[Chapter 1] The Snowmill of Vierwald

the-snowmill-of-vierwald-snqlxoals818

The Snowmill Of Vierwald

.

BTS’ Kim Seokjin as Killian Beckett, Park Jimin as Alven

OC’s Icy Lytton & Aleta

.

AU, fantasy, family, hurt/comfort, slight!fluff | twoshot | PG 13

.

inspired by trilogy The School for Good and Evil — Soman Chainani and trilogy Half Bad — Sally Green.

.

Prologue

.

Ia menemukan mereka di Snowmill.

.

Matahari bahkan belum terbit ketika asap biru itu menyelinap melalui celah pintu dan mengikat erat pergelangan tangan Icy. Ia baru tertidur selama dua jam dan dibangunkan dengan cara seperti ini. Bagus! Keributan badai kemarin malam mengharuskan anggota kepengurusan asrama memperketat penjagaan, dan dia sudah tertimpa sial dengan menjaga gerbang sampai tengah malam dan ditambah beberapa tugas murid tingkat akhir yang menumpuk.

Asap biru itu semakin erat mencengkeram, hingga telapak tangan kanannya berbeda warna dengan yang satunya. Icy tahu ulah siapa ini. Tak ingin tangannya semakin kebas, ia beringsut bangkit berdiri, menuruti ke mana arah tarikan asap itu membawanya. Menaiki tangga, berkelok melintasi lorong, dan sampai di depan pintu kayu tinggi dengan papan nama usang.

Pintu menjeblak terbuka. Tanpa derit meski engselnya tampak karatan. Lalu terlihat sosok tua itu di sana. Melintasi satu demi satu rak di sekeliling ruang kerjanya, mengangkut beberapa buku juga benda entah apa Icy tak peduli. Ia hanya ingin asap ini berhenti mencekal lingkar tangannya dan kembali ke kamar melanjutkan tidurnya yang singkat.

Um, Profesor?”

Suara Icy parau dan lirih. Tapi, pria berjanggut tipis itu mendengarnya, lantas berbalik. Wajahnya kusut, menambah keriput di sekitar dahi dan sudut matanya. Icy tahu ada hal yang tidak beres di sini. Dan—

“Gantikan aku.”

—seharusnya, tadi Icy mengurung asap biru ini di kantung beras.

“Tapi—”

“Hanya tiga hari. Mungkin lebih. Entahlah.” Sang profesor mendesah. Jubah cokelat besar lusuhnya basah oleh keringat, kendati bulir-bulir salju perlahan turun di luar sana. Memang ada yang tidak beres. Icy melirik meja besar di balik tubuh sang profesor, tas kulitnya menggembung penuh barang-barang dan sapu terbangnya bersandar tak jauh darinya. Ia berjalan mendekat, lalu mondar-mandir di depan Icy. “Aku tidak tahu kenapa Fallo memilihku untuk ikut bersamanya, Lytton. Si Pemarah itu bisa saja memilih Spencer atau Yowa atau siapa pun asalkan bukan aku. Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan Uji Pertahanan?” tanyanya dengan mata memicing.

Icy diam saja, tidak tahu harus berkomentar apa. Karena, sungguh, Icy tidak tahu maksud perkataannya. Yang ia tahu, permintaan Fallo membuatnya harus menggantikan tugas-tugas pria berjanggut di hadapannya ini. Omong-omong, tangan Icy sudah kebas. Ditambah, kepalanya pening akibat kurang tidur.

Edward!

Gema suara itu terdengar dari luar jendela. Siluet seorang pria tua lainnya, yang Icy tahu pasti itu siapa, perlahan terlihat.

Edward—pria tua yang memberengut menatap Icy ini—cepat-cepat menyampirkan tas kulitnya dan melambaikan tangan di atas sapu terbangnya yang langsung melayang-layang rendah.

“Aku sudah menyiapkan tugas—ada di dalam laci,” katanya, menunjuk meja. “Kau hanya perlu memberi sedikit arahan di tingkat satu. Bagikan peta Vierwald besok—maksudku pagi ini.”

Vierwald adalah sebuah hutan tak bertepi yang teramat luas yang terdiri dari empat hutan musim: Snowmill, hutan musim dingin yang hampir seluruh pepohonan juga datarannya tertutup salju; Springdale, hutan musim semi, tempat di mana kau bisa menikmati berbagai bunga-bunga indah; Summermead, hutan musim panas yang diselimuti kehangatan; dan Woodfall, hutan musim gugur dengan warna oranye mendominasi.

Edward!

“Astaga pria tua itu tidak sabaran sekali.” Edward menggeram sebal. Ia mendorong Icy ke luar ruangannya. Sebelum pintu itu ditutup, Edward menyerahkan satu kunci cadangan pada Icy. Melihat tangannya yang tak bergerak, Edward baru sadar kalau rantai asapnya masih mengikat muridnya. “Astaga, maaf aku lupa,” katanya, lalu mengusap pergelangan tangan Icy dan asap itu menguar.

“Terima kasih.” Icy menerima kunci itu dan meletakkannya di saku.

“Satu lagi, Lytton.” Edward mengacungkan jari telunjuknya yang kurus. “Lusa ada pengenalan seputar Springdale untuk tingkat empat dan Woodfall untuk tingkat dua. Pergilah bersama Killian Beckett.”

EDWARD!

Suara itu terdengar semakin jelas dan menggelegar. Sekali lagi ia berteriak, mungkin seluruh murid akan terbangun dan berlari heboh keluar kamar. Anggap saja teriakan itu alarm kebakaran seperti tahun pertama Icy di sekolah ini.

“Aku mengerti,” kata Icy.

Sebelum Edward menutup pintu, Icy sempat melihatnya tersenyum dan menggumamkan kata terima kasih. Well, Edward memang bukan pengajar yang sering cemberut dan marah-marah di kelas. Tapi, baru kali ini ia tersenyum pada sang gadis. Sungguh.

Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara embusan angin, tanda jika Edward sudah melesat keluar dengan sapu terbangnya. Meninggalkan kastel besar ini dan menghampiri seorang pria dengan rambut putih dan janggut panjang yang sudah menunggunya sejak tadi.

Fallo, seorang pria yang juga tua, yang menjabat sebagai Dekan di Stovenhale.

.

-:-:-

.

“Selesai.”

Icy menghela napas tepat setelah kakinya melangkah keluar ruang kelas terakhir. Dua jam berkeliling membagikan peta Vierwald ditambah sedikit berbincang-bincang di beberapa kelas, cukup melelahkan juga. Belum lagi kelas-kelas itu berjauhan dan perlu menaiki belasan anak tangga. Ya, seluruh murid memang memiliki sapu terbang dan diperbolehkan menggunakannya, kecuali untuk tingkat satu dan dua. Tapi mereka dilarang menggunakannya di dalam Stovenhale.

Stovenhale sendiri adalah sekolah sihir. Letaknya di tengah Vierwald dan dikelilingi parit dalam yang penuh dengan ikan pemangsa daging. Dengan satu kastel besar dan bertingkat lima; lantai pertama sampai tiga sebagai ruang kelas, lantai empat sebagai ruang-ruang guru, dan lantai teratas satu ruang besar untuk Dekan dan ruang kelas Astronomi di seberangnya. Ada dua menara yang mengapit Stovenhale sebagai asrama; Menara Pioss untuk murid laki-laki di depan dan Menara Naia untuk murid perempuan di belakang. Puncak Menara Pioss digunakan sebagai tempat mengintai. Selalu ada seorang murid laki-laki yang menjaganya setiap malam.

“Icy!”

Merasa terpanggil, gadis itu berbalik dan melihat seorang laki-laki yang berjalan cepat ke arahnya. Lambaian tangannya seakan menyuruh Icy berhenti, menunggunya di sisi koridor, sementara laki-laki itu mampir sejenak untuk balas menyapa—dan mengobrol sebentar—dengan sekumpulan murid perempuan.

Icy mendengus kesal. Bukan karena harus menunggu, tapi tatapan murid-murid perempuan itu, setelah laki-laki tadi, yang kini berjalan mendekat, seolah ingin menyihir Icy menjadi katak berkutil. Oh, ayolah, apakah menjadi bastar seburuk itu? Asal tahu saja, tidak semua bastar itu kejam. Ya, Icy seorang bastar, tetapi ia tidak kejam.

Ada tiga golongan murid di Stovenhale: fain—manusia biasa, dan dua jenis penyihir—Baik dan Jahat. Karena suatu alasan, Icy memberanikan diri memasuki Stovenhale dan menambahkan satu golongan lagi, Bastar—campuran antara penyihir Baik dan Jahat. Mereka menganggap bastar jauh lebih berbahaya daripada penyihir Jahat. Entah teori dari mana. Bagi mereka, mayoritas bastar memang terkenal kejam, berbahaya, dan patut dijauhi. Icy tidak menjamin kalau dia Baik seutuhnya, memang. Icy punya sisi Jahat, namun ia bisa mengendalikannya—mungkin. Tak hanya Icy, golongan bastar yang lain juga sama.

“Maaf. Lama, ya?”

Icy mengedikkan bahu dan kembali berjalan. Laki-laki itu, Killian, menjajarkan langkah di sampingnya. “Ada apa?”

“Kau sibuk?”

“Aku harus menggantikan Edward memberikan tugas selepas makan siang.”

Killian melirik jam. Mengangguk dua kali dan menggumam, lalu menangkap lengan Icy dan mereka berhenti berjalan. “Ikut aku sebentar. Please?”

Menatap pergelangan tangannya, Icy berdeham dan berkata, “Aku tidak mau menjadi menu makan malam bagi klub penggemarmu, Tuan Beckett.” Cepat-cepat Killian melepaskan tangannya dan menggeser satu langkah ke belakang. Bukannya Icy jijik padanya, tapi itu sudah kesepakatan mereka. Dan, meskipun terpaksa, Killian sudah menyetujuinya. “Ke mana?” tanya Icy.

Killian menggaruk tengkuk. Melirik ke kanan, kiri, dan belakang, sebelum berbisik, “Woodfall.”

“Untuk apa kita ke—”

“Sebentar saja. Aku janji. Oke?”

Icy telah mengenal Killian sejak tingkat dua dan sekarang mereka sama-sama berada di tingkat enam. Killian murni penyihir Baik dan tampan. Itulah sebabnya mereka harus menjaga jarak karena Killian memiliki klub penggemar sendiri. Icy lupa nama klub aneh itu (dan itu tidak penting). Yang ia ingat, sekumpulan murid perempuan genit itu pernah sekali berusaha membuka lokernya—hanya karena ia dan Killian makan siang bersama—tapi mereka tidak bisa melakukannya, lantaran Icy sudah memantrai lokernya dengan mantra pelindung. Akibatnya, jari mereka beku selama dua jam. Bukan salah Icy, ‘kan?

Selama mereka berteman dekat, Killian selalu percaya pada gadis itu. Percaya bahwa Icy adalah bastar yang tidak berbahaya untuk dijadikan teman dekat. Kali ini, Icy pun harus percaya padanya. Percaya kalau pergi ke Woodfall bukanlah pilihan yang buruk

“Sapu terbangku disita,” ujar Icy. “Jadi aku akan ber-mogrif dan mengikutimu dari belakang.”

Mogrif artinya berubah wujud menjadi hewan. Untuk perjalanan yang cukup jauh ini, Icy akan berubah menjadi burung hantu saja. Oh, catatan untuk bermogrif: selalu sedia baju. Kalau tidak, kau akan malu. Kenapa? Karena saat kau kembali ke tubuh manusiamu, kau akan telanjang bulat—polos, tanpa busana. Yeap, itulah risiko terbesar bermogrif.

“Oke.”

.

.

Setelah memastikan kantung berisi pakaian yang dititipkan Icy padanya telah ia bawa, Killian menyambar sapu terbangnya dan pergi dari Menara Pioss. Killian melewati bagian belakang Stovenhale dengan kecepatan penuh dan melambatkan laju sapu terbangnya kala ia melihat Icy bersiap di birai jendela kamarnya di Menara Naia. Tak perlu waktu lama bagi gadis itu untuk berubah menjadi seekor burung hantu dan lekas melesat terbang.

Woodfall terletak tepat di belakang Stovenhale. Meski terlihat dekat, menuju hutan bermusim gugur itu membutuhkan waktu lebih kurang sepuluh menit dengan kecepatan sedang menggunakan sapu terbang. Cepat-cepat Killian mengendarai sapu terbangnya, karena waktu makan siang takkan lama. Namun, sesekali dia melirik burung hantu berbulu putih yang susah payah mengepakkan sayap di sampingnya.

Mengulum senyum, Killian ingat bagaimana pelajaran mengendarai sapu terbang di tahun pertamanya. Masa di mana ia melihat seorang gadis bersurai panjang kecokelatan yang terus-menerus terjatuh dari sapu terbangnya. Yah, gadis itu adalah Icy, yang masih tidak bisa bersahabat dengan sapu miliknya.

Lambat laun, mulai tampak dedaunan oranye dan ranting-ranting cokelat kurus, pertanda mereka hampir tiba di Woodfall. Killian menukik turun, terbang di antara pepohonan kering dengan lincah, sementara Icy berusaha mengimbangi di belakangnya.

“Icy, cepatlah!”

Killian menyapukan tongkat sihirnya ke sekeliling pohon. Daun-daun yang berguguran seketika terangkat, membentuk tirai tinggi tanpa celah menutupi pohon. Icy mendarat di salah satu dahannya. Kantung pakaiannya sudah diletakkan Killian di sana. Setelah kembali ke wujud manusia, bergegas Icy memakai pakaiannya, seragam yang sama seperti Killian.

“Sudah be—”

“Sudah.”

“Ayo.”

Tirai dedaunan tadi luruh seiring langkah Killian menjauh. Icy mengikutinya melintasi beberapa pohon. Sesekali Killian melirik pohon yang mereka lalui. Ada sehelai daun menempel di sana, sebagai penanda lokasi, dan ia berbelok.

“Aku menyembunyikannya di… sini!”

Mengamati pohon yang cukup besar di hadapannya, mulut Icy terbuka lebar. Bagaimana tidak, Killian menghias pohon ini dengan dedaunan yang membentuk namanya besar-besar. Bukankah sangat tidak layak disebut tempat persembunyian, huh?

“Itu mereka.”

“Mereka?” tanya Icy menjungkitkan kedua alisnya. “Siapa yang kau sembunyikan?”

Alih-alih menjawab, Killian menyuruh Icy berjongkok di sampingnya dan mengintip ke dalam lubang batang pohon. Pendar cahaya dari ujung tongkat sihir Killian menerangi bagian dalam pohon. Menampakkan dua bocah berusia lima tahun tertidur saling berpelukan. “Aku menemukan mereka di gerbang Snowmill.”

“Snowmill?”

Yeap. Mereka pingsan. Sepertinya….”

Seketika semuanya terasa hening. Sunyi. Killian masih mengoceh, menceritakan bagaimana ia menemukan mereka dan membawanya ke Woodfall, sementara Icy bergeming. Maniknya terarah pada kedua bocah di hadapannya dengan tatapan kosong. Selintas memori terbesit di kepalanya. Dari sekian banyak tempat, Snowmill adalah satu-satunya tempat yang takkan lagi ia singgahi. Banyak hal yang terjadi di sana dan Icy membenci semuanya, termasuk dia! Seseorang yang ingin ia—

“Icy!”

Tersentak oleh seruan itu, Icy menoleh. Mendapati Killian yang menatapnya cemas dan laki-laki itu meringis. Mengarahkan maniknya ke bawah, barulah Icy tersadar kalau pendar putih bercampur biru menguar dari tangannya yang digenggam Killian. Tangannya membeku.

“Astaga. M-maaf, Killian. A-aku tidak sengaja. Aku tadi hanya—”

“Tak apa. Sungguh.”

“Maaf.”

Icy tidak pernah merasakan sebuah kekuatan besar yang bergejolak dari dalam tubuhnya, seakan mendesak keluar. Pendar itu jauh lebih terang ketimbang pendar biasa yang menguar dari tangannya jika ia menggunakan Anugerahnya—kemampuan yang kau dapatkan dari leluhurmu atau siapa pun yang masih sedarah denganmu. Dan Anugerah setiap penyihir berbeda.

Bodohnya, ia hampir menyentuh mereka. Kalau Killian tidak mengorbankan tangannya, kedua bocah itu pasti sudah membeku. Mereka pasti sudah mati.

“Hey, Icy. Tenanglah. Aku tidak apa-apa, begitu pun mereka.”

Tentu. Killian bisa memulihkan tangannya meski membutuhkan waktu beberapa menit. Anugerahnya dalam menyembuhkan diri sendiri sudah ia latih sejak lama. Tapi tetap saja, Icy merasa bahwa, ya, ia Jahat. Anugerahnya bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dia bahkan tidak tahu untuk apa Anugerah itu diberikan kepadanya. Apa bagusnya bisa membekukan sesuatu?

“Aku akan membawa mereka ke Stovenhale.”

“Apa?” Manik Icy membola. Killian mengusap surai kedua bocah itu bergantian dengan tangannya yang lain. Mengalirkan hawa hangat, membuat mereka berhenti menggigil kedinginan. “Dengar. Kau takkan bisa membawa mereka masuk. Alarmnya, ingat? Edward masih mengaktifkan mantranya. Dan, alarm itu akan berbunyi saat kau membawa seseorang atau sesuatu yang bukan berasal dari Stovenhale. Mereka—kita bahkan tidak tahu siapa mereka. Jadi, sebaiknya—”

“Aku akan tetap membawa mereka. Untuk itulah aku memintamu datang.” Killian tersenyum. Icy bergidik ngeri melihatnya. “Kau jaga gerbang, ‘kan, nanti malam?”

“Ya. Dan aku tetap tidak akan membantumu membawa mereka masuk. Oke?”

Neva, si kapten asrama, yang selalu bertindak semaunya, menugaskan Icy menjaga gerbang selama seminggu sementara ia tidak melakukan apa-apa. Menolak pun percuma saja, Neva meiliki banyak ‘pengikut’ yang bisa membuat Icy kesulitan melebihi menjaga gerbang.

“Ayolah, Ice. Matikan alarmnya, tiga—tidak, satu menit saja. Tidak ada yang tahu. Neva terlalu malas mengecek detailnya,” desak Killian.

“Tapi—”

“Kumohon, hm?” Killian menangkup tangan Icy. Satu tangannya masih sedikit kaku. Dan, demi Woodfall yang berbau lembab, Icy paling benci melihat laki-laki itu menelengkan kepala dan mengedipkan matanya. Eww.

“Menjauh dariku sekarang atau aku akan me—”

Omelan gadis itu terpotong. Matanya membelalak dan tubuhnya terasa kaku ketika Killian memeluknya. “Terima kasih, Ice.”

“KILLIAN!”

.

-:-:-

.

Rencana Killian berhasil.

Rold—penjaga pengganti Icy semalam tidak mencurigai apa pun. Sam, salah satu sahabat Killian yang berjaga di puncak Menara Pioss, berjanji tidak akan menceritakan kejadian semalam. Yang ia tahu, Killian hanya membawa dua kucing peliharaannya ke dalam Stovenhale.

Killian mengubah kedua bocah itu menjadi kucing sebelum mereka dibawa masuk. Untunglah Killian lebih dulu melewati gerbang sebelum Rold datang. Karena kalau Rold melihat kucing itu, sekejap ia akan tahu kalau itu bukanlah kucing sungguhan.

Pagi ini, sebelum menyerahkan laporan—yang sudah dimanipulasi—kepada Neva, Icy menyempatkan diri ke puncak Menara Naia. Killian menyarankan bocah-bocah itu disembunyikan di sana. Saat ini situasinya akan lebih aman. Tidak sampai Fallo datang.

“Selamat pagi, Icy.”

Ternyata Killian sudah berada di puncak menara saat Icy membuka pintu. Terlihat dari rupa lelahnya, Killian tidak tidur semalam demi menjaga dua bocah itu. Mereka masih tertidur. Deru napasnya lebih teratur daripada kemarin. Suhu di sini cukup hangat berkat Killian.

“Namanya Alven dan Aleta,” ujar Killian, melambaikan tangannya, menyuruh Icy mendekat dan menunjukkan bandul kalung dengan sebuah ukiran nama. “Kurasa mereka kembar.”

Sepintas mereka memang mirip. Warna rambut Alven cokelat almond. Sedangkan Aleta hitam pekat, pendek sebahu dan berponi rata.

“Bisa kutitip mereka sebentar?” Killian bangkit berdiri. Merapikan jubahnya lantas berjalan ke arah jendela. “Aku akan mengambil makanan untuk mereka. Kau mau?”

“Tidak. Cepat kembali saja.”

Setelah itu Killian melesat keluar menggunakan sapu terbangnya. Masih terlalu pagi. Murid-murid Stovenhale belum berkeliaran di lingkungan ruang makan. Ditambah cuaca sedang dingin. Berlama-lama di dalam selimut agaknya merupakan pilihan yang paling tepat.

Angin berembus masuk. Diikuti butir salju melayang-layang dan mendarat di kening Aleta yang tertutup poni. Icy mengulurkan tangan, berniat menghalau lebih banyak salju yang mungkin nanti akan turun. Namun, jemari kecil Alven lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya, lantas menepisnya kencang-kencang.

Perlahan Icy beringsut menjauh. Maniknya mengawasi bocah laki-laki itu yang berusaha membangunkan saudari kembarnya. Namun Aleta masih bergeming. Diam-diam Icy menyembunyikan tangannya di balik jubah. Perlakuan Alven entah kenapa berhasil membangunkan gejolak aneh itu lagi. Pendar putih-biru menguar, lambat-laun meredup. Dan Killian datang.

“Ada apa ini?” Ia menyandarkan sapu terbangnya, lalu meletakkan keranjang rotan kecil bawaannya di sudut ruang. Killian mengamati Alven yang ketakutan memeluk Aleta dengan sikap protektif, berganti maniknya menatap lekat tangan Icy. “Kau—”

“Astaga, apa kau pikir aku ingin mencelakakan mereka?” Icy mendengus kasar. Lantas berbalik, dan pergi.

Tanpa perlu mendengar kelanjutannya, Icy tahu apa yang ingin dikatan Killian. Raut wajahnya sudah menjelaskan semua. Killian curiga pada Icy, hanya karena bocah laki-laki itu ketakutan melihatnya.

“Oh, bagus! Bela saja mereka. Memangnya aku peduli?!”

.

.

Sialnya Icy peduli.

Setelah menggumamkan permintaan maaf, Killian duduk di sebelahnya di kelas Ramuan. Pertemuan minggu lalu, Profesor Trace menyuruh mereka membuat kelompok berpasangan. Kali pertama memasuki kelas Ramuan dan melakukan percobaan, Icy berhasil meledakkan cawan kecil sebagai tempat ramuan itu dan membuat semua orang di kelas muntah-muntah. Sejak itulah, Trace mengharuskan Killian, yang memang ahli meramu, untuk berpasangan dengan Icy.

“Kurasa, Alven dan Aleta lupa ingatan,” bisik Killian di sela kegiatannya memilih botol-botol cairan.

“Kau serius?”

Selepas kepergian Icy tadi, Killian sempat berbicara dengan Alven. Menanyakan asal-usul mereka, tapi Alven hanya menggeleng, memilih bungkam. Syukurlah, Aleta sadar tak lama setelah itu. Sedikit ketakutan melihat Killian tapi seketika melunak saat laki-laki itu tersenyum menepuk puncak kepalanya.

“Kita harus memberi tahu Fallo.”

“Jangan!” seru Killian. Tangannya tak sengaja menggebrak meja dan menarik perhatian Profesor Trace di depan kelas yang langsung menatap ke arah mereka. “Maaf. Tadi Icy ingin menambahkan ramuan pelupa.”

Trace memicingkan matanya. Cepat-cepat Icy berdiri dan membungkuk meminta maaf, sebelum duduk kembali dan mencubit lengan Killian. “Pengalihan yang bagus, Killian Beckett.”

Killian memberikan cengirannya sembari meringis mengusap lengannya. Sekian detik berikutnya, wajahnya berubah serius. “Kumohon, jangan laporkan mereka pada siapa pun, termasuk Fallo.”

“Tapi, kalau kita—”

“Icy.”

“Aku hanya curiga. Kita tidak tahu apa pun tentang mereka, Killian. Mungkin saja mereka berbahaya, ‘kan?”

Killian menghela napas. Menggeleng. “Mereka bahkan tak lebih tinggi dari ini.” Killian mengetuk sisi meja di hadapan mereka yang terbuat dari kayu yang tak mau repot-repot dipoles cat mengilap oleh pengrajinnya. “Tenang saja, oke?”

Icy ingin percaya padanya. Tapi, perasaan aneh saat Alven menatapnya tadi dan respons Anugerahnya yang tiba-tiba saja muncul… rasanya sulit untuk diabaikan. Well, mungkin ia hanya khawatir. Lagi pula, Icy juga belum bisa mengontrol Anugerahnya sepenuhnya.

“Baiklah.”

.

.

tbc.


Ini direncanakan twoshots tapi akhirnya aku bikin threeshots aja soalnya chapter 1 nya panjang banget 😀 Maaf untuk update yang sangat lama ini /.\ Oh, maaf juga kalo nama tempatnya susah-susah ya. ehehehe 😀

4 pemikiran pada “[Chapter 1] The Snowmill of Vierwald

  1. Gpp Kak, ini emang panjang tapi bacanya nyaman2 aja, tau2 udah selesai. Killian emang cocok bgt ya dpt peran yg baik2 kyk gini.
    Trus Al sibling juga lucu bgt (padahal ga digambarin kyk gituu, hehe) aku ngebayanginnya mereka berdua punya telinga kucing gituuu….
    Ditunggu kelanjutannya Kak 😀

    Suka

Leave a Review