[Chapter 3] Quest for Seven: Lost and Stranded

quest-for-7-copy

Quest for Seven

written by tsukiyamarisa

.

BTS’ Kim Namjoon, Jung Hoseok, Kim Taehyung, Jeon Jungkook

OC’s Jung Mia, Lily O’Brian, Kim Mony

.

Chaptered | Greek Mythology!AU, Friendship, Adventure, Life, slight!Historical, slight!Fluff | 15

loosely based on Greek Mythology and Percy Jackson series by Rick Riordan, with some fictional character here and there 

.

previous: Prologue | #1: Sound of Lyre | #2: Naked Statue, Pegasi, and Some Bird-Women 

.

.

#3: Lost and Stranded

.

.

Jung Hoseok baru saja berpikir betapa nikmatnya jika ia bisa berbaring di pantai barang sejenak sembari menikmati sedikit camilan.

Oke, ia tahu jika ia sedang menjalani sebuah misi penyelamatan saat ini. Namun, bersantai selama seperempat hingga setengah jam tak ada salahnya, bukan? Hoseok benar-benar lelah, dan ia yakin jika kawan-kawannya pasti akan setuju. Lagi pula, mereka sudah menghabiskan hampir tiga jam untuk mengangkut perbekalan, membersihkan kapal, dan memastikan semua yang diperlukan telah tersedia. Ia layak mendapat istirahat, terlebih karena pantai di Yunani benar-benar indah dan tak seharusnya dilewatkan begitu saja.

Yah, kapan lagi ia bisa mengunjungi tempat ini secara gratis—walau pada kurun waktu dan situasi yang tidak sepenuhnya mengenakkan?

Yang jelas, Hoseok hanya ingin cepat-cepat membuang air kotor yang berada dalam ember kayu ini dan—

“Ah, lelaki muda yang tampan! Kau terburu-buru?”

—dan sekon berikutnya, ia mengeluarkan jeritan bernada tinggi serta menyiramkan seluruh isi ember tersebut pada makhluk yang baru saja mendarat di geladak kapal.

Fuck, fuck, fuck!!

Mungkin ini akibat jiwa rapper-nya yang sudah terbangkitkan sejak insiden serangan wanita-burung (Hoseok tak ingat apa namanya), tapi ia tak bisa menahan dirinya untuk memaki. Kedua tangan memegang erat ember kayu yang masih ia bawa, satu-satunya senjata yang dimiliki oleh Hoseok saat ini.

Sialan, kenapa pula hanya ada ia di atas geladak ini, hah?!

Namjoon, Taehyung, dan Lily tengah pergi bersama ketiga pegasi sambil membawa sisa-sisa ember kayu di kapal. Bolak-balik demi mencari air bersih dan mengisi lima guci besar yang terbuat dari tanah liat di dek bawah, satu-satunya sumber air tawar mereka saat sudah berlayar di lautan nanti. Sementara itu, Mony, Jungkook, dan Mia sibuk menata perbekalan serta membersihkan ruangan-ruangan yang ada di kapal. Menyisakan Hoseok yang tadi sedang mengepel geladak, sendirian di atas sini dan terpaksa menghadapi… ugh, ini makhluk macam apa lagi?

Mencengkeram ember yang ia bawa makin kuat, Hoseok berusaha berpikir cepat seraya mengamati sosok di hadapannya. Lagi-lagi seorang wanita, tapi amat buruk rupa dan jauh lebih mengerikan dari sepasang wanita-burung tadi. Pada tempat di mana gigi taring manusia seharusnya berada, Hoseok bisa melihat sepasang gigi yang berbentuk seperti taring babi hutan. Menjijikkan? Yeah, tentu. Tapi itu belum semuanya.

Mirip seperti si wanita-burung, makhluk di hadapannya ini punya sepasang sayap emas yang sekarang terlipat. Tambahkan seekor ular berukuran besar yang melingkari pinggangnya dan terus-menerus mengeluarkan suara mendesis, juga… er, apa itu yang ada di atas kepalanya? Hoseok harus menyipitkan mata sesaat, sebelum akhirnya menyadari bahwa wanita ini memiliki ular-ular kecil yang tumbuh memenuhi kepala sebagai ganti rambut.

“Menyiram seorang wanita dengan air kotor… kurasa itu sedikit tidak sopan kan, Tampan?”

Hoseok merapatkan kedua bibir, menahan kalimat makian agar tak terucap. Ia membiarkan dirinya membalas tatapan si wanita-ular, memasang ekspresi menggertak terbaik miliknya. Aneh, ia sama sekali tak merasa takut saat ini. Alih-alih, ia marah. Amat sangat marah karena kesempatannya untuk beristirahat telah hilang, sehingga yang ia inginkan hanyalah segera memusnahkan wanita-ular itu dari kapal ini.

“Aku tidak takut padamu,” ujar Hoseok, entah mendapat keberanian dari mana untuk membalas. Beringsut mundur, sang lelaki melirik tongkat pel yang diletakkan bersandar di tiang kapal, tak begitu jauh darinya. Kalau saja ia bisa meraih tongkat itu, mungkin ia akan punya kesempatan untuk memukul si wanita-ular tepat di kepalanya.

“Kau tidak tahu apa itu rasa takut,” desis wanita itu, ular-ular di kepalanya bergerak penuh semangat. “Lihat mataku dan—”

.

.

“Jangan tatap dia, Jung Hoseok!!”

.

.

Jeon Jungkook, yang baru saja muncul dari lantai bawah, langsung berteriak. Sontak mengalihkan atensi si wanita-ular padanya, yang mengeluarkan desis kegirangan dan langsung menimpali, “Dan kenapa kau melarangnya, hm?”

“Kau salah satu dari ketiga gorgons,” balas Jungkook, kedua lengan terentang untuk menahan Mony dan Mia agar tetap berada di belakangnya. “Bukan Medusa, tentu, mengingat kami sama sekali tak menjadi batu. Siapa kau dan apa yang kaulakukan di sini?”

“Namaku Euryale, dan untungnya aku lebih beruntung dibandingkan Medusa, saudariku yang sudah mati itu,” si wanita-ular menjawab, membiarkan ular yang membelit pinggangnya bergerak naik ke bahu. “Tatapanku mungkin tidak fatal, tapi tatapan ini dapat melumpuhkan setiap orang dalam gelombang rasa takut. Nah…” Euryale bergerak maju, mengulurkan tangan untuk meraih dagu Jungkook dan memaksanya mendongak. “Bagaimana jika kau merasakan sedikit dosis ketakutan? Seperti kawanmu di sana tadi, yang bahkan sampai tak bisa bergerak untuk melawanku—”

Kesombongan Euryale menguap seketika, tepat saat ujung gagang pel yang dipegang Hoseok menghantam kepalanya. Sontak membuat ular-ular di sana mendesis, selagi Hoseok menarik tongkat yang ia pegang dan menyodokkannya tepat di perut si wanita-ular.

ARGH, KAU BERANI—”

“Rasa takut? Aku tidak merasakan itu barang sedikit pun, wanita sialan!” Hoseok mengacungkan tongkat pelnya, berpolah layaknya sedang memegang pedang. “Mungkin kemampuanmu sudah pudar, ha!”

Pernyataan itu tampaknya berhasil menarik perhatian Euryale, yang langsung memelototkan matanya ke arah Hoseok. Berharap agar lelaki di hadapannya langsung berlutut dan memohon, tapi Hoseok malah mengeluarkan suara kekeh tawa yang penuh ejekan.

“Kau!” Euryale kembali mendesis, diiringi suara ular-ularnya sebagai latar belakang. “Kau akan merasakan akibatnya ketika kau bertemu tuanku nanti dan—”

“Tuan?” Jungkook sekarang memotong, sudah meraih pedangnya selagi ia bergerak ke sisi Hoseok. “Kau seharusnya berada di Dunia Bawah. Hades adalah tuanmu, atau ini ada hubungannya dengan ramalan penculikan itu?”

Euryale memasang senyum, yang tampak mengerikan mengingat kedua taring panjang melengkungnya. “Kau cukup pintar, ya. Tapi, apa gunanya berada di bawah Tuan seperti Hades? Tuanku yang baru menjanjikan lebih banyak kebebasan, bukan kurungan di Dunia Bawah sana. Aku bisa bebas menyebarkan rasa takut, menangkap banyak lelaki tampan dan membuat mereka tunduk—”

“Kalau begitu, kau salah memilih Tuan.” Jungkook mendongak, akhirnya bersitatap dengan Euryale selagi ia mendengus. “Tuanmu sudah menculik Phobos, dewa rasa takut. Tidak ada lagi yang mengatur rasa takut….” Jeda sebentar, dan Jungkook bisa melihat wajah Euryale yang tampak murka. “…dan kau berharap bisa menakut-nakuti tawananmu?”

Tak lagi ada kata yang terucap sebagai balasan, selagi Euryale mendesis dan bersiap menyerang. Membiarkan ular di pinggangnya bergerak, siap memagut, tetapi Jungkook lebih sigap. Lelaki itu langsung menebas si ular dengan pedangnya, seraya Hoseok menyodok tubuh Euryale dengan tongkat di tangan. Mendorongnya hingga mundur, memberi Jungkook waktu untuk memelesat ke sisi Mony dan Mia demi membisikkan sesuatu.

Euryale mengangkat kedua tangannya—yang merupakan perpaduan tangan manusia dan cakar elang—siap untuk menyambar Hoseok, tepat saat Jungkook kembali berteriak.

“Dorong dia kemari!”

Maka Hoseok pun langsung menggunakan gagang pelnya untuk menyodok Euryale berulang kali. Menyasar perut, dada, dan tulang keringnya, lantas membalik tongkat pel tersebut agar ia bisa mengusap wajah si wanita-ular dengan kain berbau apak yang ada. Mustahil bagi Euryale untuk menjangkaunya kini, terlebih saat Hoseok akhirnya menendang si gorgon tepat pada perutnya dan membuatnya jatuh tersungkur ke hadapan Jungkook—yang langsung menuangkan cairan berbau seperti minyak tanah ke kepalanya dan mengangguk ke arah Mony.

Detik berikutnya, Hoseok bisa mencium bau ular panggang; terima kasih pada api yang disemburkan Mony tepat pada kepala Euryale. Sontak membuat wanita itu menjerit-jerit, merasakan api mulai membakar dirinya dan membunuh peliharaan-peliharaan kecilnya. Euryale mencoba bangkit berdiri, tapi yang ia dapatkan adalah tebasan pedang Jungkook pada dada dan pinggangnya. Erangan terdengar, dan kali ini Jungkook memberi isyarat pada Mia untuk menghabisi si gorgon.

“Kau tidak seharusnya mengotori kapal kami, Euryale,” ucap Mia, menggerakkan tangannya dan mendatangkan ombak besar ke pesisir pantai. Kening berkerut tanda konsentrasi selagi ia menggerakkan ombak tersebut, memerintah air untuk menyambar tubuh Euryale dari atas geladak dan menenggelamkannya ke dalam lautan. Biarkan jeritan pilu wanita-ular itu terdengar menggema, kontras dengan Hoseok yang….

“Ha!! Siapa suruh kau mengotori geladak yang sudah susah-susah dipel? Wanita yang menyukai ular dan membawanya ke mana-mana? Sebagai seorang wanita, seleramu buruk sekali! Mati saja kau dan ular-ularmu di bawah sana, dasar makhluk kecil licin pembuat masalah yang—”

“Kak Hoseok.”

“Ular-ularmu tidak bisa menakutiku sekarang! Bagaimana rasanya dikubur dengan ular panggang, hah?! Dasar pecinta ular tak waras, sok menggoda, sok cantik—”

“Jung Hoseok!”

Mia melangkah mendekat ke kakak lelakinya, mengulurkan sebelah tangan untuk membungkam mulut Hoseok. Bersitatap sejemang, sebelum ia akhirnya bergerak untuk memeluk Hoseok dan menepuk-nepuk punggung kakak lelakinya.

“Mia?”

“Sudahlah, Kak.”

“Tapi ular-ular sialan itu—“

“Aku lebih suka Kak Hoseok yang penakut, tahu,” gumam Mia, tanpa sadar air matanya sedikit menetes. “Kau yang seperti ini kadang membuatku takut.”

Hoseok tak menjawab. Ia mendadak bungkam, tatapnya sedikit menerawang. Biarkan detik-detik berlalu, sebelum ia akhirnya membalas pelukan Mia dan menepuk-nepuk puncak kepala adiknya.

“Maaf.”

“Itu semua akibat dari diculiknya Phobos, ketidakseimbangan yang dikatakan Athena.” Jungkook menjelaskan seraya ia melongokkan kepala ke luar kapal, mencari-cari. “Semakin lemah Phobos, maka rasa takut di dunia akan menjadi tak stabil. Kurasa itulah yang akan terjadi, sehingga para Olympian memilih untuk mengirim kita dalam misi ini.”

Jungkook sekarang bergerak ke sisi kapal, memanjat turun melalui tangga tali yang ada dan mendarat di pantai. Tangan terulur untuk meraih dua wadah lonjong yang terbuat dari keramik hitam, dengan salah satu ujung yang lebih kecil dan disumbat gabus. Mengocoknya lamat-lamat, selagi sebuah pengetahuan melintas di benaknya.

“Apa itu?”

Menoleh, Jungkook mendapati Mony yang sudah turun dari kapal dan berdiri di sampingnya. Tatap ingin tahu tertuju pada dua wadah kecil di tangan Jungkook, yang dibalas senyuman singkat dari sang lelaki.

“Tempat ini namanya alabastron. Isinya sedikit berbahaya, tapi bisa berguna di saat terpaksa,” balas Jungkook, menepuk pundak Mony sekilas. “Hanya saja, untuk sekarang, tolong rahasiakan dari yang lain, ya?”

Hanya itu yang dikatakan Jungkook, tak memberi Mony pilihan selain mengangguk setuju. Mereka berdua lantas kembali memanjat tangga dan menapaki geladak, menunggu tiga yang lain datang, sementara Jungkook menyelinap ke tempat penyimpanan barang untuk memasukkan dua wadah keramik tadi ke dalam tas rajut miliknya.

Jungkook punya dugaan soal apa yang ada di dalam kedua wadah itu.

Dan ia berharap agar datangnya kedua alabastron itu ke tangannya bukanlah sebuah pertanda buruk.

.

-o-

.

Mereka mulai berlayar ketika senja tiba.

Mia, yang sejak tadi berdiri di dekat kemudi kapal, menyadari bahwa keahlian berlayar merupakan salah satu anugerah Poseidon yang diberikan padanya. Ia cukup memerintahkan air di bawah sana untuk mulai menggerakkan kapal mereka, kemudian membuang pandang ke lautan lepas sambil menentukan arah. Rasanya seperti ada peta dan alat navigasi yang terbentang di depan mata, menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh tanpa perlu bersusah-payah.

“Hei, bagaimana keadaan di sini?”

“Kuharap perkiraanku tidak salah,” balas Mia, menoleh untuk menatap Lily yang baru saja datang membawa dua buah apel dan menyerahkannya satu untuk Mia. “Kalau tidak ada masalah, seharusnya kita bisa sampai dalam tiga atau empat hari.”

Lily mengangguk, menggigit apelnya dan ikut mengamati lautan. “Aku baru saja berpikir untuk mengenalmu lebih dekat, tahu. Mengingat kita akan bersama-sama selama beberapa hari ke depan dan harus melawan berbagai macam hal….” Lily menghela napas, mengedikkan kepala ke pertunjukan rap dadakan yang digelar Hoseok dan Namjoon sementara Taehyung serta Jungkook bersorak heboh. “Kurasa pacarku tergila-gila pada kakakmu.”

“Tolong jangan katakan itu di depan Kak Hoseok.” Mia menggigit apelnya sendiri, memberi jeda sebelum menambahkan, “Mereka berempat tampaknya sudah berteman baik.”

“Yah, kalau kau mau tahu saja, Taehyung punya rekaman penampilan Hoseok dan Namjoon yang ia simpan di komputernya.” Lily tertawa, sementara Taehyung sudah ikut mengambil tongkat pel dan mulai bernyanyi-nyanyi di geladak. “Uh, aku berharap bisa merekam mereka sekarang.”

“Aku bertanya-tanya apa yang terjadi di masa depan saat ini,” Mia berkemam, sedikit iri melihat bagaimana keempat lelaki itu berusaha meramaikan suasana. “Sejak tiba di sini, aku selalu membayangkan yang tidak-tidak. Walau aku berusaha menutupinya….”

“Kau hanya harus percaya pada dirimu sendiri, Mia.” Lily tahu-tahu memotong, maniknya sedikit berbinar penuh arti. “Wow, ternyata anugerah Aphrodite tidak buruk-buruk amat. Sekilas, aku seperti bisa membaca emosimu, tahu. Kau sedang memikirkan seseorang? Kekasihmu?”

Mia hampir saja tersedak potongan apel yang baru saja ia gigit, terbatuk-batuk kecil selagi Lily membantu menepuk punggungnya. Menunggu sampai Mia berhasil menarik napas dan menelan apel tersebut, senyum usil dan penuh rasa ingin tahu muncul di ekspresi wajah Lily.

“Kau bisa mengetahui itu?”

“Kau jelas sedang memikirkan seseorang,” ulang Lily. “Seolah kau merindukannya atau semacam itu?”

“Aku tidak merindukannya,” balas Mia cepat. “Aku hanya khawatir, mengingat kita semua hilang secara tiba-tiba tanpa alasan. Menurutmu, apa yang sedang terjadi di masa depan sekarang?”

Belum sempat Lily memberikan jawabannya, pintu tingkap yang menuju ke dek bawah terbuka. Tampakkan sosok Mony yang sedang menguap lebar dan menggaruk kepala, lantas memberi tatap bingung ke arah Hoseok dan Namjoon yang masih melakukan pertunjukan. Tanpa banyak kata beringsut menjauh, kening berkerut dalam sampai ia akhirnya tiba di samping Lily.

“Mereka sedang apa sih, marah-marah begitu?”

“Itu namanya rap, Mony.” Mia-lah yang menjawab. “Kurasa mereka sedang berusaha melepaskan beban, setelah semua yang terjadi seharian ini….”

“Tadi aku kira aku mendengar suara kakakku,” gumam Mony, duduk menekuk lututnya dan menyandarkan dagu di sana. “Aku rindu rumah.”

“Aku juga mulai merindukan laptopku,” imbuh Lily, berusaha untuk menceriakan suasana selagi ia menepuk-nepuk punggung Mony. “Tapi, kau tidak sendiri di sini, kan? Kita pasti bisa menyelesaikan ini dan pulang bersama-sama.”

Mony mengangguk, kendati ia masih terlihat ragu. Tatap berkelebat ke arah para lelaki yang sekarang sudah berbaring telentang di geladak, sementara Namjoon berjalan menuju mereka untuk berkata, “Mungkin ada baiknya jika kita beristirahat sekarang. Mia, kau berjaga pertama dengan Hoseok. Sama seperti kemarin, tapi kita akan mulai dari urutan akhir.”

“Tentu.” Mia langsung setuju. “Aku juga akan memastikan lagi kalau kita sudah menuju arah yang benar. Kalian beristirahatlah.”

Tidak ada yang menolak, terlebih karena mereka semua sudah menjalani hari yang melelahkan. Semuanya hanya berharap agar mereka bisa melalui malam ini dengan tenang, tanpa kejutan apa-apa, tanpa serangan monster-monster buruk rupa. Lagi pula kapal ini cukup nyaman, dan tidur di dalamnya jelas lebih baik dibandingkan tidur di pelataran terbuka seperti kemarin.

Meninggalkan Hoseok dan Mia di geladak, lima orang lainnya pun lekas turun menuju dek bawah. Desah lega meluncur saat tubuh menyentuh alas tidur yang ada, mata segera terpejam tanpa perlu menunggu lama. Yang ada hanya senyap dan damai, selama sesaat melupakan segala masalah yang mungkin menghadang, sampai….

.

.

“Lepaskan aku! Lepaskan! Jauhkan tangan besarmu dariku dan—AAAAAAARGH!!”

.

.

Lily terbangun dengan sentakan.

Mengedipkan kelopak, ia berharap melihat Jungkook atau Mony membangunkannya, berkata jika gilirannya untuk berjaga sudah tiba. Namun, dalam sekali pandang saja, Lily bisa melihat bahwa dua orang itu belum kembali.

Karena yang membangunkannya barusan adalah teriakan Taehyung.

Mendudukkan diri di atas alas tidurnya, Lily bisa melihat jika Taehyung tengah melakukan hal yang sama. Bedanya, napas lelaki itu terengah-engah. Kening berkeringat, mimik rupa terlihat ngeri dan pucat di tengah remangnya cahaya lilin serta lampu minyak. Taehyung menolehkan kepalanya ke segala arah dengan panik, seolah ia berharap melihat musuh melompat keluar, sampai Lily beringsut mendekat dan meletakkan sebelah tangan di pundaknya.

“Ada apa?”

“Huh?”

“Tae, kau bermimpi buruk?”

Butuh waktu beberapa menit sampai fokus Taehyung kembali pada Lily, yang sekarang tengah memberinya tatap khawatir. Namun, bukannya menjawab, Taehyung malah menarik Lily mendekat dan memeluknya erat-erat. Sukses membuat sang gadis terkejut, tapi ia tak menolak selagi tangannya bergerak mengelus punggung sang lelaki.

“Tidak apa-apa, Tae….” Lily menarik napas. “Setelah semua yang terjadi… wajar jika kau bermimpi buruk.”

Taehyung masih bungkam. Membiarkan detik-detik waktu kembali berlalu, sampai ia akhirnya menarik diri dan mengatakan sesuatu yang tak disangka oleh Lily.

“Kau tahu kan, kalau aku selalu ingin bersama dirimu?”

Tentu saja Lily tahu itu. Anugerah Aphrodite membuatnya lekas menyadari bahwa Taehyung bersungguh-sungguh dengan ungkapannya, bahwa ada sesuatu yang tersimpan di balik pernyataan tadi. Sesuatu yang membangkitkan firasat tak enak, tapi Lily memutuskan untuk tidak mengungkit-ungkitnya dan memaksakan tawa.

“Tentu saja, Tae. Kau tahu kalau aku juga amat menyukaimu.”

Hmm….” Taehyung mendongak, bermaksud mengulurkan tangan untuk menangkup pipi Lily. Tapi, niatnya itu terhalang saat pintu tingkap tahu-tahu terbuka. Menampakkan sosok Jungkook dan Mony yang tampak lelah, tapi tetap bisa tersenyum lebar.

“Keadaan di luar baik-baik saja.” Jungkook memberi kabar, lantas terdiam ketika ia melihat rupa Taehyung. “Kalian tidak apa-apa?”

“Taehyung—”

Yeah, tidak apa,” potong Taehyung cepat, bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menarik Lily. “Sekarang giliran kami, kan?”

Um….”

Jungkook tampak enggan menjawab, terlebih saat ia melihat ekspresi Taehyung yang dipenuhi ngeri. Namun, kawannya itu hanya memasang senyum singkat. Mengajak Lily untuk menaiki tangga menuju geladak, sementara Jungkook mengerutkan kening dan mendadak teringat akan dua wadah keramik yang ia sembunyikan di tas.

“Kookie, kenapa?”

Mony memandanginya, cemas, tapi Jungkook memilih untuk menggeleng. Ikut memasang sikap pura-pura, selagi ia berjalan ke arah alas tidurnya dan merebahkan diri.

“Bukan apa-apa. Selamat tidur, Mony.”

.

-o-

.

Di luar dugaan, mereka melewati dua hari berikutnya tanpa masalah.

Namjoon sudah mulai berharap bahwa mereka bisa tiba di Pulau Delos tanpa halangan, meskipun satu suara di dalam hati kecilnya makin lama meneriakkan kata-kata yang makin pesimis. Rasanya aneh melewati hari tanpa ada penampakan atau serangan dari monster mana pun, terlebih mengingat betapa gilanya hari pertama mereka di tempat ini. Seolah hal buruk yang seharusnya mereka alami memilih untuk bersembunyi, mengendap-endap dan bersiap—

“Ah, tidak, tidak!” Namjoon menoyor kepalanya sendiri. “Jangan berpikir yang tidak-tidak, Kim Namjoon!”

“Berpikir apa?”

Man!” Namjoon, yang tadi sedang mengamati lautan dan berdiri di samping kemudi kapal, terlonjak. Sukses membuat pinggangnya terbentur roda kemudi, memaki-maki selagi ia memicing ke arah Hoseok dan Mia yang baru tiba. “Jangan muncul tiba-tiba begi—”

.

.

JDEEEEER!!

.

.

Protes Namjoon terpotong, bersamaan dengan petir yang menyambar dan membuatnya—serta Hoseok dan Mia—kompak terlonjak kaget. Tatap sontak tertuju pada langit, pada awan kelam yang bergulung menghampiri dan rintik hujan yang mulai turun.

“Bukankah tadi….” Hoseok menoleh ke belakang, berharap melihat cuaca cerah serta perairan tenang yang baru saja mereka tinggalkan. Tapi, apa yang dilihatnya sukses membuat Hoseok menelan saliva dan memucat. Bahkan di belakang mereka pun, hanya ada pusaran awan kelam yang tertangkap netra.

Kapal mereka kini berlayar di tengah kegelapan, terombang-ambing ombak yang ganas. Hoseok bisa melihat bagaimana Mia berpegangan pada kemudi kapal, berusaha mengendalikannya sementara kening berkerut penuh konsentrasi.

“Apa yang terjadi?!”

Jungkook, Mony, Lily, dan Taehyung lekas mendekat, berusaha mempertahankan keseimbangan di kapal yang bergolak. Pakaian basah kuyup akibat hujan yang makin deras, merasa perlu berbuat sesuatu tapi tak yakin harus bagaimana. Bahkan Jungkook yang biasanya memberi mereka pencerahan pun terlihat bingung, sementara Namjoon mendongakkan kepalanya ke langit, memicingkan mata sejemang, dan mengeluarkan gerutuan.

“Ada yang aneh di sini!!” Namjoon berteriak, berusaha mengalahkan suara badai dan menarik perhatian yang lain. “Zeus adalah dewa langit, kan?! Jadi, kenapa aku tidak bisa mengendalikan angin ini?!”

“Apa??”

“Kubilang, aku tidak bisa mengendalikan—AWAS!!”

Semua langsung menunduk, tepat saat petir kembali menyambar dan ombak tinggi datang menghantam geladak kapal. Seketika menghadirkan kepanikan—Jungkook menyambar Mony yang hampir terpeleset, Taehyung memegangi Lily, Namjoon berpelukan erat dengan Hoseok, sementara Mia menyerukan permintaan maaf.

“Aku tidak bisa mengendalikan airnya!” jerit Mia, kali ini berhasil didengar yang lain. “Perairan ini sama sekali tak bisa dikontrol!”

“Sudah kubilang tempat ini aneh!!” Namjoon mengimbuhkan, menatap tajam ke arah langit berawan. “Sejak tadi aku mencoba, tapi—OMBAK!!”

Mereka menunduk untuk kali kedua, gemetaran di tengah badai. Ketegangan terlihat jelas, sampai Jungkook menunjuk pintu tingkap dan mengambil keputusan.

“Semuanya, masuk ke dalam! Itu pilihan terbaik kita!!”

Tak ada yang membantah. Mengingat kekuatan Namjoon dan Mia—yang mana merupakan anugerah dua dewa Olympian terkuat—tak dapat berfungsi, maka berlindung adalah kesempatan terbaik mereka untuk tetap hidup.

“Hati-hati!!”

Butuh bermenit-menit bagi ketujuhnya untuk mencapai pintu tingkap dan masuk ke dek bawah, saling berpegangan erat sembari memanjatkan doa ke dewa mana pun yang sekiranya bisa membantu. Jungkook adalah orang terakhir yang masuk, membanting pintu tingkap hingga menutup dan mengganjalnya agar tak mudah terbuka.

“Sekarang kita hanya bisa menunggu,” gumam Jungkook, menyibakkan rambutnya yang basah dan memandang enam orang lainnya. “Seperti kata Namjoon dan Mia, badai ini mustahil dikontrol.”

“Apa para dewa berusaha membunuh kita?!”

“Olympian bukan satu-satunya dewa.” Jungkook menggeleng untuk menjawab pertanyaan Namjoon, meraih salah satu selimut dan berjalan ke arah Mony yang menggigil. Entah kenapa, sejak awal perjalanan, Jungkook merasa perlu melindungi teman sekelasnya saat SMA itu. Menyampirkannya di bahu sang gadis, Jungkook memastikan bahwa Mony tak sedang menangis sebelum melanjutkan, “Dugaanku, perairan ini berada di luar kuasa dewa-dewi Olympian.”

“D… di luar k-kuasa?” Mia mengulang, giginya bergemeletuk sementara Hoseok meniru aksi Jungkook. Membungkus tubuh adiknya dalam selimut tebal, lantas menariknya dalam rangkulan. “A-apa maksudmu?”

“Dewa-dewi terdahulu, monster-monster yang lebih kuno,” balas Jungkook, sekarang menyelimuti dirinya sendiri. “Mereka masih ada, tidak berkuasa tapi juga tak bisa mati. Dan ini….”

“Bisa jadi ini perbuatan mereka,” ucap Taehyung membentuk konklusi, kini sudah duduk di lantai dek bersebelahan dengan Lily. “Kalau begitu, kita menunggu.”

“Kita menunggu.” Jungkook membenarkan, mengajak Mony untuk duduk di samping Lily. Tak ada lagi yang berkata-kata setelah itu, semua terlalu lelah dan kedinginan untuk memikirkan jalan keluar. Mereka hanya berkerumun dalam lingkaran, tubuh terbalut berlapis-lapis selimut, berusaha mencari kehangatan di tengah suasana yang ada.

Butuh waktu berjam-jam—mungkin malah semalaman—sampai badai yang membentur-bentur badan kapal akhirnya reda. Mereka semua terbangun dalam keadaan bingung, saling menatap satu sama lain, sampai akhirnya ingat bahwa suara petir, hujan deras, serta derit kayu kapal seharusnya terdengar di latar belakang. Namun, semua itu sudah lenyap.

“Kita… kita belum mati, kan?” Taehyung-lah yang pertama bertanya dengan suara serak, memaksakan kekeh tawa suram. “Hm, sepertinya badanku masih cukup padat.”

Lily menyenggol kekasihnya itu dan memutar bola mata, selagi Jungkook memberanikan diri untuk membuka pintu tingkap. Detik itu juga, sinar matahari menerobos masuk hingga menyilaukan pandangan. Bukti bahwa badai benar-benar sudah berlalu, dan mereka bertujuh berhasil melewatinya tanpa hancur menjadi kepingan-kepingan puzzle.

Jungkook—sebagai orang pertama yang memanjat keluar—mengeluarkan siulan nyaring dari atas sana.

“Semua baik-baik saja?”

“Sebagian besar dari kapal masih utuh, jadi kurasa kita cukup beruntung.” Jungkook membalas, mengisyaratkan yang lain untuk ikut naik. “Itu kabar baiknya.”

“Kabar baiknya?” Suara Hoseok terdengar melengking, kaki berhenti di tengah tangga yang sedang ia panjat. “Jadi ada kabar buruk?”

Well…

Jungkook menanti sampai semua memanjat ke geladak, sebelum memberikan jawabannya dengan cara mengarahkan telunjuk ke pemandangan di depan mata. Pada hamparan pasir, bebatuan tinggi, serta pepohonan yang tumbuh membentuk hutan—sebuah pulau entah apa yang tampaknya menjadi tempat pendaratan darurat bagi kapal mereka.

“Sepertinya, badai itu telah membuat kita terdampar di sini.”

.

-o-

.

“Pulau Cythera. Kita berlayar terlalu ke selatan, cukup jauh dari pulau Delos.”

Mia, yang sudah kembali mendapatkan kemampuan navigasinya, berdiri di pantai Pulau Cythera. Melempar pandang ke lautan biru yang sekarang tampak tenang, sementara ia membaca posisi mereka dan berakhir dengan mengembuskan napas panjang. Rencana pelayaran empat harinya sudah rusak, semua gara-gara badai dan ombak yang tak mampu ia kendalikan.

“Bukan salahmu,” ujar Hoseok langsung, mengusap kepala adiknya dengan lembut. “Hei, kau juga dengar apa kata Jungkook, kan.”

“Aku tahu, tapi—“

“Ayo kita berfokus untuk membetulkan kapal lebih dulu.” Namjoon mengusulkan, berusaha mengusir kemuraman. “Jungkook, Mony, bagaimana keadaan di sana?”

“Aku menemukan beberapa potong kayu dan perkakas di ruang penyimpanan,” jelas Jungkook dari atas kapal, menemani Mony yang sedang memeriksa tiang. “Sejauh ini, kita hanya perlu memasang beberapa bagian yang terlepas, mengencangkan tali-tali, mengganti layar—kita harus mengorbankan salah satu kain selimut setelah mengeringkannya—lalu….”

“Tiang layar yang itu perlu diganti,” Mony menambahkan, menunjuk satu tiang yang untungnya berukuran cukup kecil. “Sebentar lagi patah, lebih baik kita menggantinya sebelum terlambat.”

“Oke.” Jungkook langsung mengiakan, mengulas senyum bangga ke arah Mony. “Kita bisa mengambil salah satu kayu dari hutan itu. Aku akan membantumu. Anugerah Athena tampaknya juga dapat digunakan untuk hal-hal semacam membantu membetulkan kapal.”

“Kalau begitu, kami akan mencari kayu yang dibutuhkan. Mungkin juga buah-buahan segar kalau beruntung, karena satu-satunya makanan yang tahan lama di kapal adalah roti.” Namjoon memutuskan. “Kalian berdua tetaplah di sini, tidak apa-apa, kan?”

“Tak masalah, kami akan mulai membetulkan.” Jungkook mengacungkan jempol, menghampiri Mony yang sekarang sedang mengurai tali layar. “Hati-hati di dalam sana, oke?”

Namjoon menoleh ke arah empat orang lainnya, yang sudah siap dengan beberapa perkakas dan senjata masing-masing, lantas mengedikkan kepala ke arah hutan. “Kita masuk ke sana sekarang?”

“Kita tidak akan berpencar, kan?” Taehyung buru-buru bertanya, tampak was-was. “Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana….”

“Kita akan tetap bersama.” Namjoon berusaha menenangkan, mengeratkan genggaman pada pisau penebang kayu yang ia bawa. “Cari kayu dan apa pun yang bisa dimakan, lalu kita kembali secepat mungkin. Aku juga tidak menyukai ini, tapi….” Satu helaan napas. “…ini satu-satunya cara untuk kembali berlayar.”

“Sialnya, kau benar.” Hoseok mengeluarkan desah panjang, memasang satu anak panah di busurnya untuk berjaga-jaga. “Baiklah, kau jalan duluan, Kim Namjoon.”

Yang diminta sontak mendelik, tapi tak punya pilihan lain karena Hoseok dan Mia sudah kompak mendorongnya agar berjalan di depan. Mau tak mau terpaksa menggerakkan tungkai, sementara keempat orang lainnya berbaris di belakang. Setapak demi setapak memasuki hutan, melompati akar-akar yang merintang, serta mengamati tiap semak atau tumbuhan untuk mencari buah segar.

Tempat itu tak sepenuhnya mengerikan—terima kasih karena jalinan pepohonan yang ada ternyata tidak begitu rapat. Setidaknya sinar matahari masih bisa menerobos masuk, sementara beberapa ekor burung beterbangan dan hewan-hewan kecil menyembulkan kepala. Pulau ini tidak sepenuhnya buruk, setidaknya untuk ukuran pulau yang ditemukan secara tak sengaja lantaran insiden terdamparnya kapal mereka.

“Kayu ini bisa kita gunakan,” ujar Namjoon setelah mereka berjalan cukup jauh, berhenti di hadapan sebuah pohon yang berbentuk ramping tapi kokoh. Kayunya tak terlalu besar dan tak terlalu kecil, permukaannya lumayan halus untuk digunakan sebagai pengganti tiang kapal. “Bagaimana menurut kalian?”

“Ayo kita tebang.” Taehyung berjalan maju, menyiapkan kapak yang ia bawa. “Lebih cepat lebih baik.”

Taehyung mulai mengayunkan kapaknya, bergantian dengan Namjoon yang menggunakan pisau penebang kayu. Selama beberapa menit tak saling bertukar kata, keringat bercucuran selagi mereka berkonsentrasi pada tugas di tangan.

Di sisi lain, Mia, Lily, dan Hoseok memutuskan untuk memeriksa tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Banyak yang tak mereka kenal—yah, tak ada yang mendapat anugerah untuk mengenali jenis tanaman, kan?—tapi setidaknya Mia berhasil menemukan semak yang ditumbuhi buah beri bulat keunguan dan langsung bergerak memungutinya.

“Kau yakin kalau itu tidak beracun, bukan?” Lily berlutut di sampingnya, meraih satu, dan mengendus aromanya. “Kurasa tidak, baunya seperti blueberry.

“Aku sudah memakannya satu tadi,” balas Mia, setuju jika mereka baru saja menemukan blueberry. “Kurasa, kunjunganku ke perkebunan buah beberapa bulan lalu ada gunanya juga.”

“Sebenarnya aku berharap menemukan apel.” Lily memasukkan satu butir blueberry ke dalam mulutnya, menyesap perpaduan manis dan asam yang ada. “Tapi, bukan berarti aku menolak buah beri gratis.”

Mereka bertukar tawa, memetik makin banyak blueberry dan memasukkannya ke dalam tas rajut Mia. Memanen sampai tas itu setengah penuh, tepat ketika Hoseok mengeluarkan pekikan kecil dan mengarahkan jarinya ke satu sosok yang bergerak di kejauhan.

“Kenapa?”

“Kalian harus tahu apa yang baru saja kulihat!” Hoseok membalikkan badannya penuh semangat, menatap keempat kawannya yang sudah waspada. “Bukan, bukan monster. Aku baru saja melihat seekor domba, dan aku bermaksud untuk memburunya! Daging panggang kedengarannya—“

.

.

“AKU MENCIUM BAU MANUSIA DI PULAU INI!!”

.

.

“Kedengarannya tidak menyenangkan.” Namjoon langsung menarik pisaunya menjauh dari batang pohon, melangkah mundur dan mengisyaratkan yang lain untuk mendekat ke arahnya. Spontan melupakan pekerjaan yang tengah dilakukan, senjata siap di tangan masing-masing, bersamaan dengan suara gema langkah yang berdebam dan menggetarkan tanah.

“A-apa itu…?” Lily menarik chiton Taehyung, tapi tak mendapat balasan. Lelaki di sampingnya tampak begitu tegang, mata membelalak, selagi kepalanya terdongak ke atas. Membuat Lily mau tak mau mengikuti arah pandangnya, jeritan keluar tepat saat ia melihat makhluk raksasa yang tingginya melebihi pohon itu ada di depan mata.

“B-bagaimana….”

Cyclops,” bisik Namjoon, mengenali makhluk raksasa yang tampak seperti manusia kelebihan otot tersebut. Monster itu memiliki perut buncit, mengenakan sepotong kain kumal sebagai celana, dan mempunyai satu mata berukuran besar di tengah wajahnya. Tingginya kurang lebih sepuluh meter, lebih tinggi dari pohon-pohon yang tumbuh di pulau. Sepintas ia tampak konyol, dan Namjoon merasa jika kebetulan ini makin konyol lagi karena ia hanya pernah melihat makhluk macam itu sebelumnya di dalam film.

“Apa yang harus kita—“

.

.

“AKU BISA MELIHAT KALIAN, MANUSIA!”

.

.

Cyclops itu sekonyong-konyong bergerak maju, mengayunkan tongkat hingga menghancurkan batang-batang pohon yang ada. Kendati demikian, tak ada satu pun dari mereka yang berani bergerak atau berpikir untuk berlari. Mereka tidak mungkin membawa raksasa mengerikan ini ke hadapan Mony dan Jungkook, kemudian membiarkannya untuk menghancurkan kapal dalam sekali hantam. Kalau itu sampai terjadi, maka mereka akan terjebak di sini selamanya.

“Kita harus membunuhnya,” bisik Mia, menyiapkan anak panahnya dan siap menarik busur. “Namjoon—“

“Menyebar dan jangan sampai terinjak!”

Bersamaan dengan teriakan itu, si cyclops menundukkan tubuh dan membuat gerakan menyambar. Namjoon sendiri langsung melompat ke kiri setelah memberikan perintah, bersiaga. Pun dengan Hoseok dan Mia yang dengan sigap berhasil berlari mundur, lantas mulai menembakkan anak-anak panah. Namun…

“Taehyung!!”

“Lepaskan aku! Lepaskan! Jauhkan tangan besarmu dariku!!”

Teriakan Lily dan Taehyung berbaur menjadi satu—sang gadis berdiri memegang belati dan tampak tak berdaya; Taehyung berada di cengkeraman si monster dan sibuk meronta-ronta. Geraman puas cyclops sekarang terdengar menggema, sementara Taehyung berusaha menusukkan pedangnya ke tangan si raksasa—walau tanpa hasil.

“Taehyung!”

Lily masih berteriak, hampir saja berlari mendekati si cyclops yang sekarang terbahak jika ia tidak ditahan Mia dan Hoseok. Sisakan Namjoon yang sedang berpikir, mengingat-ingat apa pun yang kiranya bisa membantu. Ia bukan Jungkook yang telah diberi anugerah segudang pengetahuan, dan satu-satunya referensi mengenai cyclops adalah film yang pernah ia lihat bertahun lalu.

Ayo berpikir, Kim Namjoon! Ayo!

“NAH, MANUSIA MANA YANG HARUS KUTANGKAP SELANJUTNYA?”

“Jauhkan tangan kotormu dari teman-temanku, monster busuk!!”

Ayo pikir, ayo pikir, ayo—

“ATAU AKU HARUS MEMAKANMU MENTAH-MENTAH?”

“Namjoon!!”

“Aku sedang berpikir, aku….”

“Anak-anak panah ini tidak mempan, Namjoon!”

“TENTU SAJA TIDAK, MANUSIA BODOH! KULITKU TIDAK AKAN TERLUKA SEMUDAH ITU, HAHAHAHA!! NAH, SEKARANG—”

Itu dia!!

“Zeus, datangkan petir untukku!”

Di tengah keputusasaan, satu rencana itu menelusup masuk ke benak Namjoon. Mendorongnya untuk berlari mendekat, memanjat bebatuan, seraya ia memanggil petir dan memfokuskan segala amarahnya pada mata besar milik si cyclops. Itulah yang dilakukan si pahlawan dalam film yang ditonton Namjoon, membuat cyclops yang ia lawan buta sehingga perhatiannya lebih mudah teralihkan.

Detik berikutnya, petir pun menyambar sesuai kehendak Namjoon. Mengenai cyclops berbau busuk itu tepat di mata, membuatnya mengeluarkan raungan selagi Namjoon meloncat turun dan menyambar Hoseok.

“Terbanglah denganku.”

“Apa?! Kau gila?!”

“Aku tidak akan menjatuhkanmu,” ucap Namjoon cepat, kali ini memanggil angin yang langsung membentuk bola dan melingkupi tubuh keduanya. Perlahan-lahan membawa mereka naik, mendekati si cyclops yang masih meraung dan menginjak-injak pepohonan.

“Namjoon, kurasa kau perlu tahu jika lututku saat ini bergetar hebat dan aku mungkin pingsan dan—“

“Satu panah saja,” bujuk Namjoon, tanpa berpikir merengkuh pinggang Hoseok dan memeganginya erat-erat. “Buat panahmu menjadi beracun, lalu tembakkan panah itu ke mata si cyclops. Anugerah Apollo, ingat?”

Hoseok menggerutu. “Aku tidak tahu apakah menghilangnya Phobos membuatku jadi nekat dan mau menyetujuimu, tapi—“ Ia memegang anak panah di tangannya erat-erat, mengalirkan kekuatan Apollo hingga mata panahnya berubah kehijauan. “—jangan jatuhkan aku, paham?”

Namjoon mengangguk, membiarkan Hoseok memasang panah itu pada busur dan mengarahkannya pada mata besar si cyclops. Dalam waktu beberapa detik saja membiarkan panah itu meluncur, menancap tepat pada sasaran diiringi jeritan serta geraman lain.

“Racun apa yang ada di sana?”

“Entah, racun pembuat kelilipan mungkin?” Hoseok menjawab asal, masih kesal karena Namjoon tak lekas menurunkannya. Baru ketika keduanya akhirnya menjejak tanah, atensi mereka beralih pada si cyclops yang masih meraung-raung. Sebelah tangan yang memegang Taehyung bergerak naik-turun, membuat Namjoon seketika sadar bahwa mereka belum memecahkan semua masalah.

“Sekarang apa?” Lily berseru panik, dengan cemas mengamati Taehyung yang masih berada di luar jangkauan. “Ia tidak bisa melihat, tapi kalau ia sampai menjatuhkan Taehyung—“

“Aku akan ke atas sana dan menolongnya,” ucap Namjoon setelah berpikir cepat, tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. “Kalian, alihkan terus perhatiannya, oke?”

Namjoon langsung bersiap memanggil angin, membiarkan Hoseok dan Mia melanjutkan penyerangan mereka dengan panah. Tapi, belum sempat bola angin tersebut datang, tanah di bawah kakinya kembali bergetar dan merekah.

“Apa lagi yang—“

“Kubilang, turunkan aku!!”

Disertai teriakan Taehyung tersebut, tengkorak-tengkorak manusia muncul dari bawah permukaan tanah. Menyeruak dan mencari jalan ke permukaan, sebelum akhirnya menyusun diri dan mengangkat pedang mereka masing-masing. Beberapa malah membawa tali yang berasal dari akar pepohonan, aura kegelapan begitu pekat seraya pasukan tengkorak tersebut bergerak dan menyerang si cyclops. Memanjat, menusuk, mengikatnya dengan tali, dan segala macam lainnya.

“Dari mana…”

“Kekuatan Hades.” Lily-lah yang mengeluarkan suara, menjawab tanya yang lain. “Taehyung mendapat anugerah Hades, kan?”

Seolah mendengar teriakan Taehyung serta keputusasaan mereka, para tengkorak itu makin bersemangat menyerang. Dengan cepat mengikat tubuh si cyclops yang sekarang meronta-ronta, mengencangkan tali, dan bersiap membuatnya tumbang. Semuanya terjadi amat cepat, dan Namjoon baru saja berhasil memanggil bola anginnya untuk kali kedua tepat ketika….

“Lepaskan! Lepaskan aku atau—“

.

.

BRAAAKK!!!

 .

.

Dan senyap pun menerobos ke area tempat mereka berada.

Kengerian menyebar, napas-napas tertahan.

Tak ada yang bergerak, membiarkan waktu berdetak, sampai….

.

.

“KIM TAEHYUNG!!!”

.

.

Lily-lah yang pertama bereaksi, berlari maju tepat saat si cyclops tumbang. Tubuh besar itu terempas jatuh dan membawa gelombang energi yang begitu besar, sukses mendorong mundur Namjoon yang sedang berusaha terbang mendekat. Lelaki itu terpaksa merelakan tubuhnya menghantam batang pohon terdekat, kekuatan anginnya sempat menjadi bantalan sejenak sebelum lesap. Tetapi Taehyung…..

“TIDAK, TIDAK!! KIM TAEHYUNG, JAWAB AKU!”

Rupanya, cyclops tersebut masih membawa Taehyung dalam genggamannya ketika ia terjatuh. Sesuatu yang berakibat fatal, lantaran kepalan tangannya mendarat tepat di atas bebatuan tajam yang menonjol. Hantaman pada kepala dan tubuh sang lelaki pun tak dapat dihindari, sampai kepalan si cyclops akhirnya terbuka dan sosok Taehyung terjatuh dari bebatuan ke dataran yang lebih rendah.

Berlari mendekat, kesiap serta isakan Lily terdengar begitu pilu di tengah hutan. Di sana, di depan kedua matanya sendiri, Lily bisa melihat bagaimana kepala kekasihnya dipenuhi darah yang masih mengucur. Bagaimana luka-luka tampak di sekujur tubuhnya, kelopak mata hanya menggeletar sedikit tak peduli berapa kali pun Lily mengguncangkan tubuhnya.

“Taehyung! Kim Taehyung, ini tidak lucu!!”

Masih tak ada jawaban.

“Taehyung—“

“Lily, c-coba… coba berikan ini.”

Mia kini berada di sisinya, mengulurkan sepotong makanan yang Lily kenali sebagai ambrosia—makanan para dewa yang memiliki khasiat menyembuhkan. Dengan cemas ikut menunduk di atas tubuh Taehyung, membiarkan kakak lelakinya mengurus Namjoon yang tak terluka terlalu parah. Ambrosia itu sekarang sudah berada di tangan Lily, yang sedang berusaha menyuapkannya pada Taehyung dan…

Uhuk!”

“Taehyung!!”

Tangan Lily dipenuhi darah yang tersembur dari mulut Taehyung, tapi ia tak peduli. Sembari menggumamkan kata-kata bernada menenangkan, ia berusaha menyuapkan ambrosia itu pada sang lelaki. Usaha yang pada akhirnya ditampik, lantaran Taehyung terus-menerus memuntahkan darah dan berakhir memberikan gelengan lemah untuk Lily.

“M-maaf….”

.

.

Dan kemudian, dada Taehyung pun berhenti bergerak.

.

tbc.

.

.

dictionary

  • Zeus: Dewa langit dan petir, pemimpin dari para dewa Olympian.
  • Hera: Dewi pernikahan, pengorbanan, dan kesetiaan.
  • Poseidon: Dewa penguasa seluruh lautan.
  • Demeter: Dewi pertanian dan kesuburan bumi.
  • Athena: Dewi kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, strategi, dan perang.
  • Apollo: Dewa musik, pengobatan, matahari, puisi, dan ramalan.
  • Artemis: Dewi kemurnian, perburuan, bulan, sekaligus pecinta alam.
  • Ares: Dewa peperangan, kekerasan, kekuatan, dan pertumpahan darah.
  • Aphrodite: Dewi cinta, kecantikan, dan hawa nafsu.
  • Hephaestus: Dewa api, penempa besi, dan perajin senjata.
  • Hermes: Dewa pembawa pesan, perdagangan, dan perjalanan.
  • Dionysus: Dewa anggur (wine) dan pesta.
  • Hades: Dewa penguasa Dunia Bawah.
  • Nemesis: Dewi pembalasan dendam dan keseimbangan.
  • Zelos: Dewa kecemburuan dan dedikasi.
  • Phobos: Dewa rasa takut, saudara dari Deimos (dewa kepanikan).
  • Titanomachy: Perang antara Titan (dewa-dewi generasi pertama) dengan dewa-dewi Olympus.
  • Perang Raksasa: Terjadi setelah Titanomachy, merupakan perang antara para dewa-dewi Olympus dengan para raksasa.
  • Olympus: Gunung tempat istana para dua belas Olympian berdiri dan tinggal.
  • Oracle of Delphi: Roh ramalan yang melayani Apollo, sang dewa ramalan.
  • Lira: Alat musik serupa harpa, tapi berukuran lebih kecil.
  • Drachma: Koin yang digunakan pada zaman Yunani Kuno.
  • Chiton: Pakaian khas Yunani Kuno yang terbuat dari kain linen, dijahit pada bagian pundak dan sisi tubuh. Chiton untuk pria lebih pendek dibandingkan kaum wanitanya.
  • Himation: Jubah yang dikenakan di atas chiton, biasanya disematkan di bagian pundak dengan pin atau bros.
  • Ambrosia: Makanan para dewa dan dewi.
  • Pegasus: Kuda bersayap dalam mitologi Yunani. (jamak: pegasi)
  • Harpy: Monster wanita bertubuh dan berwajah manusia, tapi memiliki sayap dan kaki seekor burung. (jamak: harpies)
  • Delos Island: Pulau tempat Leto (ibu Artemis dan Apollo) melahirkan keduanya. Pulau ini adalah tempat sakral bagi Apollo dan Artemis.
  • Gorgons: monster wanita yang memiliki rambut terbuat dari ular. Gorgons bersaudara sendiri terdiri dari tiga wanita: Medusa, Euryale, dan Stheno. Beberapa kisah mengatakan bahwa tatapan Euryale dan Stheno tidak bisa membekukan manusia menjadi batu; tidak seperti tatapan Medusa.
  • Alabastron: wadah yang terbuat dari keramik pada zaman Yunani Kuno dan digunakan untuk menyimpan berbagai macam cairan.
  • Cyclops: monster raksasa bermata satu dalam mitologi Yunani.

.

.

sorry for the late night post, guys.

I had a really rough and shitty days tbh, but since I’ve already said that I’ll publish this fic once a week… well, anyway, I hope you enjoy this chapter! Don’t forget to leave some review, and I’ll see you next week (hopefully).

And sorry for not being able to reply last chapter’s comments yet, will do it tomorrow, okay? ^^

 

16 pemikiran pada “[Chapter 3] Quest for Seven: Lost and Stranded

  1. Hya hya hyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
    Udah sekian hari gamain di sini dan aku baru tahu kalo Kak Amer udah update ff ini lagi :”)))))

    KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
    Duh aku kayanya kebanyakan teriak sih ini di kamar astaga ^^;; maafkan aku teman-teman satu kosan tapi ini————-AKU BUTUH INI DIJADIIN FILM ASTAGAAAAAAAAAAAAAAAAAA
    Mana di akhir malah jadi marah-marah gara-gara Taetae terluka dengan amat sangat parah dan membahayakan nyawanya yang entah kenapa aku rasa gakkan segera diakhiri oleh Kak Amer di chapter ini (GABOLEH BERAKHIR DISINI POKOKNYA! TAETAE GABOLEH MATI DI SINI!!!)

    HUEEEE
    Pokoknya aku akan setia nunggu ff ini Kak :”))))))
    Keep writing Kak Amer~~~~~

    Suka

    • hehe iyaaaa diusahakan update seminggu sekali sih kalau lebih ya semoga lebihnya dikit aja :”

      ASTAGA APA YANG DIJADIIN FILM INI CUMA FF TIDAK JELAS KARENA AUTHORNYA KEBANYAKAN BACA PJO SERIES ASTAGAAAA ;;_;;
      jangan marah-marah dong, biarkan taetae pergi dengan tenang setelah terluka /eh/

      yep, makasih yaaa sudah membaca! Oh ya, dan untuk kelanjutannya nanti bisa dicek di https://thefallenpetals.wordpress.com/ silakan berkunjung kalau berkenan ^^ terima kasiiih~ ❤

      Suka

  2. Taehyung, ga lucu demi apa pun bener kata Lily. Ini gak lucu, Tae!
    Pokoknya Taehyung ga boleh matiiii….! Ini masih chapter awal, OMG!

    Kak Amer, aku deg2an bgt tau Kak bacanya. Terus makin ke sini makin ga kerasa aja, tau2 tbc. Terus aku rada2 merinding gitu baca yg manusia uler, iiih…
    Ditunggu next chapternya Kak.
    Taehyung ga akan mati kaaan?
    ;(

    Suka

  3. GA GA GA TAEHYUNG GA BOLEH MATI GAMAO TAU.. MASIH CHP AWAL MASAK UDAH ADA YANG MATI HUHU /HIKS/
    Maapkeun capslocknya eror gini kak /.\ Tapi beneran ini ga lucu, ga, tae ga boleh mati dulu ㅠㅠㅠㅠㅠ
    Makin kesini…makin ga kerasa bacanya… Keenakan baca sampe ga nyadar udh tbc dan… Okay, masih ga mau terima kenyataan ini /nangis gelundungan/
    Fix ya, aku dpt baca komen kak yein, and ternyata obatnya alabastron kan? Hmz, kenapa ga kepikiran… Biasa anak kecil selalu ga nyampe pikiran nya kesana /pfft/
    Sip, sampai ketemu next week, kak!

    Suka

  4. Kak Amer ff’s sider-desu.
    Belum berniat untuk review gara-gara mau ngaku dari dulu sudah baca banyak ff Kak Amer dari zaman baheula dan sudah jadi writer favorit versi saya wkw
    Aslinya juga ga tau mau review gimana, soalnya pembawaannya selalu mulus tanpa bikin bingung, sih.
    Ampun ya kak :v

    Suka

  5. TAETAE OBATIN PAKE ALABASTRON ITU CEPETAAAAANN!!! OEMJI KENAPA BERSAMBUNGNYA BEGITU SIH?? WAEEEEE???

    Alabastron itu obatnya kan mer? Ya bener kan??? Ga mungkin taetae mati 😭😭😭

    My baby mony, sabar ya. Nanti pulang ko, ketemu kak ucin lagi ya > <
    Kookie kudu jagain mony terus. Awas kalo ada apa2 😠

    Suka

Leave a Review