lakukan, mematuhi tiap perintah Minha dan menyelesaikan kontrak ini dengan sempurna.

Lagi pula, Minha tak merasa kalau dirinya memiliki permohonan lain.

Sang gadis yakin benar soal itu, kalau satu-satunya hal yang harus ia perbuat adalah memenuhi pesan terakhir Jimin. Ia sedang melakukannya sekarang, dan ia akan segera selesai menjalankannya. Yoongi sudah berhasil membunuh beberapa orang yang waktu itu ikut bergabung dalam kerusuhan, lantas melacak informasi yang berhubungan dengan keburukan-keburukan lawan mereka. Menjatuhkan sebelum menghabisi, begitu perintah yang diberikan Minha kemarin malam.

Segalanya lancar, dan untuk hari ini, Minha bermaksud untuk meminta Yoongi—

“Kamu sudah bangun.”

Itu bukan pertanyaan. Yoongi kini membuka matanya, menatap Minha dalam-dalam dengan sepasang iris kelamnya. Sebelah tangan masih bertahan di pinggang sang gadis, sebelum akhirnya bergerak naik untuk mengelus kerutan di kening Minha.

Hmm.

“Apa yang kamu pikirkan? Rencana baru?”

Beginilah cara mereka memulai pagi, membicarakan target serta langkah-langkah yang diperlukan sementara cahaya mentari membias di kaca jendela. Menodai keheningan dengan bisikan-bisikan rahasia, menjatuhkan setetes noda yang nantinya akan menyebar seperti tinta basah. Maka, sama seperti biasanya, Minha pun memberikan anggukan.

“Data yang sudah kamu kumpulkan kemarin… tentang geng yang telah menghabisi nyawa kakakku….” Minha berpikir sejemang. “Katamu mereka telah menyuap polisi selama ini?”

“Semua buktinya sudah kita miliki.” Yoongi membenarkan, beralih mengusap rambut sebahu Minha. “Apa yang harus kita lakukan?”

“Pastikan kalau semua dokumen itu kamu antarkan ke pihak yang benar-benar tak terlibat,” sahut Minha, mengambil keputusan. “Media, atau bagian dari kepolisian yang pasti bisa memberikan hukuman… kamu bisa menemukannya, kan?”

Berbeda dengan biasanya, Yoongi tak langsung menjawab.

Sebaliknya, ia membiarkan telapaknya meluncur turun ke bahu Minha. Mendorongnya kuat-kuat, memaksa sang gadis untuk diam dalam posisi telentang sementara ia bergerak cepat. Tanpa membuang waktu memosisikan dirinya tepat di atas sang gadis, tangan yang lain menumpu pada kasur seraya bibirnya terbuka membentuk kata, “Masih tidak percaya padaku, Nona?”

“Aku percaya padamu.” Minha membalas, nyaris tanpa jeda. “Itu hanya kebiasaan, Yoongi. Aku tahu kalau kamu pasti bisa—“

“Aku bisa merasakan keraguanmu, Park Minha.” Manik Yoongi berkilat tajam, mengunci tatap Minha. “Apa kamu takut padaku?”

“Tidak.”

“Benarkah?”

“Ada apa denganmu hari ini?”

Senyap seketika datang. Nada menuntut yang diluncurkan oleh Minha telah membuat Yoongi sedikit mengendurkan cengkeramannya, kendati ia masih belum mengubah posisi. Selama beberapa detik yang mencekam membiarkan keraguan melanda, pikirannya berpacu seraya ia mengamati gadis yang telah menjadi tuannya. Yang perintahnya selama ini ia patuhi, menekan semua kuriositas milik Yoongi.

Tapi, bukankah ia ini sesosok iblis?

Kegelapan adalah inti dari eksistensinya. Memaksa, mengintimidasi, melakukan hal di luar batas… semua itu merupakan sesuatu yang wajar bagi dirinya. Lagi pula, bukankah ia juga melakukan ini demi sang gadis? Setelah dua minggu hidup bersama, jangan salahkan kalau rasa ingin tahu Yoongi membubung makin tinggi. Minha jelas sedang menyembunyikan sesuatu—atau mungkin lebih tepatnya, gadis itu tak sadar jika ia tengah menutupi sesuatu.

Yoongi ingin mengetahuinya.

Sesederhana itu, karena berdasarkan perjanjian mereka, ia memang diharuskan untuk menghadirkan rasa puas pada manusia yang ia layani. Untuk memastikan tiap-tiap keinginannya terpenuhi, memberikan dunia yang sempurna sebelum jiwa harus diserahkan sebagai bayaran. Yoongi melakukan ini semata-mata karena ia ingin kontrak pertamanya berjalan dengan mulus—setidaknya itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri.

“Aku akan bertanya sekali lagi kalau begitu,” ujar Yoongi pada akhirnya. “Apa kamu percaya padaku? Cukup percaya, hingga kamu akan menyerahkan segalanya untukku?”

Minha tampak bingung, tapi ia memaksakan dirinya untuk mengiakan. “Tentu saja. Bukankah aku memang harus menyerahkan segalanya untukmu? Untuk membayar perjanjian kita?”

“Bagus.” Yoongi mengangguk, menarik dirinya menjauh sembari melontar senyum penuh arti. Bersiap untuk menjalankan tugasnya hari ini, namun tak lupa untuk menutup konversasi dengan sebuah janji.

“Kalau begitu, sampai jumpa nanti malam, Minha.”

.

-o-

.

Bohong kalau Minha berkata ia tak penasaran.

Ia kesal, ia ingin tahu, dan ia ingin sekali menendang Yoongi kembali ke tempat asalnya. Ditambah lagi, ia benci pada detak jantungnya yang tak mau menurut pada perintahnya untuk menenangkan diri. Organ itu telah bekerja terlampau keras hari ini, berdenyut tak karuan hanya karena tingkah Yoongi yang tak seperti biasa.

Sebenarnya, apa mau lelaki itu dan—

“Kamu juga penasaran, kan?”

Minha spontan melempar bantal di pangkuannya ke arah asap hitam yang muncul di depan mata.

Setelah insiden dirinya menunggu kepulangan Yoongi, sang lelaki sudah berkata bahwa ia tak lagi perlu melakukannya. Yoongi toh bisa berpindah tempat sesuka hati, menghilang dalam kepulan asap dan memunculkan diri di mana pun ia mau. Suatu fakta yang sempat membuat Minha merengut sebal, merasa dibodohi karena ia sama sekali tak berpikir sampai sejauh itu.

Menyilangkan kedua lengan di depan dada, Minha mengamati sosok Yoongi yang mewujud di hadapannya. Kepala tertunduk sebentar untuk mengamati bantal yang dilempar Minha, yang sudah keburu jatuh sebelum sempat mengenai dirinya. Seringai usil terbentuk di bibir, sebelah alis terangkat sehingga emosi Minha pun makin tersulut karenanya.

“Kalau aku mengusirmu, apa kamu akan menurut?”

“Apa kamu sungguh-sungguh memaksudkan itu, dari dalam hatimu?”

Minha mengatupkan bibir, tangan otomatis membentuk kepalan. Sekali lagi membiarkan detak jantungnya memberontak, berpacu sekuat tenaga selagi Yoongi menggerakkan tungkai. Jarak di antara mereka kini makin terkikis, dan Minha resmi tak mampu bergerak kala Yoongi mengulurkan jemari untuk menangkup pipinya. Memakunya di tempat menggunakan pandangan tajam, selagi sang lelaki menelengkan kepala dan memasang rupa tak bersalah.

“Aku berhasil membaca emosimu dengan tepat lagi, Minha.”

“Tahu apa kamu soal apa yang kurasakan?” Minha langsung menuntut, mencoba untuk tak kalah. “Kamu tidak tahu apa-apa, Yoongi. Kamu harus menuruti perintahku.”

“Tentu saja.” Yoongi menjungkitkan sebelah alis, makin menghapus jarak. “Tapi, barangkali kamu lupa, aku juga diperintahkan untuk memenuhi apa pun yang kamu inginkan. Apa pun, bahkan termasuk hal-hal yang tidak kamu sadari.”

“Dan kamu berpikir jika kamu lebih tahu dibanding diriku?” Minha berdecak, mencoba menarik diri. “Kamu tidak—“

Yoongi memotong kalimat itu tanpa basa-basi. Tanpa izin, tanpa memedulikan Minha yang berusaha mendorongnya menjauh. Ia membiarkan bibir mereka menempel selama beberapa jenak, merasakan manisnya kehangatan dan pahitnya penolakan secara bersamaan. Biarkan sekon berlalu lagi, sebelum akhirnya mengganti kecupan itu menjadi lumatan-lumatan kecil. Sepasang telapak Minha kini tak lagi mendorongnya, berganti mencengkeram kemeja hitam itu selagi Yoongi diam-diam tersenyum puas.

Apa yang ada di antara mereka kini bukanlah perjanjian biasa. Tidak lagi.

Memejamkan matanya, Yoongi melepaskan tautan yang ada. Jemari bergerak membelai surai sebahu sang gadis, selagi ia kembali mendaratkan satu kecupan singkat dan berbisik, “Biarkan aku membaca apa yang kamu inginkan, oke?”

Api itu masih di sana, membakar sementara Minha duduk diam dan Yoongi merengkuhnya ke dalam dekapan. Mengeluarkan gumaman, menempelkan kedua belah bibir mereka lagi, dan mulai memahami. Yoongi membaca semuanya. Ia melihat melampaui keinginan Minha untuk membalas dendam, seakan jiwa dan kehidupan gadis itu adalah miliknya. Ia menyelam ke dalam dan menemukan sebuah emosi yang asing, memercik terlalu terang di tengah kegelapan pekat. Ia menyentuh kehangatan itu, menggenggamnya dan merasakan apa yang sebenarnya diinginkan Minha dalam hidup. Hasrat yang asing, begitu Yoongi menyebutnya, sesuatu yang belum pernah ia temui tapi entah kenapa terasa bagai candu.

“Yoongi….”

Panggilan itu keluar dalam bisikan, tepat setelah Yoongi kembali memberi jarak di antara keduanya. Bertukar tatap, lelaki itu bisa melihat puluhan tanya yang terpancar dalam mata sang gadis. Sesuatu yang membuatnya kembali membulatkan tekad, bahwa ia akan melakukan apa saja untuk mengabulkan apa yang telah ia lihat di dalam benak Minha.

Well, Yoongi tahu itu tidak mudah. Nyaris mustahil malah.

Tapi….

“Seharusnya kamu berkata jika kamu ingin bahagia,” ujar Yoongi lirih, kepala tertunduk. “Kenapa kamu tidak bilang, Park Minha? Kalau kamu ingin kehidupan yang normal?”

Pertanyaan itu cukup untuk membuat Minha sedikit tersentak, wajah dipalingkan dari Yoongi yang meminta jawaban. “Aku tidak punya hak untuk hidup normal.”

“Minha….”

“Ayo kita tidur.” Minha bangkit berdiri, ekspresinya berubah tegas. Sama seperti hari-hari lalu, ekspresi macam itu hanya dapat berarti satu. Kita masih memiliki tugas, balas dendam belum selesai.

Yoongi tahu itu, sungguh.

Namun, tatkala ia berbaring dan melingkarkan lengannya pada tubuh sang gadis, ia bisa merasakan beban dari keinginan Minha yang lain menggelayutinya. Meminta perhatian, selagi Yoongi mengeratkan rengkuhannya. Tanpa sadar meneteskan sebulir air dari sudut mata, dalam senyapnya malam mengucap sebuah janji.

Aku akan membuatmu bahagia, Minha.

.

-o-

.

Bahagia adalah konsep yang tak seharusnya disentuh iblis sepertinya.

Yoongi tahu itu, tepat saat ia merasakan emosi serta harapan yang bersemayam di benak terdalam Minha. Sesuatu yang belum pernah Yoongi temui sebelumnya, lantaran ia sudah terlalu biasa berkawan dengan kegelapan, kerusakan, kengerian, dan hal negatif lainnya.

“Sebentar lagi semuanya akan selesai, ya?”

Melirik Minha yang sedang mengaduk-aduk supnya tanpa selera, Yoongi menghela napas. Setelah hampir sebulan lebih, rencana Minha untuk membalas dendam memang akan segera menemui akhir. Gadis itu tampaknya sudah lelah, kemuraman membayangi dirinya nyaris setiap hari. Ia hanya ingin agar semuanya cepat selesai; lekas memberikan pembayaran—jiwanya—untuk mengakhiri kontrak mereka.

Di sisi lain, Yoongi tidak menginginkan itu.

Ia tahu bagaimana cara kontrak di antara mereka bekerja, ia tahu akhir seperti apa yang akan mereka temui. Hanya saja, di balik semua kata-kata bernada serius milik Minha serta perintahnya, Yoongi tahu jika sang gadis tidak benar-benar menginginkan semua itu. Harapannya untuk bahagia masih hidup, tersimpan di bawah sana dan setia memanggil-manggil Yoongi.

Selain itu, terlepas dari apa yang ia katakan dulu, Yoongi mendapati jika hal-hal positif tidak lagi menjadi sesuatu yang asing baginya. Jauh lebih mudah baginya untuk merasakan semua itu sekarang, membawanya datang ke hadapan Minha demi seulas senyum kecil. Seperti saat ini misalnya, ketika ia meraih si anak kucing dengan sebelah tangan dan menyodorkannya ke hadapan sang gadis.

“Semangat sedikit. Seharusnya kamu senang kan, melihat orang-orang yang kamu benci akan segera mati?”

Minha tak menjawab, mengulurkan sebelah tangan untuk mengelus si anak kucing sementara Yoongi menarik mangkuk yang berisi sup dingin itu ke arahnya. Mengendusnya sebentar, sebelum melambaikan tangan untuk melenyapkan isinya.

“Yoongi.”

Yang dipanggil mencondongkan tubuh, menyentuh pipi Minha sekilas sembari memasang senyum. “Ayo kita makan di luar saja. Ada sesuatu yang ingin kamu makan? Pizza atau cheeseburger?”

Yoongi tahu ia menebak dengan tepat, meski Minha tampak enggan. Namun, ia tak peduli. Sama seperti dirinya yang sudah memilih untuk melanggar semua batasan dan mulai mencari-cari cara, ia hanya ingin menghadirkan sedikit tawa dalam hidup sang gadis. Lagi pula, ia sendiri juga menikmatinya—bagaimana Minha membiarkan dirinya dirangkul tiap mereka pergi berdua, bagaimana pipi gadis itu sedikit merona saat Yoongi mendaratkan ciuman, bagaimana tubuh keduanya berdempetan tiap malam, bagaimana getar-getar asing tersebut datang di ujung jemari serta perutnya. Ini membuatnya bahagia, dan Yoongi tahu jika Minha pun merasakan hal serupa meski ia bersikeras menutupinya.

“Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk makan—“

“Kurang dua orang  lagi,” potong Yoongi, jemarinya lekas menggenggam tangan sang gadis. “Dua lagi, kemudian semuanya selesai. Secepat itu, dan kamu sungguh tidak apa-apa?”

Melepaskan tautan tangan mereka, Minha berganti membentuk kepalan. Ia tahu persis apa maksud Yoongi, setiap cerita mengenai manusia yang berusaha memperpanjang waktu mereka di dunia sebelum diharuskan menyerahkan jiwa sebagai bayaran. Mereka semua takut; dan bukannya ia sok berani menghadapi kematian atau apa, hanya saja….

“Hentikan, Yoongi. Aku tidak akan bisa bahagia, tidak di sini.” Minha menggeleng. “Bahkan, seandainya aku sudah merelakan kakakku dan melakukan balas dendamku pun, aku tak akan bisa.”

“Kenapa tidak?”

“Dengan semua hal yang telah kulakukan, segala kerusakan dalam hidupku?” balas Minha, diikuti decak tak percaya. “Kamu bercanda, ya? Hal-hal seperti bahagia, cinta, harapan… itu semua tidak akan tersedia untukku. Lagi pula, apa kamu sungguh-sungguh tidak menginginkan jiwaku?”

“Bagaimana jika jawabanku adalah tidak?” Yoongi menyilangkan kedua lengannya, menantang. “Iblis tak seharusnya menginginkan kebahagiaan, tapi belakangan aku mencarinya. Aku menginginkannya.

“Kamu tidak serius dengan kata-katamu.”

“Kamu tidak tahu apa-apa tentang kami,” balas Yoongi tanpa jeda. “Kamu tahu apa yang akan terjadi padaku setelah kontrak ini selesai? Aku akan menunggu lagi, menanti sampai seseorang memanggilku dan membuat perjanjian yang baru. Terus seperti itu, dan aku tidak menginginkannya. Tidak lagi.”

“Lantas kenapa kalau kamu tidak menginginkannya?” Minha menaikkan nada suara, berusaha membuat setiap katanya terdengar setajam bilah belati. “Kamu berharap agar aku terus memberimu tugas, mencari cara untuk memperpanjang kontrak kita? Agar kamu bisa tetap di sini, begitu?”

“Apa kamu membenciku, Park Minha?”

Respons Yoongi meluncur dalam suara rendah, selagi manik keduanya bersitatap. Menunggu, mengizinkan senyap menyelusup, sampai Minha akhirnya menggeleng lemah.

“Kamu telah melakukan banyak hal untukku, Yoongi. Aku tak punya alasan untuk membencimu, tidak ketika….” Minha menggigit bibir, lekas menelan apa yang tadinya mau ia ucapkan. Tidak ketika sesungguhnya kamu membuat hidupku lebih baik.

“Ketika?”

“Intinya, kamu tahu jika aku tidak akan pernah bisa bahagia di sini. Tidak setelah semua yang kulakukan. Kalau sudah begitu, bukankah mempercepat segalanya adalah pilihan terbaik?”

Sang gadis menutup konversasi, bangkit berdiri untuk meraih jaketnya dan menunggu Yoongi di dekat pintu. Tanda bahwa keinginannya sudah final, bahwa mereka akan segera menghabisi dua orang yang tersisa dan mengakhiri segalanya. Sesuatu yang seketika mendatangkan rasa seperti dicengkeram di hati Yoongi, sementara ia bergerak perlahan dan terpaksa mengikuti gerak tungkai Minha.

Yoongi belum ingin mengakhiri semua ini.

Tapi, bisa apa ia jika sang tuan sudah memerintahkannya untuk bergerak dan menghabisi?

.

-o-

.

Makhluk sepertinya memiliki ingatan yang baik.

Yoongi ingat bagaimana perkenalan di antara mereka berlangsung, bagaimana ia menenangkan Minha yang bermimpi buruk dan memeluknya untuk kali pertama. Ia ingat sewadah es krim yang sempat ia beli, yang mereka habiskan berdua beberapa hari berikutnya seraya bergelung di sofa. Ia ingat suara Minha saat menirukan bunyi si kucing kecil, berbaring berdua di atas karpet sementara Yoongi mengamati.

Ia ingat minggu-minggu yang berlalu setelahnya. Ciuman pertama mereka, gelitik bahagia pertama yang muncul di dalam dirinya. Ia ingat setiap pertengkaran yang mereka lalui, setiap argumen dan perdebatan yang muncul. Ia ingat bagaimana mimik puas itu muncul di wajah sang gadis, sesuatu yang terjadi tiap ia berhasil menghabisi target balas dendam Minha. Ia ingat bagaimana rupa itu terlihat lebih tenang di pagi hari, damai di bawah bias sinar mentari dan nyaris tanpa beban.

Ia juga ingat hal-hal kecil yang sudah ia lakukan. Menyiapkan sarapan sebagai kejutan, mengelus puncak kepala Minha saat ia murung, menyetel musik untuk mereka dengar berdua, menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di bawah rembulan, membuatkannya cokelat panas sebelum tidur—semua yang ia rasa bisa menghadirkan percik kebahagiaan itu di dalam benak Minha.

Ia ingat, ia ingat, dan itu artinya ia juga akan mengingat ini.

Terbaring di dekat kaki keduanya, adalah dua sosok tubuh. Para pemimpin dari geng yang telah menghabisi Park Jimin, yang sekarang tergeletak tak berdaya akibat serangan Yoongi. Salah satu dari mereka tewas dengan belati menancap tepat di jantung—itu belati Jimin, pertunjukan terakhir dari Minha—sementara yang lain berada dalam posisi telentang dan mata membelalak dalam teror.

Mengenaskan, pikir Yoongi, tapi tidak cukup mengerikan.

Tidak karena apa yang membuat Yoongi ngeri saat ini adalah sang gadis, berdiri di hadapannya dengan sorot sendu selagi ia memberikan anggukan pelan.

“Sudah selesai.”

“Minha….”

Minha mengulurkan sebelah tangan, seolah mengundang Yoongi untuk mendekat. “Bayaranmu, Yoongi. Ayo kita selesaikan ini secepat mungkin, hm?”

“Bagaimana—“ Yoongi hendak membantah, yang lekas terpotong saat ia melihat sorot tajam sang gadis. Mau bagaimanapun juga, perintah Minha adalah sesuatu yang masih harus ia turuti. Dan jika ia sudah memutuskan untuk menyerahkan jiwanya, mana bisa Yoongi menolak dan merusak kontrak yang telah mereka buat?

Peraturan adalah peraturan.

“Jangan menyesalinya.” Itulah yang akhirnya Yoongi ucapkan, seraya ia melangkah mendekat dan mengulurkan kedua telapaknya untuk menangkup pipi Minha. Netra bersitatap, dan Yoongi pun menggunakan kekuatannya. Melihat bagaimana senyum simpul terbentuk di bibir Minha, kedua kelopak mulai terkatup sementara Yoongi menariknya ke dalam pelukan,

Tepat ketika tubuh itu akhirnya melemas, barulah Yoongi membiarkan selapis air muncul di kedua bola matanya. Bibir ditempelkan di puncak kepala Minha, melontarkan satu bisikan yang dipenuhi oleh harapan.

Ini bukan akhir bagi kita, Park Minha.”

.

-o-

.

Barangkali, ia adalah gadis paling keras kepala yang Yoongi kenal.

Menatap figurnya yang terbaring di dasar perahu kayu, Yoongi menyapukan tangannya ke rambut sebahu sang gadis. Mengembuskan napas dalam, irisnya sendiri bergerak untuk mengamati keadaan sekitar. Tak ada apa pun selain bebatuan dan sungai yang tampak kelam—satu-satunya jalan menuju Dunia Bawah tempat Yoongi tinggal.

Namun, bagaimana jika Yoongi tak ingin kembali?

Masa hidupnya sebagai iblis mungkin akan dikenang sebagai yang tersingkat, juga bodoh karena ia mau-mau saja membuang keabadian demi seorang manusia. Tapi, ia melakukan ini bukan tanpa alasan. Ia mulai membenci Dunia Bawah, muak dengan semua kemotonan yang ada. Minha mengenalkannya pada emosi bernama kebahagiaan; dan bagai candu, ia tak mau melepaskan itu.

Iblis, huh? Yoongi mendengus pelan. Alih-alih bisa menggoda manusia, akulah yang tergoda untuk melepaskan semua yang kumiliki, benar begitu?

Kekeh tawa sarkastis keluar dari bibir Yoongi, selagi ia meletakkan telapaknya di atas kening Minha. Kalau ada yang ingin ia lakukan sebelum sepenuhnya lenyap, hal itu adalah menghapus semua kenangan Minha akan kehidupan yang pernah ia jalani. Yoongi hanya ingin menghadirkan ketenangan ke dalam benak gadis itu, membuatnya terlepas dari semua mimpi buruk serta dendam yang mengendap dalam hati.

Terdengar bodoh, tapi toh Yoongi pun tak lagi merasa pantas disebut sebagai makhluk kegelapan.

“Aku berjanji untuk selalu berada di sisimu, bukan?” bisik Yoongi, menarik tangannya dan memberikan seulas senyum yang tak berbalas. “Aku akan menepati janjiku, Minha.”

Duduk dan menanti, Yoongi bisa merasakan bagaimana dirinya perlahan-lahan melemah. Ia sudah menolak untuk mengambil jiwa Minha, memilih untuk ikut lesap bersamanya. Jika kekuatan, kenangan, serta keabadiannya menjadi harga yang harus dibayar, maka Yoongi rela menyerahkannya. Ia akan memberikan semua yang ia miliki tanpa melawan—darahnya, napasnya, air matanya, tubuhnya, hatinya, jiwanya—apa pun agar ia bisa mewujudkan keinginan sang gadis untuk hidup bahagia.

Atau setidaknya, itulah yang ia harapkan untuk terjadi.

Memejamkan mata, Yoongi membiarkan perahu kayu yang mereka tumpangi menyatu dengan kegelapan. Tempat di mana semuanya menjadi hampa, kosong, dan hilang; tempat di mana sungai tersebut akhirnya menemui ujung. Dalam hati terus menggemakan harapan yang ia punya, satu-satunya tali yang ia harap dapat membawa mereka pada kebahagiaan.

“Semoga kita bisa bertemu lagi, Park Minha.”

Dan mereka pun menemui ketiadaan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Minha-ya, sudah pagi.”

Tidak ada jawaban.

Yoongi lebih dulu membuka mata, bertemu tatap dengan raut wajah tenang milik Minha. Gadis itu masih terlelap, deru napasnya terdengar teratur di tengah keheningan pagi. Sebelah lengan memeluk pinggang sang lelaki, tubuh bergelung begitu dekat, berbagi kehangatan di tengah hawa musim gugur yang mulai menyelusup.

Mmm, biasanya kamu yang tidur lebih lama, kan?”

Minha mengeluarkan jawabannya dalam gumaman, makin merapatkan pelukan mereka dan mengubur wajah di dada Yoongi. Menghirup aroma khas favoritnya, sementara Yoongi terkekeh dan membalas dengan mengacak-acak surai sebahu gadisnya. Tindakan sederhana yang senantiasa sukses menghadirkan gelitik kenyamanan, membuat ujung-ujung bibir Yoongi berjungkit tanpa dikomando.

“Aku punya pertanyaan.”

“Sepagi ini?” Minha masih membalas dalam bisikan, tapi sedikit menjauhkan diri agar ia bisa membalas sorot Yoongi dengan tatap mengantuk. “Apa?”

“Aku ingin tahu…” Yoongi memulai, menggerakkan ujung ibu jari di pipi Minha dengan lembut. “…apa kamu bahagia bersamaku?”

Senyap datang, mengikuti pertanyaan yang Yoongi luncurkan. Memaksanya untuk menunggu, selagi Minha mengerjap dan mendadak tersadar sepenuhnya. Alis berjungkit, jemari tanpa sadar mencengkeram kemeja putih yang dikenakan Yoongi.

“Kenapa bertanya seperti itu?”

“Entahlah,” balas Yoongi tanpa jeda, masih menggerakkan jemari untuk menelusuri rupa Minha. “Aku… merasa perlu untuk bertanya, itu saja.”

Kali ini, Minha berganti menggigit bibir. Tampak ragu sejenak—yang sukses membuat jantung Yoongi melompat cemas—sampai ia akhirnya berkata, “Aku bermimpi jika kisah kita tidak berakhir bahagia. Di dalam mimpiku,  kamu bukan manusia dan kita tidak ditakdirkan bersama. Aku takut setengah mati, dan tahukah kamu betapa bahagianya diriku untuk terbangun pagi ini?”

Yoongi menanti, tahu bahwa Minha masih punya sederet kalimat lain untuk diluncurkan.

“Aku senang itu semua hanya mimpi, Yoongi. Karena hidup kita yang ini baik-baik saja, dan aku ingin terus seperti itu. Jadi, kamu tidak perlu bertanya apakah aku bahagia atau tidak, kan? Bukankah jawabannya—“

Perkataan Minha terpotong, tepat saat Yoongi menghapus jarak dan melekatkan bibirnya di atas bibir sang gadis. Merengkuhnya erat, sama-sama tersenyum seraya keduanya menikmati manisnya bahagia, hangatnya kehidupan, dan irama jantung yang berdetak senada. Detik itu juga Yoongi tahu bahwa Minha tak perlu menjawab, karena apa yang dirasakan gadis itu sama persis dengan apa yang tengah ia rasakan.

Di tengah siraman cahaya mentari pagi, di tempat yang tak lagi tersentuh kegelapan…

.

.

…dan kebahagiaan itu telah mereka temukan.

.

fin.

a.n:

Untuk yang bertahan membaca sampai sini, selamat!

Oke, sedikit cuap-cuap dulu:

Sejujurnya, ini bukan plot untuk halloween-fic yang sudah direncanakan, karena plot aslinya tidak segelap ini dan cast-nya adalah Jungkook ft. SVT’s Joshua. Tapi entah kenapa di tengah jalan, niat nulis yang itu lenyap dan berganti ini. Yang mana idenya dadakan, cuma gara-gara demon!Yoongi di foto fansign bangtan.

Plot asli fic ini pun lebih dark lagi, tapi setelah baca-baca beberapa fic di AO3 plus diskusi sama Kak Yeni, akhirnya dipilih ending yang ini. Feel free to assume anything: entah mereka aslinya hanya mimpi, atau itu adalah kehidupan setelah reinkarnasi di mana dua-duanya sama-sama manusia.

Last but not least, saya cuma pengen menyampaikan kalau inti dari fic ini adalah: pure evil doesn’t exist, just as pure kindness doesn’t exist either. Selalu ada kebaikan di setiap kejahatan, sama seperti ada kejahatan di setiap yang kita anggap terlihat baik.

Okay, thanks for reading and happy Halloween! ^^ 

22 pemikiran pada “[Oneshot] Sealed and Kissed

  1. Author,,aku ada pertanyaan buat Kamu,,,itu endingnya aku agak nggak paham.untuk memahaminya ada 2 factor;
    1.cerita yg diatas,,yg suga adalah ibis di kegelapan itu Hanyalah mimpi,,Dan mereka terbangun dari mimpi itu…atau
    2.mereka bangun di pagi hari setelah mereka mati?
    Tolong jawab ya Author,,soalnya URAT KEPO ku ngga bisa diajak kerja sama..okee

    Suka

    • itu endingnya bisa keduanya, tergantung kamu pilih yang mana sebenernya… jadi bisa aja kamu menganggap seluruh cerita = mimpi; atau waktu mereka bangun pagi itu, itu udah mereka habis reinkarnasi gituuu

      makasih banyak ya!

      Suka

  2. FF terbaik yg pernah ku baca, feel nya dapet banget! Bagus banget gila!! /teriak/ 😍 bikin yg kek gini lagi dan aku bakal nangis darah, sumpah ku nangis baca ini bagus banget ceritanya 😍 Semangat Author-nim!! 💞

    Suka

  3. Halo author-nim.
    Cuma mau bilang kalau fanfic ini luar biasa bagus dan feel nya … uh…
    I have to remind my self kalau suga beneran manusia dan bukan iblis putih pucat yg ganteng ga ketolongan.
    Keep writing author-nim!

    Dari : seorang pembaca yang memiliki terlalu banyak perasan yg saling bertolak berkecamuk dalam hati dan pikirannya, ingin dituangkan dalam bentuk tulisan tapi tak mampu.
    Eheh, salam senyum kotak taetae!

    Suka

  4. Haloo! Aku terdampar (?) disini ketika nyari referensi tentang genre surrealism dan malah menemukan fanfic ini.
    Dannn…. aku tida menyesal terdampar disini karena fanfic ini sukses bikin jijingkrakan (?). Alurnya yang mengejutkan, diksi dan kalimat yang keren, scene-scene yang sweet dikemas dengan baik. Ditambah bias yang jadi peran utamanya!
    Aku seneng deh karna author-nim menulis dengan konsep perbandingan, kayak “… merasakan manisnya kehangatan dan pahitnya penolakan secara bersamaan.” bikin aku pas bacanya serasa ‘ahh so sweet’ kemudian ‘yah nyesek’ wkwk :’)

    Overall, great job author-nim! Diksi yang author-nim gunakan bener-bener berguna sebagai penambah perbendaharaan kosakataku hehe. Semoga gak bingung ya baca comment absurd dari orang asing ini, hihi.

    Suka

  5. Asikk!!! Tahan baca sampai akhir!!.. aku suka banget sama ceritanya kak.. tapi, Jimin oppa nya di kemana in?
    Keep writing ya kak! Fighting!

    Suka

  6. Ohhh..
    Aq bisa bertahan sampai akhir.
    Yaampun ka, pas pertama baca aq kira bakalan ngeri sampe akhir,, 😨😨ternyata akhirnya malahan sedikit menyedihkanKak.. (Aq sampe nangis loh ka baca endingnya.)😭😭
    Tapi ok lahh,, ff nya Bagus bangettt.. 👍👍

    Oh iya Kak, minta ff yang cast nya seok jin dong..
    Plisss,, tolong bbikinin ya ka..
    Ok ok.. Sipp.. 👍👍👍

    Suka

    • yeay selamaaat!!
      lah kenapa malah nangis kan udah dibikin happy ending ehehehe > <

      aku agak jarang sih nulis seokjin tapi ada beberapa bisa dicek ehehe atau mungkin kapan2 bisa nulis seokjin yang sepanjang ini juga~

      anyway makasih yaa! ❤

      Suka

  7. aku bertahan!!!! yeay haha
    tiap kali yoongi sama minha muncul selalu bikin deg- degan ^^
    apalagi bahasa sama alurnya (& semua cerita author lainnya) asik banget … aku suka
    keliatan banget di sini kalo yoongi itu ‘gelap’ tapi masih punya cahaya #halah
    duhhh adek lemah kalo kayak gini ಥ_ಥ ಥ_ಥ
    ditunggu cerita2 lainnya kak …

    love youuu ლ( ╹ ◡ ╹ ლ)

    Suka

  8. Wa aku kak amer…. Aku bertahan sampai akhir ((lambai2 tangan)) /ga

    Yas yas ini ga nyangka 6k words astaga kuat bgt aku bacanya sampe terhanyut begini ((ikut naik perahu /krik))
    Mau dong dpt iblis kyk Yoongi uuu~~ Tapi ttp aja inti yg mana dikatakan kak amer di a/n emang bener… Ah ga semua iblis jahat, memang bener /yoksi/
    And……
    Wae banyak itu 키스-nya kak? Wae wae wae??? Emang sih dari judulnya udh keliatan eh ni anak kecil nekad aja baca padahal ga nyampe ratingnya /plak ((brb pulang))
    Oiya kucingnya bikin amu inget anak kucing yg terlantar di sekolah, mirip bgt ㅋㅋㅋㅋ Matanya jg biru terus bulunya bekang putih cokelat /lah malah cerita/
    Oke segitu aja deh komen anak kecil yg sok2an baca ini kak /digampar/ Etapi aku ttp ngerti kok, and itu endingnya aku pilih reinkarnasi karena merasa lebih nyambung sama hal2 di atasnya… Kalo mimpi, Jimin nya dikemanain? ((ga nyambung))

    Yowes anak kecil ini mau bobok dulu ama kak Hale (krik) Udah malem, entar makin ngelantur /pfft
    Nice fic kak amer! And Happy Halloween too!

    Suka

    • Hei kamu anak di bawah umur ngapain di siniii *seret menjauh* *udah telat*

      iya itu min yoongi emang iblis unyu, dia kayanya salah milih pekerjaan ya………..
      ini kali pertama banyak kisseu dalam satu ff mohon jangan dibahas aku maluuu /.\
      aku juga mikirnya reinkarnasi sih waktu nulis tbh, jiminnya ga kemana-mana disimpen di hati aja /krik

      makasih ya ratih! ❤

      Suka

  9. AKU MASIH HIDUP!!
    /entah harus senang atau sedih/

    …itu terakhirnya bikin sedih… tapi awalnya…. hm… maaf mbak bisa minta tisu ama bantal?
    Seriusan ya tapi plotnya benar-benar kental banget unsur ‘manusia’ maksudnya semacam kayak mengingatkan kita kalo setiap orang itu punya dualisme yang saling berjalan harmonis, dan aku nangkep banget maksud quotes kamu yang di akhir.
    Yang aku garis bawahi sih tema yang kamu angkat, minha sama yoon itu pemanis, tapi serius mereka berdua manis………. untung aja pas scene2 yang agak, jimin udah tiada….
    Sebenernya aku kira bakalan lebih dark dari ini, aku berharapnya Amer bakalan nulis gore yang dibumbuin dengan topik yang mau diangkat–dan tentu saja dengan bumbu-bumbu romance yang sesuai ratednya /dilempar/ TAPI INI AJA UDAH BIKIN JEJERITAN!

    anw, terima kasih untuk karyanya! you’re superb as usual! our Park Minha! ❤ ❤

    Thank You!
    All.Want.Candy

    ps: aku berharap ada scene rated minha/yoon padahal….. /dilempar/ XD

    Suka

    • SENENG DONG DE KAN ARTINYA KAMU MASIH BISA BERTEMU AKU IHIY *cium*

      iya aku suka mengamati manusia sih de (?)
      dan yunha dibilang manis kyaaaa kamu ga salah de bilang dua orang kaya kita manis btw? wkwkwk DAN ITU APA MAKSUDNYA UNTUNG JIMIN UDAH GAADA JIMIN UDAH RESTU KOK /rusuh

      makasih juga deaaa~ scene rated yunha buat konsumsi pribadi aja sih maaf gabisa dibongkar /?

      Suka

Tinggalkan Balasan ke vickyeowl Batalkan balasan