[Vignette] Grey

by risequinn

BTS’ Suga (Min Yoongi) with OC’s Kim Ryuna

Alternative Universe, Angst, Romance | 1.3k words | PG-15

***

Mengapa saat terjadi sesuatu yang buruk, langit juga seolah bermusuh dengannya?

Mungkin benar, mood swing seorang perempuan adalah hal yang paling berbahaya, terutama bagi seorang dokter muda seperti Ryuna. Harusnya ia bisa sedikit mengendalikan, tidak mudah terbawa perasaan, atau benar-benar tidak memedulikan perkataan orang lain terhadapnya. Tapi Ryuna tidak sanggup mengatasinya seorang diri, selalu saja terdapat banyak monster di kepalanya yang berusaha untuk menelan kewarasan.

Ryuna bukannya tak berusaha, sudah, ia sudah cukup banyak berkata pada dirinya sendiri untuk tidak peduli pada segala kalimat jahat yang terkadang tak sengaja terdengar seperti, “Bagaimana seseorang yang memiliki gangguan kecemasan bisa menjadi dokter? Bukankah itu akan membahayakan pasiennya?”. Berpikir itu tak ada apa-apanya dibandingkan semangat yang melulu diberikan oleh kakak sulungnya, namun ternyata Ryuna tidak bisa mengenyahkan begitu saja kalimat yang telah terdengar oleh telinga. Ia pasti akan memikirkannya seharian, keesokan harinya, atau bahkan hingga pekan berikutnya. Memang sebegitu menyedihkan isi kepalanya, dan itu sekaligus mengacaukan suasana hatinya dalam sekejap saja.

Gadis tersebut keluar dari lobi rumah sakit bersamaan dengan mendung yang turun mengisi langit kota. Sejenak mendongak sembari membuang napasnya dengan suara berat, Ryuna dapat melihat seluruh pandangannya berubah abu-abu. Bukan hanya langit, gedung rumah sakit dan orang-orang di sekitarnya tampak menjadi monokrom. Ia mengerjap, mengusap matanya, tapi semuanya masih terlihat sama.

Langkahnya yang gontai membawa si gadis menuju halte di seberang rumah sakit. Terduduk dengan kebingungan atas apa yang baru saja terjadi, setetes air mata akhirnya meluruh melewati pipinya. Setelah semua perjuangan dan pengorbanannya selama ini, menekan segala stres dan rasa cemas yang makin lama justru semakin membesar, pagi tadi Ryuna justru melakukan kesalahan cukup fatal yang mengakibatkan seluruh elemen di dalam rumah sakit mengetahui jika ia memiliki gangguan kecemasan selama ini. Beberapa orang bahkan mengajukan petisi untuk pemecatannya yang mengakibatkan sore ini digelar rapat dadakan dan menghasilkan keputusan untuk men-skorsing sementara Ryuna dari rumah sakit serta menangguhkan izin praktiknya.

Seluruh dunianya seolah runtuh dalam sekejap, bahkan Kim Seokjin, kakaknya dan merupakan salah satu jajaran direksi, tidak cukup mampu untuk menyelamatkan karir adiknya. Ryuna benar-benar kehilangan semuanya sore ini.

Rerintik mulai berjatuhan, semakin lama semakin padat, dan orang-orang sekonyong saling berdesakan di halte untuk mencari tempat berteduh. Beruntung tak lama setelah itu, bus menepi untuk membawa penumpang dan nyaris seluruh manusia yang semula berada di halte menghilang bersamaan dengan bus yang berjalan. Namun, Ryuna masih di sana. Bergeming pada posisinya sembari merundukkan kepala kian dalam.

Suhu semakin turun, langit bertambah gelap. Saat cahaya lamat-lamat bermunculan dari sepanjang gedung pencakar langit, Ryuna mengangkat kepalanya. Sepasang netra masih terpejam begitu bus selanjutnya kembali berhenti di depan halte. Orang-orang mulai menaiki kendaraan tersebut dengan hati-hati karena jalanan mulai licin. Namun, satu suara yang teredam gemuruh dan guyuran hujan yang tetap padat, serta-merta membuat matanya yang lelah terbuka sempurna. Sembab menghias wajahnya, mengantar helaan napas panjang dari si lawan yang berdiri dengan payung kelabu di tangan.

“Bus akan segera jalan, kamu tidak naik?”

Ryuna sejenak terdiam, mematut tatap semakin dalam. “Kak Yoongi …, kamu bahkan berwarna abu-abu juga?” katanya dengan netra yang kembali digenangi air mata.

“Aku kenapa?” Yoongi mengedip cepat, memandangi dirinya sendiri dengan wajah kebingungan. “Bajuku berwarna hitam, payungnya memang kelabu. Soal bibir, aku akan mulai pucat kalau kedinginan, dan mataku berwarna cokelat, lho, kalau kamu ingin tahu.” Kini pandangannya menyisir sekitar halte, tak lama bus berjalan meninggalkan tempat tersebut. Ia melanjutkan, “Ada apa? Apa semua orang berubah abu-abu?”

Ryuna sekonyong menelengkan kepalanya ke segala arah, mencermati papan iklan yang memancarkan sinar merah muda begitu manis, lampu-lampu jalan berkedip kekuningan, serta jalanan yang riuh dengan sorot kendaraan yang menjadi gemerlapan penuh warna. Ada satu helaan lega yang mengudara dengan begitu kentara, lantas kakinya melompat cepat untuk berlari memeluk Yoongi di bawah guyuran hujan.

Isakan kecil melolos begitu saja, mungkin bedanya, saat ini isakan itu bukan sebentuk rasa frustasi, melainkan kelegaan yang luar biasa besar. Ryuna mengusap lelehan air matanya, lantas membuat jarak tak cukup lebar lantaran Yoongi menahannya agar tidak terpapar air hujan semakin banyak di bawah payung yang sama. Satu senyum kecil dibuat oleh keduanya setelah saling bersitatap selama beberapa saat.

“Kak, ayo makan ayam pedas!” ucap Ryuna.

Dahi Yoongi berkerut sejenak. “Tiba-tiba saja?” tanyanya kebingungan.

Ryuna memberengut. “Ayolah, tidak makan tidak apa-apa, deh. Tapi temani aku, ya?”

“Hm, sebenarnya itu pilihan yang bagus di cuaca seperti ini.”

“Jadi, setuju?”

“Apa boleh buat?” Yoongi mengedikkan bahu. “Kamu memaksa, sih.”

Ryuna mendesis singkat, lalu mengamit lengan Yoongi dan membawanya berjalan menembus hujan untuk mencari tempat makan terdekat. Kaki si lelaki mengikuti langkah gadisnya dengan cepat, tak ingin tertinggal terlalu jauh atau membuat Ryuna kehujanan karena ia berjalan dengan lambat. Yoongi ingin selalu berjalan berdampingan seperti ini, tentu dengan senyum manis Ryuna yang belakangan mulai jarang terlihat tulus.

“Kak Yoongi sengaja menjemputku, ya?”

Dehaman pelan membalas pertanyaan tersebut sebelum satu suara menyahut, “Tidak, tuh.” Lelaki tersebut melirik, jelas tak dapat menyembunyikan raut wajah yang menyimpan kebohongan. Ia mendapat telepon dari Seokjin beberapa saat lalu, dan dengan serampangan segera menuju rumah sakit untuk menemukan gadisnya. Tapi Yoongi juga tak dapat mengatakan yang sebenarnya, jadi ia kembali berkemam untuk meneruskan lirih, “Tadinya mau ke apotek membeli beberapa obat, lalu aku melihatmu duduk sendirian di halte.”

“Oh, begitu.” Ryuna hanya mengangguk tanpa curiga. “Apa sudah dapat obatnya?” tanyanya.

“Tentu,” balas Yoongi sembari memasang senyum pias. “Obatnya bisa menyembuhkan segala macam penyakit, lho, kamu mau tidak?”

“Memang ada obat yang seperti itu?”

“Ada, tidak percaya?”

Gadis tersebut mengerutkan kening. “Apa nama obatnya? Selama aku menjadi dokter tidak ada yang—”

“Tidak perlu menjadi dokter untuk mengetahuinya, Rhun.”

“Lantas, obat apa itu, Kak?”

Yoongi melesakkan sebelah lengan ke dalam saku jaket, mengaduk-aduknya sekilas dengan wajah bingung, namun tak lama ia mengeluarkannya lagi dengan ibu jari serta jari telunjuknya membentuk finger heart.

Sejurus saja, hal itu membuat Ryuna memperlambat laju tungkainya, kemudian berhenti tak jauh dari penyeberangan jalan. Satu senyum kecil tersemat, lantas ia mencium pipi Yoongi dengan begitu cepat. “Wah, obatnya sangat mujarab, ya? Jantungku sampai tak kuasa menerimanya,” katanya riang dan diselingi kekehan tawa, namun Yoongi jelas bisa menemukan kesedihan di matanya. Gadis tersebut meneleng buru-buru, kembali mengajak Yoongi berjalan untuk menyeberang.

Ryuna tahu, kalau semakin lama bertatapan dengan si lelaki, Yoongi pasti akan memergokinya menangis tak lama setelah itu. Ia memang begitu cengeng.

“Malam ini menginap di tempatku, ya, Rhun,” ucap Yoongi tiba-tiba.

Lagi-lagi, jengkahan kakinya terhenti di trotoar. Ryuna mengedip gamang sembari menyahuti dengan suara tergagap, “A—aku belum siap melakukannya, Kak.”

“Aku bahkan tidak berpikir mau mengajakmu melakukan itu.” Yoongi mendengkus setengah tertawa. Ia memutar posisi dan berdiri berhadapan dengan gadisnya. Mendaratkan satu kecupan singkat di kening tak lama kemudian. “Aku cuma tidak ingin kamu sendirian malam ini.”

Satu senyum perlahan merekah dari ceruk bibirnya. Ryuna melompat dan memberi Yoongi pelukan sekali lagi. Si lelaki tidak tampak keberatan, ia bahkan tak cukup peduli pada pandangan mata yang melirik mereka dengan aneh. Ryuna pun tidak punya kendali atas tubuhnya saat tahu-tahu melonggarkan pelukan dan merengkuh wajah Yoongi dengan kedua tangan. Di bawah lampu jalan yang temaram, dan pejalan kaki yang mulai lenggang karena hujan turun semakin deras, Ryuna berucap parau, “Aku pasti akan melakukan hal-hal bodoh kalau kamu tidak datang, Kak. Terima kasih, sekali lagi, kamu menyelamatkanku.”

Yoongi mengeraskan rahang. “Selama aku masih bernapas bersamamu, jangan pernah kamu berpikir untuk melakukan hal itu atau aku akan membencimu selamanya. Kamu mengerti?!” cetusnya keras.

Si gadis hanya mengangguk perlahan saat Yoongi kemudian memperpendek jarak dan menggapai tengkuk gadisnya untuk memberi ciuman lembut. Tidak ada yang bergerak pada awalnya, sampai ketika Ryuna memindahkan lengannya untuk melingkari leher si lelaki, Yoongi pun menekankan ciumannya semakin dalam dan menuntut.

Tujuh tahun lalu, Ryuna selalu berandai-andai kalau ia tidak bertemu Yoongi, entah siapa yang akan menjalin hubungan dengan lelaki itu kini? Apa ia akan kembali dengan mantan kekasihnya, ataukah ia menemukan gadis lain saat harus bekerja di luar negeri seperti yang sudah terjadi? Apa jika tidak ada dirinya saat itu Yoongi akan benar-benar berkencan dengan si perempuan? Atau ada cerita lain yang menjadi latar perjalanan hidup Yoongi dari awal?

Namun dari semua hal itu, Ryuna bersyukur pada akhirnya Yoongi bertemu dengannya dan nyaris melewati sewindu bersama-sama. Karena saat semuanya menjadi abu-abu, hanya Yoongi yang bisa mengembalikan seluruh warna di dalam hidup Ryuna tanpa membutuhkan banyak waktu.

“Jangan khawatir, aku akan di sini bersamamu, Kim Ryuna. Berbahagialah! Karena bahagiamu adalah milikku juga.”

fin.

Leave a Review