[Chapter 2] The Dark Wings: New Dimension

img_9485

The Dark Wings

[Chapter 2]

New Dimension

by ayshry

Kim Taehyung or Louis Kynse Archelaus | Baek Juho as Lachlan Gent Leviathan | Ko Shinwon as Earl Rehuel Beelzebub | Kim Hyojong as Owen Jarl Asmodeus | Kim Seokjin as Carl Hansel Beelzebub

 genres AU!, Fantasy, Adventure | length 4.0k words | rating PG-15

Prev:

Prolog & Introduction, Chapter 1

.

.

Karena hidup telah memiliki takdir yang mengatur ‘segalanya’.

***

Derap langkah terburu-buru memenuhi lorong panjang dengan dinding serba putih yang memancarkan bau karbol yang sangat khas. Mendorong brankar yang berisi seorang pemuda tak sadarkan diri, para tenaga medis itu tak mampu meredam keributan ketika mereka memasuki salah satu ruangan yang berada di sana. Salah satu dari mereka meneriaki kata-kata yang hanya dipahami oleh orang-orang medis; membuat Reyn yang menjadi satu-satunya orang awam di sana semakin kebingungan.

Keadaan semakin gaduh ketika seseorang berjas putih panjang mendekat; memeriksa tubuh si pasien yang masih tak kunjung kembali ke alam sadarnya lalu menyebutkan beberapa hal yang masih tak dipahami oleh Reyn. Gadis itu bergeming ketika tubuh Taehyung dipindahkan ke ranjang pasien lalu beberapa alat medis—yang tak ia ketahui kegunaannya—mulai dipasang di tubuh sang pemuda. Tanpa sadar, gadis itu menangis. Ia tahu, keadaan benar-benar buruk. Reyn tak sepenuhnya memahami, tetapi ia pernah melihat hal serupa di televisi—pada beberapa drama dengan tema medis—yang membuatnya sedikit-banyak mengetahui kondisi yang tengah terjadi kini.

Alat bantu pernapasan dipasang. Sebuah layar kecil dengan beberapa garis asing terekam indera penglihatannya. Untuk yang satu itu, Reyn tahu benar fungsinya—meski ia tak tahu bagaimana cara membaca beberapa rentetan huruf yang tertera—namun suara yang dihasilkan benda tersebut cukup memekakan telinga dan cukup membuat Reyn cemas.

ARREST!”

Teriakan tersebut terdengar bersamaan dengan bunyi melengking yang dihasilkan layar kecil yang berada di dekat ranjang Taehyung, lalu seseorang tiba-tiba naik ke ranjang dan mulai melakukan hal yang membuat Reyn benar-benar kalap. Ia beranjak dari tempatnya berdiri, menerobos para medis yang masih bekerja lalu meneriakkan nama Taehyung berkali-kali. Beberapa orang sempat menahannya namun entah mendapat kekuatan dari mana, Reyn bisa melepaskan diri dan meraih tangan Taehyung yang terasa beku.

Reyn menangis. Semakin kuat ketika seseorang kembali menarik tubuhnya untuk menjauh. Lalu sebuah tepukan di pundak membuatnya berpaling cepat. Penampakan seorang pemuda beriris biru membuat Reyn kehilangan kekuatannya saat itu juga. Ia terkulai, namun tak sampai tubuhnya menyatu dengan lantai lantaran tangan si pemuda terlebih dahulu menangkapnya.

Reyn ingat jika tadi ia sempat menghubungi Seokjin ketika ambulans baru saja tiba dan akan membawa Taehyung menuju rumah sakit terdekat. Syukurlah pemuda itu tiba lebih cepat dari perkiraannya, mengingat bahwa jarak rumah mereka dengan rumah sakit tidaklah dekat, ditambah lagi jalanan yang macet pada jam-jam sibuk seperti sekarang.

“Kau baik-baik saja?” Suara lembut menguar, membuat Reyn semakin kuat terisak. “Tenangkan dirimu, Taehyung akan baik-baik saja.”

“Tapi … Taehyung, dia …. Kak Seokjin, apa yang akan terjadi pada Taehyung?” Mencoba berucap meski isakan mendominasi, Reyn sepertinya merasa bersalah lantaran menjadi penyebab dari ketidaksadaran Taehyung yang membuat pemuda itu berakhir di ranjang rumah sakit dengan berbagai alat yang menghiasi tubuhnya. “Aku … aku tak tahu, tapi dia menjadi seperti itu karenaku …. Aku yang membuatnya—“

“Hei, hei, tidak apa-apa, kau tak perlu menyalahkan dirimu, Rey. Taehyung akan baik-baik saja, jadi jangan membebani dirimu sendiri dengan hal-hal yang tak berguna, mengerti?” Seokjin memberikan tepukan-tepukan kecil pada punggung Reyn lantas membawanya keluar dari ruang gawat darurat tersebut.

Tubuh lemah itu ia dudukkan pada bangku panjang yang tersedia. Lantas Seokjin memegangi kedua pundak Reyn dan berkata, “Tunggu di sini, aku akan melihat Taehyung. Ayahku akan tiba sebentar lagi, beliau sedang di luar ketika kau mengabari tentang Taehyung. Tidak apa-apa, tidak ada hal buruk yang akan terjadi.”

Anggukan lemah menjadi jawaban. Meski Reyn belum mampu menahan tangis namun ia mencoba untuk memercayai perkataan Seokjin dan menganggapnya sebagai lantunan nada indah yang mampu memancarkan perasaan menenangkan.

Seokjin tersenyum. Usai memberikan beberapa elusan pada pundak Reyn yang masih turun-naik tak beraturan, pemuda itu lantas berbalik dan mulai melangkah menuju ruangan dimana Taehyung masih mendapatkan perlakuan medis.

***

Di sudut bebatuan berlumut, Earl menyendiri. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut, pemuda itu seperti tengah menenangkan diri usai kejadian yang menimpanya beberapa waktu yang lalu. Kesahalahnnya hanya satu: bermain terlalu jauh dari raga dan membiarkan jiwanya terseret entah ke mana—meski ia hendak kembali selepas mendapat jawaban pesan dari sang ayah, namun jiwanya masih ingin terus berkelana. Ini bukan kali pertama jiwanya tersesat, namun ini yang paling buruk sepanjang sejarah. Membuatnya merasa benar-benar terpuruk dan tak mampu mencegah diri untuk tak kembali memikirkan kejadian mengerikan itu.

“Masih memikirkan kejadian tadi?” Tepukan di pundak bersamaan suara berat yang menyapa rungu membuat Earl melepaskan kepala dari celah lututnya lantas menoleh cepat. Lachlan adalah si pemilik suara yang kini telah menjatuhkan bokongnya tepat di samping Earl. “Kerja bagus, Earl.”

Senyuman yang tampak di wajah Leviathan muda itu membuat Earl mendesah perlahan. Ya, Lachlan tengah memujinya kini dan tidak ada lagi alasan baginya untuk terus-terusan memikirkan hal buruk yang menimpanya tadi, toh semuanya sudah berlalu dan ia bahkan sudah menyelesaikan tugas yang diemban.

“Kau sudah melakukan yang terbaik.”

“Kurasa … entahlah, aku hanya sedikit terguncang. Tak biasanya aku merasa terbebani begini dan, sungguh ini yang paling buruk. Aku bahkan tak menyangka bisa kembali lagi. Kukira aku akan mati sia-sia tadi.”

“Itu karena kau terlalu senang bermain-main di luar sana!” Celetukan itu berasal dari Owen yang baru bergabung. Ia menuju sisi Earl yang kosong lantas menduduki bebatuan di sana. Decakan menjadi penyambut kedatangannya, namun Owen membalas dengan senyuman pun rangkulan akrab.

“Hei!” Earl menolak perlakukan tersebut lantas menjauh—namun justru membuat tubuhnya kehilangan jarak dengan Lachlan yang lekas berdehem. “Maaf.” Menyadari kesalahannya, Earl lalu menjaga jarak dan mau tak mau membiarkan Owen lengket dengannya. Tak apa, selama itu bukan Lachlan yang tak menyukai kontak fisik juga si pemarah tak tahu diri.

Owen menguarkan tawa mengejek yang langsung mendapatkan tatap tajam dari Earl, namun ia mengabaikan.

“Earl, perihal perjalanan kita ke Bumi, karena Tuan Beelzebub telah membalas pesan, berarti kita sudah bisa memulai misi, bukan?”

Earl mengangguk. Ketika ia hendak melontarkan pertanyaan, tiba-tiba Lachlan sudah membiarkan bibirnya menelurkan kata-kata; membuat Earl mengurungkan niat dan menutup mulut rapat-rapat. Lachlan memang menyebalkan—sering kali, tapi tak ada satu pun yang berani menyatakan hal tersebut. ‘Hei, bersikaplah lebih hangat dan perhatikan juga sekelilingmu sebelum mementingkan diri sendiri!’ adalah hal yang sangat ingin Earl teriakkan sejak pertemuan pertama mereka, namun keberaniannya enyah bahkan hanya karena matanya bersitatap dengan milik Lachlan, jadi ia hanya  bisa berteriak dalam hati ketika merasa benar-benar kesal. Hitung-hitung sebagai pelepas rasa dongkol yang telah memenuhi ruang diri.

“Apa ramuannya sudah selesai, Owen?”

Well, pertanyaan Lachlan memang persis seperti yang akan Earl ajukan, namun tentu saja dengan kalimat yang berbeda. Tidak. Earl malah akan berbicara seolah-olah Asmodeus muda itu payah dan tak bisa diandalkan, anggap saja sebagai ajang balas dendam, meski akhirnya harus ia telan bulat-bulat karena tak memiliki kesempatan.

“Ingin pergi sekarang?” Bukannya menjawab pertanyaan perihal ramuan, Owen justru mengajukan pertanyaannya sendiri. Kini kedua pemuda yang berada di sisi kanannya menatap dengan raut bingung juga sedikit kesal yang muncul. Sejatinya, Owen tahu ia terdengar terlalu santai kini—bahkan selalu—tetapi ia melakukannya sebagai upaya untuk mengakrabkan diri, terutama pada si pemimpin yang sedari awal tak pernah menunjukkan keinginan untuk menjalin persahabatan. Alih-alih mendapat kawan, ia justru berada di bawah kekuasaan Leviathan dan mengukungnya; membuatnya merasa sesak.

Berharap mendapat respon yang sedikit hangat, Owen justru mendapat tatap yang membuatnya pengap. Oke, ia gagal. Dan sebaiknya lekas mengembalikan pembicaraan ke topik awal sebelum terjadi percikan api dari manik hijau milik Lachlan dan dilemparkan tepat mengenai jantungnya. Menyeramkan.

“Oke. Ramuannya hampir selesai. Tidak, sesungguhnya sudah selesai dan hanya butuh sentuhan akhir sebelum kita bisa pergi ke Bumi dengan aman dengan menyembunyikan sayap milik kita.”

“Apa? Kau butuh abu perak yang didapatkan dari Pohon Kematian atau jenis-jenis tanaman aneh lainnya?” Earl mulai terdengar sok tahu dan tentu saja membuat Owen berdecak padanya. Bukan decakan sebal, terlebih seperti meremehkan atau sejenisnya.

“Bukan yang seperti itu. Kubilang ramuannya sudah selesai dan kita bahkan bisa pergi sekarang. Sesuatu yang kali ini kubutuhkan sangat mudah didapatkan. Bahkan kita bisa melakukannya sekarang, jika kalian sudah siap.”

“Maksudmu?”

“Ya, kita bisa pergi sekarang juga, setelah meminum ramuan tersebut. Tapi ….”

Lachlan mengernyit lalu berujar, “Bisa katakan saja apa sebenarnya yang kau inginkan, Asmodeus? Kau terlalu bertele-tele dan itu membuatku merasa muak, sungguh. Bahkan di saat seperti ini kau selalu saja memicu keributan.”

Owen syok. Mulutnya menganga sedang wajahnya menujukkan raut tak percaya. Sialan. Lachlan benar-benar tak bisa diatasi dengan mudah dan itu membuatnya gerah. Beberapa hari bersama pemuda itu ternyata tak membuatnya bisa melontarkan candaan atau membuat keadaan menjadi lebih menyenangkan. Lachlan itu kolot, sangat kolot. Dan sungguh, demi Dionaea dan kutukan yang mengukung kerajaannya, Owen membenci Leviathan muda itu luar-dalam.

Diam-diam Earl terkikik geli. Melihat Owen mendapat ‘serangan’ seperti itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Dia memang bukan tipe orang yang disukai oleh sang pemimpin atau malah menyukai perilaku Lachlan yang teramat kaku, tapi melihat Owen dimarahi adalah salah satu kesenangan yang selalu ia tunggu-tunggu.

Sembari menenangkan diri agar tidak menyerang Lachlan dengan rentetan kata-kata tak sopan yang bisa terlepas kapan saja, Owen mengeluarkan sebuah botol yang berisi cairan yang terlihat menjijikan. Berwarna marun dan sangat kental.

“Berapa lama efek ramuan ini berlaku?” Lachlan bertanya ketika maniknya menangkap penampakan botol tersebut. Ia pintar, tentu saja langsung mengetahui jika isi botol itu adalah ramuan yang memakan waktu kurang-lebih tiga hari hingga jadi. Seingatnya, Owen merebus banyak sekali bahan-bahan asing di sebuah kuali raksasa, lalu bagaimana mungkin ramuan yang mereka butuhkan bersisa sebotol saja?

“Kita hanya memerlukan satu teguk dan efeknya akan bertahan selamanya. Yang bukan berasal dari kaum Lucifer tidak akan bisa melihat sayap kita, jadi ini aman. Benar-benar aman.”

“Jadi … kita pergi sekarang?” Kali ini Earl yang bertanya.

“Tentu saja. Kau sudah tahu ke mana kita harus pergi, bukan? Lachlan bisa membantu perjalanan menjadi lebih cepat dengan berteleportasi setelah kita meminum ramuan.”

“Bukannya kau memerlukan sesuatu lagi untuk menyelesaikan ramuan itu?”

Owen mengangguk. Ia menyerahkan botol tersebut pada Earl yang bergidik lalu merogoh kantung usang miliknya dan mengeluarkan sebilah belati perak yang terlihat berkilauan.

Belati itu berhasil mencuri perhatian Earl yang masih membayangkan betapa menjijikkannya ramuan tersebut dan bagaimana caranya ia menelannya nanti. Pikiran tentang ramuan di botol musnah, berganti dengan tanda tanya lain perihal belati tersebut. Jangan katakan jika ….

“Aku membutuhkan darah kalian.”

“Ya?”

“Kalian harus menyayat telapak tangan kalian dan menampung ramuannya di sana lalu meminumnya langsung. Tidak apa-apa, sayatan akan menghilang ketika ramuan lenyap. Lagi pula kita memiliki tingkat penyembuhan diri yang tinggi, bukan? Sayatan kecil takkan membunuh kalian.”

Raut Lachlan terlihat datar. Penuh keseriusan. Sementaran Earl terlihat kesal pun merasa bahwa penjelasan Owen tadi benar-benar konyol. Kenapa harus membutuhkan darah? Kenapa harus menyayat tangan sendiri? Kenapa harus meminum ramuan yang tercampur dengan darah? Kenapa—ah sial, bahkan dengan membayangkan ramuan menjijikkan itu memasuki lambungnya saja sudah cukup membuat Earl bergidik.

“Baiklah, aku mengerti.” Earl lekas menoleh pada Lachlan yang barusan menguarkan kalimat tersebut. Ia benar-benar tak percaya. Well, penyamaran memang sangat penting, tapi cara yang harus dilakukan sungguh tak masuk akal. “Keluarkan belati milikmu, Earl.” Dan benar saja, Lachlan memang tak pernah mau memberikan kesempatan orang lain untuk mengajukan pendapat atau bahkan mengeluarkan protes. Earl kalah. Lalu belati milikknya pun ia keluarkan dan meratap pilu.

Owen tersenyum jahil melihat pandangan Earl yang tiba-tiba kosong. Ia mengetahui pemikiran pemuda bersurai pirang itu namun mencoba mengabaikan. Sesekali bersikap acuh tidak akan merugikan, selama ia tak ketularan sikap acuh Lachlan yang sangat keterlaluan.

“Kalian sudah siap?” Lachlan bertanya dan mendapat anggukan dari kedua pemuda lainnya.

“Setelah kalian mengiris telapak tangan, aku akan menuangkan ramuannya. Terasa sedikit perih memang, tapi tidak lebih sakit daripada terkena api hitam,” jelas Owen.

Lachlan kembali melayangkan tatap sebelum ia mengangguk; memberikan tanda pada yang lain untuk lekas membuat sayatan. Erangan kecil terdengar, lalu Owen dengan sigap menuangkan ramuan menggunakan tangan yang sebelumnya memegang belati.

“Minum dengan satu tegukan.” Owen kembali mengingatkan. “Dan jangan dimuntahkan.”

Earl mengerutkan kening. “Seburuk itukah rasanya?”

“Hmm … sepertinya?”

“Ck, wujudnya saja sudah mampu membuatku mual. Cepat selesaikan!”

Sudut bibir Owen tertarik lantas ia memejamkan matanya. Bibirnya terlihat bergerak-gerak, sungguh Owen terlihat seperti kebanyakan kaum penyihir yang tengah merapalkan mantera-mantera sakti miliknya. Dan ketika iris violet itu kembali terlepas dari kelopak yang sempat membenamkannya, lekas saja ketiga pemuda itu mendekatkan tangan berisi ramuan ke mulut mereka dan membiarkan cairan kental itu memasuki rongga mulut lalu menuju kerongkongan dan berakhir di lambung.

“SIALAN! RASANYA BENAR-BENAR BURUK!” Earl adalah orang pertama yang berteriak ketika ramuan itu telah menyusupi tubuhnya. Wajahnya terlihat seperti orang kesakitan, sepertinya rasa dari ramuan tersebut benar-benar sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata.

Bahkan Lachlan yang biasanya tak banyak menujukkan ekspresi, kini terlihat seperti tengah menahan sesuatu yang tak mampu ia tumpu. Ekspresinya benar-benar menakutkan, bahkan Owen sempat bergidik dan hendak menjauh, takut-takut Lachlan akan menyerangnya tiba-tiba hanya karena rasa ramuan yang luar biasa menjijikkan.

“Aku sudah memperingatkan. Hehe.” Owen terkekeh lalu sentuhan tiba-tiba di tangan membuatnya terdiam. Lachlan kini menggengam tangannya erat-erat, begitu pula dengan tangan Earl. Sepertinya mereka tengah bersiap-siap untuk pergi menembus dimensi berbeda yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Lachlan terlihat tengah berkonsentrasi sedang Earl berfokus pada tujuan mereka. Perjalanan kali ini bergantung pada Leviathan dan Beelzebub muda itu, jika Earl salah menunjukkan jalan, maka mereka akan tersesat. Dan jika Lachlan kehilangan tenaga pun tanpa sengaja membiarkan fokusnya buyar bahkan sebelum mereka berjejak, maka tersesat di belahan dimensi lain akan lebih baik lagi ketimbang tersesat saat melakukan teleportasi; karena hal itu sama saja dengan mengirim nyawa menuju kematian yang tak berujung.

“Aku akan melakukannya. Mungkin akan ada guncangan dan rasa mual, kuharap kalian akan baik-baik saja sampai tujuan. Ah, tolong jangan pernah lepaskan genggaman apa pun yang terjadi, mengerti? Aku takkan bisa menemukan kalian jika kehilangan di tengah jalan.”

“Lakukan saja. Aku—tidak, kurasa Owen juga tidak memiliki keinginan untuk melepaskan genggaman. Jadi—“

“Kita pergi.”

Tepat setelah Lachlan menelurkan dua kata tersebut, ada guncangan yang terjadi pada mereka bertiga sebelum sesuatu seperti pusaran angin menyedot tubuh mereka menuju lubang tak kasatmata yang memabukkan; membuat Owen maupun Earl tak mampu menahan jerit ketakutan yang amat memekakkan.

***

Jujur saja, Seokjin tidak dalam keadaan yang baik sehingga ia bisa memberikan kata-kata penenang pada gadis yang terlihat menyedihkan itu. Reyn masih menangis dan Seokjin tak bisa berbuat apa-apa selain meninggalkannya demi melihat kondisi sang adik yang masih mendapat pertolongan dari para medis.

Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki ruang gawat darurat yang sangat gaduh. Sebelumnya ia telah berada di sana; melihat Taehyung yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang lalu membawa Reyn pergi dari sana. Ruangan masih menciptakan keributan ketika ia melangkah semakin dekat dengan ranjang milik Taehyung, namun ia tak melihat kerumunan orang-orang berseragam putih di sana. Maka, ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama, mereka telah berhasil membuat jantung Taehyung berdenyut lagi; kedua, mereka kehilangan Taehyung dan menunggu seseorang untuk mengabari hal tersebut.

“Keluarga Kim Taehyung?”

Seokjin berbalik cepat; mendapati seorang dokter dengan wajah lelah penuh peluh di hadapannya.

“Ya?”

“Anda siapanya?”

“Saya kakaknya,” jawab Seokjin cepat. “Apa yang terjadi pada Taehyung?” Seakan waktu akan merenggutnya saat itu juga, Seokjin cepat-cepat melontarkan pertanyaan tersebut. Sebelumnya ia telah menyiapkan diri untuk mendengar hal-hal buruk, meski ia tak ingin hal buruk menimpa adiknya barang sedikit pun.

“Kami nyaris kehilangannya, tapi syukurlah ia kembali. Pasien sedang di bawah pengarus obat bius, kemungkinan ia akan terbangun esok pagi.”

Tubuh Seokjin hampir terkulai jika ia tak cepat-cepat berpegangan pada pilar yang berada di dekatnya. Ia nyaris menangis; bahagia sekaligus lega lantaran kedatanganya tak sia-sia dan tak ada hal buruk yang terjadi.

“Kami akan melakukan beberapa pemeriksaan pada tubuhnya. Tetapi … ada sesuatu yang sedikit aneh. Beberapa alat tak bisa berfungsi dengan baik ketika diletakkan pada tubuhnya dan juga saya tak bisa menenmukan penyebab pasien kehilangan kesadaran juga sempat mengalami gagal jantung. Apa pasien pernah memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya?”

Sudah kuduga, batin Seokjin. Ia tahu, tak mungkin alat-alat medis itu berfungsi dengan baik jika sisi Lucifer Taehyung mulai terbangun dan mengakibatkan pemuda itu merasakan sakit yang luar biasa.

“Tidak. Taehyung anak yang sehat bahkan ia tak pernah mengeluh sakti sekali pun. Ia terlihat baik-baik saja dan selalu aktif seperti biasanya.” Seokjin mendesah. Percuma jika ia menjelaskan keadaan yang sesungguhnya. Bersikap seperti sekarang adalah satu-satunya hal paling wajar yang bisa ia lakukan.

“Mungkin kita memang membutuhkan pemeriksaan yang mendalam. Kalau begitu, silakan urus keperluan pasien di resepsionis sebelum ia menerima pemeriksaan lainnya nanti.”

Seokjin membungkukkan badan sebagai ucapan terimakasih ketika sang dokter meninggalkannya. Ia kini bisa bernapas lega dan lekas berlari menuju meja resepsionis demi menyelesaikan masalah administrasi dan kembali menemui Taehyung yang telah menunggunya sembari tertidur dengan amat pulas.

***

Tak perlu waktu lama hingga Seokjin kembali ke tempat dimana Taehyung masih memejamkan mata. Napasnya teratur, wajahnya terlihat tenang dan hal itu membuat Seokjin benar-benar lega. Ia mendekat, menduduki bangku kecil yang tersedia lantas memandangi wajah pucat milik Taehyung.

Sebelah tangannya ia gunakan untuk meraih tangan milik Taehyung dan mengenggamnya erat. Sebenarnya, ia telah mengetahui hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Ia maupun sang ayah sudah memprediksikan keadaan seperti ini namun tak pernah berhasil menyiapkan diri hingga hal buruk seperti ini benar-benar terjadi; terlebih mereka hampir kehilangan Taehyung lantaran kejadian berlangsung ketika si pemuda berada di luar. Jika saja ia berada di dekat Taehyung tadi, mungkin si pemuda takkan menghabiskan malam di ruangan serba putih itu bahkan hampir menemui ajal. Seokjin hanya perlu menggenggam tangannya erat-erat seperti sekarang lalu mentransfer beberapa elemen penyembuh yang ia miliki.

Seokjin seorang healer, dan Taehyung hanya membutuhkan kemampuannya itu ketika merasakan sakit meski ia tak tahu-menahu perihal kekuatan ajaib yang dimiliki oleh kakaknya. Itulah alasan Seokjin berada di Bumi bersama sang ayah; untuk menjaga Taehyung sepenuhnya.

Rahasia selalu saja menjadi jarak yang tak mampu Seokjin lewati. Jika berbicara tentang jati diri, maka ia tak bisa memungkiri jika dirinya adalah seorang Lucifer, bukan manusia sejati apalagi kakak dari seorang pangeran yang tengah berada dalam penyamaran—atau lebih tepatnya sengaja dirubah wujudnya menjadi manusia dan bersembunyi di Bumi.

Namun Seokjin terlanjur sayang pada sang pangeran, bukan kepada seorang pemegang tahta tetapi kepada seorang adik. Ia bahkan sudah melewati beberapa batasan yang sempat membuat sang ayah murka namun tak bisa melakukan banyak hal lantaran Taehyung pun terlihat sangat dekat dengan Seokjin. Mereka terlalu akrab, terlalu terbuka, terlalu bergantung satu sama lain. Sehingga ayahnya memutuskan untuk membiarkan hubungan kakak-adik itu terjalin begitu erat agar sang pangeran tak bertanya-tanya kelak.

Sebenarnya, awal mereka mendapatkan tugas menjaga sang pangeran di Bumi adalah hal yang benar-benar sulit. Mereka tak terlalu pandai menyesuaikan diri dan terkadang menempatkan sang pangeran dalam hal-hal yang tak semestinya. Mereka terlalu kaku di awal, sampai Seokjin merubah segalanya dan mulai menjalin hubungan layaknya saudara kandung. Meski mendapat tentangan, namun ia bersikeras untuk mempertahankan caranya. Mereka itu bersaudara—dalam aturannya—jadi tak mungkin mereka bersikap terlalu hormat pada bocah kecil itu, bukan? Lagi pula, dengan mendekatkan diri, mereka akan semakin mudah untuk menjalin hubungan baik dan menjaga sang pangeran dengan kedok keluarga.

Ketika pikiran Seokjin tengah melayang entah ke mana, suara lembut yang menguar dari belakang membuatnya tersadar lantas menoleh. Reyn berdiri di belakangnya; menanyakan keadaan Taehyung. Gadis itu terlihat benar-benar menyedihkan.

“O, kau masih di sini?” Jujur saja Seokjin hampir melupakan eksistensi gadis itu jika ia tak muncul sekarang. Seokjin menggeser duduknya, memberikan ruang cukup untuk Reyn mendekat dan menatap wajah pucat Taehyung. “Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan.” Seokjin berbohong. Tentu saja agar Reyn merasa lebih tenang. Ia memang bukan manusia seutuhnya, tapi ruang kecil hatinya telah terkontaminasi sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh manusia; rasa kasihan.

Reyn mendekat. Wajahnya tak kalah pucat dari milik Taehyung kini. Seokjin rasa gadis itu bisa pingsan kapan saja jika ia tak lekas mengistirahatkan diri.

“Kau boleh menemani Taehyung sebentar lalu akan kuantar pulang.”

“Aku tak ingin pulang, Kak. Aku akan menjaga Taehyung di sini.” Reyn kini berada tepat di samping Seokjin, mengambil alih tangan yang tadinya berada di genggaman sang pemuda. “Ia terlihat menyedihkan … dan itu gara-gara aku.”

“Jangan menyalahkan diri sendiri, kau tak pernah melakukan hal buruk, Rey, aku tahu itu. Kecuali kebiasaanmu memukul Taehyung jika ia mulai bertingkah menyebalkan.” Seokjin mencoba melontarkan canda guna merubah suasana yang terlalu sendu kini. “Temani dia sebentar, aku akan membeli beberapa minuman hangat. Setelah itu kau harus pulang, mengerti?”

“Tapi aku—“

“Besok kau boleh kembali lagi. Lagi pula Taehyung hanya akan tidur hingga esok hari. Pagi-pagi sekali aku akan menjemputmu. Tidak ada penawaran lagi, oke?”

Reyn mendesah pasrah. Membiarkan pemuda berambut baby pink itu beranjak dari sana, ia lalu menenggelamkan kepala pada lengan Taehyung yang terkulai lemah.

“Aku menyayangimu, Bodoh! Jadi kumohon, berhenti membuatku merasa cemas, Kim Taehyung.”

***

Lingkaran memabukkan itu lenyap ketika kaki mereka berjejak pada sesuatu yang keras dan terlihat berkilauan. Pusing menyerang; membuat pandangan sedikit berkunang-kunang. Lachlan adalah orang pertama yang mampu menyesuaikan diri dengan baik lantaran sudah terbiasa melakukan perjalan jauh dengan berteleportasi. Ia kini menelusuri ruangan dengan irisnya; membiarkan matanya merekam tempat dimana mereka berpijak kini. Ruangan asing dengan berbagai barang yang sama asingnya.

“O, sial, ini sangat mengerikan! Aku takkan pernah mau mengulanginya lagi. Sungguh, kurasa aku akan muntah saat ini juga!” Owen mulai mengomel. Memegangi kepalanya yang masih berputar-putar, ia mencoba berdiri tegak meski tubuhnya masih merasakan guncangan.

Keadaan Earl tak jauh berbeda. Terlihat kesakitan juga kepayahan untuk mencoba menjaga keseimbangan. Ia bahkan hampir memuntahkan isi perutnya jika tak lekas menenangkan diri dengan sebaik-baiknya. Lagi pula, ia akan terlihat memalukan jika muntah pada perjalanan pertama  menuju Bumi. O, Earl tidak pernah suka melukai harga dirinya.

“Wah, kalian sudah datang!” Suara dengan nada ceria itu menyambut ketiga pemuda dengan hangat. “Selamat datang di Bumi, para prajurit petarung! Dan aku sangat merindukanmu, Earl.”

Earl merasakan tubuhnya tertarik dan seseorang memeluknya kini. Ia masih belum bisa menyesuaikan diri setelah perjalanan panjang itu namun ia tahu bahwa yang memeluknya kini adalah orang yang benar-benar ia rindukan lantaran terlalu lama tak saling sapa.

“Aku juga merindukanmu, Ayah.” Earl kini sudah mulai terbiasa dan ia membalas pelukan sang ayah tak kalah eratnya. Ketika acara pertemuan kembali ayah dan anak itu dirasa cukup, Earl lekas melepaskan pelukan lalu menatap sang ayah dengan raut tak percaya. Ia tak tahu ternyata wujud manusia itu terlihat baik-baik saja. Setidaknya ayahnya jauh lebih tampan dan sehat dari yang ia ingat dulu. “Di mana Carl?”

“Carl sedang bersama Pangeran Louis. Di rumah sakit.”

“Rumah sakit? Tempat seperti apa itu, Tuan Beelzebub?” Lachlan mengajukan pertanyaan dengan raut bingung yang dibalas dengan desahan dari pria paruh baya itu.

“Jangan memanggilku seperti itu, kita tidak sedang berada di Dionaea. Akan ada banyak hal yang harus kalian ketahui sebelumnya, tapi aku akan mengatakan beberapa hal penting untuk saat ini. Pertama, kalian akan menjadi saudara jauhku—tidak, maksudku kalian adalah keponakanku, yang artinya anak-anak dari saudara jauhku. Kedua, jangan pernah menggunakan istilah-istilah kerajaan, cukup panggil aku dengan sebutan ‘paman’. Ketiga, kalian akan mengalami beberapa hal yang sangat berbeda dengan kehidupan di Dionaea, tapi kuharap kalian bisa menyesuaikan diri dengan baik. Sejujurnya aku menunggu kedatangan kalian dan cerita perihal pemberontakan yang terjadi, namun sepertinya saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sekadar berbincang-bincang. Kita harus pergi ke suatu tempat untuk mengunjungi Pangeran Louis. Dia sedang dalam keadaan yang tak baik dan kurasa kalian harus melihatnya sendiri.”

Ketiga pemuda tersebut mengangguk tanda mengerti. Sejujurnya masih banyak hal yang ingin mereka tanyakan namun sepertinya waktu tak berpihak pada mereka.

“Earl, kau dan Seokjin bukan kakak-adik di sini, oh kau bisa menganggapnya sebagai kakakmu tetapi dia bukan kakak kandungmu.”

“Siapa? Seokjin?” Earl kebingungan.

“Seokjin adalah nama manusia milik Carl. Kau harus mengingatnya baik-baik.”

“Oke, tidak masalah.”

“Dan yang paling penting adalah … pangeran memiliki kehidupan manusia dan tidak tahu menahu perihal jati diri sebenarnya. Ia bernama Kim Taehyung di sini dan kalian jangan sesekali menyinggung Dionaea atau apa pun yang mengacu pada asal-usul kita. Sampai waktunya tiba, kita harus tetap merahasiakan semuanya. Dan jangan bersikap terlalu formal, Taehyung takkan menyukainya.”

“Semuanya bisa dimengerti sampai sekarang, tetapi sepertinya kami membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan keadaan di sini.”

“Pelan-pelan saja. Dan cobalah sebaik mungkin untuk tidak memancing kecurigaan. Jadi … sebaiknya kita pergi sekarang.” Pria paruh baya itu lekas menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kecil di samping sofa lalu beranjak dari sana.

“Mau ke mana, Tuan—ah maksduku … Paman? Kita bisa berteleportasi ke tempatmu dan—“

“Kita tidak bisa menggunakan kekuatan sembarangan! Ah, aku lupa mengatakannya. Ikuti aku dan selebihnya akan kujelaskan diperjalanan nanti. Kumohon, jangan berikan aku waktu yang sulit selama kalian berada di sini.”

Pria paruh baya itu kembali mengayunkan tungkainya. Ia tahu ketiga pemuda tersebut masih berdiam di tempat, lantas ia berbalik cepat-cepat lalu berujar, “Ayolah, kita harus pergi sekarang, jadi cepat ikuti aku!”

-TBC.

16 pemikiran pada “[Chapter 2] The Dark Wings: New Dimension

  1. SYUKURLAH TEMENKU NGGA MATI 😁😁

    Nah loh tae, kamu sih pake jauh2 dari jin eomma, jadi kolaps kan hehe bercanda. Aku bayangin taehyun tiduran dgn wajah pucat ituuuu duh, pengin jenguk gitu rasanya. Minta bantuan Lach biar diajak teleportasi ㅋㅋㅋ
    OwenㅡEarl vs Lach. Hahahaha sepanjang dua chap ini mereka pembawa tawa yeee ngga tau deh entar kalau pas udah mulai perang2. Mungkin bakal tetep ada jokes di antara mereka.

    Mereka mendarat di mana ya? aku ngga begitu kebayang. Mian 😘

    DAN SEBEL BANGET PAS AKU LAGI KEPOKEPONYA MOMEN PERTEMUAN MEREKA SAMA TAEHYUNG TERUS SI TBC NONGOL DENGAN TIDAK INDAHNYA. KZL.
    so, ditunggu bgt next chap! 😉

    Ada typo tuh 😁😁

    Suka

  2. KYAAAAAAAAA AKHIRNYA UPDATE JUGA~ CUKUP LAMA NUNGGUNYA.. MASIH JATUH CINTA SAMA ALURNYA,/maapkeun capslock saia/

    Salam kenal kakAy Rara imnida~ Maapin rara kakAy baru bisa ninggalin jejak..

    Keren kak alurnya, ditunggu next chapter nya mudah2 gk kena webe hehe..

    Suka

  3. Aku menanti petualangan trio lucifer itu di bumi, pasti kocak XD jadi keinget drama rooftop prince HAHA Aku bingung mau komen apalagi mbaay, ini keren lah. Begitu muncul di beranda langsung ku-klik aja, bikin penasaran huhu. Pokoknya mantap lah. Ditunggu part selanjutnya!
    Semangat!

    Disukai oleh 1 orang

  4. Baru pertama kali baca fanfic BTS nemu yang sekeren ini coba >,< Tokoh BTS-nya dua-duanya bias aku lagi, ya lord beruntung banget …
    Jalan ceritanya keren xD Walau genre fantasy itu masih blur-blur alurnya bakalan dibawa kemana, tapi ini sukses bikin aku fall in love ma alurnya (apalagi tokohnya, wkwkw)
    Uri Seokjin ❤ Bias aku xD Penyayangnya kayak emak-emak ya ke V, aw~~ Itu momen manis banget kayak gula …
    Eh, Reyn bukan manusia? ._. Dia apaan dong? Jangan-jangan Angel lagi :0 wuih kalo beneran bakal tambah seru nih ^^
    Aku juga suka sama 3 sekawan (?) aka Earl, Owen, sama Lachlan ^^ Tapi suka bingung, wajah2nya gimana ._. Author, bonusin foto mereka lagi dong 😀 Sekalian ama fotonya Jin beriris biru dengan rambut baby pink-nya ~~ Hehehe …
    And untuk penutup (ini udah kayak apa aja), maafkan daku yg males komen ini ^^V (Aku udah baca chap 1+prolognya sebelumnya) jadi aku cuma komen disini aja, peace *ngacir
    Semangat terus menulisnya author ^o^ Fighting!!

    Suka

  5. Wahhhhh.. Akhirnya update,, waktu ada notif ini chapter 2,, aku senyum” sendiri.. Hahahaha (mungkin karena happy ini udah update)

    Yah,, taetae cepatlah sadar.. T. T, kasian Seokjin.. (Apa hubungannya(?))

    Earl kamu yang sabar yaa,, jangan anggap Carl kakakmu.. :’v

    Semangat ya kak. ^___^

    Suka

  6. KYAAAA AKHIRNYA DIUPDATE HUHUHU NUNGGUNYA LAMA DAN AKHIRNYA MUNCUL HUAAAAA!! /alay/

    Beneran keren banget kak… Aduh ntar Taehyung gimana ya… Khawatir juga nanti Taehyung pas bangun tiba2 keliatan sisi lucifernya gimana?? Haduh khawatir banget, apalagi sama Owen, Earl dan Lach.. Baru datang uda pusing tujuh keliling hahaha…

    Ditunggu lagi kakk!!

    Suka

  7. APA SINTIA YANG PERTAMA DISINI?!

    KAAY AKU GAKUAT, BENER BENER KAGET PAS TAU TAU MALEM INI UPDATE PLIS BANGET MAU NANGIS:’V. AKHIRNYA YA LACHLAN KU AKHIRNYA! AKHIRNYA ADA DUNIA GITU, SAMA KAYAK AKU GITU YA /ga.

    FIGHTING KAAAY, dari Earl sampe Reyn sumpah aku tungguin.. aw! semangat ya kak sekali lagi, jangan lama – lama updatenya nanti aku karatan kak /ga

    Suka

Leave a Review