[Chapter 1] Messed Up: This Is Not Where We Started

messed up - tsukiyamarisa

Messed Up

written by tsukiyamarisa

.

All of BTS’ members

Chaptered | AU, Life, Friendship, slight!Angst and Dark | 17 (for trigger warning: suicidal thoughts, drinking, self-harm, panic attack, etc.)

loosely based on Run MV and HYYH Prologue

.


But what is a friendship?

Something that collide with us, or something that stay with us during collision?


.

.

#1: This Is Not Where We Started

.

.

.

Kim Taehyung terbangun dengan pegal di sekujur tubuh.

Seakan netranya masih bisa menangkap kilasan-kilasan sinar dan pertokoan yang terlihat kabur; seolah telinganya masih bisa mendengar sirine mobil polisi dan teriakan si pengemudi. Kepalanya terasa sedikit berputar, tapi itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan kakinya yang bagai mati rasa. Dua pasang tungkai yang ia pacu sekuat tenaga kemarin malam, melesat melintasi jalan-jalan kota sampai akhirnya ia berakhir di sini.

Ya, di sini.

Ia dan kawannya berhasil mengelabui polisi semalam, menyelusup masuk ke dalam sebuah stasiun kereta api tua untuk mencari perlindungan. Ada atap melengkung dan rangka-rangka besi tua di atas kepala, lengkap dengan beberapa bohlam lampu berdebu yang memancarkan sinar berkedip remang dan berayun mengerikan. Dinding-dindingnya terbuat dari batu bata merah tua yang tampak di beberapa tempat, salahkan semen serta cat kusamnya yang sudah tercongkel sebagian. Namun, di atas itu semua, berbagai gambaran abstrak, tulisan tak bermakna, serta grafiti terlihat lebih mendominasi. Sebuah usaha yang Taehyung hargai sebagai cara mengusir kesuraman dan bau apak yang bercokol di stasiun ini.

Ugh…” Sedikit mengerang, lelaki itu berusaha untuk mendudukkan dirinya sembari mengusap wajah. Menghilangkan kantuk, melontarkan sedikit kekeh kala teringat akan kejadian semalam. Mungkin, letih yang mereka rasakan ini memang sebanding. Ini harga yang harus dibayar; untuk pacuan adrenalin, sedikit keonaran, dan gelak tawa lepas. Dan Taehyung tak keberatan, tentu.

You’re crazy, man.”

Alih-alih tersinggung, kekeh itu malah berubah menjadi tawa terbahak. Melirik Kim Namjoon dari sudut mata, Taehyung mendapati kalau partner-in-crime-nya itu masih betah bertahan dalam posisi telentang. Sebelah tangan terangkat untuk memijat pelipis, tetapi ada senyum yang bermain-main di bibirnya mengikuti komentar tadi.

You too,” balas Taehyung sembari menendang sepatu converse yang dikenakan Namjoon, lantas mengimbuhkan, “Kita sama-sama tidak waras semalam, Hyung. Tapi aku akan memberikan apa saja untuk merasakannya lagi.”

“Apa saja? Baiklah, tolong pijat tangan dan kakiku, belikan aku makan, dan—“ Namjoon berpikir sejenak, tangan menepuk-nepuk kantong celananya seraya memaki pelan. “—shit, aku kehabisan. Rokok juga, kalau begitu. Itu bayarannya.”

Taehyung memutar bola mata, bangkit berdiri untuk meraih kaleng pylox yang tergeletak tak jauh dari mereka. Satu dari beberapa kaleng yang mereka bawa semalam, yang keduanya gunakan untuk menghiasi tembok-tembok kota. Mengocok isinya lamat-lamat, Taehyung melangkah mendekati Namjoon dengan seringai di wajah. Tak butuh waktu lama, bunyi semprotan pun terdengar. Berdesis memenuhi indra pendengaran, memenuhi saluran napas dengan bau-bau zat kimia yang adiktif. Taehyung menggerakkan tangannya dengan lihai untuk menggambari petak kosong di sekeliling Namjoon, mengikuti bentuk tubuh kawannya, dan baru saja akan menambahkan beberapa coretan di kaos lelaki itu ketika—

“Oke, oke. Ambil dompetku dan cari sesuatu untuk dimakan sana!” ucap Namjoon cepat-cepat, tangan terulur untuk meraih dompet dari saku celana. Melemparkan benda yang terbuat dari kulit itu ke arah sahabatnya, membiarkan Taehyung mengecek isinya dan mengeluarkan siulan penuh arti.

“Berapa pun boleh, ‘kan?”

Terserah kau sajalah.” Namjoon mengibaskan tangan, mengusir Taehyung pergi—yang langsung lelaki itu lakukan dengan senang hati. Tanpa perlu ada pembahasan lebih lanjut, karena Taehyung tahu bahwa Namjoon tidak akan suka membahas dari mana asal lembar-lembar uang di dalam sana. Lelaki itu hanya berkata bahwa ia tidak keberatan isi dompetnya dikuras; mengingat uang-uang itu juga bukan berasal dari kerja keras Namjoon sendiri.

Seraya menaiki undakan untuk keluar dari stasiun tua itu, Taehyung bersiul ringan dan memainkan dompet Namjoon di tangannya. Ia mengetahui cerita Namjoon tentu, sama halnya seperti teman-teman mereka yang lain. Bagai rahasia tak terucap, mereka semua punya masalah masing-masing. Dan untuk Namjoon, perkara itu ada pada orangtuanya yang cenderung menghalalkan segala cara.

Kim Namjoon memang punya segalanya. Dengan ayah dan ibu yang memiliki bisnis sukses, uang tak pernah menjadi sesuatu yang langka baginya. Apa pun itu, cukup diucapkan, dan Namjoon akan mendapatkannya dengan mudah. Hidupnya tak mengenal kata susah sejak belia, sampai-sampai sang lelaki sedikit bosan dan mulai mencari-cari tahu apakah artinya hidup di dunia ini.

Tanpa ia duga, bahwa kenyataan pahitlah yang ia temui.

Umur Namjoon delapan belas kala itu, ketika ia mulai mendengar perkataan orang-orang mengenai cara orangtuanya menjalankan bisnis. Perebutan kekuasaan, korupsi, sogokan demi menutup mulut mereka yang nyaris melapor ke pihak berwenang, dan lain sebagainya. Tak pelak, Namjoon pun mulai dihujani oleh celaan teman-temannya di sekolah. Mereka yang berpura-pura baik saat di hadapan Namjoon, namun mencemooh keluarganya di balik semua topeng yang terpasang.

Oh, untungnya Namjoon tidak bodoh.

Ia hanya sakit hati, ia kesal karena saat itu ia belum punya cukup daya untuk mengubah jalan hidupnya sendiri. Maka, jalan terakhir yang mampu ia pikirkan adalah menghamburkan semua uang dari orangtuanya. Rokok, kaleng bir, atau kadang makanan ringan di minimarket untuk dihabiskan bersama kawan-kawan terbaiknya. Tanpa ia tahu bahwa hal itu lama-lama menjadi kebiasaan, sesuatu yang melekat pada dirinya bahkan setahun setelah ia kabur dari rumah. Bagaimanapun juga, Namjoon tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ialah yang menjadi objek uang suap belakangan ini. Orangtuanya masih rajin mengirimi uang, mungkin dengan harapan agar Namjoon mau kembali ke rumah.

Hah, yang benar saja.

Yeah, yang benar saja, dengus Taehyung sambil berjalan memasuki minimarket, dengan cepat melangkah menuju konter yang berisi kimbap dan biskuit-biskuit manis. Mengumpulkan semua itu ke dalam satu keranjang, lalu menambahkan beberapa kaleng soda sebelum beranjak untuk meraih ramyeon instan. Satu cup tidak akan membuat Namjoon marah kepadanya, maka Taehyung pun bergegas untuk menghampiri dispenser yang ada di sudut belakang minimarket. Tangan sibuk membuka tutup cup dan menuangkan bumbu, tepat ketika suara notifikasi pesan masuk ponselnya terdengar nyaring.

.

Lapangan di bawah jembatan. Pukul lima.

Aku merindukan kalian, guys.

.

.

-o-

.

Hyung.

Hm?”

“Kau butuh tidur.”

Min Yoongi hanya menoleh sekilas, menyipitkan mata ke arah teman satu flatnya sebelum menggeleng pelan. Kepala dikedikkan ke arah layar laptop yang masih menyala redup, menampilkan jendela aplikasi pembuat lagu yang berwarna abu-abu. Seolah mengindikasikan bahwa ia tak akan menutup mata sampai segalanya menemui kata sempurna, kendati Park Jimin—sahabatnya yang tadi memanggil—tahu lebih baik dari itu.

Hyung, kau bahkan tak membuat perubahan barang sedikit pun sejak tiga jam lalu,” ujar Jimin perlahan, menepuk bahu Yoongi dengan sorot kekhawatiran lekat di kedua irisnya. “Kau hanya mengulang-ulanginya, berpikir bahwa itu belum sempurna.”

“Memang itu kenyataannya,” balas Yoongi, sedikit kesal. Tangan bergerak cepat untuk memindahkan scroll bar, mengamati tiap barisan nada dan tempo yang telah disusun. Keningnya berkerut penuh konsentrasi, seakan sedang berusaha mencari kekurangan yang mungkin terselip di suatu tempat. Yoongi yakin benar bahwa irama yang tercipta saat ini belum sempurna, bahkan masih banyak bagian yang sumbang kendati Jimin berkata sebaliknya.

“Yoongi—“

“Daripada menyuruhku berhenti bekerja, bagaimana jika kau menujukan kata-kata itu pada dirimu sendiri, Park Jimin?”

Kalimat itu menghentikan ucapan Jimin seketika, membungkam bibirnya secara efektif. Hening yang menyusul adalah pertanda bahwa perkataan Yoongi tadi mengandung makna yang tidak bisa dibilang bersahabat, selagi Jimin menelan ludah dan bergerak mencengkeram lengan kirinya dengan telapak tangan kanan. Tindakan yang seharusnya tidak ia lakukan, lantaran Yoongi serta-merta membalikkan kursi tempat ia duduk sembari mengangkat alis—tanda bahwa ia sudah mengetahui segalanya.

“A-aku tidak….”

“Kalau kau mau menyuruhku berhenti, memintaku tidak terus-menerus tenggelam dalam pikiran pesimis dan tak waras ini, maka bagaimana denganmu, Jimin?” Yoongi memulai, tatap terarah pada sweter longgar yang dipakai temannya. Udara sudah mulai dingin, jadi pakaian itu tak terlihat aneh. Namun, Yoongi tahu, bahwa di saat musim panas sekalipun, Jimin akan tetap memakai sesuatu yang berlengan panjang. Ada sesuatu yang perlu disembunyikan dari dunia di sana, sesuatu yang—menurut perkiraan Yoongi—baru saja bertambah tadi malam.

Oh, ia tak perlu waktu lama untuk mengonfirmasi kecurigaan itu.

Jimin perlahan membuang napas, menundukkan kepala untuk menghindari sorot tajam Yoongi. Ia tak sedang mencari pembelaan, tidak karena yang keluar dari bibirnya hanyalah gumaman, “Hyung, kau tahu kalau aku tidak bermaksud….”

“Tentu saja,” sahut Yoongi sambil mengedikkan bahu, merasa menang tapi juga kalah di saat yang bersamaan. “Yeah, aku tahu kalau kau tidak ingin mati, Jimin. Tapi, kau melakukan itu setiap kali kau bermimpi buruk. Satu untuk setiap rasa panik dan sesak yang datang mendera. Kalau aku menyuruhmu berhenti, kau bisa melakukannya?”

Gelengan lemah adalah jawaban Jimin, singkat tapi mampu membuat keduanya kembali saling memahami. Kebiasaan-kebiasaan buruk mereka bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol, bukan pula perkara yang bisa diselesaikan dengan saran-saran optimis atau nasihat manis.

Terkadang, Yoongi memang ingin berhenti berpikir dan mencemaskan segala hal; mengabaikan segala kontemplasi bahwa semua masalah akan menimpa dirinya dan kawan-kawannya. Di lain waktu, ganti Jimin yang akan menatap ngeri pada bekas-bekas luka itu; berharap agar ia tidak perlu mengulanginya dan merasakan sakit lagi. Namun, harapan adalah harapan. Sebagian dari mereka terkabul, sementara sisanya berubah menjadi abu yang tertiup angin hingga lesap. Bagi Jimin dan Yoongi, mereka adalah kasus yang kedua.

Tidak ada yang tahu mengapa, tak ada yang mengerti bagaimana. Semua pikiran gelap itu kadang hadir tanpa diduga; menghadirkan pilu, kebas, dan tuntutan untuk dipenuhi. Kalau bisa berhenti, tentu mereka akan berhenti. Tetapi, mereka tidak bisa. Mereka tidak bisa, dan mereka sudah tersesat terlalu jauh. Sesederhana itu; hanya saja, beberapa orang terkadang berpikir bahwa hanya tuntunan dan panduan menuju jalan keluarlah yang mereka butuhkan.

Fucking bullshit, right?

Yoongi kini sudah mengembalikan atensinya pada layar, menutup percakapan mereka secara tidak resmi. Lelaki itu membiarkan senyap kembali datang, jenis diam yang kali ini terasa lebih akrab dan menenangkan. Ia bahkan mengizinkan Jimin untuk duduk di sampingnya dan mengamati hasil kerjanya, menyadari bahwa temannya yang lebih muda itu tak lagi punya niat untuk berkomentar macam-macam.

“Maaf.”

“Kita sama-sama lelah, kurasa,” jawab Yoongi cepat, menawarkan seulas senyum simpul untuk memperbaiki keadaan. “Namun, mungkin kau ada benarnya.”

“Soal?”

Well, I feel like shit, you know?” Yoongi membalas, mengusap tengkuknya sebelum mengimbuhkan. “Beri aku satu jam lagi. Satu jam untuk menata pikiranku, dan aku akan tidur setelahnya.”

Jimin mengangguk paham. Senang, tapi berusaha untuk tidak menampakkannya. Toh, ini bukan soal menang-kalah, atau soal saran siapa yang lebih dulu diterima. Mereka hanyalah dua pemuda yang sempat terhanyut emosi pada satu waktu, kemudian kembali mengobrol biasa pada menit berikutnya. Jimin sudah lama belajar bahwa hal macam itu adalah sesuatu yang konstan di dalam persahabatan, tak peduli seberapa pun berantakannya lingkar pertemanan mereka.

“Jimin.”

“Ya?”

“Bagaimana denganmu?”

“Denganku apa?”

Jemari Yoongi bergerak untuk menekan tombol save, manik memeriksa deretan nada dan irama yang ada untuk kali terakhir di pagi hari ini. Setelah yakin bahwa dirinya belum bisa menemukan ketidaksempurnaan itu, barulah ia menoleh dan menjawab, “Mimpi burukmu. Apa yang kaulihat semalam, sampai-sampai kau….”

Kelanjutan ucapan itu tak terdengar, karena bunyi gedoran pada pintu flat sukses menenggelamkan kuriositas Yoongi dan membuat keduanya terlonjak. Masih terlalu pagi untuk menerima kunjungan, dan baik Yoongi maupun Jimin yakin benar kalau mereka sudah membayar semua tagihan untuk bulan ini. Mereka juga tidak punya tetangga yang cukup dekat untuk dijadikan teman mengobrol, sehingga wajar jika keherananlah yang pertama muncul. Siapa pula yang tidak menggunakan bel dan memilih untuk menggedor pintu dengan tidak sopannya di—

“Yoongi Hyung! Jimin Hyung!!”

“Jungkook?!”

.

-o-

.

“Kau. Seharusnya. Berada. Di. Sekolah.”

Bukan tanpa alasan Yoongi menggeramkan kata-kata itu, memberi penekanan pada tiap suku katanya. Satu jam yang ia targetkan untuk menata pikiran dalam ketenangan bagai pergi begitu saja, karena Yoongi tahu bahwa masalah Jungkook kali ini tidak akan bisa diselesaikan dalam rentang waktu enam puluh menit. Memikirkannya saja sudah membuat ia frustasi, hal-hal buruk kembali bercokol di otak sampai Jimin meremas pundaknya pelan.

“Apa?”

“Tidur saja, Hyung.

“Kalau kau pikir aku bisa tidur dalam kondisi macam ini—“

“Biar aku yang berbicara dengan Jungkook, oke?” Jimin menawarkan, tahu bahwa Yoongi memang benar-benar butuh tidur—kendati hanya untuk satu atau dua jam saja. “Pergi ke kamar, gunakan satu jam yang kau butuhkan untuk memikirkan masalahmu. Kau, bukan yang lain. Jangan mencuri dengar. Aku akan menceritakan semuanya nanti.”

Yoongi tampak ragu, tapi tatkala maniknya menatap luka di sudut bibir Jungkook, ia tahu bahwa Jimin benar. Kepalanya bisa meledak kalau ia memutuskan untuk tetap di sini, berlagak bisa memecahkan segalanya karena ia lebih tua dibanding kedua sahabatnya. Yah, walau sebenarnya Yoongi sendiri tak yakin kalau ia akan bisa terlelap; tapi setidaknya mencoba lebih baik dibandingkan memenuhi otaknya dengan hal-hal buruk, bukan? Satu pil obat tidur mungkin bisa membantu.

“Kau tidak percaya padaku?” Jimin kembali buka suara, berdeham kecil seolah malu sebelum mengimbuhkan, “Ada Jungkook di sini. Aku… aku tidak akan mengulangi yang semalam.”

“Tidak untuk saat ini,” timpal Yoongi datar, sedikit mengandung kebenaran dan juga rasa lega pada saat yang bersamaan. Menepuk punggung Jimin, ia pun memilih untuk menuruti perkataan temannya itu tadi. “Bangunkan aku jika ada yang kalian butuhkan, yeah?”

Jimin mengangguk, menunggu sampai Yoongi menutup pintu kamarnya sebelum berbalik menghadapi Jungkook. Sedikit berjengit, ia mengamati sahabatnya itu dengan kerut yang makin lama makin nyata di kening. Penampilan Jungkook saat ini tidak bisa dibilang rapi, meskipun fokus utama Jimin bukanlah pada luka, memar, atau kemeja yang kancingnya hilang satu. Bukan itu. Semua kekacauan ini adalah sesuatu yang tak lagi asing, tetapi tas tangan besar dan ransel menggembung yang ditenteng Jungkook jelas adalah hal baru.

Oke, tarik napas, Park Jimin.

Ia tahu kalau ia harus bersikap tenang, mengesampingkan kepanikan yang mulai menggelegak di dalam tubuhnya. Tidak mudah memang, tetapi mengalami sesak napas diikuti dengan keringat dingin yang mengalir jelas tak akan membantu. Sudah saatnya ia bertingkah seperti orang dewasa, mendengarkan Jungkook lebih dulu sebelum kekalutan mengambil alih.

“Aku bisa menjelaskan, Hyung.

“Sudah seharusnya begitu,” balas Jimin, menyuruh Jungkook duduk selagi ia beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Satu kaleng soda dingin ia lemparkan ke arah lelaki itu, sementara ia sendiri membuka kaleng bir dan cepat-cepat menyesap isinya. Bukan pilihan yang pas untuk pagi hari, tetapi Jimin membutuhkannya agar ia bisa tetap tenang dan mulai mendengarkan cerita Jungkook tanpa berpikiran macam-macam.

“Aku butuh tempat untuk sementara ini,” ucap Jungkook akhirnya, ekspresi bersalah melintas saat ia melirik tas yang berisi pakaian dan barang-barang lainnya. “Tempat kalian yang paling dekat, jadi aku berpikir untuk kemari lebih dulu. Kalau kalian keberatan, aku—“

“Jeon Jungkook, bukan itu masalahnya di sini,” sambar Jimin cepat, jemari menggenggam kaleng birnya lebih erat. “Kau tahu persis kalau tak ada satu pun dari kami yang akan keberatan. Coba pergi ke tempat Namjoon atau Hoseok, dan mereka juga pasti berkata sama. Kita tidak akan mengabaikanmu.”

“Aku tahu.”

“Yang kubutuhkan hanya penjelasan.” Jimin menarik napas, mereguk minumannya lagi sebelum bergerak menepuk lutut Jungkook. “Apa yang terjadi, separah apa, dan kenapa keputusan ini yang kauambil. Goddammit, kauanggap apa pertemanan kita selama bertahun-tahun ini, hah?”

Jungkook hanya menggigit bibirnya, abaikan perih yang menyengat dari luka di sudut kiri sana. Perkataan Jimin itu benar, tetapi ego Jungkook seolah melarang dirinya untuk mengakui sesuatu. Kabur saja sudah terasa seperti pengecut, namun ia akan menjadi pecundang yang lebih besar lagi jika ia tak berani menjelaskan. Hanya saja, Jungkook tetap merasa bahwa ia adalah pihak yang kalah di sini dan—

“Apa teman-temanmu sudah kelewat batas?”

“Tak banyak berubah. Mereka tetap menganggapku bisa dipermainkan, dimintai uang, atau dipukuli sesuka hati saat sedang kesal. Menjadi seseorang yang susah membuka diri itu terkadang rumit, kau tahu?”

Jimin membenarkan. Selain kepada orang-orang yang memang dekat dengannya sejak dulu—Jimin dan Yoongi masuk ke dalam kategori itu—Jungkook memang mengalami kesulitan untuk memulai pertemanan. Bukan salahnya, sih. Mereka semua tahu kalau sebagian besar akar perkara ini datang dari ibu Jungkook yang bersikap terlalu protektif dan perfeksionis. Yang melarang anaknya berbuat ini-itu di masa kecil, yang berharap Jungkook dapat melakukan apa saja dan memiliki hidup terhormat. Tanpa wanita itu tahu, bahwa terkadang realita tak berjalan seperti keinginan.

Tak pernah barang sekali pun Jungkook memiliki teman akrab di sekolah, yang mau menerima ia apa adanya dan bukan menjadikannya bahan penindasan. Kenakalan teman-temannya bahkan bisa dibilang sudah keterlaluan, tetapi Jungkook harus melawan itu semua seorang diri. Pernah sekali atau dua kali ia mencoba bercerita pada ibunya, namun yang ia dapatkan malah tepukan di pundak serta nasihat tak berguna. Kata-kata semacam ‘kamu yang kurang berusaha untuk berteman’, ‘kamu yang terlalu memilih-milih teman’, atau ‘itu hanyalah keusilan biasa’. Jungkook mendengar semua omong kosong itu sepanjang hidupnya, senantiasa berada di sisi yang disalahkan hanya karena ibunya menolak untuk mengintip fakta barang sejenak.

Ia muak.

Dan itulah yang ia utarakan pada Jimin sebagai alasan.

“Aku bertengkar dengan mereka pagi ini,” kata Jungkook lamat-lamat, memainkan pembuka kaleng soda tanpa berniat untuk benar-benar membukanya. “Ayahku turun tangan kali ini, membela ibuku habis-habisan. Katanya mereka sudah melakukan yang terbaik untuk mendidikku, tapi tak mengerti kenapa aku selalu pulang dengan luka atau memar di tubuh. Katanya mereka mengajariku untuk membuat teman bukan musuh, lantas menduga bahwa mungkin aku yang kurang pandai dalam memulai sebuah pertemanan. Semuanya selalu berujung padaku, Hyung, karena bagi mereka akulah yang pantas diberi label ‘salah’.”

“Jungkook-a….”

“Aku belum pernah semarah itu, begitu marah sampai-sampai aku berharap bisa melempar piring dan mangkok di meja, melukai mereka kalau perlu.”

Tangan Jungkook gemetaran hebat, memaksanya untuk meletakkan kaleng soda itu di atas meja selagi ia menghirup oksigen banyak-banyak. Punggung disandarkan pada sofa kusam yang ia duduki, selagi Jimin sama sekali tak berkomentar dan memilih untuk menandaskan birnya. Pernyataan terakhir Jungkook itu cukup mengejutkan, kendati Jimin tentu saja berada di pihak sang sahabat dalam semua masalah ini.

“Aku muak, Hyung,” bisik Jungkook akhirnya, menampakkan manik yang dilapisi air mata. “Aku sungguh-sungguh lelah, aku tak bisa berpikir lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah menyalahkan diriku sendiri, mengira kalau aku akan gila suatu hari nanti.”

“Kita semua kurang lebih sama, Jungkook,” sahut Jimin, memberi jeda sejenak untuk memikirkan kata-kata yang akan ia lontarkan. “Tapi….”

“Tapi?”

“Kau… kau sudah yakin dengan keputusanmu, bukan? Tentu kami akan membantu, tapi kabur dari rumah itu bukan hal yang mudah.”

“Aku tahu.” Jungkook mengangguk setuju, membenarkan dengan seulas senyum pahit di wajah. “Aku tahu, tapi aku hanya perlu bertahan. Sebentar lagi aku lulus SMA, dan setelah itu aku bisa mulai memikirkan segalanya, bukan?”

“Kurasa….” Jimin menggelengkan kepalanya, berusaha menjernihkan pikiran. Ini jelas satu masalah baru, tetapi untunglah kepanikannya tidak sampai merambat luas layaknya api pada hutan yang mengering. Atau mungkin juga itu efek alkohol, Jimin tidak tahu. Yang pasti, saat ini ia hanya bisa menerima keputusan Jungkook dan menunjukkan dukungannya. “Yeah, kurasa itu yang paling baik. Aku bisa mengerti kalau kau merasa sebal dan memilih kabur, Jungkook.”

Thanks.

“Itu gunanya sahabat?” Jimin membalas dengan sedikit gelak tawa, berusaha mencerahkan suasana. “Yap, ini bukan masalah yang terlalu pelik. Kita semua pernah menghadapi yang lebih parah dan kita bisa melewatinya. Mungkin kau juga perlu bercerita pada yang lain, Jungkook. Itu akan—“

“Aku akan bercerita pada mereka, tentu,” potong Jungkook cepat, tangan meraih kaleng soda yang tadi terabaikan dan lekas membukanya. “Lagi pula, bukankah Hoseok Hyung mengajak bertemu nanti sore?”

“Sungguh?”

“Jimin Hyung….”

Well, ponselku mati dan kau tahu sendiri seperti apa Yoongi Hyung saat sedang bekerja,” balas Jimin, nada defensif kental dalam suaranya. “Di mana?”

“Lapangan bawah jembatan.” Jungkook menimpali, ujung-ujung bibir berjungkit naik sepenuhnya—senang akan prospek bahwa mereka semua akan segera berkumpul. “Pukul lima. Hoseok Hyung bilang… ia merindukan kita.”

.

-o-

.

Embusan angin, kicau burung, dan deru kendaraan adalah perpaduan suara yang tertangkap telinga Jung Hoseok, seraya dirinya merebahkan diri di atas rerumputan dan memejamkan mata. Masih ada sepuluh menit sebelum pukul lima, dan ia sengaja datang lebih awal hanya untuk menikmati kesendirian. Oh, bukannya ia tidak merindukan sahabat-sahabatnya. Ia sangat ingin bertemu mereka, terlebih setelah sekian lama hanya berhubungan melalui telepon dan aplikasi chat. Kesibukan dan segala macam masalah yang ada telah menghalangi mereka untuk bersenang-senang bersama, namun untuk hari ini, Hoseok ingin membenahi segalanya.

Sembari mencuil-cuil selembar roti yang ia bawa dan melemparkannya pada beberapa burung yang ada, Hoseok mengembuskan sisa-sisa pernapasannya panjang-panjang. Kedua pupil sibuk mengamati bagaimana hewan-hewan mungil itu mematuk pemberiannya, lalu terbang tinggi seolah tanpa beban. Hidup mereka terlihat begitu mudah, sebuah siklus sederhana yang jauh berbeda dari milik manusia. Terkadang, Hoseok berpikir bagaimana rasanya menjadi seekor burung. Bagaimana otaknya hanya akan dipenuhi kecemasan mengenai makanan, minuman, atau tempat berteduh; bagaimana ia bisa dengan mudah terbang pergi ketika tempatnya berpijak tak lagi terasa nyaman. Ia iri dengan seekor burung, dan sedikit banyak hal ini mengingatkan Hoseok akan perkataan salah satu sahabatnya.

“Aku pernah iri dengan kucing. Sepertinya enak juga kalau kau bisa hidup seperti itu. Harimu hanya diisi dengan tidur, makan, menunggu seseorang membelaimu….”

“Tapi?”

“Tapi aku akan melewatkan banyak hal, sesuatu yang bisa kulakukan sebagai manusia.”

Itu adalah sepenggal obrolan antara Hoseok dengan Seokjin dulu, tatkala keduanya duduk bersisian di tepi pantai pada suatu malam. Kelima teman mereka yang lain juga ada, turut mendengarkan sembari terkekeh-kekeh. Hoseok ingat benar bahwa dirinya waktu itu juga ikut tergelak, bebas dari beban yang mengimpit atau rasa berat yang menggelayuti benak. Mereka semua berakhir setuju pada pendapat Seokjin tersebut, kendati kini Hoseok mulai mempertanyakan lagi makna kata ‘setuju’ yang pernah ia ucapkan.

Rasanya sudah lama sekali, dua atau tiga bulan berlalu sejak saat itu. Mengejutkan bagaimana hari demi hari yang berlalu dapat mengingatkan mereka bahwa bahagia itu adalah kelangkaan, bagaimana beberapa macam perkara mulai datang silih berganti tanpa jeda. Bukan hal yang benar-benar baru, sebenarnya. Mereka bertujuh selalu punya sedikit masalah di sana-sini, hanya saja Hoseok tidak dapat mengusir firasat bahwa apa yang ia hadapi belakangan ini semakin bertambah pelik.

Kalau ia sering mendengar bahwa Yoongi rela mengorbankan waktu tidur demi pekerjaan, Hoseok rela membuang tidurnya demi sesuatu yang tak nyata. Ia bisa duduk di sana berjam-jam, memandang kekosongan kamar tidurnya tanpa ada niat untuk melakukan sesuatu. Satu atau dua kali ia akan membiarkan suara lagu mengisi gendang telinga, sebelum berakhir merasa terganggu dan memutuskan untuk mematikan ponselnya. Menutup diri, sementara beberapa pikiran semacam ‘aku tak berguna’ atau ‘aku tak seharusnya hidup’ melintas.

Bohong kalau Hoseok tidak tahu seberapa besar bahaya yang dibawa pemikiran macam itu. Oh, ia tahu, ia bisa membayangkan dengan jelas akibatnya. Semua hal yang membuat ia makin lama makin kesal pada dirinya sendiri, yang terlalu lemah dan terasa bagai menyerah tanpa perlawanan. Hoseok takut, dan setelah sekian lama memendamnya seorang diri, hari ini pun ia memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda.

Ia menghubungi kawan-kawannya.

Meminta mereka semua untuk datang, berkumpul, dan bercengkerama seperti dulu. Mungkin, ini sudah saatnya bagi mereka untuk saling bercerita lagi. Untuk membagi sepenggal kehidupan yang lain, untuk mencari jalan keluar bersama-sama. Layaknya sahabat yang dulu pernah menyemangati Hoseok saat ia kalah dalam lomba dance, sang lelaki yakin bahwa kali ini pun akan sama. Ia akan baik-baik saja, dan Hoseok terus berpegang pada keyakinan itu sampai suara teriakan Taehyung terdengar membelah kesunyian.

Hyung! Oh, sekarang kau jadi pawang burung?”

Kehadirannya membuat beberapa makhluk mungil yang berkerumun di dekat Hoseok serentak membubarkan diri, kabur karena zona nyaman mereka diganggu. Namun, Hoseok hanya mengulum senyum melihatnya. Senang mendengar candaan Taehyung di tengah suasana yang ada, mau tak mau berdecak geli ketika Taehyung merebahkan diri di sampingnya sembari menyampaikan permintaan maaf Namjoon.

“Kerja paruh waktunya baru berakhir pukul lima tepat. Sedikit terlambat, tapi ia akan membawa makanan.”

Hoseok mengangguk paham, melanjutkan konversasi mereka dengan beberapa topik ringan. Menanyakan kabar, kesibukan, atau hal menarik apa yang belakangan terjadi. Permintaannya itu dibalas dengan antusias, lantaran Taehyung langsung mengoceh mengenai bagaimana ia dan Namjoon membuat onar dengan cat pylox hingga harus kabur dari polisi.

“Tae, kalau sampai kalian tertangkap….”

“Hei, kau harus merasakannya, dude! Kenapa kau bersikap seolah ini baru kali pertama kami membuat onar?”

“Entahlah aku—“

It’s fucking exciting,” sambar Taehyung lagi. “Aku serius. Ayo kita lakukan lagi, bersama-sama. Kau tahu kan, kalau kami tidak akan membiarkanmu tertangkap?”

Sebelah alis Hoseok terangkat mendengarnya, namun ia tahu kalau Taehyung bersungguh-sungguh. Bahkan tanpa disadari, sebagian kecil dari pikirannya pun mulai mempertimbangkan ide gila barusan. Sendirian, tentu Hoseok tidak akan melakukan itu. Tetapi jika bersama teman-temannya….

“Bagaimana?”

“Coba kauajak yang lain lebih dulu.”

Jawaban itulah yang Hoseok berikan, tetapi keduanya lantas bertukar cengiran penuh arti. Dan seolah mendengar ide itu, suara-suara lain pun mulai terdengar. Teriakan, gumam percakapan, dan derap langkah kaki penuh semangat. Hoseok bahkan tidak perlu mengangkat kepalanya untuk melihat, karena ia tahu bahwa kawan-kawannya yang lain sudah datang. Mereka yang sejak dulu mampu memahami dirinya, yang ia yakini tak akan mengabaikannya dalam kondisi apa pun.

Sahabat-sahabatnya sudah kembali.

Dan Hoseok tahu, kalau mereka pun pasti merasakan hal yang sama seperti dirinya.

Together, at the very least.

.

.

tbc.

a.n.

Halo lagi!

Sebenarnya ini project yang tak kunjung selesai dan sudah pernah di-post, lalu sempat stuck juga. Tapi setelah beberapa pertimbangan dan saran dari beberapa orang, akhirnya diputuskan untuk di repost di blog ini. Jadi, mohon review dan sarannya, ya! Semoga bisa dapat masukan yang lebih, jadi chapter selanjutnya pun bisa cepet di-post dan lebih jelas plot-nya ^^

See ya soon!

24 pemikiran pada “[Chapter 1] Messed Up: This Is Not Where We Started

  1. Sebelumnya, hai kak Tsukiyamarisa! Saya sangat suka sama fanfic ini dan sudah berkali-kali membaca tapi setiap membaca selalu meninggalkan kesan luar biasa akan cerita ini. Sebenarnya saya membaca Messed Up sudah cukup lama, maaf karrna tidak pernah meninggalkan jejak. Tulisan kakak luar biasa, kadang, saya sebagai author juga berpikir bagaimana agar tulisan saya bisa menjadi sangat kuar biasa seperti tulisan kakak. Nah, to the point, saya adalah author di Wattpad, dan saya ingin merepost cerita ini di akun saya. Tentunya saya harus meminta izin dulu kepada yang bersangkutan, bagaimana, boleh atau tidak? Saya tentu akan menyertakan creditnya, silahkan nanti di cek di akun YeonhwaKim di Wattpad. Jika kakak sudah membaca ini, mungkin saya telah merepostnya. Maka dari itu tolong beri respon tentang boleh atau tidaknya, jika memang tidak boleh, saya akan menghapusnya dari Wattpad saya. Saya merepost ini bukan karena saya cari pembaca atau agar Wattpad saya “rame”, saya benar-benar bertujuan merepost ini karena saya sungguh mengapresiasi karya ini, maka dari itu mohon dimaklumi kiranya. Sekali lagi, tolong respon ya kak, jika anda telah membaca pesan ini. Sekian, terima kasih. Yeonhwa Kim.

    Suka

    • Halo juga Yeonhwa Kim. Sebelumnya, makasih ya buat apresiasinya! Tapi maaf, aku nggak pernah ngijinin repost dengan alasan apa pun walau disertakan creditnya. Kalau kamu mau mengapresiasi, kamu bisa buat postingan untuk rekomendasi dan menyertakan link, atau ngajak pembaca lain buat ninggalin komentar. Jadi, kalau misalnya udah terlanjur kamu repost, mohon dihapus ya! Thanks!

      Suka

      • Maaf ya kak Tsukiyamarisa, saya baru saja baca balasan kakak. Dan Messed Up memang sempat saya repost di akun saya, dan karena kakak tidak berkenan, saya sudah menghapusnya. Terima kasih

        Suka

  2. Bagus bangeet. Feelnya dapet. Penulisannya baguus. Cuman untuk pemakaian bahasa inggris, coba deh diganti pakai bahasa korea aja. Jadi feelnya kalau mereka itu di korea dapet. Mgkin pakai kata yg simpel2 aja. Contohnya yeah dganti ‘eoh’. Bberapa moment pas mreka ngmong bahasa inggris, malah yg kebayang settingan di barat.
    Keseluruhan ceritanya baguus. Terus berkarya ya. Tulisannya bisa menginspirasi orang lain

    Suka

    • Well, sejujurnya sih sebagai yang nulis, aku merasa nggak nyaman kalau pakai bahasa korea berlebih. Mungkin juga udah bawaan gaya tulisan, jadi dari dulu emang nggak begitu suka pake bahasa korea terlalu banyak di dalem ff karena berasa feelnya malah kurang pas nulis.
      anyway, makasih udah baca 🙂

      Suka

  3. Haloo Ka Amer/?
    Ini telat bnget ya baru komen di chapter 1 wksss.
    Kesibukan masa SMA jadi lupa klo puny hobi baca ff wkss
    (curhat) (lupakan)
    Barusan aja mikir kalo aku pengen cari genre ff selain romance, karena udh bosen sama cerita romance jaman sekarang dan bertemulah dengan ff inii.
    Sukaaaa, penulisannya berasa baca novel. Pemilihan katanya bagus dan mudah dimengerti. Sukaaaaaaa.
    Belum telat ngefans sama ff ini kan, Ka ? Hihi^^
    Btw. Aku 00line. Jadi manggilny Kakaa hii^^
    Good job, Ka.
    Terus berkarya ya Kaaa!

    Suka

  4. feel so good.. jiwa friendship mereka emang gak perlu diragukan lagi dan ini karakter mereka udah ky real life mereka… apalagi abang yoongi pas bgt, sok2 dingin tapi pedulinya itu lho bikin meleleh ati adek bang /apasih
    tae-tae yang ridiculous dan gak bisa diem haha itu yg bikin noona kesemsem
    author jjang!

    Suka

  5. Saya suka cerita ini. Lebih tepatnya dengan genre ceritanya, jarang banget saya nemu cerita Friendship yang Feelnya kena banget- Ugh!. Semoga cepet tamat tanpa ada kata Stuck diantara kita.haha…

    Suka

  6. Mer ameerrr aku bangun kepagian dan biarkan diri ini merusuhi lapakmu sampai chapter di mana mata ini lelah untuk membaca (tapi baca fenfik frensip mana pernah lelah heuuu sukaaak)

    Aku kudu komen apa mer…ini imaji terbang lagi ke masa2 army hebohin teori yang sampe sekarang nggak terpecahkan..bhaq
    Taetae jadi anak bandel ommo ommo jangan sampe ketangkep ya dek nuna khawatir/plak
    Yoonmin ciyee yoonmin seflat lagi ati2 sekandal/eh/ atau janjangan ada minha juga di sana? Kyaaaaa
    Kuki-aaaa…..buat apa kamu memelihara otot gitu kalo gelut aja gabecus deeek…gigit yang bulli kamu! Gigi kelincinya dimanfaatin(GAK GITU PY)

    “hyung, oh kau sekarang jadi pawang burung?”
    KUTERJUNGQALE TOLONG AMER…WKWKWK jadi kamu kenapa krisis identitas gitu jung hoseok. Katanya titisan kuda…kenapa nggak jadi pawang kuda aja 😂
    Oke ini udah panjang entar dikeplakin kalo makin ngelantur. ((ngacir ke chap 2))

    Suka

  7. Good story, i really appreciate this fanfic 🙂
    Bahkan pemilihan kata untuk bahasa inggrisnya berasa mereka jadi anak-anak yang bandel banget.
    I feel like reading an awesome novel from a pro hehe

    Suka

  8. Karena bangtan memang punya konsep yang betul-betul the most beautiful moment in life
    Jadi excited banget tiap baca fanfiksi mereka bertujuh, dengan genre friendship yang kaya gini lah pokoknya :3
    Kira-kira konfliknya kaya gimana? Ini baru kelihatan beberapa ya

    Suka

  9. Well well aku baru sempet review eh tau-tau udah ada ch 2, salahkan aku yang lemot😯 anw ini keyeeen bgt ka, aku ngefeel bgt. Semoga ngga stuck yapp/kedip-kedip cantik/plakk/ keep writingg kaka author^^

    Suka

    • Ehehehehe /dikeplak/
      Itu kan di author notes udah ada sayang (?)
      Jadi ceritanya stuck karena berbagai hal dan gaada waktu nulis, terus karena ada plot yang diubah, yaudah deh akhirnya di repost~

      Kemungkinan ch 1-3 ga berubah sih, dan kalo bisa jarak postnya deketan biar ch 4 cepet dipost juga hehe (((ini ngomong gini padahal belom kelar astaga)))

      Maafkan karena jadi lama nunggu yaaa /.\

      Suka

  10. First, ijinkan diriku terkekeh sebentar, “hyung, oh kau sekarang jadi pawang burung?” Pas baca itu aku tiba2 stop terkekeh terguling /?
    Btw kak seokjin ku kapan nongol nih, thor? Kenapa Yoongi sama Jimin tinggal se atap? Kenapa dengan Hoseok? Lalu kenapa Taehyung dempet sama Namjoon? Apa itu akan di jelasin di chp berikutnya, thor? /banyak tanya/ /tebas saja leher saya udah/
    Cerita soal pertemanan yang menarik, banyak konflik tp belum di ujung puncak, semoga chapter berikutnya kak seokjinku main ya, thor! Huhuuuu salam hangat malam minggu dari jihyeon/98line😆😆😆❤️

    Suka

  11. Chapter pertama udh penuh konflik, firasat banget kedepannya bakal berat #eaak

    yang belum diceritain masalahnya kayanya Taehyung, hoseok(sedikit kurang ngerti sih, dia sbnrnya kenapa sama masalah hidupnya? pesimistis kah? atelophobia kah?) dan, aku ngga nemuin omjin di chapter satu ini, eh, bener kan ngga ada? okesip cukup mengganjal inih.. dapet feelnya dan ngebayanginnya gampang karena tinggal inget2 scene MV+prologue. DAN, SEPERTI BIASA, genre friendship yang nyeret lifestyle nya anak jalanan itu emang favorit banget~

    ngga enak yah kalo komen mulu tapi nggak memperkenalkan diri..
    Hai kak, salam kenal dari Ayu 98line:) Ditunggu chap selanjutnya, kak, Fighting^^

    Suka

    • halo juga ayu, amer dari line 95 di sini!

      ehehe iya berat, saking beratnya sampe ga ditulis-tulis lanjutannya ((dihajar))
      masalah hoseok nanti akan diperjelas di chapter2 akhir ya, dan yap omjin gaada di sini XD

      makasih banyak ayu! ❤

      Disukai oleh 1 orang

Leave a Review