[Chapter 3] Messed Up: Crossing Paths and The Butterfly Effect

messed up - tsukiyamarisa

Messed Up

written by tsukiyamarisa

.

All of BTS’ members

Chaptered | AU, Life, Friendship, slight!Angst and Dark | 17 (for trigger warning: suicidal thoughts, drinking, self-harm, panic attack, etc.)

loosely based on Run MV and HYYH Prologue

.


But what is a friendship?

Something that collide with us, or something that stay with us during collision?


.

previous: #1: This Is Not Where We Started | #2: Of Reality and Unacceptability

.

#3: Crossing Paths and The Butterfly Effect

.

.

.

Hari itu cerah.

Kim Seokjin bukanlah seseorang yang puitis, dan ia tak punya cara lain untuk mendeskripsikan apa yang dirasakannya saat ini. Ia hanya tahu bahwa dirinya terbangun di sebuah pantai; berbaring di atas hamparan pasir dengan beralaskan selimut, sementara sinar matahari pagi mulai menerangi dunia dan debur ombak terdengar bagai musik. Di kejauhan, ada beberapa burung camar yang mulai beraktivitas, beterbangan rendah di atas permukaan air untuk mencari makan.

Begitu tenang, damai, dan tanpa beban.

Mendudukkan diri dari posisi telentangnya, Seokjin bergerak meregangkan kedua lengan. Mengedarkan pandangnya ke sekeliling, menyerap semua detail lanskap pantai yang tersaji. Tempat ini tak banyak berubah, dan Seokjin bisa merasakan memorinya membanjir keluar begitu saja. Ia ingat bagaimana ia dan keenam sahabatnya berlarian di sini, bermain air hingga basah kuyup, juga melakukan permainan-permainan konyol. Ia ingat bahwa mereka mengambil banyak foto kala itu, satu yang menyimpan kenangan mereka dan masih tersimpan di dasbor mobil sang lelaki.

Ditemani pemikiran itu, Seokjin pun bangkit berdiri dan melangkah menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berbaring. Dengan sebelah tangan membuka pintu kabin penumpang mobil pick-up miliknya, kemudian menjangkau kompartemen penyimpanan di bawah dasbor. Bunyi klik pelan terdengar, dan Seokjin bisa merasakan sudut bibirnya bergerak naik ketika ia meraih setumpuk foto yang ada.

Foto pertama adalah sebuah self-potrait, menampakkan mereka bertujuh yang tengah berdesakan dalam satu frame.

Kala itu, Namjoon memaksa untuk memegang kamera dengan dalih bahwa tangannya yang paling panjang. Pernyataan yang langsung diikuti hadiah toyoran dari Yoongi, sementara yang lain terbahak keras dan saling berebutan posisi. Laut kala senja menjadi latar belakang mereka hari itu, semburat sinar oranye mengelilingi ketujuhnya yang sedang berpose.

Hyung, sebentar dong! Aku tidak kelihatan!”

“Payah kau, Park Jimin!”

Fuck you, guys! Hei, hei! Jangan diambil dulu fotonya!”

Butuh tiga kali jepretan sampai wajah mereka bertujuh terlihat di foto, saling merangkul dan memasang cengiran konyol. Dua foto lainnya dianggap tidak layak oleh Jimin, hanya karena wajahnya tertutup lengan Jungkook. Suatu perkara yang membuat Jimin mengeluarkan ancaman “aku akan melempar kalian semua ke laut!”, namun hanya kekeh tawa yang terdengar sebagai balasan.

Foto kedua menampakkan Jungkook dan Taehyung yang sedang berlari di sepanjang pesisir.

Walau kelima orang lainnya tidak tampak, tetapi Seokjin ingat apa yang terjadi saat itu. Sementara kedua kawan termudanya berlarian, ia sendiri memilih untuk bersandar pada badan mobil bersama Yoongi. Bersisian; ia dengan handycam sementara Yoongi mengambil alih kamera polaroidnya. Mereka bertugas mengabadikan momen-momen yang ada, mengobrol pelan mengenai berbagai macam hal.

Yeaaah! Jeon Jungkook melalui garis finish dalam waktu lima detik!”

Curang!”

“Kapan aku curang, Hyung?!”

Samar-samar, teriakan itu terdengar selagi Namjoon—yang waktu itu berperan sebagai juri—sibuk menengahi. Lantas, belum sampai perdebatan itu berakhir, Jimin dan Hoseok sudah ikut meramaikan. Berlomba-lomba menuju ke arah tiga yang lain, menabrak Taehyung yang masih cemberut hingga nyaris terguling. Mereka berakhir dalam adegan gulat yang tak jelas; saling menindih, mendorong, dan mengubur satu sama lain dengan pasir pantai.

“Whoaa! Whoaa!! Ombaknya naik ke sini!”

Teriakan itu milik Namjoon, lengkap dengan telunjuk yang diarahkan ke laut lepas. Lelaki itu sukses membuat keempat temannya menoleh panik, sebelum akhirnya sadar betapa bodohnya tipuan barusan. Kompak, mereka pun berganti menyerang Namjoon. Ramai-ramai mengangkatnya ke tepi laut, sampai Yoongi dan Seokjin ikut terkekeh kala bunyi suara tubuh yang bertemu air terdengar.

“Yang diam saja akan jadi korban berikutnya!”

Itu adalah suara Jungkook, yang terlambat diproses Yoongi sementara Seokjin sudah lekas-lekas berlari. Handycam terlupakan, tangan menyambar kamera polaroid dari genggaman sahabatnya. Seokjin sudah berada dalam jarak beberapa meter dari mobilnya, tepat ketika Jimin dan Taehyung sama-sama memegang lengan Yoongi. Tanpa susah-payah mengangkat tubuh kurusnya, membawanya ke tepi laut sementara Seokjin sibuk mengambil foto.

Hei, hei! Shit, kita tidak bawa baju ganti, guys! Turunkan aku atau—“

Tak ada yang tahu kelanjutan dari kalimat makian Yoongi, lantaran ia terpaksa bungkam dan membiarkan suara ‘byuur’ keras kembali terdengar. Resmi basah kuyup, kendati kala itu, Seokjin tak sempat mengambil foto yang lain. Sang lelaki sudah terlanjur menjadi target pengejaran berikutnya, sehingga satu-satunya foto yang tercetak adalah foto Yoongi yang sedang diangkut bagai persembahan.

Foto yang sekarang sedang ia amati, menghadirkan tawa kecil di tengah kesendirian yang ada.

“Ah, aku boleh merindukan kalian, bukan?”

Menggumamkan kalimat itu, Seokjin beralih pada beberapa foto berikutnya. Tak ada latar laut atau sinar matahari yang tampak di sana, melainkan sebuah pom bensin di tepi kota. Pukul tujuh malam, dan mereka memutuskan untuk pergi mencari makanan. Baju-baju mereka yang basah dan lengket sudah ditanggalkan, diganti dengan kaos polos murahan yang dibeli di toko kecil dekat pantai. Lelah mulai datang, tetapi hal itu tetap tak menghentikan celotehan riang untuk meluncur keluar.

“Aku mau ramyeon!”

“Beli kembang api juga!

“Memang minimarket menjual kembang api?”

Seokjin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kendati demikian, ia tetap mengizinkan Jungkook untuk berlama-lama di minimarket demi menghabiskan ramyeon-nya. Juga membiarkan Taehyung dan Jimin berdebat soal kembang api, selagi ia sendiri memasukkan beberapa bungkus roti, biskuit, camilan, dan botol-botol minuman ke dalam keranjang.

“Lain kali, aku tak akan mau menyetujui ide nekat kalian lagi.”

Nada kesal kentara dalam suara Yoongi malam itu, selagi tangannya menggenggam gelas kertas berisi kopi hangat. Mengikuti Seokjin, lelaki itu mengambil dua pak kimbap yang dibungkus wadah plastik dan meletakkannya di keranjang. Berkata kalau itu adalah pesanan Namjoon, mengingat yang bersangkutan sedang asyik merokok di luar sembari bertukar obrolan dengan Hoseok.

Bagaimana denganmu? Kau butuh sesuatu?”

“Kita tidak bisa menghabiskan terlalu banyak uang, kau tahu?”

“Yoongi—“

“Namjoon mungkin punya banyak uang, tetapi dia harus mencoba mengurangi kebiasaan buruknya itu. Biar aku yang bayar kali ini.”

Menutup perdebatan, Yoongi lantas menyambar keranjang belanja dari Seokjin. Membawanya ke kasir, sepatu diketuk-ketukkan selagi ia menunggu belanjaan mereka dihitung. Kalau sudah seperti itu, Seokjin tahu bahwa tidak ada gunanya memperpanjang percakapan. Yoongi itu keras kepala, dan walau terkadang tidak enak didengar, Seokjin harus mengakui bahwa kata-katanya tadi benar.

Maka, ia pun memilih untuk menghampiri Jimin, Taehyung, dan Jungkook. Bertanya apakah mereka sudah selesai, mengisyaratkan bahwa mereka akan pergi dari sini sebentar lagi.

Tapi, aku belum dapat kembang api!”

Hanya kekehan yang mereka keluarkan tatkala mendengar rengekan Taehyung tersebut. Menganggapnya kekanak-kanakan, mengingat Seokjin sendiri bahkan belum tahu apa yang tersembunyi di balik sikap kelewat ceria tadi. Mereka berakhir tanpa kembang api, melewatkan suasana malam di pantai ditemani kerlip bintang yang bertaburan. Seokjin sempat mengambil foto langit saat itu, yang kemudian mengundang gelak tawa lantaran tak ada satupun sinar bintang berhasil tertangkap kamera.

Kurasa kita hanya boleh menggunakan kamera saat hari sudah terang.”

Menuruti saran Hoseok, Seokjin lantas menyimpan kamera polaroidnya dan beralih pada handycam. Merekam pembicaraan mereka; segala tawa, masalah, solusi, serta penghiburan. Mereka mengobrol selama berjam-jam, sampai akhirnya Jimin jatuh tertidur di atas pasir pantai dan yang lain pun memutuskan untuk ikut berbaring.

Tak ada yang aneh, tak ada pula yang membuat Seokjin resah. Hari itu berlangsung dengan baik, dan begitu pula dengan pagi yang datang beberapa jam kemudian. Semuanya terasa damai, kendati langit sedikit mendung dan ombak bergulung-gulung di kejauhan. Bukan masalah, lantaran Seokjin mendapati dirinya tetap tersenyum lebar kala ia terbangun. Tangan otomatis meraih kamera yang semalam ia abaikan, memutuskan untuk mengabadikan lanskap laut yang masih berwarna keabuan.

Dan itu adalah foto terakhir yang Seokjin ambil.

Keindahan terakhir yang bisa ia rasakan; sisa-sisa kebahagiaan yang bisa ia genggam.

Karena, tak sampai beberapa menit kemudian….

…rasa dingin dan kebas itu mengambil alih segalanya.

.

-o-

.

“Taehyung-a!”

Langkah kaki Seokjin terburu-buru, berderap di atas pasir pantai yang masih basah. Kepalanya ditolehkan untuk mencari-cari, namun sejauh netranya memandang, ia sama sekali tak bisa menangkap figur sahabatnya. Taehyung menghilang begitu saja, tak lagi tertidur bersama teman-teman mereka yang lain. Ia lenyap, dan bohong kalau Seokjin bisa mengabaikan firasat buruk yang mendadak merayapi tubuhnya.

Maka, ia pun terus mencari. Memanggil-manggil, hingga tanpa sadar dirinya sampai pada bagian jalan yang menanjak. Menelusurinya akan membawa Seokjin pada bagian lain dari pantai ini, mengizinkannya untuk melihat laut dari atas tebing yang menjulang. Tak ayal, semua itu sukses membuat tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Bukan tebing terjal setinggi puluhan meter yang ia butuhkan saat ini, tetapi ke mana lagi ia harus mencari Taehyung dan memastikan kalau semua baik-baik saja?

Tak punya pilihan lain, Seokjin pun mulai mendaki.

Ia berusaha untuk menggerakkan tungkainya secepat mungkin, menyusuri jalan setapak yang semakin lama semakin curam. Beberapa kali ia nyaris terpeleset, kedua tangan sedikit tergores saat ia mencengkeram tonjolan-tonjolan batu terdekat sebagai pegangan. Vokalnya masih setia memanggil-manggil, kendati satu-satunya sahutan adalah debur ombak yang membentur bebatuan.

Butuh sekitar dua puluh menit sampai Seokjin tiba di atas tebing, kaki akhirnya menapak pada bebatuan yang datar.

Masih dengan napas terputus-putus, Seokjin berusaha memenuhi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Mencoba untuk menenangkan diri, seraya kepala tertoleh ke segala penjuru. Tebing itu memang tinggi menjulang, tetapi permukaannya tidaklah terlalu luas. Mudah saja bagi kedua maniknya untuk tertumbuk pada sosok itu, sosok yang mengenakan kaos kuning cerah, sedang berdiri di tepian tebing, dan—

“Taehyung-a!”

—dan ia hilang begitu saja.

Tak ada yang menyiapkan Seokjin untuk kejutan macam itu, yang selama beberapa sekon mampu membuatnya tertegun dengan iris dilebarkan. Benak sibuk menolak apa yang baru saja ia saksikan, menyodorkan berbagai penyangkalan bahwa bukan Kim Taehyung-lah yang meloncat dari sana. Tidak, tidak. Seokjin tak mau percaya kalau temannya baru saja mengambil pilihan nekat itu, tetapi….

“Terima kasih untuk liburan yang menyenangkan ini, guys. Aku tidak akan melupakannya.”

Tersentak, kalimat terakhir yang Taehyung ucapkan sebelum tidur kemarin sekonyong-konyong hadir dalam ingatan Seokjin. Tambahkan tatap khawatir Yoongi yang sempat dilihatnya semalam, seolah memberikan indikasi bahwa semua ini telah Taehyung rencanakan secara diam-diam. Serta-merta membuatnya terkesiap, selagi kakinya berlari cepat ke arah tepian tebing. Seokjin meloncat tanpa pikir panjang, abaikan baik ketinggian tebing tersebut maupun hantaman ombak di bawah sana. Desiran angin serta suara berderu itu tak ia pedulikan, rasa takutnya hilang lantaran Seokjin pikir ia bisa menyelamatkan Taehyung sebelum semuanya terlambat.

Oh, ia memang tidak terlambat.

Begitu tubuhnya membentur permukaan air, hal pertama yang Seokjin lakukan adalah berenang ke permukaan. Memastikan letak garis pantai, serta tak lupa mengambil napas panjang sebelum kembali menyelam. Berusaha membuka matanya, Seokjin sama sekali tak mengalami kesusahan untuk menemukan Taehyung. Keberuntungan berada di pihaknya; atau setidaknya, itulah yang Seokjin pikir ketika ia berhasil menyambar lengan Taehyung dan berusaha menariknya ke atas.

Keduanya muncul di permukaan tak lama kemudian, berusaha untuk mengapung seraya Seokjin menyentakkan tubuh Taehyung. Memaksa sahabatnya untuk membuka mata, serta mengajaknya berenang ke tepian. Namun, alih-alih bergerak, Taehyung malah memandangi Seokjin dengan sorot terkejut. Kebingungan kentara di wajahnya, tak mengerti mengapa Seokjin bisa berada di hadapannya.

Hyung? A-apa yang—“

Tetapi, layaknya mimpi, keberuntungan yang tadi dielu-elukan Seokjin mendadak pergi. Seolah harapan itu memang tak pernah ada, seakan maut memang tak mengizinkan keduanya untuk terlalu lama berbincang. Taehyung bahkan belum sempat menjelaskan apa-apa, karena gulungan ombak itu sudah lebih dulu menyapu dan menenggelamkan keduanya kembali ke dalam lautan.

Begitu penuh kekuatan, begitu tak berbelas kasihan.

Seokjin bisa merasakan hidung dan paru-parunya seperti terbakar; tubuh makin susah untuk digerakkan. Empasan tadi sukses memunculkan rasa paniknya ke permukaan, mengingatkannya akan fakta bahwa mereka bisa mati tenggelam kapan saja. Kedua kakinya menendang-nendang, sebelah tangan mencengkeram lengan Taehyung makin erat. Pikirannya mulai tak bisa bekerja dengan semestinya, menyisakan sekelumit asa bahwa ombak—entah bagaimana—mungkin bisa membawa mereka kembali ke daratan.

Tapi, tak selamanya harapan itu bisa diandalkan, bukan?

Debur ombak kembali menghantam mereka sepersekian menit kemudian, kali ini memberi waktu bagi keduanya untuk memunculkan kepala di atas permukaan air. Hanya sejenak tentu, mengingat angin bertiup makin kencang sementara hujan mulai turun. Perpaduan yang tampaknya makin menyemangati pergerakan ombak, berulang kali mendorong dan menarik dua anak manusia itu layaknya mainan.

Terus demikian, sampai Seokjin merasakan nyeri menyebar di sekujur tubuhnya.

Entah apa yang terjadi, tetapi genggaman tangan mereka tahu-tahu sudah terlepas. Taehyung tak lagi tampak, sementara arus laut memilih saat itu untuk menghantamkan Seokjin pada bebatuan karang. Membuatnya makin tak berdaya, tak lagi bisa membuka mata seraya sakit dan dingin mengambil alih.

Terombang-ambing antara mati rasa dan kengerian, Seokjin hanya bisa memanjatkan satu doa terakhir. Permintaan yang ia tujukan bukan untuk dirinya, melainkan bagi Taehyung yang entah berada di mana. Seokjin hanya berharap bahwa apa yang ia lakukan ini tidak akan sia-sia, bahwa Taehyung mungkin punya kesempatan selamat jika laut mau sedikit berbaik hati. Ia tak lagi bisa peduli pada dirinya, tidak ketika penyesalanlah yang kini mulai merambati tiap inci raganya.

Ia telah gagal….

…dan ia membiarkan gelap untuk menyelubunginya.

.

-o-

.

Ketika Seokjin membuka kelopaknya lagi, kedua pupil itu telah basah.

Memori akan kematiannya masih terasa begitu jelas, teramat detail hingga tak bisa dilupakan. Yang Seokjin tahu, hanya ialah yang menjadi korban keganasan laut pada hari itu. Hanya ia yang pergi, yang terpaksa menunggu di tempat ini seorang diri sembari menyelami kenangannya. Tempat yang mungkin memang nyaris serupa dengan pantai itu—objek destinasi liburan Seokjin dan sahabat-sahabatnya.

Kendati demikian, ia sendirian.

Ia tak punya teman di alam entah apa namanya ini, ia bagai arwah penasaran yang tak tahu harus melakukan apa. Kegiatannya sehari-hari hanyalah berjalan-jalan tanpa tujuan, memutar ulang semua kenangan yang pernah mereka buat dulu. Foto-foto polaroid dan mobil pick-up itu adalah satu-satunya yang ia miliki, media bagi Seokjin untuk menyalurkan rasa rindunya. Karena jujur saja, ia amat ingin menemui mereka semua. Ia ingin melakukan satu percakapan terakhir dengan mereka, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, dan—

Hyung?”

—oh, apakah ia mulai berhalusinasi?

Bisakah orang yang sudah meninggal berhalusinasi?

“Seokjin Hyung?”

Nah, ia bahkan mendengar suara Yoongi menyebut namanya. Pun dengan derap langkah kaki yang mendekat, lantas disusul oleh—

“Mengapa kita ada di pantai ini, Hyung?”

Mustahil jika Seokjin masih bisa mengabaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlebih karena ia baru saja merasakan tepukan Yoongi di bahunya. Secara otomatis mendorongnya untuk menolehkan kepala, pandang bertemu dengan iris hitam Yoongi yang bergerak-gerak gelisah. Sahabatnya itu mengenakan kaos putih lengan panjang dan celana jeans lusuh, terlihat sama persis dengan kali terakhir Seokjin melihatnya.

Tetapi, jika ini memang bukan halusinasi, apa yang Yoongi lakukan di sini?

Tentunya, ia tidak melakukan sesuatu yang bodoh atau berbahaya, bukan? Seberapa pun beratnya kehidupan di sana, Seokjin tahu kalau Yoongi tidak akan melakukan itu. Min Yoongi mungkin memang pesimis sejati, tetapi Seokjin tahu kalau temannya itu senantiasa memiliki niat untuk tetap hidup. Yoongi juga bukan tipe orang yang akan menyia-nyiakan sesuatu. Jadi, apa kiranya yang membuat lelaki itu berada di sini, berdiri di samping Seokjin seakan-akan ini adalah hal paling wajar di dunia?

Hyung?”

Y-ya?”

Mengamati Yoongi, Seokjin sadar bahwa lelaki itu tengah menggigiti bibir bawahnya. Suatu kebiasaan jika ia sedang khawatir dan cemas, atau ragu untuk mengungkapkan apa pun yang ada di kepalanya. Kendati demikian, Seokjin sendiri punya berbagai macam tanya untuk diutarakan. Dan hal itulah yang ia lakukan—membiarkan kuriositasnya mengudara lebih dulu.

“Yoongi?”

Yeah?”

“Kau belum—“ Seokjin berhenti tepat sebelum ia mengucap ‘mati’, berdeham pelan dan lekas mengganti kata-katanya. “Kau… masih hidup, ‘kan? Semua baik-baik saja?”

“Tentu saja aku masih hidup,” balas Yoongi cepat. “Tapi, aku tidak yakin kalau semua baik-baik saja.”

“Apa Taehyung—“

“Kami semua masih hidup, Hyung. Berjalan, tidur, makan, bernapas, dan sebagainya,” jawab Yoongi lagi, menyisipkan sedikit sarkasme di sana. “Kalau itu bisa dibilang hidup.”

“Yoongi-ya…

“Tidak. Kami tidak baik-baik saja, sejujurnya,” ucap Yoongi tanpa memberi jeda, seakan ia sudah memendam segalanya terlalu lama dan ingin lekas-lekas meluapkannya keluar. “Aku tidak baik-baik saja, Hyung. Yang lain juga demikian. Hidup kami berantakan, dan aku sama sekali tidak bisa membantu. We’re fucked up, okay?”

Tidak ada jawaban. Seokjin memilih untuk bungkam, mengamati sahabatnya lamat-lamat tanpa berani berkomentar. Sebagian dari otaknya sibuk memproses informasi tadi, pernyataan Yoongi mengenai hidup yang makin berantakan. Membuat Seokjin bertanya-tanya apakah mereka membuat masalah lagi, serta kekacauan macam apa yang kiranya ada di benak enam orang itu. Ia begitu ingin tahu, tetapi pada saat yang bersamaan, ia juga tak bisa menahan lidahnya untuk berucap, “Bagaimana kau bisa sampai di sini?”

Yoongi—yang sekarang sudah mendudukkan dirinya di atas pasir—mendongak untuk menatap Seokjin. Kepala digelengkan, selagi bibirnya berkemam, “Aku juga tidak yakin. Sepertinya aku tertidur dan….” Satu gelengan lagi, disertai dengan pupil yang bergulir untuk mengamati pemandangan pantai. “Tepatnya, di mana kita berada sekarang? Ini tidak mungkin…?”

“Tidak,” Seokjin menyetujui, ikut duduk di samping Yoongi. “Kurasa, walaupun terlihat serupa, ini bukan pantai yang kita kunjungi dulu. Sejak aku tenggelam….” Jeda sejenak, sementara Yoongi sedikit berjengit mendengarnya. “Yah, setelah kejadian itu, aku selalu berada di sini sendirian. Mungkin ini semacam alam baka, mungkin juga ini tempatku menunggu sebelum pergi ke tempat lain. Tak ada yang tahu, bukan?”

“Lantas, seandainya itu benar, kenapa aku bisa ada di sini?” Yoongi balik bertanya, kerutan muncul di keningnya. “Aku belum mati—oh, seharusnya aku tahu bukan, kalau aku sudah mati? Lagi pula, aku cukup yakin kalau ini cuma mimpi. Mungkin semua ini hanya ada di dalam kepalaku.”

Seokjin mengulum senyum tipis mendengarnya. “Itu juga masuk akal sebenarnya. Kau tahu, Yoongi-ya…

“Apa?”

“Bagaimana kalau ini….” Seokjin mengulurkan jemarinya, menggambar dua garis yang saling bersilangan di atas permukaan pasir pantai. Mengibaratkannya sebagai dua jalan yang saling bersimpangan di satu titik, selagi ia mengimbuhkan, “Yah, mungkin ini semacam cara agar kita bisa bertemu dan berbicara?”

“Tapi mengapa?” Yoongi mengajukan tanya lagi, ada ketidakpuasan di dalam nada suaranya. “Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan akal sehat, ‘kan? Bagaimana kalau—“

“Hal-hal seperti ini tidak selamanya bisa dijelaskan, Yoongi-ya,” potong Seokjin lirih. “Tetapi, bukan berarti ini terjadi tanpa alasan. Pasti ada sesuatu, sampai-sampai kita diberi kesempatan untuk bertemu. Semacam perkara yang perlu dituntaskan atau masalah untuk dibicarakan, mungkin?”

Yoongi tahu kalau pemikiran Seokjin barusan benar adanya, sehingga ia memilih untuk diam. Pertanda jika ia mengiakan, sembari otaknya memilah-milah kejadian mana yang mau diceritakan. Banyak hal telah terjadi semenjak kepergian Seokjin, tetapi tak ada yang lebih mengganggu pikirannya selain peristiwa itu. Pertengkaran yang terjadi kala mereka berenam berkumpul, yang mengakibatkan semuanya kembali terpecah-belah dan tersebar ke segala arah.

Menghela napas dalam-dalam, Yoongi hanya mampu menekuk lutut dan menyembunyikan wajahnya di sana.

“Yoongi-ya?”

“Ini salahku, Hyung.”

“Apa maksudmu? “

“Aku tidak bisa membantu mereka, aku merusak segalanya,” ucap Yoongi, kepala masih ditundukkan. “Seharusnya, aku saja yang mati pada hari itu. Aku, bukan kau. Karena kau selalu menjadi yang terbaik di antara kami kan, Hyung? Kau tidak pernah membuat masalah atau punya hidup yang berantakan seperti kami. Kau pasti bisa menyelesaikan segalanya dan—“

“Hei, hei!” Seokjin spontan menaikkan nada suaranya, mengulurkan sebelah tangan untuk mengguncang pundak temannya. Alis ditautkan, ketidakpercayaan kentara dalam ekspresinya selagi ia berujar, “Kau ini kenapa? Hentikan itu, Yoongi-ya! Sejak kapan seorang Min Yoongi memilih untuk mati saja, hah?”

“Sejak aku….”

“Berhentilah mengatakan kalau kau merusak segalanya, oke?” sambar Seokjin sebelum Yoongi sempat menjelaskan. “Aku bukannya marah karena kau berpolah seperti orang yang tidak sayang nyawa, tepat di hadapan orang yang sudah mati. Aku kesal karena aku tahu kalau ini hanyalah akibat dari pikiran-pikiran negatifmu saja. Kau selalu memikirkan segalanya seorang diri, bukan?”

Yoongi hanya bisa mengalihkan pandangnya ke arah lain.

“Aku tahu, Yoongi. Aku paham apa yang ada di dalam otakmu saat ini. Percaya atau tidak, aku pun seperti itu. Selalu seperti itu, bahkan sampai waktuku di dunia telah habis.”

“Maaf, aku tidak—“

Nope, bukan salahmu.” Seokjin buru-buru menenangkan, kali ini sambil menepuk-nepuk punggung Yoongi. “Aku yang paling tua di antara kalian, benar? Jadi, tanpa kusadari, aku juga merasa kalau aku harus melakukan segalanya. Mengetahui semua masalah kalian, juga membantu kalian untuk mencari jalan keluar. Sama halnya dengan ketika Taehyung meloncat dari tebing; aku harus ikut terjun dan menolongnya, karena aku bertanggung jawab atas itu.”

Hyung, kau tidak harus bertanggung jawab atas keputusan Taehyung. Itu tidak masuk akal, kau tahu?”

Seokjin mengangguk membenarkan. “Tentu saja aku tahu.”

“Tapi?”

“Tapi, seperti yang kukatakan tadi, itu terjadi begitu saja. Apa yang kaurasakan saat ini tidak salah, Yoongi. Aku mengerti jika kau merasa harus menanggung segalanya—kau yang paling tua di antara mereka sekarang—namun aku tidak mau kau mengulang kesalahan yang sama.”

“Kesalahan?” ulang Yoongi, manik akhirnya bergerak untuk memandangi Seokjin. “Maksudmu, penyesalan? Karena Taehyung selamat dan—”

“Aku tidak pernah menyesal.”

“—dan ia tidak ingat apa-apa.”

Hening menyambut perkataan Yoongi tersebut, selagi Seokjin melebarkan kedua irisnya. Kaget, tentu saja. Menjadi seseorang yang meninggalkan dunia lebih dulu berarti satu hal: ia tidak akan mengetahui apa pun yang terjadi setelah kepergiannya. Kenyataan bahwa Taehyung masih hidup pun awalnya hanya berupa asumsi, sampai Yoongi muncul untuk mengonfirmasi hal tersebut dan menyodorkan fakta-fakta lainnya.

Fakta yang amat tidak Seokjin sangka.

“Dia tidak ingat, Hyung,” kata Yoongi lagi, jelas terlihat tak enak hati karena terpaksa menyampaikan kabar ini. “Hari itu, Hoseok menemukannya di pesisir pantai. Tak sadarkan diri, bahkan hampir meninggal karena hipotermia jika kami tak lekas membawanya ke rumah sakit. Kami panik; kau tidak ada di sana, Taehyung mungkin saja tak selamat, dan segala hal buruk yang bisa terjadi. L-lalu….”

“Lanjutkan.”

“Lalu tiga hari kemudian, ketika kami bahkan belum menemukan tubuhmu….” Yoongi mengambil jeda, membiarkan rasa sakit akibat kenangan itu menjalarinya sekali lagi. Bukan hal yang menyenangkan, lantaran kedua tangannya mulai gemetaran sembari ia bergumam, “Taehyung terbangun dan ia… ia bilang….”

“Yoongi….”

“Ia hanya bertanya, ‘Aku di mana? Apa yang terjadi?’. Hanya itu, Hyung.

“Taehyung sudah melewati hal yang berat, Yoongi.”

Tapi, Yoongi tak mendengar, pun menanggapi kalimat itu. Sebaliknya, ia memilih untuk menelan saliva banyak-banyak. Upaya tak berguna untuk membasahi kerongkongannya, sebelum ia kembali membuka mulut dan bercerita, “K-kalau begitu, tidak seharusnya ia mengambil keputusan bodoh itu, ‘kan? Dokter bilang, ia trauma. Ia… ia tidak ingat tentang liburan itu, tentang perjalanan terakhir kita bersama-sama. Dan aku… aku teramat kesal waktu itu, tetapi aku bisa apa? Mengatakan kebenaran dan membuatnya makin parah? Yang ada di otak Taehyung saat itu, kau sedang berada di luar negeri. Pertukaran pelajar selama beberapa bulan, yang kaulakukan saat masih SMA, ingat?”

Seokjin mengangguk. Lidahnya sedikit kelu, tetapi ia tahu bahwa ini bukan disebabkan oleh penyesalan. Seokjin tak pernah menyalahkan Taehyung atas keputusannya meloncat. Tidak; karena jika ada yang lebih patut untuk disalahkan, maka itu adalah—

“Kami tidak berani mengatakan kebenaran selama berminggu-minggu.” Yoongi melanjutkan, menginterupsi pemikiran Seokjin. “Kami bersikap seakan kami bisa hidup normal. Bullshit, you know? Akhirnya, semua terbongkar. Satu kesalahan, dan ingatan Taehyung yang bersembunyi di balik embel-embel trauma serta rasa takut memilih untuk keluar. Mengerikan bukan, bagaimana sebuah keputusan, sebuah perubahan, bisa memiliki dampak yang sedemikian besar bagi kita semua?”

Kalimat retoris itu berbuah senyap; keduanya toh sama-sama tahu apa jawabannya. Kalau ditilik-tilik lagi, masalah mereka waktu itu memang tak bisa dibilang ringan. Namun, bukan di sanalah kunci segalanya. Seperti kata Yoongi tadi, semua itu bergantung pada keputusan mereka. Pada hal sekecil dan sesederhana kata-kata, yang ternyata mampu mengubah hidup ketujuhnya dengan sedemikian kejam.

Karena pada waktu itu, mereka hanyalah sekumpulan anak muda yang tak tahu harus berbuat apa.

Baik Yoongi maupun Seokjin sama-sama ingat, apa tepatnya alasan mereka melakukan liburan itu. Mengapa mereka pergi ke pantai, bermain-main dan berpretensi seolah tak ada beban hidup. Mereka semua pura-pura tak acuh pada fakta bahwa Taehyung tengah hancur perlahan, berpikir jika kesenangan yang tercipta mungkin bisa memperbaiki kawan mereka lagi.

Dan baru sekarang, teramat terlambat, mereka menyadari kalau itu salah.

Tidak selamanya menyingkirkan kesedihan itu berguna; tidak seharusnya bahagia dan senyum selalu diagung-agungkan untuk memperbaiki suasana hati. Terkadang, membiarkan sakit dan duka datang merengkuh itu adalah hal yang tepat. Hal yang mungkin harus dilakukan sebelum bahagia datang, yang menuntut untuk diselesaikan lebih dulu dan bukan untuk dihindari.

“Apa yang akan terjadi, seandainya waktu itu kita memaksa Taehyung untuk mencurahkan segalanya?”

“Bisa jadi…” Seokjin memulai, tetapi lekas merapatkan bibirnya lagi ketika ia tak yakin harus berkata apa. Ini adalah penyesalan yang sesungguhnya, menghunjam dan mengukuhkan diri tepat di dalam benak Seokjin. Inilah yang menganggunya selama ini, yang membuat ia tak bisa merasa seratus persen tenang kendati kematian telah datang.

Ia telah gagal.

Seokjin telah gagal, lantaran ia tak bisa menyembuhkan luka-luka pada benak Taehyung kala itu. Padahal, mereka bertemu dalam kondisi yang bisa dibilang aneh—Taehyung berpolah terlalu ceria dan sering mengeluarkan tawa yang terpaksa. Ketika ditanya, ia hanya menjawab kalau ibunya telah tiada, dan sang ayah—yang rupanya telah melakukan kekerasan serta membunuh ibu Taehyung—sekarang entah berada di mana. Semua ia ucapkan dengan nada datar, yang kemudian diikuti dengan ajakan untuk pergi berjalan-jalan.

Ck, bodohnya mereka, yang waktu itu langsung melompat naik ke mobil Seokjin dan pergi ke pantai tanpa pikir panjang. Mengira bahwa Taehyung hanya perlu kabur dari realita selama beberapa waktu, dengan senang hati menuruti apa pun maunya. Tak ada satu pun dari mereka yang menyimpan kecurigaan berlebih, pun bisa memperkirakan bahwa Taehyung akan memilih untuk mengakhiri segalanya. Mereka menganggap bahwa semua keceriaan di pantai itu sudah cukup, lega karena tak ada air mata ataupun amarah yang tertumpah dari diri sang sahabat.

Ah, tapi apa gunanya berpikir demikian?

Semua sudah terlambat, ‘kan?

Mereka tidak akan bisa memperbaiki bagian itu, dan—

“Kalau sudah begini, kami harus bagaimana, Hyung?”

Lirih, Yoongi-lah yang mengungkapkan realita itu. Mengudarakan keputusasaannya, sembari Seokjin meluncurkan desahan pelan. Benar, mereka sudah terlambat memperbaiki masa lalu. Apa yang telah terjadi akan senantiasa berada di sana, permanen dan menetap dalam memori. Namun, tak ada kata terlambat untuk menciptakan dan menggantungkan diri pada harapan-harapan baru, bukan?

“Dengar, Yoongi-ya,” Seokjin akhirnya angkat bicara, memutuskan untuk membeberkan semua pemikiran yang melintas selama Yoongi berkisah tadi. “Pertama, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak mempermasalahkan ingatan Taehyung. Hanya karena dia tidak ingat, bukan berarti apa yang telah kulakukan sia-sia. Jangan menyalahkannya untuk itu, oke?”

Hyung….

“Aku memaafkannya, jadi tolong sampaikan, ya?”

Yoongi menghela napas, tapi menyusulnya dengan anggukan singkat. “Tentu.”

“Dan soal apa yang bisa kaulakukan sekarang….” Seokjin menyiku Yoongi ringan, menunggu sampai lelaki itu menoleh dan mereka saling bertukar tatap. “Kurasa, kau juga sudah tahu jawabannya, bukan?”

Kerutan pun serta-merta terbentuk di kening Yoongi. “Maksudmu, memperbaiki segalanya? Mengatakan pada mereka kalau kau tidak menyesal, kemudian menyuruhku membenahi kekacauan yang ada?”

“Bukan hal yang mudah, ya?” balas Seokjin, sedikit terkekeh tatkala Yoongi mengerucutkan bibirnya. “Well, aku tidak bilang kau harus melakukannya seorang diri, tahu.”

Hyung, aku tak yakin kalau—“

“Satu-satunya hal yang harus kaulakukan seorang diri adalah memulainya, Yoongi. Mereka akan terus-menerus kabur selama tidak ada yang memulai. Kalau kau ingin merasa bertanggung jawab atas sesuatu, maka kau bisa mengambil posisi itu.” Seokjin menjungkitkan ujung-ujung bibirnya, menampakkan sebuah senyum menyemangati seraya melanjutkan, “Aku tahu kau bisa. Meminta mereka untuk menghadapi yang sebenarnya, seberapa pun beratnya itu. Kita sama-sama tahu bukan, kalau tak selamanya kebahagiaan itu bisa menuntaskan segala perkara?”

Yeah.

“Selain itu, kau perlu ingat untuk tidak mengulangi kesalahanku,” tambah Seokjin, iris otomatis terarah pada tebing yang menjulang di kejauhan. “Ingatlah bahwa kau punya mereka, bahwa bukan kau yang harus menanggung semua ini sendirian. Jangan sepertiku yang berlagak bisa menyelesaikan segalanya, Yoongi-ya. Kau punya sahabat-sahabatmu di sana.”

“Kau juga punya kami yang akan selalu mengingatmu, bodoh,” timpal Yoongi cepat, dan Seokjin kembali tergelak kala ia sadar bahwa itulah cara Yoongi menyatakan ‘kami merindukanmu’. Tipikal seorang Min Yoongi yang enggan menunjukkan isi hatinya, kendati Seokjin bersumpah kalau ia baru saja melihat sang kawan mengusap air matanya.

“Aku akan selalu ingat itu, Yoongi.Tak peduli seberapa pun jauhnya aku dari kalian.”

Hyung….

Hm?

“Apa ini berarti perpisahan? Apa aku harus pergi dan kembali ke realita sekarang?”

Seokjin tidak mengiakan, tetapi tidak juga menampik ucapan itu. Cepat atau lambat, mereka tahu kalau pertemuan ini pasti berakhir. Lagi pula, mereka juga tak bisa terus-menerus bertahan di tempat ini dan tenggelam dalam kenangan. Yoongi tadi berkata kalau semua ini mungkin tidak nyata dan hanya ada di dalam kepalanya; sementara Seokjin sendiri mulai merasa bahwa ia harus melanjutkan perjalanannya. Orang mati tak seharusnya masih punya ikatan dengan dunia manusia, bukan?

Mereka harus bergerak maju; bukan hanya Yoongi dan Seokjin, melainkan mereka semua. Berat memang, sampai-sampai Seokjin mendapati dirinya tak mampu mengucapkan frasa ‘selamat tinggal’. Ini tidak mudah, tetapi mereka harus melewatinya. Mereka pasti bisa bertahan, dan Seokjin ingin sekali bergantung pada harapan itu. Pada keyakinan bahwa sahabat-sahabatnya tidak akan menyerah begitu saja, sehingga yang bisa Seokjin lakukan saat ini adalah memasang seulas senyum sembari meremas pundak Yoongi dengan sikap menguatkan.

.

.

.

“Semua akan baik-baik saja, Yoongi. Aku percaya itu.”

.

.

tbc.

.

a/n:

*) Butterfly Effect: A theory that everything matters. That even the flutter of a butterfly’s wings can cause a hurricane .That the smallest occurrence can make large differences in later state.

(taken from wikipedia and urbandictionary)

And credit to Memento, Inside Out, and Butterfly; for inspiring me in writing this chapter.

36 pemikiran pada “[Chapter 3] Messed Up: Crossing Paths and The Butterfly Effect

  1. ini APA sih??? APA THOOR???
    huaaaa….T_T T_T T_T T_T /mewekdipojokan
    thor demi apa, percakapan abang yoon ma abang jin feelnya nyess bgt
    karena gw pernah ngerasa ky yg abang suga rasain.. bertemu seseorang yg udah meninggal di mimpi dan berbincang seakan menitipkan banyak pesan dan pertanyaan yg ambigu astaga netes..gw netes…banjiiiir air mataaaaa heuheu

    Suka

  2. Mer aku kok suka sama feel butterfly effectnya yang kental banget di sini…
    Aku kok suka sama seokjin yang kakakable(?) gini.
    Aku kok suka sama yungi yang tbtb keliatan sisi rapuhnya dan berkeluh kesah macem bocah cilik di depan seokjin, aku suka semuanya mer gimana dong :””””

    Suka

  3. Kak amer butterfly effectnya kerasa banget kala yoongi tengah bercakap dengan seokjin kuuuuu~ ((masih gak rela seokjin sudah mati))
    Yah, well, kak amer emang paling bisa bikin karakter seokjin sedewasa dan berwibawa, dan bikin karakter yoongi semacam orang yg gundah nan gurana. Fix bgt aku akan berguru padamu kak!?

    Suka

  4. Hai kak Amer
    Nadira here~ 00L tapi udah kelas sebelas (selalu gini kalo intro-_-)

    Eaaa Yoongi ketemu Jin yang notabenenya udah mati
    Oh… jadi itu alasannya:’)
    Tapi, kenapa Taehyung sebelumnya bilang dia ngebunuh Jin? Bukannya kata Yoongi di sini dia lupa?

    Suka

  5. keren banget ff-nya, rasa persahabatan nya itu ngena banget . semangat ya buat author . yahh… walaupun sedih seokjin udah gk ada.

    Suka

  6. hmmm… sebenarnya aku sudah meninggalkan jejak kemarin.. tapi kok tak ada????????

    kasih semangat ajadeh,
    Semangat kakkk.. Semoga sehat selalu yaa, dan lanjut nulis terus big love for u ❤

    Suka

  7. Huwaaa zi late, anyway aku suka perbincangan antara yoongi sm seokjin, semacem study about real life, realitanya ngena bgt, atulah zi mewek ampe nyesek wkwkk, nextnya kaaa^^

    Suka

  8. Ini yang nulis siapa sih?
    Ayo tanggung jawab, diriku nangis iniihhhh 😵😵
    Itu taehyung kenapa hidupnya tragis?
    Thorrr (atau siapalah panggilannya, diriku tak tahu :v) next yng cpet ya, keburu ujian lagi…
    Ditunggu banget, selalu lohhhhhh :v

    Suka

  9. pliiiissss tolong tsukiya!!!!!! lanjutin ceritanya !! jangan kayak web sebelah yg ditunggu tunggu rupanaya gak dilan jutin 🙂

    Suka

    • sebenernya bukan nggak dilanjutin, tapi emang beberapa bulan terakhir hiatus dan belum sempat ditulis, makanya dimana-mana nggak update 🙂
      chapter 4 memang masih on progress, jadi nanti di blog manapun, terbitnya tetep bareng kok 🙂 ini kan cuma repost aja.
      makasih anyway~

      Suka

  10. aku cuma bs bilang waww ato woww 🙂 daebak. Diksiny itu lohh, plus quotes” yg ngena bgt
    sory br coment dchapter ini, krn br bc 2 chap sblm ny kmren

    Suka

Tinggalkan Balasan ke liaNata Batalkan balasan