[What Is Your Colour?] Hoon-ie – Oneshot

aaaa

Hoon-ie

A Min Yoongi’s story by @FirdaHuda

Genre : Romance, Family(?)  | Length : Oneshoot |Rating : PG-13

– This story is originally written by me. Please don’t distribute this story –

“… terimakasih telah membuatku jatuh cinta lagi.”

­-

“Saya mohon bantuan Anda, Guru Kim,” Nyonya Lee membungkukkan tubuhnya setelah berdiri dan memakai tas selempang mahalnya.

Aku mengangguk sembari mengulas senyum. “Saya mohon kerja sama Anda, terimakasih sudah bersedia membicarakan masalah ini dengan saya.”

Nyonya Lee, Ibu Gong Do, salah seorang anak didikku kembali tersenyum sebelum berpamitan dan keluar dari ruang kelas. Hari ini memang sedikit berbeda dari biasanya. Anak-anak dipulangkan lebih pagi karena hasil ujian tengah semester pertama mereka akan dibagikan. Sebagai seorang wali kelas, aku-lah yang bertugas membagikan hasil pekerjaan mereka kepada orangtua masing-masing.

Aku merapikan dokumen murid-muridku, bersiap pulang. Mataku menangkap sebuah map biru yang aku ketahui sebagai raport salah satu dari mereka. Di halaman paling depan tertulis dengan jelas; Min Hoon. Kemana orangtua anak ini?

Ketika aku sibuk memikirkan orangtua Min Hoon, pintu ruang kelas terbuka. Aku mengalihkan pandanganku. Kutemukan Min Hoon yang melongokkan kepalanya lewat celah di antara pintu kelas yang sedikit terbuka.

“Oh, Hoon-ah, kemarilah!” aku melambaikan tanganku. Ekspresi wajahnya datar. Membuatku kesulitan menebak apa yang ia pikirkan.

“Guru Kim, saya akan mengambil raport saya sendiri,” ucapnya. Aku melotot tidak mengerti.

“Eh, kenapa? Memangnya kemana orangtuamu?”aku mengajukan pertanyaan yang sedari tadi terngiang di kepalaku.

Appa sepertinya tidak bisa datang sekarang dan Guru Kim sepertinya ingin segera pulang. Jadi saya yang akan mengambil raport saya sendiri,” aku tertegun.

“Kalau Appa tidak bisa mengambil, Eomma bisa ‘kan?”aku meliriknya dengan seulas senyum tipis di wajahku.

Aku tidak tahu apa yang membuat Min Hoon tidak suka. Tetapi wajahnya segera berubah menjadi penuh rasa kesal saat aku menyebut ‘Eomma’. Senyum di wajahku langsung hilang. Untuk suatu alasan yang sulit dimengerti, aku merasa bersalah berkata seperti itu kepada Min Hoon.

Demi membuat raut tidak menyenangkan itu hilang dari wajah Min Hoon yang menggemaskan, aku menyodorkan map biru tadi kepadanya. Ia tersenyum tipis saat mengambil map biru yang masih kupegangi itu. Min Hoon mendongak menatapku. Ia pasti kesal karena aku menahannya.

“Tapi kau harus janji akan memberikan raport ini kepada ayahmu tanpa membukanya, ya?” aku mengacungkan jari kelingkingku. Min Hoon menatapnya dengan bingung. Terlalu lama menunggu, aku membawa jemari mungilnya mendekati kelingkingku yang masing mengacung.

“Hoon-ah, kau berjanji kepada orang dengan cara seperti ini!” aku mengaitkan kelingkingnya dengan milikku lalu membawa kaitan jemari kami ke depan wajahnya. Ia tersenyum lebar hingga gusi merah mudanya terlihat. Aku ikut tersenyum, lalu mengacak-acak rambutnya.

Min Hoon menarik tangannya. Ia mundur beberapa langkah lalu berpamitan kepadaku. Aku mengangguk. Kemudian kembali merapikan dokumen dan surat-surat yang masih berceceran di atas meja.

Aku bersenandung sambil memasukkan barang-barang pribadiku ke dalam tas. Jika sore ini berjalan seperti rencanaku, aku dapat beristirahat dengan tenang nanti malam. Aku akan berjalan terlebih dahulu menuju sebuah toko buku dekat sekolah untuk membeli sebuah ensiklopedi yang sudah kutunggu sejak sebelum terbit. Lalu aku akan mampir ke café di persimpangan jalan menuju rumahku—Tunggu!

Hoon bilang ayahnya tidak bisa menjemputnya. Lalu dengan siapa Hoon akan pulang? Tidak mungkin ‘kan anak umur tujuh tahun pulang sendiri naik bus ke rumahnya?

Aku segera berlari menuju halaman depan sekolah. Dengan segala bentuk rasa lega, aku menghembuskan napas ketika melihat Hoon masih ada di tangga menuju pintu masuk sekolah dengan sebatang lollipop di tangannya. “Hoon-ah!”

Min Hoon memutar kepalanya mencari suaraku. Ia tersenyum saat melihatku berjalan tertatih mendekatinya. Aku duduk di sebelahnya.

“Ayahmu belum datang juga?” aku meletakkan tanganku di bahu kecilnya.

Hoon menggeleng kecil. Aku menghela nafas. Kusapu halaman sekolah yang kosong. Sebenarnya kemana perginya orang tua Hoon ini? Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hoon seharusnya sudah pulang sejak tiga jam yang lalu. Tapi sampai sekarang ia masih di sekolah.

“Apa kau tahu berapa nomor ponsel orangtuamu?” aku bertanya. Hoon kembali menggeleng.

“Apa kau tahu alamat rumahmu?” Hoon menggeleng. Lagi.

Kuputuskan untuk menunggu Hoon hingga siapa pun yang bertanggung jawab atas dirinya menjemputnya dan membawanya pulang ke rumah. Aku menggunakan kesempatan ini untuk berbincang dengan Min Hoon. Jika digolongkan, Hoon termasuk anak yang pendiam. Dia tidak banyak berulah seperti anak seumurannya. Dia berbicara sesuai keperluan. Jika tidak ada yang bertanya, dia tidak akan bercerita.

Lewat pembicaraan kecil kami, aku tahu Hoon adalah anak tunggal. Ia tidak suka berbicara tentang ibunya. Aku tidak berani bertanya alasan atas ketidak senangannya. Ayahnya bekerja di bidang musik. Hoon tidak tahu apa yang dikerjakan ayahnya. Yang dia tahu, ayahnya sering terjaga saat larut malam untuk menuliskan sesuatu di ruang kerjanya.

Singkatnya, aku dapat menyimpulkan kalau Hoon adalah anak yang pemalu. Ia tidak banyak bicara karena dia belum mengenal banyak orang di kelasnya. Anak dengan rambut hitam dan kulit putih yang kontras dengan rambutnya itu tipe orang yang menyenangkan setelah kau mengenalnya dengan baik.

Aku tidak tahu sudah berapa lama kami bercakap-cakap ringan. Cukup lama hingga sebuah mobil sedan hitam mengkilap memasuki halaman sekolah. Membuat Hoon tersenyum sumringah. Tanpa diberitahu pun aku dapat mengetahui kalau mobil itu lah yang akan membawa Hoon pulang.

Mobil hitam itu berhenti di depan aku dan Hoon. Pintu penumpangnya terbuka. Seorang pria dengan kaos putih polos yang dibalut dengan mantel tipis sepanjang lutut keluar dalam mobil itu. Ia mengenakan topi yang menghadap ke belakang, sebuah kacamata hitam, celana kulit, dan sepatu hitam senada. Tampan.

Appa!” Hoon berlari ke pelukan pria tampan yang berdiri seperti seorang malaikat di depanku.

Aku terlalu sibuk memandangi ayah Min Hoon hingga tidak menyadari kalau ia sudah melepas kacamatanya dan sudah mengucapkan sesuatu kepadaku. Ia melambaikan tangannya di depan wajahku. Menarik paksa jiwaku yang tadi terbang entah kemana. Membuat semua darah yang dipompa bilik kiri jantungku hanya tertuju ke wajahku.

“Maaf,”gumamku berusaha menghindari kontak mata dengan pria yang sekarang sudah menggendong Hoon ini.

“Saya yang seharusnya meminta maaf. Anda pasti terlambat pulang karena menunguu Hoon-ie,” ia tersenyum kecil. Sekarang aku tahu darimana Hoon mendapat senyum manis yang tadi ia gunakan saat berbicara denganku.

“Tidak apa-apa,” hanya itu yang bisa kukatakan. Aku sedang sibuk membangunkan diriku sendiri. Aku yang ini bukan diriku.

“Saya—“

Suara ponselku membuatnya berhenti berbicara. Aku izin mengangkat panggilan teleponku terlebih dahulu sebelum menjauh dari Hoon dan ayahnya untuk menjawab telepon dari ibu. Seingatku, aku tidak bermimpi buruk tadi malam. Mungkin ibu menggantikan jatah mimpi buruk yang seharusnya kudapatkan.

“Kim Yena!” aku menjauhkan ponselku dari telingaku. Berusaha memperkecil resiko buruk yang kemungkinan didapat telingaku.

“Kau melupakan ulangtahun ayahmu sendiri?”

“Ng…”

“Dimana kau sekarang?”

“Masih di sekolah.”

“Segera pulang!”

Lalu sambungan telepon terputus. Rencana bahagiaku sore ini sudah pasti kacau balau. Dan aku pasti tidak dapat istirahat dengan tenang nanti malam.

Aku kembali berjalan mendekati Hoon dan ayahnya. Berpamitan dengan kecepatan kilat karena ibu pasti sudah marah besar di rumah sekarang. Aku berlari menuju halte tempat aku biasa menunggu bus untuk pulang. Lalu menghabiskan perjalanan pulang ke rumah dengan penuh penyesalan. Siapa nama lengkap Tuan Min tadi?

 

Bel pulang sekolah mengisi gedung tua yang menjadi tempat aku mengadu nasib sejak dua tahun terakhir. Anak-anak bersorak bahagia. Tanpa mereka ketahui, aku juga berteriak senang saat mendengar bel tersebut. Memangnya mereka kira aku senang mengajar mereka?

Hal ini hanya guru sekolah dasar yang mengajar anak kelas satu yang memahaminya; mengajar anak-anak yang berada di tahun pertama sekolah mereka sangat melelahkan. Mereka tidak seperti kakak kelas mereka yang lebih mudah diatur. Jangan kira menjadi guru mereka berarti berdiri di depan kelas dan menjelaskan pelajaran yang perlu kusampaikan. Mengajar anak kelas satu berarti berlari dari ujung kelas yang satu ke ujung kelas yang lain untuk membuat mereka duduk dengan rapi. Aku tidak memiliki waktu untuk beristirahat.

Mereka berebut keluar dari kelas. Meninggalkan aku yang sibuk merapikan beberapa meja yang keluar dari barisan yang seharusnya. Aku mendengar suara meja yang ditarik dari pojok kelas. Kudongakkan kepalaku, Min Hoon sedang menggeser meja temannya yang tidak rapi. Ia menggeser meja-meja kecil yang cukup besar untuknya itu dengan teliti. Aku tersenyum melihatnya.

“Kau tidak ingin segera pulang, Hoon-ah?” aku melanjutkan pekerjaanku.

Appa bilang akan sedikit terlambat menjemputku hari ini, Guru Kim,”aku mengangguk mengerti.

Hoon menghampiriku setelah ia selesai merapikan meja dan kursi yang berada di satu deret yang sama dengan meja dan kursinya. “Appa juga bilang kalau Appa ingin bertemu dengan Guru Kim lagi.”

“Eh?” aku menghentikan kegiatanku. Melotot tidak percaya atas perkataan Hoon tadi. Aku bersumpah tidak mendengar degup jantungku beberapa detik setelah itu. Nafasku tercekat. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

Appa bilang aku harus bilang itu kepada Guru Kim.”

“Eh?” seperti de javu, aku mengalami serangan yang sama dengan saat Hoon mengatakan kalau ayahnya ingin bertemu denganku.

Hoon mengangguk. Ia merapikan sebuah meja yang belum rapi seperti meja lainnya. Bocah laki-laki itu kemudian mengenakan tas ranselnya. Bersiap keluar dari kelas. Ia berhenti melangkah saat ia berada di ambang pintu.

Aku segera menyusul Min Hoon. Kami berjalan berdampingan. Aku berhenti terlebih dahulu di kantor untuk mengambil barangku yang lain. Sedangkan Hoon langsung menuju halaman depan sekolah. Setelah mengambil beberapa buku aku langsung keluar dari kantor.

Halaman depan juga tidak terlalu ramai. Sebuah mobil hitam yang tidak asing bagiku terparkir di pinggir lapangan. Aku baru saja memikirkan seorang pria tampan yang keluar dari mobil itu kemarin sesaat sebelum suara seorang anak laki-laki meneriakkan namaku. Aku berhenti melangkah lalu menoleh ke sumber suara.

Min Hoon berlari dengan semangat menuju ke arahku. Aku tersenyum, melambaikan tangan kepadanya. Yang luput dari pandanganku adalah seorang pria yang memakai sweater biru gelap yang menutupi kemeja kotak biru muda yang berjalan dengan gaya khasnya di belakang Hoon. Keduanya berhenti berjalan setelah sampai di depanku.

“Selamat siang, Guru Kim,” pria dengan sepasang anting yang menggantung di telinganya itu tersenyum dengan senyum yang sama seperti kemarin.

“Um, selamat siang Tuan Min,” ucapku membungkukkan tubuh masih berusaha menghindari tatapan matanya.

“Kemarin sebenarnya saya ingin memperkenalkan diri, tapi sepertinya Guru Kim sedang sibuk jadi saya ingin memperkenalkan diri sekarang. Saya Min Yoongi, ayah Min Hoon,” ia mengulurkan tangannya.

Setelah beberapa saat aku hanya menatap tangan Min Yoongi, aku pun menjabat tangannya. Ia menenggelamkan tanganku di genggamannya yang halus dan hangat. Kami berjabat tangan cukup lama untuk sebuah salaman perkenalan.

“Anda ingin segera pulang?”

Ya, aku tidak ingin dekat-dekat dengan orang yang membuatku sesak nafas dan sulit bicara. “Tidak,” mulutku dengan teganya mengkhianati hatiku.

“Kalau begitu, apa saya dapat menebus waktu pulang anda yang tertunda kemarin karena keterlambatan saya menjemput Hoon-ie?”

Tidak, kau tidak perlu menebus waktu pulangku yang tertunda kemarin. Sungguh tidak perlu. “Ung… mungkin.”

Kulihat Min Yoongi imembuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Namun Hoon lebih cepat dripada ayahnya. “Appa, kata Guru Kim, Hoon harus membeli buku bacaan.”

Min Yoongi menatapku dengan pandangan bertanya. Aku terbata. Bingung harus mulai menjelaskan darimana. Aku menelan ludahku dengan susah payah.

“Untuk melatih Hoon agar dapat membaca dengan lancar,” jawabku cepat. Min Yoongi tersenyum tipis sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah, nanti kita membeli buku bacaan itu. Nanti,” Min Yoongi mengacak-acak rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Kenapa tidak sekarang saja? Kita ajak Guru Kim saja, Appa! Guru Kim ‘kan lebih tahu buku mana yang seharusnya Hoon baca. Appa, kita ajak Guru Kim ya?” aku melotot. Kenapa Hoon tiba-tiba ingin mengajakku? Kalau begini aku bisa mati konyol di depan sepasang ayah dan anak ini. Membayangkannya saja membuatku ngeri.

Min Yoongi menatapku dengan senyum khasnya yang terlihat ditahan. Aku tahu dia pasti menertawakan wajahku yang memerah di dalam hatinya. “Kau tanyakan saja kepada Guru Kim!”

“Apa Guru Kim mau menemani Hoon mencari buku bacaan?” Hoon menatapku dengan mata bulat. Manusia mana yang sampai hati menolak sepasang mata yang berkilau penuh harapan itu?

Di luar kendali otakku, aku mengangguk.

 

Aku dibangunkan oleh aroma menu sarapan buatan ibu di Minggu pagi ini. Tulangku hampir remuk saat aku melakukan peregangan. Mungkin karena otot-otot tubuhku yang menempel ke tulang berkontraksi terlalu banyak kemarin malam.

Berkeliling Kota Seoul bersama Min Yoongi dan Min Hoon memang menyenangkan. Mereka berdua sangat manis satu sama lain. Aku lupa berapa kali aku tertawa lepas bersama mereka kemarin. Justru kemarin malam aku berpikir akan terbangun dengan bibir robek. Efek samping dari tersenyum terlalu lebar malam harinya.

Kami sering menghabiskan akhir pekan bersama satu bulan setelah aku dan Min Yoongi saling mengenal. Kehadiran Min Hoon membuatku sedikit lega. Aku tidak tahu hal apa yang membuatku ingin menjauhi Min Yoongi. Pemikiran ini selalu membuntutiku setiap aku berpikir tentangnya. Ada suatu hal yang memperingatkanku bahwa Min Yoongi adalah ayah dari Min Hoon. Dia tentu saja sudah beristri.

Berbicara tentang Nyonya Min, istri Min Yoongi. Aku juga belum pernah bertemu dengannya. Kemarin Hoon mengajakku bertemu dengan ibunya. Aku menyetujui hal itu. Kami pun membuat janji untuk bertemu hari ini.

Sebuah ketukan di pintu kamarku membuyarkan lamunanku. “Masuk!”

“Yena-ah, ada yang menunggumu di bawah,” ibu berjalan mendekatiku. Ia duduk di ujung ranjangku dengan tatapan aneh.

“Kenapa menatapku seperti itu?” aku mendelik.

“Apa dia pacarmu?”

“Eh?”

“Anak laki-laki berambut pirang menyilaukan itu?” aku tidak tahu apa yang salah dengan cara bicara ibuku. Tapi semakin ibu mencoba menjelaskan, semakin aku tidak mengerti apa maksud ibu.

“Min Yoongi?”

“Namanya Yoongi? Ah, manis sekali,” aku tersenyum mendengar perkataan ibu. “Seperti orangnya,” senyumku hilang setelah ibu melanjutkan ucapannya.

“Dia ada di bawah? Sendirian?” ibu mengangguk, ia pasti meninggalkan Hoon di dalam mobil. Setelah satu bulan mengenal Min Hoon lebih dalam, aku tahu kalau Hoon lebih mudah tertidur saat duduk di kursi belakang mobil.

Aku mendesah. Sebenarnya aku sedang malas untuk bergerak. Apalagi bertemu Min Yoongi, itu sama saja dengan mengolahragakan jantungku.

Dengan segenap kemauan aku menyibak selimutku yang hangat dan nyaman. Kuturunkan kakiku ke atas karpet kamarku yang hangat. Semua benda yang ada di kamarku menjadi sangat sulit untuk ditinggalkan pada saat-saat seperti ini.

Aku belum berdiri sempurna, tapi ibu sudah menarik tanganku. Membuatku terduduk di pinggir ranjang lagi. “Apa lagi?”

“Apa lagi apanya? Kau belum menjawab pertanyaan ibumu, Kim Yena!” ibu menjepit hidungku dengan jari tengah dan jari telunjuknya.

“Yang mana? Ibu menanyakan terlalu banyak pertanyaan,” tanyaku sambil menguap.

“Apa dia pacarmu?” aku terbatuk. Sepertinya tersedak udara yang kukeluarkan saat menguap tadi. Dari sudut mataku, aku tahu ibu sedang menahan senyumnya.

“Bukan.”

“Akan. Lihat saja nanti! Oh, kau bisa berlama-lama berdandan karena ayahmu sedang seru sekali bercengkrama dengan Tuan Min Yoongi,” ucap ibu sebelum menutup pintu kamarku.

Satu hal yang membuatku khawatir. Ibu dan ayah tidak tahu kalau Min Yoongi sudah memiliki Min Hoon.

 

Aku tersenyum mendengarkan suara kekanakan Hoon yang senada dengan lagu yang sedang diputar di radio mobil. Kami—maksudku, aku, Min Yoongi, dan Min Hoon sedang berkendara. Cukup jauh, sepertinya menuju pinggir kota. Baik anak maupun ayahnya sama-sama tidak bersedia memberitahuku tujuan kami. Aku hanya tahu kalau aku akan bertemu ibu Min Hoon.

Tidak ada yang aneh sepanjang perjalanan. Keanehan mulai muncul saat Min Yoongi berhenti mengendarai mobilnya saat kami berada di depan sebuah toko bunga. Ia kembali ke dalam mobil dengan sebuket bunga krisan merah yang cantik.

Lalu kami kembali berkendara. Tidak terlalu jauh dari toko bunga tadi, Min Yoongi membawa mobilnya memasuki sebuah tempat yang kukenal dengan pemakaman. Senandung Min Hoon secara perlahan tapi pasti mengecil lalu menghilang.

Aku mengikuti langkah Min Yoongi dan putranya. Taman pemakaman ini cukup luas dan terawat. Tanpa diberitahu pun aku sudah tahu hanya keluarga orang kaya yang dimakamkan di tempat ini.

“Guru Kim, ibuku di sana!” Min Hoon menarik ujung mantelku. Aku menunduk menatapnya yang menunjuk arah lain yang aku tahu tidak ada manusia di arah yang ditunjuk Min Hoon.

Aku ingin mengikuti langkah lincah Min Hoon. Namun kakiku terpaku di tanah. Aku tidak bisa bergerak. Tapi hatiku berteriak ingin mendekati Min Hoon. Seperti menyadari posisiku yang mematung, Min Yoongi berhenti melangkah. Ia mengulas senyum kecil lalu menggandeng tanganku dengan tangannya yang membawa ketenangan di hatiku.

Min Hoon sudah meletakkan bunga krisan yang dibeli Min Yoongi di atas gundukan tanah yang tertutup rumput hijau saat aku sampai di sebelahnya. Min Yoongi berjongkok di samping Min Hoon. Aku mengikuti keduanya, mengambil tempat di sisi Hoon yang kosong.

“Eomma, ini Guru Kim,” Hoon menatapku tersenyum, lalu kembali menatap nisan di ujung gundukan tanah itu.

Aku tahu Hoon menceritakan banyak hal kepada ibunya. Tapi aku tidak dapat mendengar dan memahami satu pun dari yang ia ucapkan. Aku tidak tahan mendengar curahan hatinya. Min Hoon sangat manis saat bercerita kepada ibunya, membuatku ingin tersenyum dan menangis di saat yang bersamaan.

“Guru Kim, aku biasanya tidak membawa orang lain ke sini. Aku tidak suka mempertemukan ibu dengan orang lain,” ucap Min Hoon menjelaskan kepadaku.

Aku tertegun, “bukankah aku juga orang lain?”

Hoon menggeleng cepat. “Sekarang Guru Kim bukan orang lain untuk Appa dan Hoon, berarti Guru Kim juga bukan orang lain untuk Eomma.”

Segumpal air berkumpul di pelupuk mataku. Bendunganku rubuh, air asin itu mengaliri wajahku. Aku membuka tanganku, mengundang Hoon ke pelukanku. Anak laki-laki itu bangkit dari posisi jongkoknya, mendekatiku. Ia menjatuhkan tubuhnya di rengkuhanku. Kupeluk Min Hoon seakan aku sedang memeluk benda paling mudah pecah sejagat raya.

“Jangan menangis…” Min Hoon menarik tubuhnya dari pelukanku. Ia menggunakan tangannya yang kecil untuk menghapus air mataku.

“Eomma,” ucap Hoon. Aku menatap pusara ibunya. Saat aku menatap Hoon, aku mendapatinya sedang menatapku juga.

“Kenapa?”

“Jangan menangis, Eomma,” aku baru menyadari kalau Min Hoon sedang berbicara kepadaku.

 

Aku, Min Yoongi, dan Hoon memutuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu sebelum pulang. Min Yoongi membawa aku dan Hoon ke sebuah zona permainan di sebuah mall di jantung kota. Kami menghabiskan waktu di sana.

Hoon memberiku sebuah boneka beruang yang ia dapat dari salah satu permainan. “Maaf, bonekanya kecil.”

“Aku lebih senang boneka-boneka kecil seperti ini,” ucapku menghibur Min Hoon. Ia tersenyum bahagia setelah aku mengatakannya.

Min Yoongi ternyata pandai bermain basket. Ia tidak pernah luput memasukkan bola basket ke dalam ring permainan. Min Yoongi terlihat sangat keren saat melemparkan bola-bola itu ke ring.

“Hoon-ah, Appa akan mendapatkan skor tinggi, jadi kita bisa memberikan boneka beruang yang paling besar kepada Guru Kim,” Min Yoongi pura-pura berbisik kepada Min Hoon. Hoon mengangguk bersemangat. Ia menepuk pundak ayahnya, memberi semangat.

Aku hanya bertugas membawakan permen kapas dan es krim yang kami beli. Dan tentu saja tertawa setiap pasangan ayah dan anak ini melakukan hal yang lucu. Setelah hampir satu jam berada di zona permainan tersebut, kami pulang dengan membawa dua boneka beruang. Hoon menamai boneka beruang yang kecil dengan Min Hoon dan yang besar dengan Min Yoongi. Di akhir hari, setelah menghabiskan makan malam, Min Yoongi mengantarku kembali ke rumah.

Di perjalanan, Min Hoon sudah tertidur. Tidak ada senandung bahagia yang dia nyanyikan sepanjang perjalanan pulang. Atmosfer yang tumbuh di antara aku dan Min Yoongi sangat canggung. Aku bersyukur, perjalanan pulang tidak menghabiskan waktu sebanyak keberangkatan kami sebelumnya.

“Terimakasih sudah mengantar saya, Yoongi-ssi,” aku menundukkan kepalaku.

“Jangan hiraukan hal itu,” ucap Min Yoongi. Aku membalik tubuhku menghadap pintu mobil, mencoba membukanya. Namun, sia-sia, pintu sisi yang kutempati masih dikunci. Aku kembali menghadapkan wajahku ke arah Min Yoongi.

Ia menggelantungkan sebuah cincin bertahta sebuah benda yang mengkilap di depan wajahku menggunakan sebuah kalung sederhana. Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Jantungku berdegup cepat tanpa alasan yang jelas.

Aku menatap Tuan Min penuh tanya. Semua orang bisa tahu kalau aku meminta penjelasan lebih lanjut lewat mimik wajahku. Kecuali Min Yoongi. Semua orang juga bisa tahu kalau Min Yoongi sedang memasang wajah bosannya. Kecuali aku.

“Ada apa, Yoongi-ssi?”

“Ini untukmu,” ia menyodorkan kalung itu kepadaku.

“Untuk apa?” aku bertanya masih tidak mengerti. Tapi sulit dipungkiri, cincin yang menggantung di kalung itu memang sangat indah. Tidak ada wanita normal yang menolak penawaran bagus macam ini.

“Sebagai tanda bahwa kau sekarang milikku.”

“Eh?”

“Jangan berpura-pura Yena-ah! Aku tahu kau juga menyukaiku,” Yoongi tersenyum kecil di ujung kalimatnya. Aku mulai terbiasa dengan cara bahasanya yang menggunakan bahasa informal kepadaku. Aku bersumpah akan membunuh siapapun yang memberitakan hal ini kepadanya.

Darah yang seharusnya mengalir di seluruh pembuluh nadi yang ada di tubuhku, hanya mengalir menuju wajahku. Aku menggerakkan bola mataku ke arah manapun selain manik coklat Min Yoongi. Kutundukkan kepalaku, menggoyangkan kepalaku pelan-pelan agar beberapa helai rambutku dapat menutup wajah memerahku.

Satu detik kemudian, aku menyesal melakukan hal itu. Karena Min Yoongi tidak menjauhkan tubuhnya dariku yang jelas-jelas menghindar. Ia justru mendekatkan wajahnya ke samping wajahku. Semakin aku mencoba mengingat, semakin aku lupa bagaimana caranya bernafas.

Jemarinya mendekati wajahku. Min Yoongi menyibak rambut yang menutupi wajahku. Membuatku menunduk terlalu dalam. Ia tertawa kecil setelah melihat wajahku. “Aku salah,” ucapnya dengan wajah berjarak beberapa sentimeter dari wajahku.

“Kenapa?”

“Kita bukannya saling suka. Kita saling cinta.”

Aku perlahan menolehkan kepalaku menghadap Min Yoongi yang tersenyum manis. Aku membuka mulutku. Tapi suara yang aku gunakan untuk berteriak di depan kelas menghilang saat melihat Min Yoongi tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Aku dan Hoon sudah membicarakan hal ini beberapa hari terakhir. Hoon masih sangat menyayangi ibunya, tapi ia juga mulai menyayangimu. Ia mulai berandai-andai tentang keberadaanmu di rumah kami sejak kita mulai dekat,” otot wajahku mengendur saat Min Yoongi mulai berbicara tentang Hoon.

“Aku tahu ini hal yang kuno, tapi aku harus memberitahu ayah dan ibuku dulu sebelum memulai semuanya,” aku mulai rileks meski wajah kami masih sedekat tadi.

“Kau kira untuk apa aku masuk ke dalam rumahmu tadi pagi jika tidak untuk meminta izin mereka?” Min Yoongi bertanya masih dengan senyum di wajahnya.

“Kau apa?” aku justru balik bertanya. Ia menarik tubuhnya menjauh, menggedikkan bahunya. Aku mengeluarkan nafas yang tanpa sengaja kutahan.

“Apa mereka juga tahu tentang Min Hoon?” Min Yoongi mengangguk antusias, aku mengerutkan kening sedikit merasa aneh dengan sikap Min Yoongi.

“Ibumu segera berlari menuju mobil saat aku bercerita kalau Hoon tertidur di dalam mobil. Ia takut Hoon kesulitan bernafas,” kami terkekeh.

Kemudian hening yang canggung mengelilingi kami berdua lagi. Aku menjilat bibirku gugup. Melirik lagi kalung di tangan Min Yoongi. Perlahan aku menarik kalung itu dari tangannya. Ia nampak terkejut dengan aksiku, tapi kemudian ia justru menarik kembali kalung itu. Membuatku terkejut pula.

Aku menatapnya bingung. Ia justru menyeringai sembari melepas kaitan kalung itu. Min Yoongi mendekatkan wajahanya kepadaku, lagi. Ia melingkarkan tangannya ke leherku, memakaikan kalung itu untukku. Jemari tanganku dingin karena jantungku berdetak tidak seperti biasanya.

Aku membenarkan posisi kalung itu setelah Min Yoongi menjauhkan dirinya dariku. Kutatap sekali lagi kalung itu dengan sebuah senyum idiot di wajahku. “Cantik, terimakasih.”

Min Yoongi tersenyum, ia mengacak-acak rambutku pelan. “Aku juga berterimakasih kepadamu. Terimakasih telah menunggu aku menjemput Hoon hari itu. Terimakasih telah membuat Hoon tidak merasa kalau ia sedang sendiri. Terimakasih telah memberi rasa sayang seorang wanita kepada Hoon. Dan… terimakasih sudah membuatku jatuh cinta lagi.”

Aku terdiam. Tidak menyangka Min Yoongi dapat berbicara seperti itu. Dari pengamatanku selama ini, Min Yoongi bukanlah orang yang pandai mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Setelah cukup lama terdiam, aku pun tersenyum.

“Aku serius, Yena-ah. Aku sudah tidak pantas bermain-main dengan hati wanita. Jangan kaget jika dalam waktu dekat aku mengajakmu menikah,” aku tersenyum, merasa aneh saat Min Yoongi menyinggung masalah menikah. Kemudian kuanggukkan kepalaku.

“Kalau begitu, bisa kau bukakan pintunya?” aku bertanya pelan. Ia membukakan pintu mobil yang masih terkunci.

Aku membuka pintu mobil di sisiku. Tapi Min Yoongi memegangi lenganku pelan. Mencegahku untuk segera turun. Saat aku menatapnya, ia sudah membawa setangkai tulip berwarna kuning cerah di tangan kanannya. Aku tidak tahu darimana ia mendapatkannya.

Ia menyodorkan setangkai bunga itu kepadaku. “Aku ingin memberimu mawar merah sebenarnya. Tapi untuk alasan lain, aku justru membeli satu-satunya tulip yang tersisa di toko tadi.”

Aku menatap bunga itu jeli. Ada sebuah kartu kecil yang terselip di dalam plastik yang membungkusnya. Aku tersenyum, tersipu memikirkan hal apa yang ditulis Min Yoongi di dalam sana. Setelah tersenyum seperti orang bodoh sambil memandangi bunga tulip kuning itu, aku pun mengambil bunga itu dari tangan Min Yoongi.

“Terimakasih lagi,” ucapku menggoyangkan tulip kuning itu di depan wajahnya. Aku berbalik membuka pintu, lalu keluar dari mobil mewah Min Yoongi.

Aku belum sempat melangkah jauh dari mobil Min Yoongi saat aku mendengar suara dalamnya memanggil namaku. Kutolehkan kepalaku.

“Berhenti memanggilku’ Yoongi-ssi’! Panggil ‘Oppa’ saja,” aku tertawa lepas setelah Yoongi selesai berucap.

Oppa, cepat pulang! Kasihan Min Hoon.”

Lalu mobil itu berlalu. Perlahan-lahan menghilang ditelan jalanan malam kota. Aku berbalik, melangkah pelan masih dengan senyum bodoh di wajahku. Aku pasti terlihat seperti orang gila sekarang. Kulirik sepucuk kertas berwarna senada dengan bunga yang diberikan Yoongi kepadaku.

Terimakasih. Aku memutar bola mataku, bosan dengan ucapan terimakasihnya.

Terimakasih telah menghangatkan hubungan antara aku dan Hoon

Aku tidak pernah merasa menjadi ayah sebelum bertemu denganmu

Tulip ini adalah kau,       

Membawa kehangatan bagi siapa pun yang melihatnya

Aku menghembuskan nafas yang tanpa sadar kutahan sejak tadi. Benar sekali kata ibu tadi pagi, Min Yoongi memang manis. Yoongi Oppa benar-benar membuatku gila.

 

5 pemikiran pada “[What Is Your Colour?] Hoon-ie – Oneshot

  1. ngebayangin suga jadi duda sexy /ngiler/ hhh yoongi oppa /kkkk/ kamu kok sweet bgt sih^^
    btw salam kenal Fuyuko 99L^^ keep writing

    Suka

  2. Kenapa Suga jadi makin manis gitu yakk ????
    Ih, aku deg-deg an loh bacanya, Suga disini beda bangett 😆😆😆

    Rishuu-xx

    Suka

Leave a Review