[Opposite Attract] Safe Zone

Safe Zone

fanfiction by Fuseliar, Bebhmuach, WLP, Dyvictory

Starring [BTS] Min Yoongi & Jung Hoseok

Drama, Tragedy, Family || || Oneshot || G || Roller Coaster

 

Poster by : lee sinhyo

 sinhyosdorm.wordpress.com

Summary:

Ia tidak pernah menyangka bahwa kelakar Tuhan akan sedemikian lucunya.

.

.

Rabu, 13 September 2017.

Yoongi menoleh jengah. Pandangannya mengitari kafe tempatnya berdiam diri sejak dua jam yang lalu. Isi cangkir di depannya sudah tandas sedari tadi, namun kawan di sebelah kursinya nampak masih enggan beranjak. Jung Hoseok, bahkan memesan seporsi cupcake kacang almond untuk kali kedua.

Hyung, besok tolong antarkan aku ya?” Suara Hoseok mengusik geming seorang Min Yoongi. Pemuda dua puluh empat tahun itu sibuk menjilati krim cupcakenya sementara Yoongi mengernyit heran.

“Kemana?” Akhirnya Yoongi mengeluarkan vokalnya setelah hampir setengah jam tak mengatakan apa-apa.

Belum sempat menjawab, Hoseok terlanjur memasukkan cupcake ke mulutnya dalam sekali lahap. Otomatis Yoongi harus menunggu beberapa saat hingga cupcake itu meluncur ke dalam lambung Hoseok sebelum pemuda itu bisa berbicara. Ah, dasar idiot. Ia tahu Yoongi benci menunggu.

Akhu akhan ke Jephang, tholong antar akhu khe bandhara yha, Hyung.”

Demi Tuhan, bisakah Hoseok menelan dulu seluruh cupcake di mulutnya sebelum memutuskan untuk menjawab?

Yoongi mendecih jijik saat remah-remah cupcake milik Hoseok menghujani wajahnya. Astaga, Hoseok harus membayar americano-nya karena telah mengotori wajah dan kemejanya.

“Telan dulu, Hoseok!”

“Maaf, Hyung,” cengir Hoseok. “Kau mau mengantarku, kan?”

“Kau bayar americano-ku dan aku akan mengantarmu ke bandara besok pagi, bagaimana?”

Tanpa berpikir panjang, Hoseok mengangguk dan berkata “Deal!” dengan keras. Sedetik kemudian pemuda itu mengalihakan perhatian pada ponselnya, entah berbuat apa.

Hoseok dan Yoongi terjebak di kafe ini setelah hujan meminta mereka beristirahat sejenak dari urusan masing-masing. Jung Hoseok dan Min Yoongi adalah seorang professor di usia mereka yang masih sangat muda.

“Omong-omong, kenapa kau pergi ke Jepang?” tanya Yoongi yang mulai bosan dengan dominasi suara hujan. Biasanya ia memang bergelut akrab dengan keheningan, namun entah mengapa kali ini ia lebih memilih untuk membiarkan Hoseok cerewet daripada diam begini saja.

“Aku akan melanjutkan risetku dengan Professor Hasegawa,” jawab Hoseok tanpa mengangkat wajah.

“Riset tentang gempa Gyongju itu?” Ekor mata Yoongi melirik Hoseok sekilas. “Kau lupa jika Korea adalah safe zone? Berhentilah meriset Yangsan Fault, Hoseok. Kau hanya membuang waktu.”

Kali ini Hoseok mengangkat pandangannya, sedikit tidak terima dengan perkataan Yoongi barusan. “Hyung, Yangsan Fault berpotensi menjadi patahan aktif. Lagipula gempa besar yang pernah terjadi di zaman Goryeo dan Dinasti Joseon bukan main-main. Akan lebih baik jika kita bisa memprediksi gempa besar yang mungkin akan terjadi, kan?”

“Oh ayolah, rusaknya juga tidak akan separah di Jepang. Tidak akan ada tsunami yang melanda di Korea. Yang ada hanya gempa darat. Dasar kau maniak bencana!” sindir Yoongi setelahnya.

Yoongi selalu menyebut Hoseok sebagai maniak bencana. Ia adalah profesor lulusan Jepang yang 90% risetnya membahas tentang bencana. Sejak kejadian gempa terbesar di Gyongju tahun 2016, dia memulai risetnya tentang Yangsan Fault yang membentang 200 kilometer di bagian tenggara Korea.

Awalnya Yoongi menganggap itu riset yang cukup aneh karena dalam catatan yang ada, gempa di Korea tidak lebih dari 6 SR. Itu membuat Korea bisa dikatakan sebagai ‘Safe Zone’. Gempa besar hanya tercatat pada teks di zaman Goryeo sekitar tahun 900 – 1400 Masehi, dan di zaman Dinasti Joseon pada tahun 1500 Masehi. Tapi itu sudah lama sekali dan menurut penelitian yang pernah ada, gempa itu adalah siklus dua ribu tahun.

Ya, siklus gempa dua ribu tahun. Tercatat bahwa ini adalah gempa terbesar yang membuat seluruh Korea terguncang dan merobohkan banyak bangunan.

Daripada semakin memicu keributan, Hoseok lebih memilih berhenti meneruskan perdebatan mereka. Sepasang matanya ia alihkan tujuan pada binar terang di luar jendela, pertanda hujan telah mereda. “Ya sudah, terserah Hyung saja. Yang penting besok antar aku ke bandara. Sekarang aku harus kembali ke kantor.” Hoseok menjeda ucapannya, sejenak ia gunakan waktu untuk meletakkan sejumlah won di atas meja. “Aku duluan ya, Hyung.”

Setelahnya, Hoseok berlalu dari sana.

.

.

Sabtu, 17 September 2017.

Gerbong kereta yang ditumpangi Yoongi bergerak pelan meninggalkan peron. Sejam yang lalu, ia baru saja menyelesaikan permintaan Hoseok untuk mengantarnya ke bandara dan sekarang ia sendiri yang memutuskan untuk turut meninggalkan Seoul, dengan alasan yang entah apa.

Pada tiket kereta di tangannya tertera Gyongsang sebagai tujuan keretanya menghentikan putaran roda.

Yoongi mendulang napas dalam-dalam, lantas ia embuskan pelan-pelan seiring pandangannya ia lempar ke luar jendela. Katakan ia tidak ingin berada di apartemen sendirian, karena Hoseok sudah tiga tahun menjadi partnernya berbagi ruangan. Entah untuk alasan apa, Yoongi tiba-tiba tidak ingin kesepian. Meski sejatinya ia terlanjur akrab dengan perasaan-perasaan seperti itu.

Provinsi Gyongsang.

Yoongi mengeja aksara dalam lembar tiket keretanya sekali lagi.

Pada Gyongsang, Yoongi akan menemukan Daegu. Daegu adalah saksi bisu dimana Yoongi menghabiskan masa kecilnya. Tempatnya menjadikan professor sebagai cita-cita. Tiba-tiba saja, kenangan itu berebut muncul mengisi kepala Yoongi. Potongan-potongan fragmen berkelebat seperti angin ribut, memaksa Yoongi yang mau tak mau mengingat kejadian pedih itu. Tepatnya sepuluh tahun dari sekarang, saat sang ayah murka dengan apa yang menjadi pilihannya.

“Kau tidak harus menjadi professor, Min Yoongi,” tutur ayahnya ketika itu.

Namun Yoongi serta merta menolak setuju. “Tapi, Ayah, aku harus.”

“Siapa yang mengharuskanmu?!” Intonasi bicara ayahnya meninggi.

“Itu mimpiku, Ayah.”

Lantas konversasi di antara mereka berhenti di sana.

Katakan sang ayah tak ingin Yoongi menjadi professor karena beliau tak mau melihat Yoongi memforsir waktu belajarnya dan mengacuhkan keluarga. Belum mendapat gelar itu saja, Yoongi sudah menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berdiam diri di kamar dan melahap buku-buku tebal hingga melupakan waktu makan. Ayah hanya tidak ingin Yoongi menyakiti diri sendiri karena mimpinya itu, meski ia tahu Yoongi mampu.

Ayah, bisakah ia menerima kedatangan Yoongi setelah lebih dari satu dekade pemuda itu tak menginjakkan kakinya di sana?

Yoongi tahu, ayahnya tak akan memaafkan semudah itu. Namun ia harus tetap mencoba, kan? Karena bagaimanapun, dalam dirinya mengalir darah dari sang ayah. Karena yang sebenarnya, rasa kesepian dalam diri Yoongi yang memintanya untuk pulang.

Sebelum semua terlambat, Min Yoongi. Mau sampai kapan kamu keras kepala dan mementingkan mimpimu di atas segalanya? Bisik Yoongi seraya mengembuskan napas pelan, untuk ke sekian kalinya.

.

.

Minggu, 18 September 2017.

Akhirnya Yoongi memberanikan diri untuk datang kemari.

Rumah itu tidak terlalu besar, halamannya ditumbuhi aneka tanaman hias dan terlihat asri sekali. Tidak banyak berubah selain cat rumah yang dulunya berwarna putih bersih, kini agak kusam dan berubah gelap. Yoongi masih ingat bagaimana detail bangunan rumahnya, meski sudah bertahun-tahun ia meninggalkannya.

Seperti bagaimana ia mengingat setiap kenangan bahagia dan perasaan terluka yang selalu muncul setiap kali ia melihat rumah itu.

“Yoongi Hyung?”

Yoongi menoleh.

Di belakang Yoongi, seorang pemuda dengan dua kantung plastik di kedua tangannya membelalakkan mata. Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

“Itu benar-benar kau, Yoongi Hyung?”

Yoongi mengangguk. Mikrosekon berikutnya, sebuah pelukan selamat datang menyambut Yoongi dengan perasaan berkecamuk di dalam dada. Yoongi tak pernah suka terlihat lemah, maka dengan sekuat tenaga ia menahan laju air yang menelaga di matanya.

Pemuda itu adik Yoongi, Min Yoonha.

“Ayo masuk, Hyung. Ibu pasti senang sekali melihatmu.”

Yoongi tersenyum simpul.

Benar saja, Yoongi dihujani dekap dan air mata saat ibu melihatnya. Ia bahkan tak mampu menahan luapan perasaan itu sendiri. Berulang kali ibu menandaskan cium di kepala Yoongi, seakan-akan pemuda itu masih bocah kecil yang selalu meraih juara kelas dulunya. Namun, Yoongi telah banyak berubah. Yoongi yang sekarang di pelukan ibunya bukan lagi bocah kecil yang memiliki mimpi sebagai professor.

Lebih dari itu, mimpi Yoongi sejatinya hanya ingin melihat ayahnya bangga. Yoongi sangat menyesal karena baru menemukan arti sejati dari cita-citanya setelah membuat ayahnya murka.

“Siapa yang datang?”

Mendengar suara itu, Yoongi tiba-tiba merasa rindu. Sangat rindu. Terlebih saat sosok itu tertangkap matanya. Wajah ayahnya tampak begitu lelah dan menua. Membuat rasa bersalah Yoongi memuncak tak terkendali.

“Ayah?” Yoongi memberanikan diri memanggil.

“Kau sudah berani pulang?” jawab ketus sang ayah.

Yoongi sudah memprediksi hal ini akan terjadi, hanya saja ternyata rasanya lebih sakit dari yang ia perkirakan.

“Aku hanya … mampir. Aku akan melanjutkan risetku di Gyongsang,” kata Yoongi seraya melempar senyum simpul. “Selain itu, aku ingin bertemu dengan Ayah.”

Wajah ayahnya mengeras, itu yang ditangkap Yoongi saat ia selesai bicara.

“Aku tidak punya waktu hari ini, besok datang saja lagi kemari,” ujar sang ayah, lalu berbalik arah dan meninggalkan ruangan tempat Yoongi berada. Sebelum mencapai pintu, Yoongi sempat mendengar ayahnya berkata. “Semoga risetmu berhasil.”

.

.

Senin, 19 September 2017.

Yoongi akan datang lagi. Yoongi pasti datang lagi.

Ia bukan tipe orang yang mudah menyerah, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang ia inginkan dan itu juga berlaku untuk sebuah kata memaafkan.

Hari ini Yoongi sudah tiba di Gyongsang. Sepulang dari Daegu kemarin, ia melanjutkan perjalanannya dengan kereta bawah tanah menuju Gyongsang. Yoongi memiliki sebuah rumah singgah di sini, jadi ia tidak perlu khawatir dengan urusan tempat tinggal selama ia mencari entah apa.

Mungkin kedamaian. Sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.

“Halo Hoseok, kau sudah kembali dari Jepang? Maaf aku tak bisa menjemputmu sekarang. Oh itu, aku di Gyongsang. Hmm untuk apa?” Yoongi melirik buku kecil di tangannya. “Untuk menyelesaikan jurnalku. Sudah dulu ya, kututup teleponnya.”

Kini Yoongi berada di sebuah warung tenda yang menjual aneka street food khas Korea. Sejak semalam Yoongi memang belum mengudap apa-apa, maka tak heran jika sejak pagi buta perutnya bergejolak kelaparan.

Yoongi tengah mengecek jadwal kereta saat tiba-tiba bencana itu datang.

KRAK! BRUAAK!!

Siapapun yang ada di sana pasti mendengar suara patahan dan debuman keras. Tanah di telapak kaki Yoongi bergetar hebat, begitu pula dengan bangunan-bangunan besar di sekelilingnya. Jerit ketakutan dan raungan kesakitan menggema setelahnya.

Getaran itu sempat mereda selama beberapa saat, sebelum getaran lain menyusul dengan skala yang lebih besar.

Yoongi yang linglung segera berlari menyelamatkan diri. Buku kecil tempatnya menulis segala macam detail penelitian ia tinggal begitu saja, padahal buku itu jauh lebih penting dari apa yang ada.

KRAK!! KRAAK!!

BRUAAK!!

Tiang bangunan gedung pengadilan di hadapan Yoongi tak mampu menahan getaran yang intensitasnya semakin menggila—

BOOOM!!

—dan bangunan itu roboh sebelum Yoongi sempat menyingkir dari sana.

Yoongi tak dapat mengingat apapun. Ia bahkan tidak dapat mengidentifikasi apa yang ia rasakan saat ini. Matanya mengabur, tubuhnya terasa hancur. Telinga mendengar dengung menyakitkan disertai lolongan manusia yang bersahut-sahutan, hingga akhirnya kelopak mata pucat itu memejam dengan sendirinya.

“Hyung, bangunan di Korea hanya bisa bertahan dari gempa yang besarnya di bawah 5 skalarichter. Tapi gempa terakhir sampai di atas 5,5 skalarichter. Kau tahu maksudku, Hyung? Jika ada gempa besar yang mengguncang Korea, sekitar 7 skalarichter, bangunan di Korea akan luluh lantak.”

Perkataan Hoseok tempo lalu berseliweran di otaknya. Yoongi mulai kehilangan rasa terhadap paru-parunya yang mungkin berhenti memasok udara. Entah apa yang terjadi selanjutnya, Yoongi menyerahkan hidupnya pada Tuhan.

.

.

Selasa, 20 September 2017.

Yoongi tidak tahu berapa lama ia terjebak di sana. Ia terbangun dalam keadaan kehilangan sepasang kakinya, beserta keberadaan Hoseok yang menungguinya dengan cemas. Hoseok juga menceritakan perihal gempa yang mengguncang Gyongju sampai 8 skalarichter. Membuat 60% bangunan di Utara Gyongsang hancur. Getarannya sampai di Seoul mungkin bisa sampai Korea Utara.

“Bagaimana keadaan orangtuaku?” Yoongi memotong cerita Hoseok begitu mendengar berita jika Daegu menjadi salah satu wilayah dengan kerusakan terparah.

“Maaf, Hyung, mereka ….”

Yoongi memejamkan mata, rasanya seperti kehilangan kemampuan untuk membukanya lagi. Segala jenis penyesalan menyeruak di dalam benaknya, begitu pula kata maaf yang belum sempat terucap saat ia masih memiliki kesempatan. Seharusnya waktu itu Yoongi segera bicara. Yoongi menyesal tidak mengatakan banyak hal yang ingin ia katakan kepada ayahnya. Seandainya hari itu Yoongi tahu itu kesempatan terakhirnya.

Sekarang semuanya sudah hilang. Mereka semua pergi begitu saja, dan semua yang ingin Yoongi katakan tidak akan pernah mereka dengar. Apa yang telah ia lakukan selama bertahun-tahun yang lalu? Kenapa Yoongi tidak mengatakannya dari dulu? Bodohnya ia yang begitu mencintai pekerjaannya sebagai civitas akademia yang terlalu giat riset dan penelitian. Pada akhirnya semua keberhasilan yang telah ia capai tidak menjadi apapun dan hanya menjadi bunga hiasan di atas lemari.

Manifestasi dari semua penyesalan Yoongi melebur dalam isakannya yang tak dapat lagi ia tahan.

“Ayah, aku minta maaf.” Tangis Yoongi kembali pecah. Ia tak dapat lagi berkata-kata seiring pelupuk matanya basah oleh rasa menyesal. Ia tidak pernah menyangka bahwa kelakar Tuhan akan sedemikian lucunya. Baru saja kemarin ia bertemu dengan ayahnya, baru saja kemarin kata maaf akan ia ucap pada ayahnya, namun hari ini seakan dunia menertawakan rasa bersalahnya. Yoongi pikir, ia memiliki banyak kesempatan. Ia pikir segalanya akan berangsur baik-baik saja, namun rupanya takdir mengubah semua pemikirannya dalam sekejap mata.

Gempa Gyongju dan segala penyesalan mungkin akan menjadi ingatan Yoongi hingga menua.

End.

3 pemikiran pada “[Opposite Attract] Safe Zone

  1. Seandainya yoongi sedikit lebih cepat..

    Hnggg sedih banget bacanya. Gempa membuat yoongi harus merasakan sesal untuk selama lamanya. Nice fict! Esensi rollercoasternya kena. Pemilihan diksinya juga kece. Tapi masih ada beberapa typo dan minor mistakes. Overall, good work!

    Suka

  2. Penyesalan selalu terakhir. Karena terlalu nyaman bisa membuatmu bahaya. Tempat ternyaman bisa jadi tempat paling bahaya.
    Di beberapa tahun kehidupan berikutnya, aku mungkin seperti yoongi, maksudnya akan merasa kesepian padahal ramai. Rasa kesepianku adalah rasa rindu ingin pulang ke rumah. Rasa ingin dimanja, diperhatikan seperti ketika aku kecil. Aku selalu berpikir, semua makhluk hidup kodratnya adalah mati–meninggal. Tapi setiap aku memikirkan bahwa suatu saat itu akan terjadi pada keluargaku, tetap saja mataku memanas.
    Tujuanku nanti adalah membuat orang tuaku bangga padaku, tentu saja hampir semua anak memliki tujuan seperti ini. Aku ingin nanti mereka bukan cuma bangga tapi juga bahagia, bangga bukan hanya membangga-banggakan ke lain.

    Yoongi pernah bilang, ayahku adalah seseorang yg kaku pada anak-anaknya, aku takut ayahku. Tapi toh dia menjadikan ayahnya sebagai seseorang yg paling dia hormati.
    Well, good luck for everyone who still working hard for makin’ your parents proud to you!!

    Suka

Tinggalkan Balasan ke cheesevelvet7 Batalkan balasan